Kisah Para Dewi

Kisah Para Dewi

Bab 19: Komunitas Tamil dan Ritual Puja Durga di Kuil-kuil Hindu di Medan dan Sekitarnya

DAFTAR ISI

Dr. Zulkifli Lubis, M. A.
Staf Pengajar Antropologi, FISIP Universitas Sumatera Utara
Email: zulkifil@usu.ac.id

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan menggambarkan kehidupan komunitas Tamil Hindu dengan ragam orientasi religius mereka terkait pemujaan Dewi Durga di kuil-kuil Hindu kota Medan dan sekitarnya. Kajian lapangan singkat dilakukan untuk mendapatkan bahan penulisan, melalui wawancara dan pengamatan, dan dengan dukungan data-data sekunder. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa mayoritas kuil-kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya merupakan pengikut tradisi Saktisme, yang berfokus pada pemujaan para dewi sebagai sakti-nya dewa Siva. Namun dalam praktiknya, di kalangan pengikut Saktisme juga terdapat keragaman orientasi pemujaan mahadewi.

Kata kunci: Komunitas Hindu Tamil, orientasi pemujaan, Durga, Kali,
Saktisme

PENDAHULUAN

Medan dikenal sebagai kota yang sangat majemuk secara sosiokultural, dan keberadaan komunitas Tamil merupakan salah satu unsur pembentuknya!. Meskipun proporsi warga Tamil sesungguhnya relatif kecil di antara sekitar 2,4 juta jiwa penduduk kota ini”, tapi keberadaannya cukup ikonik sebagai penanda kota Medan. Sejak masa kolonial sebagian mereka sudah bermukim di sekitar pusat kota, di suatu kawasan yang bernama “kampung Madras” atau yang kemudian lebih populer dengan sebutan “Kampung Keling”. Kini, kawasan tersebut bahkan oleh pemerintah kota sudah diberi label baru dengan nama “Little India”. Dari aspek etnik, kemajemukan penduduk kota Medan terbentuk melalui berhimpunnya warga dari beragam etnik tempatan “asal” Sumatera Utara, kelompok etnik lain dari wilayah Nusantara, dan etnik kerurunan migran yang berasal dari India, Arab dan Cina. Selain orang Tamil, ada beberapa kelompok etnik asal India lainnya yang juga bermukim di kota Medan dan sekitarnya.

Kendati kehadiran orang Tamil di kota Medan dan sekitarnya sudah lebih satu setengah abad lamanya, namun pengenalan dan gambaran tentang kebudayaan mereka masih sangat terbatas dalam referensi-referensi akademik. Tulisan A. Mani berjudul Indian in North Sumatera (A. Mani, 1993) merupakan karya penting yang memberikan gambaran tentang aspek historis, daerah asal, kehidupan sosial dan religi warga kerurunan India di Sumatera Utara. Perhatian akademisi lokal tentang kebudayaan komunitas Tamil di kota Medan baru berkembang pada awal tahun 2000-an, antara lain mengenai adaptasi dan jaringan sosial (Lubis, 2005X(Lubis, 2009), ragam aspek kebudayaan Tamil (Takari, 2013), potret pekerja Tamil di perkebunan masa kolonial (Harahap, 2019), komunitas chetty di Medan pada abad ke- 19 (Harahap er al., 2019), juga tentang identitas Tamil pada awal abad ke-20 (Muhammad Rivai, Eron L Damanik, 2021). Selain itu terdapat beberapa karya mahasiswa, dominan tentang adat-istiadat dan upacara keagamaan, yang dibuat untuk penulisan skripsi di universitas.

Orang Tamil di kota Medan dan sekitarnya sering diasosiasikan sebagai penganut agama Hindu yang rutin beribadah di kuil-kuil dengan arsitekrurnya yang khas. Dalam hal keyakinan keagamaan, orang Tamil sesungguhnya cukup heterogen, karena banyak diantara mereka yang menganut agama Buddha, Islam, Kristen dan Katolik. Bahkan sebagai penganut Hindu,orientasi pemujaan mereka juga cukup beragam. Jika merujuk kepada tiga aliran utama dalam Hinduisme kontemporer (Aditi, 2014)“, secara umum dapat disebutkan bahwa umat Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya merupakan pengikut tradisi Saivisme (yang berpusat pada pemujaan Dewa Siva). Namun, berdasarkan karakteristik kuil-kuil yang ada di kota Medan dan sekitarnya, sebagian besar di antara mereka diperkirakan lebih dominan menjalankan tradisi Saktisme (yang berpusat pada pemujaan Mahadevi sebagai saktinya Siva). Merujuk kepada penamaan masa kolonial untuk pekerja Tamil yang disebut Kling. 5 Kawasan “Kampung Keling” atau “Kampung Magdras’ berada di seputaran Jl. Zainul Arifin. Pada 27 Oktober 2018 Walikota Medan (T. Zulmi Eldin) bersama dengan Duta Besar India untuk Indonesia (Mr. Pradeep Kumar Rawat) dan pemrakarsa dari tokoh Tamil (A.S. Kobalen) meresmikan pembangunan “Gapura Litrle India Kota Medan” di jalan tersebut. Gapura itu dibangun di persimpangan Jl. Zainul Arifin (dulu bernama Jalan Calcutta) dengan Jl. Teuku Umar (dulu bernama Jalan PJ Nehru), persis di sisi kanan bangunan Kuil Shri Mariamman Medan.

Sebagai pengikut tradisi Saktisme, penganut Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya juga memperlihatkan ragam orientasi Dewi-dewi yang menjadi fokus pemujaan. Dewi Parvati merupakan fokus pemujaan di kuil-kuil Shri Mariamman, kemudian dalam manifestasinya sebagai Durga menjadi fokus pemujaan pada kuil Shri Singgama Kaliamman, dan dalam perwujudannya sebagai Kali menjadi fokus pemujaan pada kuil-kuil Bathara Kaliamman. Semua kuil-kuil yang merupakan pengikut tradisi Saktism memuja Dewi Durga, namun ekspresi dan interpretasi mereka mengenai figure Dewi Durga cukup bervariasi. Gambaran tentang figure dewi Durga pada kuil-kuil Hindu Tamil di Medan dan sekitarnya berbeda jauh dari sosok “yang menyeramkan dan bersemayam di serra Ganda Mayu” dan sering dikaitkan dengan “black magic” seperti diungkapkan Ni Wayan Pasek Ariati pada komunitas Hindu Bali (Ariati, n.d.), maupun gambaran Durga yang berubah dari “dewi yang dermawan” menjadi sosok dengan wajah menakutkan dan suka bersemayam di kuburan seperti yang berkembang di Jawa Timur pada abad 10-15 (Santiko, 1997).

Tulisan ini berupaya memberikan gambaran Dewi Durga pada komunitas Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya, berdasarkan ekspresi yang ditampilkan melalui arca, patung dan lukisan dan media-media lain di kuil- kuil, juga berdasarkan interpretasi dari para pengikutnya. Bahan penulisan diperoleh melalui studi lapangan singkat pada bulan September-Oktober 2022 dan dukungan sumber-sumber sekunder.

Aditi Devi (2014) membedakan pengikut Hindu kontemporer atas tiga aliran utama, yaitu (a) Vaisnavisme, yang memuja Dewa Wisnu sebagai dewa tertinggi, (b)Saivisme, yang memuja dewa Siva sebagai dewa tertinggi: (c) Saktisme, yang memahami dan memuja para Dewi sebagai yang paling utama. Sumber Wikipedia menyebut pengikut Vaisnavisme mencakup hampir 7096 dan pengikut Saivism sekitar 2796 dari seluruh penganut Hindu.

METODE PENELITIAN

Suatu gambaran yang detail dan mendalam tentu tidak bisa diharapkan dari sebuah studi lapangan yang singkat. Apa yang disajikan dalam tulisan ini harus dimaknai sebagai potret permukaan, yang harapannya bisa diperdalam pada kesempatan lain. Pengamatan lapangan dilakukan dalam kunjungan ke beberapa kuil, termasuk mengamati kegiatan ritual perayaan Navaratri (September-Oktober 2022) di empat kuil: dua di kota Medan, dua lainnya di sekitar Medan”. Selain itu, penulis juga mengunjungi sekitar sepuluh kuil lain di kota Medan, dan mewawancarai beberapa orang pengurus, pendeta dan warga Hindu yang bermukim di sekitar kuil. Wawancara juga dilakukan dengan pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Medan dan pengurus Perhimpunan Shri Mariamman Kuil.

Sebagai peneliti yang bukan bagian dari umat sedharma, sejatinya pemahaman penulis tentang berbagai aspek keyakinan dan ritual Hindu Tamil masih amat sangat dangkal. Oleh karena itu, penggambaran yang mungkin saja salah atau kurang tepat dalam tulisan ini tentu berpangkal dari masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman penulis, dan hal itu akan diperbaiki melalui kajian yang lebih mendalam pada waktu yang akan datang.

 

PEMBAHASAN

Sekilas sejarah kehadiran Komunitas Tamil di Medan

Kedatangan orang Tamil dari wilayah India Selatan yang kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya komunitas mereka di kota Medan dan sekitarnya bermula pada paruh kedua abad ke-19. Namun, patut dicatat bahwa bukti- bukti arkeologis menunjukkan orang Tamil sudah hadir di wilayah Sumatera Utara beberapa abad sebelumnyas. Wilayah Deli mulai berkembang pesat sebagai pusat perekonomian penting sejak Jacob Nienhuys merintis perkebunan tembakau pada 1863. Pada tahun 1874 sudah dibuka 22 perusahaan perkebunan di Sumatera Timur (Sinar, 2002). Para pengusaha perkebunan mendatangkan pekerja migran dari Cina, India, juga dari Pulau Jawa, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja karena penduduk lokal tidak banyak yang mau bekerja sebagai kuli di perkebunan. Jumlah pekerja India pada 1874 baru tercatat sebanyak 316 orang, bertambah menjadi 1.528 orang pada 1883, dan 2.460 orang pada 1890 (Sinar, 2002), dan meningkat lagi menjadi 3.360 orang pada 1898 (Harahap, 2019)”.

Pengusaha-pengusaha perkebunan pada masa itu menerapkan pembagian kerja berbasis etnis. Orang Eropa bekerja sebagai administrator dan asisten, orang Cina sebagai kuli ladang (menyiapkan lahan, menanam dan merawat tanaman hingga memanen daun tembakau), orang Jawa menyiapkan lahan dan menanam tembakau. Sementara itu, orang Tamil khusus dipekerjakan untuk membangun jalan, menggali kanal dan kusir gerobak sapi (Harahap, 2019). Para pekerja tinggal secara segregatif berbasis ernis di bangsal-bangsal sederhana yang dibangun perusahaan. Selain orang Tamil, migran asal India yang juga bekerja di perkebunan adalah orang Sikh dari wilayah Punjab, yang bekerja sebagai opas atau penjaga keamanan.

Sebagai pusat ekonomi baru yang tumbuh pesat pada akhir abad 19, kota Medan dan tanah Deli, yang pernah dijuluki sebagai “het dollar land”, juga menarik minat para migran sukarela dari berbagai negeri untuk memanfaatkan peluang ekonomi yang ada. Migran yang berasal dari India bukan hanya orang-orang Tamil Hindu, tetapi juga cukup bervariasi asal-usulnya, seperti orang-orang Tamil muslim yang bekerja sebagai pedagang, orang Sikh atau Punjab berdagang dan beternak sapi untuk memproduksi susu, orang Bombay, kaum Chettiars atau Chetty (yang berdagang dan membungakan uang), kaum Vellalar dan Mudaliar, orang-orang Sindi, Telegu, Bamen, Gujarati, Maratti (Maharasthra) dan lain-lain (A. Mani, 1993).

Setelah kemerdekaan Indonesia, orang-orang Tamil yang bekerja di perkebunan banyak memilih pindah dan menetap di perkotaan sehingga pemukiman mereka terkonsentrasi di kota-kota seperti Medan, Binjai dan Tebing Tinggi. Di kota mereka bekerja sebagai pedagang, karyawan, pegawai negeri, jasa transportasi, pendidik, pengusaha dan beragam profesi lain seperti warga kelompok etnik lain pada umumnya. Komunitas Tamil tidak memiliki satu organisasi induk sebagai tempat mereka berhimpun. Mereka biasanya lebih terikat pada organisasi-organisasi sosial berbasis keagamaan yang sudah ada sejak masa kolonial’”. Meskipun demikian, orang Tamil tergolong kelompok sosial yang cukup baik berbaur dengan masyarakat lokal.

Komunitas Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya sebagaimana umat Hindu Tamil pada umumnya di berbagai Negara juga menjalankan perayaan- perayaan tertentu yang dilaksanakan secara komunal. Beberapa diantaranya adalah perayaan Thai Ponggal, Maha Puja Thaipusam, Pangguni Uthiram, Maha Sivarathri, Varudap Pirappu, Maha Adhi Puja, Vinayagar Chathurthi, Navaratri, Vijaya Dasami dan Deepavali (Riswan, 2021).

Kuil-kuil Hindu di Kota Medan dan Sekitarnya

Pada awalnya kuil-kuil Hindu Tamil dibangun di areal-areal perkebunan tembakau dimana pekerja migran Tamil beragama Hindu banyak bekerja”. Pada masa itu pekerja Tamil mendirikan bangunan kuil sederhana dari kayu di sekitar bangsal-bangsal tempat mereka tinggal di area kebun, dan pada perkembangan berikutnya sebagian besar kuil-kuil itu direnovasi menjadi bangunan permanen dengan arsitektur dan dekorasi yang khas. Kuil-kuil tersebut sekaligus berfungsi sebagai kesinambungan identitas kultural bagi orang-orang Tamil (A. Mani, 1993). Seorang informan menuturkan bahwa pemilik perkebunan tembakau di masa lalu senang memfasilitasi keberadaan kuil Hindu Tamil karena kebanyakan mereka memuja dewi Mariamman yang diasosiasikan sebagai dewi hujan”

Warga Hindu pada umumnya menjadi bagian dari Perhimpunan Shri Mariamman kuil maupun kuil-kuil Hindu Tamil lainnya, penganut Buddha di masa lalu berhimpun dalam organisasi Adi-Dravida Sabah dan beberapa vihara (Bodhi Gaya, Lokasanti, Ashoka), orang Tamil muslim pernah memiliki perkumpulan yang disebut South Indian Moslem Foundarion and Welfare Committee yang dibentuk pada 1887 dan memiliki dua masjid yang berlokasi di kawasan “Little India” kota Medan yang dibangun sejak akhir abad ke-19. Sementara itu, orang Tamil yang beragama Kristen dan Katolik diperkirakan memiliki bangunan gereja mereka di kota Medan sejak tahun 1912 (lihat A. Mani, 1993).

Kota Medan dan beberapa kora kecil di sekitarnya seperti Pancur Batu, Binjai, dan Lubuk Pakam pada awalnya adalah areal perkebunan. Kota Medan misalnya, merupakan pusat perkebunan tembakau Deli Maatscappij, perusahaan yang didirikan oleh Jacob Nienhuys.

Dalam tulisannya A. Mani menyebutkan sekitar 50 lokasi perkebunan dimana terdapat kuil-kuil Hindu Tamil di luar kota Medan, yang mencakup wilayah-wilayah kabupaten/kota yang sekarang bernama Deli Serdang, Tebing Tinggi, Serdang Bedagai, Pematang Siantar, Asahan, dan Langkat. Diperkirakan tidak kurang dari 75 kuil Hindu Tamil yang masih eksis saat ini di wilayah Sumatera Utara”, yang sebagian besar diantaranya berlokasi di daerah- daerah perkebunan”. Khusus di Kota Medan, terdapat 25 kuil Hindu Tamil yang terdaftar resmi di kantor Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), seperti terlihat pada Tabel 1. Tetapi dalam kenyataannya masih banyak kuil- kuil Hindu Tamil lainnya yang belum tercatat dalam daftar PHDI tersebut”.

Kuil Shri Mariamman di Bekala Rubber Estate, yang sebelumnya adalah perkebunan tembakau, berlokasi sekitar 11 Km di selatan kota Medan, diperkirakan merupakan kuil Hindu Tamil yang paling awal dibangun yaitu sekitar tahun 1876 (A. Mani, 1993). Kemudian, kuil Shri Mariamman dengan pekarangan yang cukup luas dan sekarang berada di tengah kota Binjai tercatat didirikan sejak 1880″. Sementara itu, kuil Shri Mariamman yang berada di kawasan “Little India” kota Medan didirikan pada tahun 1884 dan sudah mengalami beberapa kali renovasi”. Kuil lainnya di kota Medan yang juga didirikan pada masa kolonial adalah Kuil Kaliamman yang berjarak sekitar 100 meter dari kuil Shri Mariamman, dan kuil Thandayuthapani Temple yang didirikan pada 1918 oleh orang-orang chetty dan sekarang sudah berubah nama menjadi Kuil Sree Sopramaniam Naggarattar, terletak di Jalan Kejaksaan.

Pada perkembangan selanjutnya, banyak kuil-kuil Hindu Tamil di kota Medan yang dibangun dengan inisiarif dan biaya dari keluarga-keluarga Tamil yang mampu secara ekonomi. Rumah kediaman para keluarga tersebut biasanya didirikan di sekitar kuil dan pengelolaan kuil dilakukan oleh kerabat keluarga pendirinya”. Pada dasarnya setiap kuil terbuka untuk digunakan sebagai tempat sembahyang bagi orang-orang Hindu Tamil darimana pun mereka datang, bahkan orang-orang Tionghoa dan orang Punjabi juga kadangkala melakukan sembahyang di beberapa kuil Hindu Tamil”.

Bangunan kuil Hindu memiliki corak arsitektur yang khas, seperti umumnya kuil-kuil Hindu di India, terutama pada bagian depan atas berupa struktur piramida berukir yang dipenuhi dekorasi patung-patung dengan beragam figure dan ekspresi. Demikian juga pada bagian interior kuil khususnya pada ruangan yang dianggap suci dimana arca para dewata ditempatkan. Tidak sembarang tukang yang bisa mengerjakan pembangunan kuil dengan corak khas itu, sehingga pada beberapa kasus pembangunan kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya, proses pembuatan patung-patung dan lukisan di interior dan eksterior kuil dikerjakan oleh ahli yang didatangkan langsung dari India atau negara lain”.

Komunitas Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya masih banyak yang terhubung dengan pendeta dan komunitas Hindu Tamil di negara lain seperti Malaysia, Singapura dan India. Beberapa kuil yang memiliki kemampuan dana dan jaringan luas biasa mengundang pendeta dari negara lain untuk memimpin acara-acara ritual atau perayaan besar di kota Medan. Ritual penyucian kuil Shri Mariamman Kampung Durian pada 2003 misalnya dilakukan dengan menghadirkan pendeta dari Malaysia, dan acara serupa yang akan dilaksanakan di Kuil Shri Bhatara Kaliamman Kampung Lalang pada Januari 2023 juga akan menghadirkan pendeta dari luar negeri”. Pendeta Hindu Tamil di kota Medan, sebagaimana juga warga komunitas Tamil pada umumnya di daerah ini, tidak lagi menguasai bahasa Tamil dengan baik, sehingga menghadirkan pendeta dari luar negeri yang fasih memimpin ritual dalam bahasa Tamil maupun Sanskerta menjadi salah satu pilihan.

Keragaman nama kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya juga menggambarkan variasi orientasi pemujaan umat Hindu yang beribadah di kuil-kuil itu. Penamaan itu, berdasarkan penuturan salah seorang informan”, berkaitan dengan figure “istana dewata” yang paling berkesan bagi tokoh pendirinya maupun komunitas yang beribadah di kuil itu. Misalnya, kuil- kuil yang bernama Kaliamman mengindikasikan bahwa Dewi Kali merupakan figure dewata yang terutama menjadi fokus pemujaan pada kuil-kuil itu, dan dengan nama yang lebih spesifik lagi, misalnya dengan penamaan Bathari atau Badrakali, hal itu mengindikasikan image atau manifestasi tertentu dari Dewi Kali yang karakternya sesuai dengan nama itu. Berdasarkan keragaman nama- nama kuil tersebut, penulis mencoba memetakan orientasi pemujaan dewata pada kuil-kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya seperti terlihat pada patung-patung yang ada sekarang. Sementara itu, proses renovasi kuil Shri Bhatara Kaliamman di Kampung Lalang yang baru selesai, dan akan diresmikan melalui upacara penyucian kuil (Kumbhabisegam) pada Januari 2023, dilakukan oleh tukang-tukang lokal orang Tamil yang dulu ikut membantu tukang dari India yang mengerjakan renovasi kuil Shri Mariamman.

Gambar kuil Hindu Tamil terlihat bahwa mayoritas kuil-kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya berorientasi pada pemujaan Dewa Siva dan lebih spesifik lagi pada figure-figure sakti-nya Dewa Siva yaitu dewi-dewi atau Mahadevi. Merujuk penggolongan tiga aliran utama Hinduisme kontemporer seperti disebutkan oleh Aditi (Aditi, 2014), dapat dikatakan bahwa sebagian besar kuil-kuil Hindu Tamil yang ada di wilayah ini merupakan pengikut tradisi Saktisme, yang lebih berorientasi pada pemujaan sosok para dewi atau Mahadevi (“mother goddess’ atau “the feminine force”), yang salah satu manifestasi sakti-nya Siva dikenal dengan nama Durga”. Kuil-kuil yang dimaksud termasuk dalam terma kuil Mariamman dan kuil Kaliamman serta kuil Parameshawari dan kuil Maha Lakshmi.

Di luar kuil-kuil yang berorientasi pada “dewi ibu” tersebut, pemujaan pada beberapa kuil Hindu Tamil lainnya di kota Medan berorientasi pada avatara-nya Dewa Siva seperti Ganesha (Kuil Sithi Vinayagar), Murugan (kuil Shri Murugan Alamayam dan Sree Sopramaniam Naggarattar), dan Hanuman (kuil Shri Hanuman). Terdapat satu kuil yang berorientasi langsung memuja Dewa Siva yaitu Kuil Shiva Shakti di kawasan Medan Polonia. Sementara itu, kuil yang fokus pada pemujaan pendampingnya Dewi Durga”, yaitu figure Muniandi bersama Marhurai Veeren dan Sangeli, terdapat pada kuil Shri Muniandi yang berlokasi di Pasar Muara Takus. Sejauh yang diketahui, hanya ada satu kuil di kota Medan yang berorientasi pada pemujaan dewa Wisnu, yaitu kuil Shri Balaji Venkateshwara yang berada di kawasan Padang Bulan.

Meskipun setiap kuil diberi nama sesuai dengan dewa atau dewi tertentu, bukan berarti bahwa hanya figure itu yang dipuja dalam aktivitas peribadatan di kuil. Di setiap kuil selalu ada arca-arca yang merepresentasikan para dewa atau dewi yang dikenal dan dipuja secara umum oleh umat Hindu. Namun kita dapat mengenali dewa atau dewi yang menjadi pusat orientasi pemujaan di kuil itu berdasarkan tata letak arca-arca para dewata tersebut di ruang-ruang suci kuil. Pada umumnya arca dewata yang menjadi pusat orientasi pemujaan ditempatkan di ruang suci bagian tengah, sejajar dengan tiang bendera yang berdiri tegak di bagian depan ruang-ruang suci tersebut. Penempatan arca pada Kuil Shri Mariamman Jl. Teuku Umar Medan (Gambar 2 & 3) dan Kuil Shri Jaya Singgama Kali (Gambar 4) di bawah ini dijadikan sebagai contoh.

Di kuil Shri Mariamman terdapat lima ruang suci dimana arca dewata ditempatkan. Gambar 2 difokuskan pada tiga ruang suci yang berada di bagian tengah. Posisi ruang suci yang berada di depan tiang bendera ditempati oleh arca Dewi Mariamman (tengah), Ganesha (kiri) dan Murugan (kanan). Dua ruang suci lainnya (lihat Gambar 3) pada sisi paling kiri (tidak terlihat) ditempati arca Siva, sedangkan paling kanan ditempati arca Maha Vishnu. Penempatan dewi Mariamman pada ruang suci paling tengah di kuil ini menandakan pusat orientasi pemujaan kepada “dewi ibu” di kuil ini, meskipun dewa-dewa lain juga dipuja dan arcanya ditempatkan di ruang-ruang suci. Sementara itu, pada bagian atas dinding bangunan kuil sisi kiri ditempatkan patung dewa Siva, Brahma dan Wisnu, sedangkan padasisi kanan dinding kuil ditempatkan patung Sri Narayanan dan dua pengawalnya.

Di kuil lainnya, yaitu kuil Shri Jaya Singgama Kali (Gambar 4), susunan tempat arca-arca dewata adalah sebagai berikut: pada posisi paling tengah ditempatkan Dewi Durga, di sebelah kanannya masing-masing arca Ganesha, Siva dan Lakshmi, sedangkan di sisi kirinya ditempatkan arca Saraswati, Murugan dan Hanuman. Pada sisi lain dari kuil ini ditempatkan patung dewi Durga bertangan delapan memegang senjata, dengan ekspresi mata melotot, bersama hewan singa sebagai kenderaannya (ciri khas kuil Singgama).

Di semua kuil Hindu Tamil yang ada di kota Medan dan sekitarnya terdapat dua patung yang ditempatkan di kedua sisi pintu masuk yang merupakan figure pengawal bagi kuil. Di beberapa kuil, pada halaman depan atau samping juga terdapat beberapa situs yang menjadi objek penghormatan ketika mau memulai kegiatan sembahyang. Di bagian depan kuil Shri Jaya Singgama Kali, misalnya, terdapat arca batu yang melambangkan empat figure pengawal kuil yaitu Muniandi, Wiren, Sangeli dan Sagema (ular kobra). Hal yang sama ditemukan di kuil Shri Maha Lakshmi yang berada di Glugur Rimbun, namun posisinya berada di sisi kanan kuil. Di tempat ini juga terdapat situs-situs lain yang bernama Ayya Sangili Karuppan Samy, arca lingam yang menyimbolkan dewa Siva, yang semuanya ditempatkan di luar bangunan utama kuil. Sementara itu, arca Kali Amma ditempatkan di ruang kecil yang letaknya di sisi kiri dan menyatu dengan bangunan kuil. Kalau pada kuil-kuil yang disebutkan di atas figure Muniandi, Wiren dan Sangeli dibuat di luar ruangan utama kuil, sebaliknya, di Kuil Shri Muniandi, ketiga figure itu justru berada di dalam bangunan utama kuil dan menjadi fokus persembahyangan. Di antara arca Muniandi dan Wiren ditempatkan trisula sebagai simbol dewi Siva dan diatasnya tergantung foto dewi Durga bertangan delapan dan hewan singa.

Dengan uraian diatas penulis ingin menggambarkan variasi orientasi pemujaan dewata pada kuil-kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnta yang terlihat dari susunan penempatan arca-arca dewata pada ruang-ruang suci kuil. Variasi juga terlihat dari figure-figure yang ditempatkan di bagian dalam kuil tapi tidak di ruang suci, atau ditempatkan di luar ruang utama kuil. Penempatan arca pada posisi tengah ruang suci kuil menggambarkan orientasi dewata yang dijadikan focus pemujaan. Sementara itu, ekspresi-ekspresi patung maupun lukisan dewata yang ditempatkan di sekeliling kuil menggambarkan image sosok dewata yang dibangun dalam ritual pemujaannya. Pada bagian berikut ini diuraikan bagaimana ekspresi-ekspresi dan interpretasi mengenai figure dewi Durga pada beberapa kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya.

Ritual Puja Durga di Kuil-kuil Hindu Tamil

Salah satu dewi yang paling mengesankan dan memiliki kehebatan serta terkenal dalam kepercayaan Hindu adalah Dewi Durga, yang secara mitologis menjalankan fungsi melawan setan atau raksasa yang mengancam keseimbangan kosmos. Dalam perannya tersebut, Durga dilukiskan sebagai ratu perang yang hebat dengan banyak tangan yang masing-masing memegang senjata. Dengan mengendarai singa, ia menjadi sosok yang tidak bisa dihindari dalam pertempuran. Mahisa, yaitu sosok setan atau raksasa yang menjelma sebagai kerbau raksasa, menjadi musuh utama yang harus dilawan kemudian dikalahkan oleh dewi Durga. Karena kemampuannya mengalahkan Mahisa maka dewi Durga dijuluki sebagai Durga Mahisa-mardini, yang bermakna Durga si pembunuh Mahisa (Kinsley, 1986).

Navaratri

Umat Hindu pengikut Saktisme memiliki perayaan tahunan untuk memuja Mahadevi, yang dilaksanakan pada bulan Asvina (Purattasi menurut kalender Tamil), yaitu antara September-Oktober. Mahadevi yang dimaksud adalah Durga, sosok yang dianggap sebagai ibu dari segala ciptaan yang dengan kekuatannya memelihara semua jagad raya (Rodrigues, 2003). Untuk mengenang perjuangan Mahadevi melawan Mahisa, maka setiap tahun dilaksanakan ritual puja Durga yang berlangsung sembilan malam (dinamakan Navaratri) dan ditutup pada malam kesepuluh untuk merayakan kemenangan Dewi Durga melawan (disebut acara Vijaya Dhasami). Kemenangan yang disimbolkan dengan membakar Asura, bermakna kemenangan “darma melawan adarma”. Tradisi puja Durga pada bulan Asvina/Purattasi juga dilaksanakan oleh umat Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya, tapi tidak semua kuil melaksanakan ritual Navaratri. Semua kuil Shri Mariamman merayakannya, tapi kuil-kuil lain seperti Shri Sithi Vinayagar, Shri Murugan Alayalam, Shri Hanuman dan kuil-kuil Shri Singgama Kali tidak melaksanakannya”.

Penulis berkesempatan menghadiri tiga dari sembilan malam Navaratri 2022 di kuil yang berbeda, dan menghadiri acara Vijaya Dhasami di kuil Shri Mariamman Kampung Durian. Pelaksanaan puja Durga pada Navaratri di kuil-kuil tersebut secara umum hampir sama. Sebelum masa Navaratri mulai, setiap kuil sudah membuat persiapan (membentuk panitia, mengumpul uang, membeli peralatan dan bahan-bahan upacara, menentukan pendeta yang memimpin ritual, dsb). Acara dilaksanakan antara pukul 7 – 9 malam, dilakukan secara kolektif di kuil, diisi dengan bajen (menyanyikan kidung suci), memuja nama para dewata, mendengarkan ceramah singkat (darmawacana) oleh pendeta, pengurus kuil atau tamu yang diundang, kemudian makan bersama. Hal yang menarik, pengadaan “obiyem’ (konsumsi untuk makan bersama) pada tiap malam disiapkan oleh keluarga-keluarga yang ingin berderma. Tapi kebutuhan konsumsi pada malam kesepuluh (vijaya dhasami) dikumpulkan bersama-sama oleh panitia.

Rangkaian perayaan puja Durga dalam Navaratri di kuil-kuil yang melaksanakannya diisi dengan penggambaran Durga sebagai sosok dewi yang cantik, memiliki kekuatan melindungi selayaknya seorang ibu yang rela berkorban apapun untuk melindungi anaknya, memberikan kesejahteraan dan membekalinya dengan pengetahuan untuk bisa menghadapi masa depan?s. Durga dipahami sebagai perwujudan Parvati, pendamping Siva. Acara sembahyang di kuil selama Sembilan malam terbagi atas tiga sesi, yaitu (a) pemujaan dewi Durga pada tiga malam pertama, (b) pemujaan dewi Lakshmi pada tiga malam kedua, dan (c) pemujaan dewi Saraswati pada tiga malam ketiga”. Pemujaan selama Sembilan malam Navaratri, menurut salah seorang informan? pada dasarnya ditujukan semua untuk dewi Durga. Dengan kata lain, Navaratri merupakan pemujaan dewi Durga dalam Sembilan wujudnya”.

Perayaan penutupan Navaratri pada malam kesepuluh dilakukan dengan membakar boneka Asura, sebagai simbol kemenangan Durga membunuh Mahisa, kemenangan kebaikan melawan kejahatan, atau kemenangan darma melawan adarma. Acara Vijaya Dhasami di Kuil Shri Mariamman Kp Durian ditutup dengan pawai mengarak boneka Asura keliling di jalan kota yang kemudian diakhiri dengan pembakaran setelah kembali ke kuil. Hal yang sama dilakukan di Kuil Shri Parameshawari. Namun di beberapa kuil seperti Kuil Shri Mariamman Jl Teuku Umar dan Shri Mariamman Binjai, pembakaran langsung dilakukan di depan kuil setelah acara-acara ritual dan darmawacana selesai. Sementara itu, puncak acara navaratri di kuil Shri Maha Lakshmi Glugur Rimbun tidak dilakukan pada malam kesepuluh, tetapi dilakukan pada malam ke-6 yaitu malam akhir sesi tiga malam kedua pemujaan dewi Lakshmi.

Dewi Durga dan Kali di Kuil Singgama dan Bathara

Devi Paryati yang di dalam image kuil-kuil Shri Mariamman digambarkan sebagai dewi ibu berwajah cantik, yang memiliki kekuatan luar biasa dalam wujudnya sebagai dewi Durga, kemudian diekspresikan dengan wajah penuh amarah dalam wujud dewi Kali. Merujuk Kinsley (1986), dewi Kali selalu digambarkan sebagai sosok berwajah buruk dan menakutkan, berkulit hitam, telanjang, dan rambut panjang acak-acakan. Kali digambarkan memakai kalung potongan kepala manusia, beranting mayat anak-anak dan bergelang ular, bertaring panjang dan tajam, berkuku panjang mencakar, dan mulut yang selalu berlumuran darah. Ia juga memiliki kesukaan yang membuat sosoknya lebih seram, yaitu suka meminum darah segar musuhnya yang terbunuh dalam pertempuran, suka berdiam di pemakaman, duduk di atas mayat dengan ditemani serigala dan hantu. Sosok dewi Kali sama dengan Durga yang digambarkan Ariati (n.d) dan Santiko (1997) di Jawa dan Bali.

Studi lapangan singkat yang dilakukan penulis di kuil-kuil Hindu Tamil di kota Medan dan sekitarnya tidak memperoleh gambaran yang memadai tentang sosok dewi Durga dalam wujud Kali, khususnya melalui pengamatan ritual yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, gambaran mengenai figure Durga dalam wujud Kali dalam tulisan ini hanya mengandalkan keterangan informan dan pengamatan terhadap ekspresi-ekspresi visual melalui arca, patung dan lukisan-lukisan yang ditemukan di kuil-kuil yang dikunjungi.

Figure dewi Kali, menurut salah seorang informan”, merupakan ekspresi marahnya dewi Durga. Wujudnya yang penuh amarah ketika membunuh raksasa Mahisa itulah ekspresi Bathara Kali. Dalam keadaan tidak marah, dewi itu berwujud Parvati, Lakshmi atau Saraswati, tapi ketika ia memanifestasikan diri sebagai sosok yang memiliki kekuatan luar biasa maka ia berwujud Durga, dan ketika penuh amarah berubah wujud menjadi Kali. Perubahan wujud Durga yang masih menggunakan “cara halus’ menjadi Kali yang menyeramkan adalah untuk mengimbangi sosok raksasa yang juga berwajah menyeramkan. Figure dewi Kali tidak ditemukan di kuil-kuil Shri Mariamman, namun di kuil Shri Maha Lakshmi Glugur Rimbun ia hadir dalam bentuk arca Kaliamma yang ditempatkan di luar ruangan utama kuil. Kuil-kuil yang menggunakan terma Kali, baik Singgama maupun Bathara, menempatkan sosok Kali dalam ekspresi yang berbeda-beda. Berikut ini disajikan gambaran visual dewi Durga dan Kali di kuil-kuil Singgama Kali dan Bathara Kali di Medan.

Kuil Singgama Kali

Terdapat empat kuil Singgama Kali di kota Medan, masing-masing di kawasan Polonia, jalan Juanda, dan Sei Agul. Keempat kuil tersebut relatif kecil dibandingkan dengan kuil-kuil Shri Mariamman. Di kuil Shri Jaya Singgama Kali, terdapat figure dewi Durga berupa patung bertangan delapan memegang senjata, berpakaian dominan merah, mara melotot namun masih terlihat anggun sebagai sosok “dewi ibu’, dan ia berdiri di depan singa yang menunjukkan ekspresi siap menerkam (lihat Gambar 11). Sosok dewi Durga dengan ekspresi marah dan menunjukkan kekuatannya terlihat pada figure yang ditemukan di kuil Shri Maha Singgama Kali di Polonia (Gambar 12).

Kuil Bathara Kali

Sejauh pengamatan penulis, terdapat lima kuil Kaliamman di kota Medan dan dua diantaranya menggunakan terma Bhatara, yaitu satu di jl Sei Beluru (ridak terdaftar di PHDI Kota Medan) dan di Kampung Lalang. Kuil di Jl Sei Belutu menampilkan dewi Kali dengan kenderaan harimau, sedangkan kuil di Kampung Lalang menampilkan dewi Kali dengan kenderaan singa. Figur dewi Bathara Kali di kuil Kampung Lalang dapat ditemukan pada bagian struktur trapezium di atas kuil. Beragam ekspresi dewi Kali juga terlihat dari lukisan-lukisan yang dibuat di dinding luar kuil. Kuil ini baru selesai direnovasi, dan akan melaksanakan ritual Kumbhabisegam pada Januari 2023. Dekorasi patung di bagian atap struktur trapezium dikerjakan oleh tukang-tukang lokal warga Tamil yang pernah menjadi asisten tukang asal India ketika merenovasi Kuil Shri Mariamman Medan. Sedangkan lukisan dibuat berdasarkan arahan dari pendeta kuil.

Berdasarkan temuan lapangan dan hasil wawancara dengan sejumlah informan, tidak diperoleh suatu gambaran dimana pemujaan dewi Kali di kuil- kuil Hindu Tamil terkait dengan aspek-aspek magic atau nuansa tantrik. Ada beberapa perayaan penting bagi umat Hindu yang berlangsung setiap tahun seperti Deepavali, Thaiposam, Adi Trivila, yang berkaitan dengan pemujaan dewata tertentu. Pada beberapa perayaan, seperti Thaipusam, misalnya, yang bertepatan dengan kelahiran dewa Murugan, pada sebagian komunitas Tamil dirayakan dengan acara-acara persembahan tarian, persembahan makanan dan mortifikasi diri (seperti cucuk lidah dsb).

Sementara itu, komunitas Tamil yang memuja dewi Kali memiliki perayaan Aditrivila yang jatuh pada sekitar bulan Agustus, sebagai hari kemenangan dewi Kaliamma, dimana tradisi mortifikasi diri juga dipraktikkan. Selain itu, ada juga praktik pemotongan kambing sebagai bentuk persembahan kepada dewata yang dilakukan di sekitar kuil. Tradisi pemotongan kambing untuk persembahan ini juga dipraktikkan di kuil Shri Muniandi. Tradisi ini juga dilakukan di kuil Shri Jaya Singgama Kali, pada perayaan Thaipusam. Menurut penjelasan salah seorang informan yang tinggal di dekat kuil, pemotongan kambing dipersembahkan kepada pengawal dewi Durga, yaitu Muniandi, Mathurai Wiren dan Sangeli. Pada saat pemotongan kambing dilakukan, kuil harus ditutup untuk menjaga kesucian kuil.

Tradisi mortifikasi diri dengan cucuk lidah dan persembahan kambing tidak dilakukan oleh komunitas Hindu Tamil di kuil Shri Mariamman. Menurut seorang informan, praktik itu ditiadakan sejak 1970an atas anjuran dari pandita S. Marimutu, dengan tujuan agar komunitas Tamil lebih memfokuskan perhatian pada kemajuan pendidikan.

Beberapa warga Hindu Tamil di kuil Shri Singgama menuturkan bahwa dewi Durga dipandang sebagai sosok yang memiliki kekuatan dan pengaruh bagi dirinya, sulit untuk melukiskannya. Sosok dewi Kali baginya lebih “menakutkan”, artinya takut salah-salah bersikap atau bertindak yang bisa mendatangkan bahaya bagi diri sendiri. Sosok dewi Durga maupun Kali tidak pernah dipuja di rumah, karena ia hanya dipuja di kuil. Di rumah, orang boleh sembahyang memuja dewi Lakshmi, Parvati atau yang lain, tapi dewi Durga tidak pernah dipasang foto, gambar atau lukisannya di dalam rumah. Ia hanya disembah di kuil.

Memasuki kuil untuk sembahyang memuja dewi Durga dan Kali harus bersih diri, perempuan tidak sedang menstruasi, tidak boleh memakan yang amis-amis, tidak boleh mengkonsumsi daging, harus vegetarian, minimal untuk beberapa waktu sebelumnya. Itu semua merupakan bagian dari cara menghormati dewi Durga dan Kali, seperti dituturkan oleh informan”.

KESIMPULAN

Komunitas Hindu Tamil di Medan dan sekitarnya memiliki orientasi pemujaan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik kuil dimana mereka sembahyang. Sebagian besar kuil-kuil Hindu Tamil di kota Medan merupakan pengikut tradisi Saktisme yang menempatkan Mahadevi sebagai pusat orientasi pemujaan. Mahadevi dalam wujud Parvati, yang juga disebut Mariamman, atau dewi ibu, merupakan figure utama pada kuil-kuil Mariamman. Sementara itu, Mahadevi dalam wujud dewi Durga menjadi focus pemujaan pada kuil-kuil Singgama Kali, sedangkan dalam wujudnya sebagai dewi Kali menjadi focus utama pemujaan pada kuil-kuil Kaliamman.

DAFTAR PUSTAKA

A. Mani. (1993). Indians in North Sumatera. In K $ Sandhu & A Mani (Ed.),
Indian Communities in southeast Asia (pp. 48-97). Institute of Southeast
Asian Studies. Times Academic Press.

Aditi, D. (2014). In Praise of Adya Kali Approaching the Primordial Dark
Goddess Through the Song of Her Hundred Names by Aditi Devi, Dawn
Cartwright (z-lib.org).epub.pdf. Hohm Press. http://www.hohmpress.com

Ariati, N. W. P. (n.d.). Mitos dan Pemujaan Bathari Durga: India, Jawa dan
Bali.

Harahap, A. (2019). Orang India Di Perkebunan Tembakau Deli: Narasi Foto,
1872-1900. Jasmerah: Journal of Education and Historical Studies, 12),
63. https://doi.org/10.24114/jasmerah.v1i2.14548

Harahap, A., Medan, U. N., & Medan, K. (2019). Orang Chetti di Medan Pada
Abad Ke-19-20: Rentenir dan Si Perantau dari India. Prosiding Seminar
Nasional Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, 3, 714-716.

Kinsley, D. (1986). Hindu Goddesses. In Hindu Goddesses. University of
California Press. htrps://doi.org/10.1525/9780520908833

Lubis, Z. B. (2005). Kajian Awal tentang Komunitas Tamil dan Punjabi di
Medan: Adaptasi dan Jaringan Sosial. Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial Dan Budaya, 3), 136-146.

Lubis, Z. B. (2009). Komunitas Tamil dalam Kemajemukan Masyarakat di
Sumatera Utara.

Muhammad Rivai, Eron L Damanik, A. harahap. (2021). Tamils Identity in
Early Twentieth Century Medan. JCTESC. https://doi.org/10.4108/eai.31-
8-2021.2313800

Riswan, M. (2021). Etnik India Tamil. In A. H. Wan Syaifuddin, I Wayan
Dirgeyasa (Ed.), Mutiara Etnik di Sumatera Utara (pp. 435-444).

Rodrigues, H. P. (2003). Ritual Worship of the Great Goddess: The Liturgy of
the Durga Puja with Interpretations. State University Of New York Press.

Santiko, H. (1997). The Goddess Durga in the East-Javanese Period. Asian
Folklore Studies, 562), 209. hrrps://doi.org/10.2307/1178725

Sinar, T. L. (2002). Sejarah Medan Tempo Doeloe (cetakan ke).

Subbarayalu, Y. (2002). Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus, Suatu
Peninjauan Kembali. In Claude Guillot (Ed.), Lobu Tua Sejarah Awal
Barus (pp. 17-26).

Takari, M. (2013). Mengenal Budaya Masyarakat Tamil di Kota Medan.
Seminar Sejarah Dan Kebudayaan India Tamil Di Kota Medan.

Utomo, B. B. (2016). Orang Tamil di Tanah Andalas di Masa Lampau. In
Ichwan Azhari & Apriani (Ed. ), 80 Tahun Arkeolog Dr.Edmund Edwards
McKinnon, Perintis Riset Kota Cina Sebagai Situs Internasional di Medan
(pp. 35-60). Unimed Press.