Dewi Durga
DAFTAR ISI
PENGANTAR
DURGA STOTRAM, SUATU HARI
Kuil itu tak seberapa besar. Letaknya di pojok Labuh Oueen atau Jalan Gueen di kawasan Litrle India, George Town, Penang. Kuil itu sebagaimana kuil- kuil Tamil-Nadu di India Selatan menyolok mata dengan gopuram (menara) menjulang ke atas dengan ukiran padat arca warna warni. Dua patung singa berwarna coklat dengan surai lebat menjaga trap undakan masuk kuil. Kuil itu buka dari pukul 6-9 pagi untuk siapapun umat Hindu yang hendak bersembahyang. Kuil tutup jam 12.15 siang dan buka lagi jam 4.30 sore. Sepanjang sore itu sampai pukul 9.15 malam kuil kembali diperbolehkan untuk puja malam.
Begitu masuk, kita melihat di tengah- sebagai poros kuil, sebuah meja persembahan dengan lilin-lilin kecil, sebuah patung lembu nandi berwarna hitam penuh bunga menghadap ke sebuah relung atau garbha. Kita tidak bisa mendekat kesanctum itusDi relung tersebut disemayamkarvarca utama:Sri Dhakshinamoorthy. Sri Dakshinamoorthy adalah perwujudan Siwa sebagai sumber pengetahuan. Siwa adalah guru mulia yang mengajarkan seluruh aspek ilmu dari yoga sampai sastra. Dalam ikonografi pantheon Hindu, Sri Dakshinamoorthy digambarkan dalam posisi duduk dengan kaki kanan menginjak tubuh kurcaci bernama Apasmara atau Muyalaka – yang dalam mitologi Hindu dianggap sebagai lambang ketidaktahuan dan percakapan-percakapan tak masuk akal. Sementara kaki kirinya diangkat ditumpangkan di atas paha kaki kanan.
Tidak terlihat jelas apakah kaki kanan arca Sri Dakshinamoorthy yang ada dalam relung tersebut menginjak tubuh seorang cebol karena arca Sri Dakshinamoorthy dikalungi untaian bunga merah kuning demikian besar. Kalung bunga itu hampir menutupi tubuhnya yang hitam. Sebagai poros kuil, arca tersebut terlihat demikian sakral. Saya lihat pagi itu, setiap umat yang masuk ke kuil – langsung mengatupkan tangannya berdoa sembari memandang arca Sri Dakshinamoorthy dan kemudian bersimpuh, bernamaskara, sampai sujud mencium lantai. Tatkala bangkit, mereka kemudian meraih sesajian yang ada di meja dan kemudian memercikkannya, mengusapkannya di rambut.
Beberapa umat terlihat meminta secara khusus didoakan oleh pendeta kuil. Seorang pendeta lalu masuk ke dalam relung atau garbha. Merapalkan doa di dekat arca dan seperti membersihkan tubuh arca, kemudian keluar-mendekat ke umat yang meminta diberkahi, lalu mengucapkan atau tepatnya menyanyikan mantram-mantram di depan mereka, memercikkan minyak suci – abhisegam. Baru setelah itu peminta doa, mengelilingi seluruh sudut kuil dan satu persatu melakuan puja kepada pantheon lain yang ada di kuil itu.
Nama kuil itu adalah Kuil Arumilgu Shri Mahamariamman — atau kuil Dewi Mari. Kuil itu didirikan tahun 1833, salah satu kuil tertua umat Hindu di George Town, Penang. Kuil itu terutama menjadi tempat ibadah bagi kalangan keturunan Tamil. Kuil itu adalah kuil yang menonjolkan Siwa serta para shaktinya dan Navagraham atau 9 planet. Shri Mariamman atau Dewi Mari adalah dewi yang sangat populer bagi kalangan masyarakat Tamil, India Selatan. Dewi Mari dianggap sebagai protektor yang bisa mengenyahkan segala penyakit, melindungi penyembahnya dari kejahatan dan menghancurkan segala angkara murka. Mart artinya kekuatan dan amman artinya ibu. Kuil ini adalah kuil yang memuliakan kekuatan ibu semesta.
Pada mulanya Dewi Mari adalah semacam grama dewara — atau dewi lokal bagi masyarakat Dravida di India selatan. Kultus terhadap Dewi Mari di India Selatan merupakan kultus terhadap dewi ibu yang sudah jauh ada sebelum kedatangan kaum Indo Arya yang membawa Wedha. Pemujaan terhadap Dewi Mari bisa disebut merupakan agama rakyat di India Selatan. Lalu tatkala Siwa menjadi pantheon urama, Dewi Mari disejajarkan dengan istri Siwa, Dewi Parwati dan kemudian Durga atau Kali. Dewi Mari merupakan inkarnasi dari Durga. Dewi pelindung orang-orang miskin. Para pandita kuil-kuil Dewi Mari berasal dari kalangan orang biasa bukan brahmana. Sama seperti Durga, Mariaman atau Dewi Mari dikenal sebagai dewi yang mampu memusnahkan asura berwujud kerbau raksasa atau mahisa.
Maka dari itulah bisa dimengerti bahwa arca utama setelah Sri Dakshinamoorthy di Kuil Arumilgu Shri Mahamariamman adalah arca Durga. Durga adalah Shakti Siwa. Durga adalah sang pembunuh Mahisa Asura. Setelah seorang memberikan pemujaan terhadap Sri Dakshinamoorthy, ia lalu memutar mengeliling ruangan kuil dari kanan ke belakang lalu ke se belah kiri. Mula-mula ke samping kanan – di situ diletakkan Sri Bhairawa. Bhairawa-kita tahu adalah bentuk ugra atau krodha dari Siwa. Dalam mitologi India Selatan dikisahkan tatkala Kali pergi ke India Selatan sebagai Mariamman, Bhairawa mengikutinya. Di samping arca Bhairawa diletakkan 9 arca-arca kecil yang melambangkan 9 planet atau Ngvagraham: Buthan (Merkurius), Sukiran
(Venus), Chandran (bulan), Guru (Jupiter), Sooriyan (matahari), Sevvai (Mars), Kethu (Neptunus), Saniswarar (Saturnus) dan Raagu (Uranus).
Setelah arca Bhairawa, jika kita berjalan ke sisi kanan kemudian kita akan melihat arca Sri Durga. Terus di ujung kita melihat arca Sri Visvanathet. Di depan Sri Visvanather terdapat patung lembu hitam. Berbelok kesisi kiri lalu terdapat arca Sri Vishalatchi. Sri Visvanather-Sri Vishalatchi adalah nama lain dari pasangan Siwa dan Parwati. Umat yang berdoa keliling , dari Sri Dakshinamoorthy sampai Sri Vishalatchi membawa lilin. Nyala api lilin tidak boleh mati saat dibawa.
Baik arca Bhairawa, Durga, Sri Visvanather, Sri Vishalatchi semua berwarna hitam dan dikalungi karangan bunga besar. Semua arca juga didandani dengan kostum. Sri Dakshinamoorthy terlihat diselubungi “jubah” berwarna ungu. Sri Vishalatchi, dibelit kain merah dari dada sampai bawah menjuntai seperti rok lebar dan diberi untaian kalung bunga kuning hanya muka hitamnya saja yang tampak. Sri Durga juga hanya terlihat wajahnya saja karena diberi kalung rangkap mulai kalung bulatan-bularan hijau dan kalung bunga kuning besar dengan hiasan-hiasan bunga merah. Sri Durga terlihat pada bagian bawahnya dikenakan rok paduan biru pekat dan coklat keemasan. Tindakan untuk memberi kostum dan pakaian bagi arca disebut alangaram.
Pagi itu saya melihat seorang ibu berhenti lama di depan arca Durga. Ia terlihat khusyuk berdoa untuk beberapa menit. Durga adalah keluarga inti Siwa. Selain sebagai dewi pelindung dari berbagai ancaman kejahatan dan ancaman musuh, Durga sebagai Dewi Mari dipandang sebagai ibu semesta oleh masyarakat Tamil. Para perempuan muda yang hendak mencari suami yang baik atau mereka yang menginginkan kehidupan berkeluarganya langgeng senantiasa memohon kepada Durga.
***
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke 11 tahun 2022 ini mengangkat tema: Durga, di Jawa, Bali dan India. Tema ini dipilih untuk memperingati arkeolog tangguh Prof. Dr. Hariani Santiko yang wafat pada tahun lalu 2021. Seperti diketahui disertasi Prof. Dr. Hariani Santiko yang dipertahankan di Universitas Indonesia di tahun 1987 adalah: Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi. BWCF dalam festival on line 2022 maka ingin membuat sebuah forum lintas-disiplin untuk membaca ulang dimensi-dimensi studi Durga yang sudah disodorkan oleh Prof. Dr. Hariani Santiko maupun yang belum sempat dibicarakannya seperti bagaimana rajah-rajah yang meminta kekuatan kepada Durga masih ada di Bali.
Termasuk bagaimana tema Durga diolah dalam khazanah sastra modern Indonesia seperti novel Romo Mangunwijaya: Durga Umayi, seni pertunjukan kontemporer Indonesia sebagaimana opera karya Goenawan Mohammad: Opera Kali sampai bagaimana citra Durga klasik dipahami desain majalah-majalah wanita masa kini. Tulisan-tulisan yang terkumpul di buku ini seluruhnya adalah makalah-makalah yang dipresentasikan mengenai seluk beluk Durga oleh para pembicara festival.
Studi mengenai Durga sampai sekarang belum berhenti. Masih banyak aspek-aspek dari Durga yang masih bisa dikaji dari sudut arkeologi, antropolog, sejarah, filologi sampai sastra. Ilustrasi doa pagi kepada Durga di sebuah kuil di George Town, Penang di atas hanyalah salah satu dari sekian hal yang bisa diteliti mengenai Durga yaitu : ritual kepada Durga yang masih hidup di kalangan diaspora keturunan masyarakat Tamil Nadu di Malaysia. Masyarakat keturunan Tamil menetap di Penang, Kuala Lumpur dan kawasan daerah lain
di Malaysia diperkirakan sudah sejak lama.
Gelombang imigran masyarakat Tamil dari India Selatan itu tiba di abad 19 saat Inggris mengkoloni wilayah Malaysia. Imigran-imigran Tamil tersebut bekerja di perkebunan-perkebunan dan menjadi pedagang-pedagang termasuk di kawasan George Town, Penang yang dekat pelabuhan. Namun juga diperkirakan kedatangan para pedagang Tamil yang membawa ritual terhadap Dewi Mari itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun sebelumnya. Yaitu saat Rajendra Chola, Raja Chola dari Tamil Nadu, India Selatan antara tahun 1025 M-1030 M menyerbu pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya.
Salah satu pelabuhan terpenting dan utama Sriwijaya yang diserang oleh Chola adalah Kadaram atau yang oleh orang India saat itu juga disebut sebagai Kalagam, Kidaram atau Kataha. Kadaram sekarang diperkirakan terletak di daerah Lembah Bujang, Kedah, Malaysia. Jarak dari George Town, Penang ke kawasan ini bila kita naik mobil hanya sekitar satu setengah jam-dua jam perjalanan. Kadaram di masa serangan Chola itu adalah pelabuhan Sriwijaya yang sangat strategis. Kadaram adalah jalan masuk ke Selat Malaka. Menguasai Kadaram dan menempatkan garnisun-garnisun tentara di Kadaram berarti secara militer menguatkan Chola untuk dapat masuk ke perairan Sumatra.
Menurut R. C Majumdar dalam buku Swvarnadvipa Ancient Indian Colonies in the far East, penguasa Sriwijaya yang memimpin Kadaram saat itu adalah keturunan trah Sailendra bernama Mahavijayatunggavarman. Dia adalah putra dari Raja Sriwijaya Culamanivarman yang pernah membangun biara di Nagapattinam. Dalam prasasti Tanjavur yang tertulis di dinding selatan
Kuil Rajarajesvara yang dibangun dinasti Chola pada tahun 1030 M, disebut Vijayottunggavarman, Raja Kadaram tertangkap. Kemenangan Chola atas Kadaram sangat berarti bagi Chola. Rajendra-Chola sampai bergelar Kadaram-Kondan, sang penakluk Kadaram V. Nadarajan penulis buku Bujang Valley: The Wonder that was Ancient Kedah — menganalisis diberikannya gelar Kadaram-Kondan bagi Rajendra Chola adalah bukti bahwa Kadaram adalah pelabuhan sangat penting di Tenggara, setara dengan Malaka di masa Portugis dan Singapura di masa sekarang.
Kawasan situs arkeologis Lembah Bujang sendiri, beberapa tahun terakhir menjadi obyek penelitian intens dari para arkeolog Malaysia dan arkeolog-arkeolog luar Malaysia. Dari artefak-artefak dan percandian yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa baik Budhisme dan Hindu dianut oleh masyarakat Kandaram saat itu. Bila kita menjelajahi candi-candi kecil campuran batu bata dan andesit di kawasan Lembah Bujang seperti Candi Bukit Pendiat, Candi Bukit Batu Pahat, Candi Pengkalan Bujang, Candi Sungai Batu dan lain sebagainya — meski arealnya tak terlalu luas sepert candi-candi di Siem Reap Kamboja atau kompleks percandian di Muoro Jambi atau Prambanan serta Borobudur sangat terasa unsur-unsur Siwais lingga dan yoni-nya.
Temuan arca-arca pantheon Hindu dan arca-arca boddhisatwa dari Budhisme Mahayana, dan berbagai jenis keramik – paling tidak seperti yang bisa kita saksikan di Museum Lembah Bujang memang tidak semelimpah ruah seperti temuan-temuan di Sumatra,Jawa, Kamboja namun cukup membuktikan bahwa Kadaram di masa lalu itu cukup kosmopolit. Pada titik itu amat mungkin agama rakyat Dewi Mari sejak zaman Chola menduduki Kadaram sudah dibawa pasukan-paskan Chola dan pedagang-pedagang Tamil masuk ke Kadaram. Dewi Mari, dapat kita bayangkan adalah dewi yang dipercaya masyarakat Tamil perantauan di Kadaram untuk menjaga mereka
dari musuh-musuh jahat. Juga dewi yang menjaga mereka dari penyakit- penyakit menular, wabah dan sebagainya. Adalah menarik salah saru arca yang ditemukan di kawasan Lembah Bujang seperti ditulis dan tampilan fotonya dimuat dalam buku Bujang Valley: The Wonder that was Ancient Kedah karya V. Nadarajan misalnya adalah arca Durga Mahisasuramardini.
Hariani Santiko sendiri dalam disertasinya mengatakan aspek terpenting dari Durga yang membuatnya dipuja sebagai dewi pelindung adalah Durga sebagai pembinasa asura atau Durga pemusnah kejahatan. Ia adalah dewi yang memberikan pertolongan terhadap kesulitan-kesulitan hidup pemujanya. Bukan hanya Mahisa Asura- atau asura yang bermanifestasi sebagai kerbau raksasa yang dihancurkan Durga namun juga asura-asura lain seperti Nisumbha, Madhu Bhandasura, Upasunda dan raksasa-raksasa lain. Durga adalah dewi yang bisa menghancurkam musuh dalam perang. Bahkan dalam beberapa Purana menurut Hariani Santiko seperti Kalika Purana disebut Rama memuja Durga agar memperoleh kekuatan untuk bisa membunuh Rahwana. Akan halnya dalam kitab Mahabhagavata Purana disebutkan Rama memuja Durga agar bisa mengalahkan Kumbakarna.
Di Jawa sendiri arca Durga Mahisasuramardhini dari abad 8-14 M banyak ditemukan, Menurut Hariani Santiko paras Durga dalam arca-arca Durga Mahisasuramardhini di Jawa Timur terutama sering ditampilkan cantik, anggun dan berpakaian mewah. Sementara asura yang keluar dari kerbau bersikap pasrah, tenang, duduk seolah menyembah Durga. Sejumlah arca Durga dari Majapahit akan tetapi bertaring. Dalam Prasasti Terep menurut Hariani disebut Erlangga dan adiknya Rakai Pangkaja Dyah Tumambong di pertapaan Terep berdoa kepada Durga agar memperoleh kemenangan. Sementara Durga sebagai pembunuh asura juga disebut dalam Kakawin seperti Ghatotkacasraya. Dan dalam Sutasoma, disebut saat sepupu Sutasoma, Raja Dasabahu berperang melawan Porusada, ia memusatkan fikiran kepada bayangan durga atau Durga Maya.
Di Jawa, Hariani menyimpulkan bahwa terjadi percampuran antara Durga dan Kali. Sebagai dewi ibu yang mengenyahkan segala angkara murka membebaskan pengikutnya dari kejahatan tapi juga sebagai dewi maut. Pada titik ini mudah kita persepsi betapa konsep Durga dalam perjalanan sejarahnya yang beratus tahun dapat ditarik ke sudut-sudut stereotype ekstrem tertentu. Di Bali, seorang penulis mengatakan pengarcaan Durga dan juga imaji orang tentang Durga di era modern makin lama makin mengarah ke arah citra Durga, sebagai dewi penguasa kuburan, dewi penguasa sihir hitam yang disembah Calon Arang.
Dalam kisah Calon Arang kita tahu, Calon Arang bersama para pengikutnya menari-nari di kuburan memanggil Durga. Calon Arang menghidupkan mayat, membunuhnya dan kemudian menyajikannya kepada Durga. Durga datang karena sesembahan mayat itu. Durga menari-nari di
depan Calon Arang. Durga memenuhi permintaan Calon Arang menyebarkan wabah mematikan. Jiwa Atmaja, peneliti Bali, pernah dengn teliti membongkar persoalan citra Durga di Bali yang terlalu diseret kepada citra dewi penguasa sihir hitam ini. Ia menolak Durga dikaitkan dengan dewi tokoh ilmu hitam. Menurutnya hal tersebut sangat kurang tepat.
Jiwa Atmaja berpendapat gambaran Durga yang menyeramkan dan menakutkan (krodha) tidak harus dihubungkan dengan sihir ilmu hitam. Pemujaan terhadap arca Durga Mahisasuramardhini bukanlah praktek-praktek sihir hitam. Merujuk kepada Hariani Santiko, ia menyatakan wujud Durga yang mengerikan dan memiliki kebiasaan menyantap binatang korban dan mayat sesungguhnya adalah lambang dari terhapusnya sad-ripu (6 halangan) dan klesa yang berjumlah 8 pada atrma. Maka dari itu Jiwa Atmaja tak menyetujui bila arca Durga Mahissasuramardini yang terdapat di Pura Bukit Dharma Kutri, Gianyar ada yang mengaitkannya dengan ilmu hitam.
Arca ini bagi orang Bali dianggap sebagai perwujudan dari Gunapriya Dharmapatni atau Mahendradarra, istri atau permaisuri Raja Dharma Udayana Warmadewa yag memerintah di Bali Saka 911-920. Gunapriya Dharmapatni sendiri berasal dari Jawa Timur. Dalam beberapa prasasti di Bali penyebutan nama Gunapriya diletakkan di depan nama Udayana. Hal ini memicu
beberapa spekulasi dari para ahli bahwa Gunapriya adalah type permaisuri yang mendominasi pemikiran dan kebijakan Udayana. Goris misalnya mengatakan bahwa dalam bebrapa prasasti terdapat indikasi Gunapriya menggunakan guna-guna ilmu hitam untuk memperngaruhi Udayana. Hal demikian yang ditolak mentah-mentah oleh Jiwa Atmaja.
Jiwa lebih setuju dengan tafsir Hariani Santiko. Sebagaimana disebut di atas, Hariani Santiko menyatakan dalam prasasti Terep terdapat kalimat yang menyatakan Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, adik Erlangga berdoa kepada Durga. Hariani menginterpretasikan pemujaan kepada Durga itu adalah pemujaan untuk memohon kepada Durga agar memberikan kemenangan Airlangga. Durga seperti sudah dikatakan adah dewi untuk menumpas musuh-musuh. Hal demikian yang juga dilihat oleh Jiwa Atmaja. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan Airlangga agaknya didahului ritual terhadap Durga. Maka dari itulah sama sekali tak mengherankan apabila kemudian, pengarcaan Gunapriya Dharmapatni, yang tak lain adalah ibunda dari Airlangga di Pura Bukit Dharma Kutri, Gianyar dalam bentuk Durga Mahisasuramrdhini. Dan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan penguasa ilmu hitam.
Dari khazanah sastra kontemporer Indonesia, almarhum Toety Heraty juga sosok yang mengkritisi kisah Calon Arang klasik. Dalam karyanya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki: Sebuah Prosa Lirik, Toety menganggap kisah Calon Arang klasik penuh bias gender, bias dari kultur kekuasaan yang patriarkis. Bagi Toety, kisah Calon Arang klasik adalah kisah stigmatisasi terhadap perempuan sebagai pelaku sihir. Tafsir-rafsir yang mulai melakukan pembacaan ulang terhadap kisah Calon Arang mulai dilakuan banyak sastwan perempuan selain Toety Herati. Dalam kumpulan makalah mengenai Durga ini, novelis dan dramawan Cok Sawitri misalnya juga memiliki pandangan yang berbeda mengenai Durga dan Calon Arang.
Stereotip Durga sebagai dewi yang menguasai roh-roh jahat bukan hanya tertanam kuat di Bali tapi juga kerap kita temui dalam dunia pewayangan Jawa. Kisah Durga pada pewayangan — dapat ditemukan dalam kisah Sudamala – kisah Sadewa membebaskan dewi Uma yang berubah menjadi dewi menyeramkan Durga dan bertempat di Setra Gandamayit — atau kuburan. Sering seorang dalang — bertolak dari kisah ini lalu memposisikan Durga sebagai sosok yang jahat. Padahal bila kita baca naskah: Serat Pakeliran Jangkep Lampahan Sudamala yang ditulis Ki Purwadi-pertemuan-pertemuan Kunti maupun Sadewa dengan Durga berlangsung dalam suasana dialog yang penuh tata karma halus. Kunti saat datang bertamu ke kuburan menyapa Durga dengan sebutan Hyang Bathari: Kawula nuwun ingeih Hyang Bathari, kula ingkang sowan ing ngarsa paduka Bathari, sembah sunkem pangabekti kula katur Bathari… Dan Sadewa menyapa Durga dengan Eyang Durga. Terlihat Kunti dan Sadewa sangat hormat terhadap Durga. Durga sama sekali tidak ditampilkan sebagai sosok haus darah atau roh jahat.
Studi-studi mengenai Durga maka menguak kekompleksan dan paradoks-paradoks yang dimiliki Durga. Satu sisi, ia dianggap sebagai ibu bumi, ibu alam semesta,ibu penakluk, yang mampu menolong kesulitan-kesulitan orang, ibu yang mampu menaklukan musuh-musuh yang hendak mencelakai. Di sisi lain Durga dicitrakan sebagai dewi kuburan, dewi penguasa roh-roh jahat. Citra Durga yang seram sendiri dalam sejarah Hindu menurut David Kinsley, penulis buku: Tantric Visions of the Divine Feminine makin bertambah saat era Hindu Tantra.
Bersumber dari Kali dan Durga muncul dewi-dewi lain berpenampian sangat menyeramkan berjumlah sepuluh yang dikategorikankan dalam kelompok dewi Mahavidya. Mereka sebetulnya adalah manifstasi-manifestasi dari Durga dan Kali dalam bentuk berbeda. Mereka adalah avatar-avatar Durga dan Kali. Dewi dewi ini all-in-one, semuanya bersatu dengan Kali. Para dewi menyeramkan dalam kelompok Mahavidya ini adalah 1. Kali 2.Tara 3. Tripura-Sundari (Sodasi) 4. Bhuvanesvari 5. Chinnamasta 6. Bhairavi 7. Dhumavati 8. Bagalamukhi 9. Matangi, 10. Kamala. Seluruh dewi ini berpenampilan demikian mengerikan. Chinnamasta misalnya secara ikonografis digambarkan tangan kirinya menenteng kepalanya sendiri dan tangan kanannya memegang pedang yang baru digunakan untuk memotong kepalanya.
Dalam khazanah pengarcaan Durga di di Jawa Tengah maupun Jawa Timur hampir tidak pernah ditemukan sosok seperti Chinnamasta. Di Candiri Singosari selain ditemukan arca Durga Mahisasuramardhini , arca yang seram hanya ditemukan arca Bhairawa (chakrachakra) dan juga arca Camundi yang digambarkan duduk di atas dua mayat yang telungkup dalam posisi berlawanan. Menurut Hariani santiko, Camundi adalah Kali yang keluar dari kening durga yang berkerut karena marah terhadap asura. Di Jawa maupun Sumatra tidak pernah ditemukan sebuah candi yang khusus memuja Kali atau Durga. Berbeda dengan di India. Saya pernah mengunjungi Kuil Kali terkenal di Kalkuta yaitu Kuil Kaligath di kalkuta. Kuil ini khusus melakukakan ritual ritual pemujaan kepada kepada Kali. Yang menarik rumah perawatan orang- orang miskin yang sakit: Nirmal Hrdya — yang didirikan Bunda Theresa di Kalkuta lokasinya tak begitu jauh dengan kuil ini. Bahkan bersampingan. Menurut Hariani Santiko, tiap hari Kuil Kaligath melakukan upacara korban binatang terhadap Kali/Durga. Saya melihat di situ ada ceruk – seperti lubang galian di bawah dan para pemuja satu persatu- masuk ke lubang itu untuk mencorengkan tanda merah (mungkin dari darah binatang yang dikorankan) ke dahi.
***
Di tiap Oktober, Kuil Arumilgu Shri Mahamariamman, George Town, Penang atau kuil Dewi Mari mengadakan festival besar bernama Festival Navarathiri. Festival Navarathiri adalah festival khusus untuk memuja kemenangan Durga atas Mahisa Sura. Para umat Hindu keturunan Tamil di George Town, Penang (festival demikian juga diadakan di kuil-kuil Tamil di Medan) akan mengadakan prosesi mengusung dan mengarak arca Dewi Mahamariamman atau Dewi Mari dengan kereta keliling kawasan sekitar kuil seperti uen Street, Chulia street, Prangin Street, Victoria Street, Dato Keramat Road, China Street.
Di sebuah toko kecil di kawasan Little India,George Town itu saya menemukan belasan buku mantra puja untuk Durga (Durga Stotram). Toko itu sangat sempit dan sesak. Di sebelah kiri terdapat rak buku tinggi memanjang. Di situ dipajang buku-buku dari buku meditasi dan pemikiran-pemikiran Osho, Gandhi, Vasthu — atau Fengshui India sampai numerologi, kalender-kalender. Ruangan samping di toko itu menyediakan aneka souvenir arca dari Siwa, Ganesha sampai Parwati. Beberapa terlihat masih dibungkus plastik. Dalam deretan rak buku saya menemukan buku-buku tipis Durga Stotram atau teks puja doa kepada Durga. Doa-doa dalam bahasa Sansekerta yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Ada tiga buku tipis khusus Durga Stotram yang saya temukan: Shree Durggaa Sahasranaama Stotram, Shri Durgambigai Pooja Songs dan Mabishaasuramardini Stotram. Sampul tiga buku itu menarik. Buku Shrce Durggaa Sahasranaama Stotram menampilkan Durga cantik bertangan delapan membawa berbagai senjata dan menunggang macan loreng. Sementara Sri Durgambigai Pooja Song, sampulnya bergambar Durga berparas elok bertangan empat berdiri di depan seekor singa dengan surai lebat. Akan halnya buku Mahishaasuramardini Stotram menampilkan sampul paling atraktif. Durga berwajah cantik bertangan delapan belas memegang berbagai senjata. Salah satu tangannya namun memegang kepala terpotong asura. Sang Durga tersenyum sementara singa wahananya atau tunggangannya dengan ganas mencabik-cabik dan melahap kepala dan tubuh asura yang tergeletak tak berdaya di tanah. Darah keluar dari leher dan tubuh atas asura. Taring singa itu diperlihatkan sangat tajam.
Saya kutipkan terjemahan bahasa Inggris sebait doa berbahasa Sansekerta yang ada dalam buku terakhir itu. Doa kepada dewi ibu yang perkasa. Penumpas semua kejahatan dan musuh:
“..O! The Great Mother! You destroyed the demon Mundaasura (runda) with your golden weapon Shatakhanda. You cut off the trunk of the elephant faced (Tunda) Gajasura. You are clever in cutting the necks of the elephants of your enemies. You crushed the commander in Chief Mandasura, by using your mighty “Dandaayudha” like strong arms…”
Selamat membaca kumpulan artikel mengenai Durga.
Seno Joko Suyono, Kurator BWCF
ARTIKEL DEWI DURGA
Dewi Durga dikenal sebagai dewi perang dan pelindung yang gagah berani, yang berjuang melawan kekuatan jahat demi melindungi umat manusia. Dalam setiap kisahnya, Dewi Durga melambangkan kekuatan, keteguhan hati, dan keberanian tanpa batas.