I Gde Agus Darma Putra
Universitas Hindu Indonesia Denpasar
Email: dharmaputra432@gmail.com
Bhatari Durga tidak disebut secara eksplisit di dalam Prasasti Kehen C. Istilah yang muncul adalah Bhatara Guru yang merujuk kepada seorang perempuan bernama Sri Adi Kunti Ketana. Perempuan bergelar maskulin (bhatara) bukan feminim (bhatari). Dugaan bahwa ada pengkultusan terhadap Bhatari Durga di dalam Prasasti Kehen C didapat melalui Puja Caru berupa Pamunuh Kbo Cmarn. Namun sayang sekali, dugaan bahwa aktivitas religius ini merupakan legitimasi terhadap pemujaan Durga tidak dapat dibuktikan secara kuat.
Kata kunci: Pamunuh Kbo Cmami, Durga, Paja Caru, Pura Kehen
Bhagari Durga tidak disebut secara eksplisit di dalam Prasasti Kehen C yang diajukan sebagai data utama dalam tulisan ini. Istilah yang muncul, malah Bhatara Guru yang merujuk kepada seorang perempuan bernama Sri Adi Kunti Ketana (Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pendapat Ariati (2016: 184) yang menerangkan bahwa “However, we do not find the names of women of royalty recorded in any Balinese inscriptions, yet with the appearance of Mahendradatta not only do we find her name recorded, but we find it given a more prominent position than that of her husband Udayana.” Tidak sepenuhnya tepat). Gelar Bhatara Guru yang dipakai oleh perempuan jelaslah bukan suatu hal yang biasa dan umum. Sebab gelar itu merupakan nama lain bagi Siva yang merupakan simbol kemaskulinan. Penyebutan gelar ini bagi Sri Adi Kunti Ketana sudah merupakan suatu masalah tersendiri.
Lebih-lebih dalam prasasti yang samap, gelar lain yang disebutkan adalah Bhatara Paramesvara Sri Virama atau juga bergelar Sri Danadirgjalaficana. Gelar Paramesvara juga merujuk kepada ke-Siva-an” Sebuah gelar yang digunakan oleh raja-raja tertentu, umumnya ikut menandai pula religi yang dianut oleh raja tersebut. Dengan begitu, jelas tidak ada jejak sama sekali berdasarkan dua gelar yang disebutkan itu berhubungan secara langsung dengan pemujaan Durga.
Jejak ke-Durga-an diduga eksis berdasarkan ritus Pamunuh Kbo Cmam yang disebutkan di dalam prasasti Kehen C. Pamunuh adalah kata Jawa Kuno yang berakar dari kata dasar vwnuh yang berarti sembelih, bunuh, akhir, potong.” Prefiks pa- membentuk verba aktif transitif pamunuh yang berarti menyembelih, membunuh, mengakhiri, memotong. Sedangkan Kbo Cmam
adalah kerbau hitam. Ritual menyembelih kerbau hitam inilah yang diduga sebagai jejak pemujaan Durga di Hyam’ Kahan. Hyam Kahan diduga adalah nama lain Pura ehen sekarang.
Namun apakah ritual ini bisa meligitimasi bahwa di Hyam Kahan memang dilakukan pemujaan Durga? Sampai saat ini, data-data yang berkenaan dengan Pamunuh Kbo Cmom baru ditemukan dari dua sumber. Pertama adalah sumber prasasti yakni Prasasti Kehen C. Kedua adalah praktik ritual Ngusabhaa pada Purnama Kalima. Oleh sebab itu kedua data ini yang dijadikan rujukan untuk melihat apakah Pamunuh Kbo Cmam itu dapat menjadi suatu bukti pengkultusan Durga pada masa Bali Kuno sampai sekarang.
Kerangka berpikir yang digunakan dalam tulisan singkat ini sangat sederhana. Pertama-tama adalah melakukan studi pustaka untuk memeriksa beberapa hasil studi yang telah dilakukan berkaitan dengan Durga, Prasasti Kehen C, dan Pamunuh Kbo Cmam. Ada beberapa sumber pustaka yang sejauh ini telah dikumpulkan seperti: Kedudukan Bharari Durga di Jawa Pada Abad X-XV Masehi, The Journey of A Goddes Durga In India, Java and Bali, Prasasti Bali 1, Epigraphia Balica I, dan Berita Penelitian Arkeologi No. 11. Sementara itu, hasil studi yang lain akan digunakan sebagai data penunjang.
Langkah-langkah epigrafi seperti analisis kritis ekstern terhadap prasasti tidak dapat dilakukan karena bukti fisik tidak dapat diakses. Namun hasil foto yang didapat dari koleksi Leiden dapat dimanfaatkan untuk melihat aksara serta iluminasi yang terdapat di dalam prasasti Kehen C. Dengan demikian, kritik intern dilakukan dengan melihat foto tersebut.
Interpretasi terhadap beberapa isi prasasti Kehen C dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah hermeneutik. Interpretasi yang dimaksud didasarkan atas aksara serta kandungan teksnya. Kandungan tekstual berupa Bahasa didedah dengan hermeneutika karena bahasa adalah penyusun utama dari sastra yang diinterpretasi, di mana makna disimpan. Senada dengan ungkapan Heideger, bahwa bahasa adalah tempat tinggal manusia (the house of being) (Ricoeur, 2014: 5). Oleh sebab itu, target utama dari teori hermeneutika dalam tulisan ini adalah bahasa sebagai rumah makna.
Prasasti berangka tahun 1126 Saka (1204 Masehi). Menggunakan aksara Bali Kuno dan berbahasa Jawa Kuno. Ditulis dalam tujuh baris (1v-3vJ, enam baris (4r-4v) dan lima baris (Sr) di atas plat tembaga. Prasasti berjumlah 5 lempeng,ditulis dari lempeng 1 verso (1v) sampai 5 recto (Sr). Ukuran prasasti tidak dapat diketahui dengan pasti. Tiga tulisan terdahulu tidak menyebutkan rincian ukuran prasasti.“ Sementara itu, keteraksesan fisik prasasti masih sangat minim. Karena itu dalam tulisan ini, deskripsi fisik prasasti tidak dapat dilakukan dengan maksimal, semisal memerinci panjang, lebar maupun ketebalannya. Namun, koleksi Universitas Leiden memberikan peluang untuk melihat mengenai beberapa hal yang terdapat dalam prasasti sebagaimana dapat dilihat pada foto berikut ini.
Bercak hitam terutama pada lempeng 1 verso baris ke-5, tampaknya adalah lubang. Di bagian margin kiri prasasti, terdapat figure yang dicurigai sebagai figur Harihara dengan ciri: figur dalam sikap berdiri samabamyga, berdiri di atas padma, bermata tiga, memiliki empat tangan (tangan kiri belakang membawa samikha bersayap, tangan kanan belakang membawa camara, dua tangan di depan melakukan mudra atau sikap tangan), bagian atas figure terdapat 3 gambar hiasan, dan figur ini dikelilingi oleh Prabha atau sejenis lingkar cahaya. Sementara Goris, mendeskripsikan sebagai berikut.
This edict mentions many names. Even after the recent remarks of’ Damais (Critique. p. 646) the family relation is not quite clear. It seems that the queen or King’s mother is called: Bhatara Guru Sri Adi (Adhi)
Kuntiketana. Her son is called: Sri Dhana-adhi raja lanicana and also Bhatara Parameswara Sri Wirima. The spouse of the king is Piduka Bhatari Sri Dharma Dewiketu. As Damais about SBK (Ip: 646) has remarked, Dhana-adhiraja is an epithet for Kuvera (king of abundance) and here it isused asa “nom d oriflamme” (emblem) for the king (the son). What is more important in this edict is the very extensive treatment of the cyclical feasts of the village of Bangli. All the temples are enumerated and the ceremonies for the Mountain temple (Hyang Vukir| in the 8th month are dealt with even more completely (EB XX, P. 58-59). The first bronze plate has a small gravure of a four-armed beardless Guru fin a “Majapahit” aurcole or prabha) (Goris, 1965: 43).
Figur di margin kiri prasasti itu disebut oleh Goris sebagai four-armed beardless Guru’ (Guru bertangan empat tanpa janggut). Figur Guru yang dimaksudkan oleh Goris kemungkinan adalah Bhatara Guru yang tidak berjanggut. Barangkali kecurigaan Goris tersebut didasarkan pada laksana berupa camara yang dipegang di tangan kanan belakang. Sayangnya figure Bhatara Guru atau Agastya yang dimaksudkan di atas, tidak bertubuh tambun. Oleh sebab itu, figur tersebut bukanlah Bharara Guru, tetapi figur Harihara yang ditandai dengan laksana-nya. Laksana yang dimaksud adalah camara (yang dipegang di tangan kanan sebagai ciri Siva dan sangka bersayap (yang dipegang di tangan kiriJ sebagai ciri Wisnu. Siva sebagai Hariharamirti atau Haryarddhamirti merupakan perwujudan Siva dan Visnu. Siva digambarkan sebagai bagian tubuh di sebelah kanan dan Visnu sebagai bagian tubuh sebelah kiri (Maulana, 1997: 75).
Prasasti ini memang menyebut tiga nama yakni Bhatara Guru Sri Adi Kunti Ketana, Bhatara Parametvara Sri Virama (atau Sri Danadi Raja Lafcana) dan Piduka Bhatari Sri Dana Devi Ketu. Tiga nama yang disebutkan itu, memang memiliki hubungan kekerabatan. Bhatara Guru Sri Adi Kuntiketana adalah ibu dari Bhatara Paramegvara Sri Virima. Hal ini dibuktikan dari frase pamalakunibu nira (lrl| (perintah ibunya). Maksudnya adalah perintah dari Bhatara Guru kepada Bhatara Paramesvara. Sedangkan Paduka Bhatari Sri Danaf Devi Ketu jelas adalah permaisuri (paramesvari| dari Bhatara Paramesvara. Kata paramesvari” muncul sebanyak tiga kali (4v2, 4v3 dan 4v4).
Penyebutan tiga nama dalam prasasti yang merujuk kepada raja sesungguhnya bukanlah suatu keistimewaan. Sebab prasasti Jaya Panus juga menyebutkan tiga nama yakni raja Jaya Parus beserta kedua istrinya. Nama-nama pejabat juga sangat sering disebutkan di dalam prasasti, tidak terkecuali prasasti kita ini. Oleh sebab itu, penyebutan nama-nama itu adalah suatu yang lazim semata. Menariknya, Goris menyebut prabha sebagai Sp apebit” aureole. Penyebutan ini pun tidak jelas apa maksudnya.
Isi prasasti sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dari form prasasti pada umumnya. Prasasti diawali dengan penyebutan tahun Saka yakni 1126 Saka. Tepatnya adalah saka 1126 vesaka masa tithi dasami sukla paksa, ma, ka, va, varanim kruvlut: yang kini dihitung jatuh pada 10 Mei 1204 Masehi. Tanggal itu sekaligus menjadi tonggak ulang tahun Kabupaten Bangli sekarang.” Prasasti lalu dilanjutkan dengan Bhatara Guru Sri Adi Kunti Ketana yang memerintahkan (Amarahakan| penduduk karaman i banli untuk berhenti
pergi (2r2. banti lunha) dari wilayahnya. Untuk mempertegas perintah itu, Bhatara Paramesvara Sri Virama dan permaisurinya yakni Paduka Bhatari Sri Dana Devi Ketu diperintahkan untuk mengawasinya. Selain berhenti pergi dari wilayahnya, karaman i banli juga diperintahkan untuk menambah jumlah Jataka (2r1. kamkon- vuvuhani jataka nira sam hyam mandala ri lokasarana) karena Sam Hyam Mandala di Lokasarana dinilai sepi dan kurang terawat.
Jataka11 adalah istilah untuk jabatan spiritual atau keagamaan (Zoetmulder dan Robson, 1995: 416, Goris, 1954: 253: Granoka, 1985: 49). Namun, jabatan spiritual dari sekte yang mana dan seperti apa masih belum jelas. Di Bali sendiri pernah berkembang beberapa aliran atau sekte, yaitu Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vesnava, Boddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, Sora dan Ganaparya |(Goris, 1974:12). Sayang sekali periodisasinya belum dapat ditelusuri dengan baik. Sementara itu, berdasarkan istilah Jataka, saya sempat menduga bahwa Jataka adalah jabatan spiritual sekte Buddha. Dugaan ini muncul karena ada teks Buddhis yang berjudul Jatakamala. Teks tersebut menceritakan kelahiran Buddha sebagai hewan sebelum bereinkarnasi sebagai Siddhartha Gaurama (bandingkan Kern, 1943). Dugaan ini juga berdasarkan kepada tinggalan candi tebing yang terdapat di seputar wilayah karaman i banli.
Candi tebing ini terdapat di wilayah Jehem. Hanya bentuk seperti dalam foto di atas yang tersisa. Di aliran sungai juga terdapat sisa-sisa runtuhan Candi. Dari segi bentuknya, jelaslah Candi tebing ini merupakan Candi yang diperuntukkan untuk memuja Buddha. Hal ini menandakan bahwa di daerah Bangli memang pernah ada suatu pemujaan yang dikhususkan kepada Buddha.
Selain dari istilah itu, mahzab yang berkembang pada abad ke-13 di Bangli juga dapat ditelusuri dengan melihat beberapa istilah yang digunakan sebagai gelar raja. Beberapa gelar yang digunakan ialah Bhatara Guru dan Bhatara Paramesvara, keduanya sangat dekat dengan Sivaistis. Nama dbhiseka dari Bhatara Paramesvara adalah Sri Danadi Raja Laficana. Sebelum menyebut nama &bhiseka, disebutkan mantra namasivaya (1vS-6. sira bhatara paramesvara Sri virima, ndmasivaya, sri danddi raja lahcana). Mantra ndmasivaya berarti “menyembah Siva. Mantra ini serupa dengan Siva Stava yang berisi pujian kepada dewa Siva (Goudriaan dan Hooykaas, 2004: 335-339).
Gelar Bhatara Guru Sri Adi Kuntiketana yang berkuasa penuh atas karaman i banli pada abad ke-13 juga beraroma Sivaistik. Gelar Bhatara Guru memang digunakan untuk menyebut Siva. Siva sendiri memiliki seribu nama. Gelar Bhatara Guru ini juga disebutkan dalam kakawin Sutasoma Ketika tokoh utama telah menerima mantra hrdhaya dharani dari Durga. Setelah menganugerahkan mantranya, Durga mengarahkan Sutasoma untuk pergi ke Gunung Sumeru untuk menemui Bhatara Guru (semeru giri raja rakva musiran ta dibyottama, nda yeka patapan bhatara guru siddha yogisvara (12.3.3-4) (Soewitosantoso, 1968: 20)
Dua gelar yang disebutkan di dalam prasasti itu saja telah menunjukkan bahwa raja dihormati sebagai Siva. Namun gelar Paramegvara sesungguhnya juga mengisyaratkan sesuatu yang lebih netral. Tidak saja merujuk kepada Siva, tetapi juga Visnu.
Prasasti Kehen C juga menyebutkan mengenai prj4 caru yang harus dilaksanakan oleh karaman 1 banli di bawah pengawasan Paramesvara. Menariknya, beberapa nama Hyam tersebut masih digunakan sampai sekarang.” Bila memang tempat suci yang masih menggunakan nama itu adalah Hyam yang dimaksud, artinya ada tiga Hyam yang masih dikenal sampai saat ini. Tiga nama Hyami itu ialah Hyam Kahon, Hyam Togal, dan Hyam Vukir. Hyam Kahon adalah Pura Kehen saat ini, Ayam Togal adalah Pura di Banjar Tegal, sedangkan Hyam Vukir adalah Pura Hyang Ukir di Bukit Bangli. Berdasarkan upacara tahunan di tiga Pura dan isi prasasti Kehen C, jelas bahwa ketiganya benar. Di Pura Kehen, pemujaan dilakukan setahun sekali pada Purnama Kalima. Sedangkan di Pura Hyang Ukir, pemujaan dilakukan pada Purnama Kaulu. Fakta ini juga dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menelusuri tempat-tempat Hyam yang dimaksudkan oleh Prasasti Kehen C.Khusus tentang pemujaan di Hyam Vukir, Prasasti Kehen C mencatat sebagai
berikut:
Lima nama desa disebutkan bertanggung jawab aras pemujaan di Hyam Vukir. Masing-masing mengeluarkan “iuran beras” (skw/|. Empat di antaranya masih bisa dikenali hingga saat ini. Hanya Simpa Bunut yang tidak bisa diidentifikasi, tetapi kuat dugaan bahwa Simpa Bunut adalah wilayah desa Sidem Bunut. Namun di dalam prasasti disebutkan bahwa Simpa Bunut datang dari arah /or vvatan (Timur Laut) ketika membayar iuran Purnama Kaulu ke Hyam Vukir. Lokasinya berbeda dari yang ditunjukkan oleh peta berikut.
Terdapat foto yang menunjukkan persebaran desa yang bertanggung jawab untuk pemujaan di Hyam Vukir. Informasi kedatangan setiap warga desa, dapat dikatakan tepat jika Hyam Vukir dijadikan poros atau pusat. Tentu saja,kecuali keterangan tentang Simpa Bunut yang dalam prasasti disebutkan berasal dari Timur Laut (lor vvatan|, sedangkan di pera terletak di Tenggara.
Perbedaan lokasi ini dapat dilacak dengan melakukan studi sejarah, khususnya di Sidembunut atau Simpa Bunut (Kehen CJ), yang juga disebut Simpat Bunut (Kehen AJ). Kajian sejarah dapat dilakukan dengan menelusuri sumber artefaktual dan tekstual. Sebagai bahan awal, dapat dimulai dengan membandingkan dua nama Sidembunut dalam dua prasasti yang berbeda
berikut ini.
Selain Simpa Bunut, Prasasti Kehen C juga memuat nama beberapa desa dan batas (sima| karaman i bangli. Batas-batas karaman 1 banli, menurut prasasti, dibagi menjadi delapan wilayah fasta desa). Batas di Timur Laut adalah sebuah tempat yang disebut Gulinggang. Di sebelah selatan Gulinggang, adalah Sumaniha. Di Sumaniha, ada seorang patirthan bernama Makara Dewi. Patirthan Makara Dewi adalah patirthan bagi Bharara Guru dan Sri Paduka
Paramesvari.
Jika kita datang ke Selatan dari gunung atau bukit, ada tempat yang disebut Jelit Pande. Di tempat ini terdapat sebuah goa yang bernama Guwa Mreku. Gua ini adalah pakacahan dari Parame$vari. Sayangnya, dalam Kamus Bali-Indonesia Kuna yang disusun oleh Tim (1985), kata pakacah dan kemungkinan akar kata tidak ditemukan. Jadi, terjemahan istilah ini belum selesai.
Di sebelah selatan Guwa Mreku terdapat tempat-tempat yang disebut Kajaksan, Salawungan, Tabu Pecuk, Patapan, dan Sambhawa. Di sebelah timur tempat-tempat tersebut terdapat sungai Er Banyu yang berturut-turut dengan Tegal Halangalang, Cahum, dan Susut. Di sebelah tenggara, ada sebuah tempat bernama Panunggekan. Di sebelah selatan ada Palak Pangawan Slat. Di sebelah barat daya, ada sebuah tempat bernama Tanah Pasih. Di sebelah barat terdapat sungai Er Sangsang, Sima Pringadi, Candi, Wukir Mangun, Talengis, Nasi Kuning, Er Sana. Di sebelah barat laut ada Siddhawaha. Di sebelah utara ada Bantas.
Pamunuh berasal dari kata vunuh yang berarti membantai, membunuh dan mengakhiri.” Kbo adalah kerbau. Sedangkan cmam berarti hitam. Pamunuh kbo cmam berarti membunuh kerbau hitam. Lebih tepatnya menyembelih kerbau hitam. Pamunuh kbo cmom yang dimaksudkan dalam tulisan ini berkaitan dengan prja caru yang musti dilaksanakan sebulan sekali sepanjang tahun di Ayam yang berbeda. Urutannya adalah Hyan: Hatu dan Hyam Pasok (Kasa), Hyam Paha Banli (Karo), Hyam Tgal (Katiga), Hyamm Pkan Lor (Kapat), Hyam Kaban (Kalima), Hyam Varimin (Kanem), Hyam Pkan Kidul (KapituJ, Hyam Vukir (Kaulul, Hyam Kadaton (Kasanga |, Hyam Pahumbuka |(KadasaJ, Hyam Buhitan (Jyesta| dan Hyam Pande (Sada. Urutan tersebut, sesuai dengan isi Prasasti Kehen C sebagai berikut:
Peija caru yang dilakukan di tempat suci Hyam, menurut data di atas diadakan setiap bulan. Di tiga Hyam, menggunakan kerbau sebagai korban. Tiga Hyam yang dimaksud yakni Hyam Kahon, Hyam Pakon Kidul dan Hyam Pukir. Di Hyam Kahon dan Hyam Vukir menggunakan kerbau hitam (kbo
comang|, sedangkan di Hyam Pokon Kidul tidak dirinci lagi apa warna atau jenis kerbaunya. Di dalam prasasti, tidak dijelaskan mengapa kbo camang yang digunakan dalam prja caru itu.
Untuk mempermudah tafsir atas penyembelihan kerbau hitam itu, dihubungkanlah dengan suatu cerita tentang pembinasaan Asura berwujud kerbau bernama Mahisa oleh Durga. Cerita itu terdapat di dalam teks Devi Mahatrya atau Durga Saptasati yang dimuat dalam kitab Markandeya Purina, kitab yang berasal dari sekitar abad VI Masehi (Santiko, 1987: 270). Durga yang membinasakan raksasa Mahisa ini disebut dengan Durga Mahisasuramardini. Manifestasi tertua Durga MahisaSuramardini berasal dari Nagar, Rajashtan, yang diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-1 M |Santiko, 1992: 2). Hal ini mengesankan bahwa Durg3 versi teks Devi Maharmya dibuat 5 abad lebih belakang. Kesan ini tidak aneh, sebab di India Selatan arca-arca Durga Mahisasuramardini yang berdiri di atas kepala Mahisa yang telah terpenggal telah dikenal sejak jaman Pallawa. Sementara kisah-kisah di dalam Purana di India Selatan kebanyakan berasal dari abad XVI (Santiko, 1987: 281).
Sementara itu, arca Durga Mahisa$uramardini dari sekitar Borobudur, Jawa Tengah berasal dari abad IX. Di Jawa Timur, arca-arca Durga Mahisasuramardini diperkirakan berasal dari abad X-XVI (Santiko, 1987:309). Di Jawa Timur, khususnya abad XIV Masehi, terdapat arca Durga Mahisasuramardini bertaring. Salah satunya adalah arca dari Ngluyu, Bojonegoro yang berangka tahun 1313 $aka (1491 Masehi) (Santiko, 1987:311).
Arca Durga Mahisasuramardini di Bali yang terkenal berasal dari Kutri. Kempers (dalam Ariati, 2016: 186) menyebutkan bahwa arca ini diduga sebagai perwujudan dari Mahendradatta. Putri Jawa yang berkuasa Bersama suaminya, dan mengubah bahasa prasasti menjadi Jawa Kuno. Dugaan bahwa arca ini adalah Mahendradatta didasarkan kepada prasasti yang ditemukan di
Paguyangan yang menyebutkan mengenai sam hyam candi i burwan. Frase sam hyam candi ivulah yang diduga mengacu kepada Durga karena Candi adalah nama lain Durga. Sedangkan # burwan yang berarti “di Buruan” atau “di Burwan” mengacu kepada nama tempat. Nama ini pula yang diduga mengacu kepada Mahendradatta berdasarkan kepada prasasti Pandak Badung (1071 MJ dan Prasasti Tengkulak yang menyebut Paduka Haji Anak Wungsu nira kalih Bhatari Sang Lumah i Burwan (mwang| Bhatara (sang) lumah i Banyu Wka. Kata Bhatari dianggap mengacu kepada Mahendradatta.” Berikut ini adalah foto arca tersebut:
Arca tersebut menunjukkan adanya pemujaan kepada Durga Mahisasuramardini. Sayangnya, metode pemujaan tidak terekam di dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Termasuk di dalam Prasasti Kehen C, sama sekali tidak diterangkan mengenai cara melangsungkan prj4 caru yang dimaksud. Namun sedikit petunjuk terdapat di dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno, sebagaimana diringkas oleh Santiko sebagai berikut.
Tabel di atas menunjukkan jenis-jenis pesajian yang dipersembahkan dalam prja caru serta kepadasiapa prja caru itu dipersembahkan. Menariknya adalah apa yang termuat di dalam prasasti Jiu II (1408 Masehi) mengenai prja caru yang dihaturkan kepada Dewa Yama dan Bharari Durga adalah berupa air susu sapi bukan darah sebagaimana yang disebutkan dalam teks Calon Arang dari abad XV. Mengenai pemujaan kepada Durg3 ini, Ariati (178) menyitir pendapat dari Stutterheim (1924) dan Sanggra (1989) menerangkan sebagai berikut:
Stutterheim (1924:149) was one among the first Western scholars to point out that the Hindu-Javanese goddess Durga Mahisasuramardini developed in Bali into the form of Durga-Kalika, the notorious goddess of the graveyard: however, he did not say precisely when this happened or how. But itis also true that Durga in her original role asa warrior goddess or the destroyer of enemies has been perpetuated in Balinese society: During the pre-modern period when Bali was ruled by regional kings, the goddess Durga was worshipped with Tantric rituals aimed at protecting the kingdom and destroying the enemies of the kings.“ This is mentioned in the literary work Ki Balian Batur (Sanggra, 1989). This practice seems to bereflected in present day Bali when the goddess Durga is worshipped to destroy personal enemies by using destructive, left-hand magical power (pangiwa). This kind of power can only be gained with the blessing of the goddess Durga, or to be more exact, Bhatari ri Dalem,the goddess of the Pura Dalem, the temple of death and purification of the dead.
Durga-Kalika yang dimaksud barangkali sama dengan Batur Kalika. Tokoh demonik yang disebut-sebut dalam naskah-naskah yang lebih muda seperti Aji Terus Tunjung”. Naskah ini menjelaskan bahwa Batur Kalika sebenarnya bukanlah Durga melainkan dayangnya. Dayang ini awalnya bernama Maya Krsnna. Ia tidak dapat kembali ke kahyangan bahkan setelah diruwat oleh Sahadeva. Caru di Bali dianggap sebagai upacara yang didedikasikan untuk para Bhuta. Hal ini dikarenakan praktik ritual caru di Bali yang selalu melibatkan pengorbanan darah. Meski menurut beberapa sumber lain, caru tidak selalu berkaitan dengan pengorbanan darah. Santiko (2011: 126) menggambarkan prija caru di Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-14. Beberapa prasasti yang menyebutkan kata caru menunjukkan bahwa care tidak selalu merupakan pengorbanan darah dan tidak selalu ditujukan untuk bhrta.
Beberapa prasasti yang dimaksud adalah Dinoyo, Pereng, Kwak III, Kubu- kubu, Sugih Manek, Lintakan, Siman dan Trailoyapuri II. Dalam prasasti tersebut, sesajen carw dikaitkan dengan upacara pendirian sima, terutama pada saat upacara sapatha. Praja caru berupa sajian nasi, misalnya, tertuang dalam prasasti Lintakan. Prasasti tersebut menyatakan bahwa nasi disajikan teks Sudamala. Konsep ceritanya juga diadopsi dalam teks Siwagama karya Ida Pedanda Made Sidemen.
Data tersebut berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Prasasti Kehen C. Pertama, pxjd caru tidak dilangsungkan berkaitan dengan pendirian sima atau pun upacara sapatha. Pnja caru dilangsungkan memang khusus sebagai pemujaan di beberapa Hyam atas perintah Bhatara Guru dan diawasi oleh Paramesvara. Kedua, prj4 caru yang dimaksud dilangsungkan setiap bulan sepanjang tahun di Ayam yang berbeda. Ketiga, hanya tiga Hyam yang diperintahkan untuk melangsungkan penyembelihan kerbau (Ayam Vukir, Hyam Pakan Kidul dan Hyam Kahan).
Penyembelihan kerbau di Hyam Kahan atau Pura Kehen dilakukan dengan prosesi sebagaimana terlihat dalam foto berikut ini. Beberapa anggota masyarakat yang secara khusus terlibat di dalam prosesi ini menggunakan kain putih, bertelanjang dada, kepala diikat dengan karavista” dan di telinga kanan tersunting bunga pucuk bang (Hibiscus rosa- sinensis). Setelah kerbau disembelih, lalu dibawa ke pelataran utama |uttama mandala) melewati pintu gerbang pura. Praja caru yang dilangsungkan di Pura Kehen, dapat dibandingkan dengan pemujaan Durga yang dilakukan di India.
Menurut Santiko (1987: 299) puja Durga di India dibagi menjadi dua jenis yakni pemujaan perorangan dan pemujaan oleh masyarakat luas. Pemujaan perorangan tersebut termasuk Durga-puja satru Bali yakni pemujaan Durga untuk membinasakan musuh. Pemujaan ini biasanya dilakukan pada bulan Asvina (ketiga). Saat upacara ini berlangsung, pemuja mendirikan rumah kayu untuk menempatkan arca Durga dari emas, perak, tanah liat atau kayu. Mantra yang dirapal adalah abhicara mantra. Lalu menusuk patung musuh yang dibuat dari tepung. Prja Durga ini menurutnya lebih tua dari pada Durga puja nava patrika dan navaratra.
Berdasarkan keterangan tersebut, ada beberapa hal yang tidak sesuai 24 Karavista juga disebut Sirovista. Sirovista adalah sarana upacara yang dibuat dari 3 lembar daun ilalang (ambengan), yang di ujungnya diisi kalpika, yakni daun pucuk (kembang sepatu) yang diisi bunga berwarna merah, hitam, dan putih. Ilalang diyakini sebagai rumput suci, tempat amerta menetes dalam teks Adi Parwa. Dengan prja caru di Pura Kehen. Waktu pelaksanaan jelas tidak sesuai karena dilangsungkan pada waktu yang berbeda. Durga-prja satru Bali dilangsungkan pada bulan keriga, sedangkan pzja4 caru di Pura Kehen dilangsungkan pada bulan kelima. Tepatnya pada bulan purnama. Selanjutnya, rumah kayu serta arca-arca yang disiapkan dalam upacara Durga-puja satru Bali tidak terdapat di dalam prja caru di Pura Kehen. Bahkan sampai saat ini pun, belum ada temuan arca Durga di Pura Kehen.
Pemujaan untuk mengalahkan musuh, menurut sumber Babad, pernah dilakukan di Pura Kehen oleh Ida Ayu Den Baficingah ketika melawan pasukan Tamanbali dan Gianyar. Di dalam babad tersebut, Ida Ayu Den Baficingah tidak melakukan pemujaan dengan cara yang demikian melainkan yoga samadhi yang dipusatkan kepada Hyarm. Pemujaan oleh masyarakat luas yakni Durga puja nava ratri (9 malam) atau Nava patrika paja (9 daun). Dilangsungkan pada bulan Asvina (ketiga). Durga prja nava ratri pada awalnya dilangsungkan di bawah pohon vrlva. Sembilan jenis daun dikumpulkan dan dijadikan Pratima. Pratima dari daun itu kemudian dimandikan dengan air yang diambil dari berbagai sungai, lalu dilanjutkan dengan pengorbanan binatang (pasubal?|. Daftar korban binatang yang biasa digunakan terdapat di dalam Kalika Purana. Selain korban binatang, pengorbanan darah pemuja juga sering dilakukan. Pada hari terakhir, Pratima tersebut dihanyutkan ke sungai.
Penjelasan yang diberikan oleh Santiko di atas, bila dibandingkan dengan Prasasti Kehen C dan yang dilangsungkan dalam ritus di Pura Kehen kini, tampaklah berbedaan-perbedaan. Navaratri, tidak dikenal dalam prasasti dan pemujaan di Bali secara umum maupun di Pura Kehen secara khusus. Pemujaan yang berhubungan dengan malam (ratri) dan pohon vilua (maja|
justru terdapat di dalam teks kakawin Sivaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kakawin ini merupakan gubahan dari Padma Purana (Palguna, 1998).
Pasubali atau pengorbanan binatang memang terbukti adanya sebagaimana disebutkan dalam prasasti, dan juga aktivitas upacara di Pura Kehen pada era belakangan. Namun sayang sekali, dugaan bahwa aktivitas religius ini merupakan legitimasi terhadap pemujaan Durga tidak dapat dibuktikan secara kuat. Lebih lagi karena mantra-mantra yang digunakan,
juga tidak terakses sampai tulisan ini dipublikasikan. Kenyataan itu merupakan suatu kekurangan yang penting untuk ditelusuri lebih lanjut. Bila kita memeriksa lebih jauh ke tradisi-tradisi yang kini masih bertahan di Indonesia, ritual penyembelihan kerbau masih dilakukan di beberapa daerah. Tidak saja di Indonesia, tapi wilayah Austronesia.“ Oleh sebab itu, ritus Pamunuh Kbo Cm4m yang ditenggarai sebagai Kulrus Durga Pada Puja Caru di Pura Kehen, Bangli Abad XIII perlu dibubuhi tanda tanya.
Ritus Pamunuh Kbo Cmam yang disebut-sebut di dalam Prasasti Kehen C dan yang masih dilangsungkan di Pura Kehen, belum dapar disimpulkan sebagai bentuk pemujaan kepada Durga. Sebab perbandingan yang dilakukan terhadap ritus di India dan Jawa Kuno jelas-jelas tidak serupa. Data-data yang parsial itu, tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan dengan sepihak
mengenai ritus Pamunuh Kbo Cmam ini. Saya lebih menduga, bahwa ritus ini sesungguhnya berasal dari tradisi yang jauh lebih dulu dari pada mitologi Durga Mahisasuramardini. Dengan kata lain, lebih dahulu dari pada apa yang kita sebut sebagai tradisi Hindu sekarang.
Ariati, Ni Wayan Pasek. 2016. Journey of the Goddess Durga: India Java and
Bali. Aditya Prakashan.
Calo, Ambra. 2020. “Durga Mahisasuramardini in Likely Tantric Buddhist
Contest from the Northern Indian Subcontinent to 11th-Century Bali”.
Journal of Buddhist and Hindu Art, Architecture and Archaeology of
Ancient to Premodern Southeast Asia.
Gaudriaan, T dan Hooykaas, C. 2004. Stuti dan Stava, Mantra Para Pandita
Hindu di Bali (Bauddha, saiva dan Vaisnava). Surabaya: Paramita.
26 Bandingkan J. Fox (2006) Inside Austronesian Houses Perspectives on Domestic
Designs for Living. Begitu pula dengan tulisan dari Ron Adams (2004|)
berjudul The Megalitbic Tradition of West Sumba. Sangat besar kemungkinan
bahwa penyembelihan kerbau telah dilangsungkan, sebelum mitologi Durga
Mahkisasuramardini sampai ke wilayah Nusantara.
Goris, R. 1954. Prasasti Bali I-II. Bandung: Masa Baru.
Granoka, Ida Wayan dkk. 1985. Kamus Bali Kuno-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kern, Hendrik. 1943. The Jataka-Mala Stories of Buddhas Former
Incarnation. Cambridge: Harvard University.
Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Naerssen, F.H. van. 1941. Oudjavaansche oorkonden in Duitshe en Deensche
Verzamelingen. Leiden.
Palguna, IBM. 1998. Siva Ratri dalam Padma Purana. Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra.
Ricoeur, Paul. 2014. Teori Interpretasi Membelah Makna dalam Anatomi
Teks. Yogyakarta: Ircisod.
Santiko, Haryati. 1992. Bhatari Durga. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Santiko, Haryari. 2011. Puja Caru pada Masyarakat Jawa Kuna. Paramita
Vol. 21, No. 2-Juli 2011.
Santoso, Soewito. 1968. Boddhakavya-Sutasoma, A Study in Javanese
Vajrayana Vol. 1-3. Australian National University.
Suamba, IBP. 1999. Siwa Sahasra-Nama dalam Siwa Purana. Denpasar:
Yayasan Dharma Sastra.
Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: Bali Media
Adhikarsa.
Tim Penyusun. 1977. “Laporan Penelitian Epigrafi Bali Tahap I, No. 11”.
Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P&K.
Zoetmulder, PJ. 1992. Bahasa Parwa I. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.