Cok Sawitri
Penulis – Pegiat Seni
Email: coksawitri@yahoo.com
Namaku Dirah
Karya Cok Sawitri
ketika wanita menjadi janda
mulailah sudah prasangka
melucuti kemurnian rahim
rumah-rumah menanam pandan di pintu-pintu
anak-anak menutup lubang pusar
lelaki menggosok-gosok kumisnya
namaku dirah
aku cangkul tubuhku
hujan telah mengirim hati dan jantung ke tanah
sedang harapan ada di luar kenyataan hidup
pagi itu aku bertanya pada diri: raja mana itu!
kematian suamiku menjadi aniaya
kesendirian ini menjadi kamar hukuman
tetapi apa kesalahan anakku
namaku dirah
aku hanya seorang jandasia-sia bila kukirim pertanyaan : apa salahku?
kekuasaan telah menasibkan kekhawatiran
tembok-tembok tinggi
penjaga-penjaga yang tak lagi miliki mata
siang malam membisukan
siapa saja yang hendak bicara
apapun namanya yang dipagari
berlapis-lapis benteng
berbulan-bulan pesta upacara
disuburkan sumpah dan janji kesetiaan
terusik bisikkus namaku dirah
tanah yang telah berakar buah
seperti diterjang seribu anak panah
tubuh ramping terbalut kain putih itu
luruh tersangga batang pohon kepah
matanya memancarkan hati yang bebas
ketika tubuhnya merosot ke bawah
rumput-rumput menengok menyediakan dirinya
menanti kedatangan tubuh ibunya
namaku dirah
dengan darah kuruwat duka lara
berkalung usus di leher
aku menari sepuas hati
kepedihan ini:
kemarin ditengah malam
aku sejenak merasa takut
kandung telurku diserang usikan angin
menisik bayang ayahmu
andai ia masih ada….
kecengengan senantiasa
menawarkan riwayat luka
aku cangkul tubuhku
karena namaku dirah
ribuan prajurit terpuruk
membelalak menyambut kematian
seperti tak percaya
kekuasaan tidak melindungi nyawanya
selembar kain putih
leber berkalung usus
rambut gimbal bau amis darah
sampaikan:
semua benteng memiliki celah
begitupun keangkuhan
tak terkecuali kekuasaan retak
oleh lirik mataku
karena namaku dirah
hanya seorang janda
bukan tubuh di atas tahta
dimana senjata adalah kaumnya
(Cok Sawitri, 1992)
Pemujaan Durga di Bali itu sangat kompleks. Sebutan Durga itu hampir jarang terdengar, kata Durga hanya ada pada mantra suci. Di Pura Dalem misalnya, sebutan kepada Durga itu beragam, jarang menyebut yang dipuja di Pura Dalem itu : Durga. Lebih banyak sebutannya Btari arau Btara dengan nama-nama yang membuat kita tersenyum. Di Pura Dalem yang selalu pasti akan disebelahnya ada setra (kuburan), ada pemujaan kepada Prajapati, lalu beberapa desa di Bali akan mewariskan juga pemujaan kepada Btara Sakti (Btara Gede): ini biasanya berwujud Barong, sedang Btari otomatis berwujud Topeng Rangda.
Saya berproses kreatif dengan Calon Arang (C’Iwan Arang) itu berangkat dari kisah-kisah lisan yang saya dengar dari para pengasuh dan para tetua dalam keluarga. Juga berangkat dari pertanyaan tak terjawab bila upacara ke Pura Dalem dan saat menonton pertunjukan Calon Arang. Sejak kanak mungkin, selalu saya saksikan, Btari itu berwujud Rangda, diperlakukan sangat istimewa dalam upacara. Disakralkan. Namun jika menonton Calon Arang, wajah yang sama itu: berupa Rangda dimusuhi dan ditikam keris berkali-kali.
Tradisi pemanggungan Calon Arang, disebut sebagai penyalonarangan, karena tidak berangkat dari teksnya (babon lontarnya). Di Bali setiap sekeha penyalonarangan mewarisi kisah-kisah carangan. Carangan itu adalah interpretasi bebas dan dibawa kepemanggungan dengan pakem yang lentur, tetapi penokohannya tetap: salah satu kekhasan pertunjukan Calon Arang adalah peran Matah Gede: dialah Calon Arang, yang kemudian nantinya ngelekas dengan ilmunya menjadi leak (yang muncul dipanggung penari Rangda). Setting panggung Calon Arang juga khas, ada trajangan (panggung tinggi dengan anak tangga: biasanya dibuat dengan bambu) dan beberapa jenis pohon yang diyakini kelengkapan proses magis dalam pengelekasan, diikat dekat tangga trajangan. Pemeran Matah Gede biasanya disiapkan secara sekala niskala, karena dalam pemanggungan kisah Calon Arang ada adegan mengundang semua pelaku black magic (tukang leak) untuk darang dan ditantang berperang secara magic. Dalam kepercayaan di Bali bila menonton Calon Arang, serangan magic ini ditunggu dan diharapkan terjadi sebagai pencapaian pemanggungan penyalonarangan. Karena dengan demikian, terbukti bahwa leak itu ada. Black magic itu ada. Akibatnya terjadi pergeseran tujuan ruwatan, kini seringkali justru dijadikan ajang uji nyali dan gagah- gagahan seperti akrobatik terutama dengan adegan watangan (pose tubuh kematian).
Pertanyaan besar dalam kepala saya saat iru, di usia 18 tahun adalah : kenapa penguasa dalam hal ini Airlangga begitu serius menyerbu seorang janda, single parent (?) Dengan pasukan khusus, sebab dipimpin mahapatih (ini selevel jenderal) : dan itu menyerbu perempuan (?) Menurut saya agak aneh. Walau dalam pertunjukan disebutkan ada sisia (murid-murid Calon Arang) perempuan semua (?) – Yang semuanya konon menguasai ilmu pengeleakan. Lalu para penguasa (lelaki) menyerbunya dengan tuduhan yang menurut saya tidak masuk akal: terjadinya wabah muntah berak, orang mati beruntun, begitu banyak. Menakutkan. Wabah dengan oleh ilmu pengeleakan!
Di Bali sebutan lain dari Calon Arang adalah Dirah, dalam teks lontar karya Gora Pratoda (Anak Agung Gde Meregeg) disebut Rangda ing Jirah. Berangkat dari puisi lalu saya menyusun naskah monolog berjudul Pembelaan Dirah (1998). Antara tahun 1992 sampai tahun 1998 itu, pemahaman saya akan perbedaan kisah carangan dengan teks lontar mengenai Calon Arang mulai jernih. Dan penyebutan Airlangga yang dalam sejarah Indonesia tertulis dengan banyak peninggalan situsnya, menyebabkan saya melakukan riset historiografi. Mulai mengalami keterkejutan saat menyusuri klan-klan keluarga di Bali yang dalam silsilahnya menyebut nama Ratna Manggali sebagai istri dari Bahula. Jadi, Bharadah, Kuturan dan Bahula, Ratna Manggali tidaklah mitos. Sedang versi dongeng, kisah Calon Arang ini dimitoskan. Sebaliknya penulisan sejarah Indonesia mengenai pembagian Kerajaan Kadiri era Airlangga itu menggunakan lontar Calon Arang, dimana dalam lontarnya nama desa-desa yang dilewati perjalanan Bharadah ke Bali, itu nyata adanya. Dalam teks lontar Calon Arang, saya kemudian menemukan sebutan kepada Calon Arang adalah : Brahmani Budha Wangsa, Bharadah pun Budha. Tantrayana atau Mantrayana juga Wajrayana itu sebutan mashab yang dianut oleh penganut Siwa Budha Bali sampai sekarang di Bali.
Pertanyaan awal itu adalah ketika mendengarkan awalan pembacaan- pembacaan Babad Dalem dalam tradisi penulisan sejarah keluarga keturunan kerajaan Gelgel, Bali : dari Dalem Ketut Kresna Kepakisan selalu akan diperdengarkan kisah asal usul turunan, dengan pesan khusuk, “Ururan silsilah yang diminta selalu dijaga sebagai ingatan,
Seperti biasa awalan sejarah keluarga akan memperdengarkan asal muasal keturunan : Tersebutlah Dang Hyang Bajrasatwa berputra seorang bernama Dang Hyang Tanuhun, beliau menganut ajaran Budha, menurunkan Mpu Bharada, yang menurunkan Bahula kawin dengan Ratna Manggali, putri Rangda Ing Jirah di Medang Wastra, yang kemudian melahirkan putra tunggal di Lemah Citra (Lemah Tulis) bernama Tantular nama lainnya Dang Hyang Angsokanata yang berhasil menggubah Sutasoma.
Kemudian Tantular kawin dan memberi cucu kepada Bahula dan Ratna manggali, bernama Dang Hyang Panawasikan, Dang Hyang Sidimantra, Dan Hyang Asmaranatha dan Dang Hyang Kepakisan, yang kemudian menjadi guru spiritual Patih Gadjah Mada. Dang Hyang Kepakisan mempunyai putri seorang “Udayana Watu”, yang dijadikan permaisuri (tidak dijelaskan raja mana), sedangkan putranya diberi nama Sira Kresna Wang Bang Kepakisan, yang dimohon oleh Gadjah Mada untuk dijadikan raja di Bali, permohonan Gadjah Mada itu disetujui, lalu diadakan upacara penobatan menjadi satria. Karena itu keturunan Wang Bang Kepakisan sering disebut wangsa Brahmana Ksatria.
Sejak itu Wang Bang Kepakisan diasuh oleh Gadjah Mada dan kemudian tinggal d istana Majapahit bersama Raja Kaligemet, nama lain sebutan pada Hayam Wuruk. Lalu kawinlah Wang Bang Kepakisan dan memperoleh empat orang anak, satu orang diangkat menjadi raja di Blambangan, anak kedua dinobatkan Pasuruhan, yang putri di Sumbawa dan yang di Bali bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan.
Jauh sebelumnya, saya sudah biasa menonton pertunjukan Calon Arang, berupa drama tari maupun wayang, juga dahulu dalam Arja Bali sering mementaskan kisah ini. Bagi saya, selalu menyenangkan dan menimbulkan pertanyaan mendalam karena tokoh yang dihujat dan diserbu dengan keris dipanggung, namun di belakang panggung, sebaliknya tokoh itu yang biasanya berbentuk topeng rangda di puja sebagai Btari. Selalu kedatangannya ke atas panggung disambut dengan rasa segan, hormat bercampur takut. Dan selalu saya akan bertanya kepada banyak orang tua mengenai siapa sebenarnya Btari itu?
Jawabannya, selalu berupa kisah berkisah dan kemudian mengenalkan saya pada banyaknya tokoh-tokoh baru yang membuat saya memahami, bahwa kisah Calon Arang adalah kisah ruwatan. Dan semua tahu, bahwa banyak ada model kisah Calon Arang, dari prosa sampai geguritan. Yang kemudian menyadarkan saya akan nama-nama yang tidak asing dalam sejarah di sekolah adalah nama Airlangga, Narotama, juga Bharada, semua itu ada dalam kisah berkisah yang biasanya saya anggap setara dengan kisah dongeng pengantar tidur. Akhirnya, makin menarik hati ketika saya mengetahui Airlangga adalah putra Raja Bali.
Lalu saya mencari banyak buku sejarah. Yang dekat dengan pembaca adalah karya-karya Slamet Muljana, Sejarah Nasional karya Tim Pemerintah Indonesia dan tulisan sejarah Muhamad Yamin. Dan yang terpenting adalah catatan-catatan dalam keluarga mengenai sejarah lama, yang saya tahu sulit dipertanggung-jawabkan jika itu saya pergunakan sebagai dasar argumentasi, sehingga saya mencari perbandingan ke berbagai prasasti resmi yang diterbitkan maupun dibaca oleh para peneliti. Saya makin terkesan karena betapa besar pengaruh sejarah Airlangga, juga betapa cerdasnya tradisi menurunkan sejarah melalui tradisi kisah bahwa pembagian Janggala dan Panjalu, ke terbentuknya Singasari bahkan sampai ke Majapahit terus menerus dikisahkan tidak untuk meminta pengakuan, hanya permintaan janganlah diperdebatkan bila tidak pada tempatnya. Dan kemudian saya tahu, bahwa kisah itu kait berkait terbungkus dalam tembang, cerita sambil lalu namun penuh penekanan ketika membicarakan soal Lemah Tulis dan Bharada. Karena dalam bentuk tulisannya: pada Negara Kertagama, Pemimpin spiritualnya tetap di tanah perdikan yang sama, walau kerajaan silih berganti,di zaman Majapahit tetap ada Lemah Tulis atau Lemah Citra. Artinya, Rangda ing Jirah bukan mitos, dia ibu Ratna Manggali. Ibu, nenek, buyut para Mpu. Mengapa sedemikian rupa pengaburannya?
Tidak terang, selalu terbungkus simbol, semua itu masih terkaburkan oleh dongeng, mitologi, kisah carangan, kabur pula dengan Durga : “Sang Dewi Kebajikan” dan Dewi Kalika, si jelita penguasa kuburan, yang kuat berkaitan dengan tradisi pengobatan di Bali, dsbnya. Belum lagi puluhan puja sastra yang kadang dibuat sedemikian rupa bedanya dengan fakta yang ada.
Awalnya, saya menyusuri Lemah Tulis, benarkah Lemah Citra itu ada? Kebetulan sewaktu kecil, saya sering mendengarkan seorang sahabat ayah menyanyikan bait-bait Negara Kertagama, yang menurut beliau itu karya puisi yang tehniknya dahsyat, karena bisa dibaca bolak-balik. Beliaulah yang pertama kali menjawab pertanyaan saya, apakah Lemah Tulis itu ada ?.
Beliau menjawab dalam Negara Kertagama dituliskan perjalanan Prapanca membaca prasasti Darbaru yang menyatakan betapa secara turun temurun keturunan Bharadah menjadi poruhita (pemimpin keagamaan negara) Istana Majapahit. Kemudian ayah saya mendapatkan kiriman dua buku kumpulan prasasti Bali dari Universitas Indonesia, dan memberikannya kepada saya. Selanjutnya saya cukup sering berkunjung ke Pusat Dokumentasi (Pusdok Disbud Provinisi Bali) juga beberapa kali mengunjungi Candi Prambanan, Candi Penataran juga saya sempat beberapa minggu ada di Kota Kadiri Jawa Timur.
Pelahan saya memahami bahwa ada prasasti yang menyebutkan Ibunya Airlangga, dicandikan di Pura Durga Kutri Gianyar Bali. Juga ada cerita bisik- bisik, apakah Gunapriya (Ibu Airlangga) sama seilmu dengan Calon Arang (?) Entahlah. Saya kemudian mencari kisah Bharada sebagai perbandingan, sebab sering diceritakan bahwa ada prasasti mengenai kunjungan Bharadah ke Bali, begitu pula mengenai Mpu Kuturan. Dari semua teks resmi dan carangan itu, saya merasa ada keridak-adilan terhadap Rangda Ing Jirah. Sebab stigma terhadap janda lalu dikambinghitamkan untuk wabah besar yang terjadi di Era Kadiri. Menurut rasa pasti ada sesuatu dibalik semua kisah itu.
Mulailah saya mencari semua style kisah ruwatan, mendengarkan hampir setiap malam cerita panji dari beberapa orang tua yang secara tradisi memang diundang keluarga untuk mendongeng. Ternyata kisah ruwatan ada empat jenis: Calon Arang, Basur, Dukuh Seladri dan Sudamala (juga dari era Mataram tua).
Namun yang mengesankan, justru cerita Panji, karena semua kisah kejadiannya berkisar antara Daha, Janggala, Kahuripan, Pajarakan, Metaum, Gegelang, ( nama-nama kerajaan dalam era Kadiri). Nama-nama kerajaan era Kadiri ala kisah Panji itu makin menarik saat saya tahu dalam genre Tari Legong pun menggunakan kisah Panji Malat. Gelarannya seolah mengisahkan persaingan dua kerajaan. Dan pelahan saya tahu, perebutan antara Rangkesari dan Lasem, hanya jelas kisahnya berbasis kisah ketegangan Kadiri dalam alunan sesendonan (tembang) begitu pula akan ditemukan informasi mengenai Kadiri dalam teks-teks kakawin yang disalin dan memasukan kisah ketegangan penguasa Kadiri : misalnya, kisah Bharatayuda yang ditulis di jaman Jayabhaya, Raja Panjalu, adalah Pujasastranya Mpu Sedah dan Panuluh, yang membayangkan Kurawa dan Pandawa itu adalah Daha dan Kahuripan. Janggala dan Panjalu. Jadi nafas panjang benar kejadian membagi wilayah di era Airlangga, Kadiri. Panjang juga nafas sebab mengapa terjadinya wabah di era Kadiri itu.
Maka ketika saya kembali membaca serat Calon Arang, yang sudah disalin atas permintaan keluarga, yang bagi sastrawan tradisi di Bali, itu untuk dasar ruwatan, agak berbeda dengan model di serat lainnya. Untuk menjawab rasa ingin tahu mengenai, mengapa kisah itu dijadikan ruwatan (?) -Mau tak mau saya harus mempelajari beberapa kitab yang berkaitan dengan kasunyatan Siwa dan Budha juga dharma pengobatan, untuk itulah saya dibuatkan upacara Mewinten Gede, karena keluarga melihat saya banyak membaca dan mendengarkan kisah-kisah yang bagi masyarakat Bali – khususnya keluarga saya – dikategorikan suci, dan harus ada yang membimbing maka sepatutnya didasari dengan upacara mewinten.
Dari mencari mengapa Calon Arang digunakan sebagai ruwatan, yakni pada peristiwa Pecaruan manca desa, catus desa : semua perilaku upacara pecaruan di Bali, yang berkaitan dengan perempatan agung itu termuat dalam lontar Calon Arang yang menggunakan bahasa Kawi Bali (sebutannya itu kisah Calon Arang mengalami “pem-balian”) . Tak cukup sampai disitu, dalam setiap pertunjukan penyalonarangan: pasti ada kain putih dengan rerajahan, yang dikibarkan oleh penai rangda. Rerajahan ini penting sekali untuk memahami tradisi Dasa-aksara dalam tradisi spiritual Bali. Juga memahami aksara suci ini akan mendekatkan kepada Kadyatmikan dan Kawisesan (ini dua keilmuan suci yang bentuknya dalam tutur dan tattwa). Pada sisi ini, saya kemudian mempelajarai sejarah Siwa-Budha, dan memahami mengenai Tantra – yang tidak seperti dikenalkan oleh sejarah dan tuduhan orang awam, seolah-olah tantrisme itu begitu gelap dan negatifnya. Padahal, apabila memperhatikan pola mantram Pendeta Siwa,Budha maupun balian, di Bali sampai sekarang hampir dipastikan itu berbasiskan Tantrayana. Bahkan ada beberapa mantram malah dekat betul dengan mantram Tiberan, terutama pemilihan diksi tertentu ini berkaitan dengan Puja Durga (mantram pemujaan Durga untuk di Pura Dalem). Pemujaan Durga ini berkaitan pula dengan tradisi perayaan hari raya Galungan Kuningan. Sebab pewahyuan merayakan Galungan Kuningan ini diterima oleh Raja Jaya Kasunu di Pura Dalem Puri, pengertian Puri di sini adalah Durga (ini informasi dari Sugi Lanus). Jadi pemujaan kepada Btari Ibu ini sejak lampau telah ada di Bali.
Berbagai pilihan yang ada, maupun kemudian tradisi Bali lama yang menyertai dan mendasari tumbuh kembang religiusitas Bali, yang menspefikasikan semua hal ke dalam porsi yang tegas dalam cabang keilmuanya : dituliskan ke dalam berbagai lontar! Pola hirarki keilahian dan sistem pengajaran kitab-kitabnya, Bali itu dekat betul dengan pengertian Tantra secara umum : yakni Tantra itu, Dia yang mengajarkan tentang pohon ilmu pengetahuan, semua cabangnya juga ilmu, dan semuanya dapat dipelajari, atau melalui ranting-rantingnya. Kemudian hanya Tantra yang mengizinkan perempuan menjadi pendeta yang memimpin upacara, bandingkan dengan Siwa yang bukan “tantris”, ataupun Budha yang tidak ‘tantris’, tidak akan mengizinkan perempuan menjadi pemimpin upacara. Pada tahap ini saya menangkap, betapa tarik menarik kepentingan menyertai penulisan berbagai kisah dalam pewarisannya. Pengaburan pastilah tidak untuk melenyapkan, namun bijak untuk menitipkan pesan dalam berbagai perubahan kekuasaan.
Bahwa penulisan Calon Arang di Bali dari abad XIII sampai abad XX dalam berbagai versi, menunjukan bahwa pada abad XIV-XVI serat tersebut memuat lebih kepada tekanan Budha Tantrayana. Mengenalkan istilah pelukatan, petoyaan, dan saat Nirartha, seorang Dang Hyang dari paham Siwa ke Bali di era Watu Enggong berkuasa, memulai masuknya paham Siwa masuk dalam penulisan Calon Arang. Dan silih berganti kerokohan antara Calon Arang dan Bharadah menguat atau mengecil dalam tiap-tiap versinya. Begitu pula penamaan, seringkali berubah sebagai misal dari Girah menjadi Dirah, juga ditemukan penggunaan nama Jirah. Demikian juga pada nama- nama “Murid Dirah’, yang menjadi model arah mata angin, Nawasanga dalam upacara Mecaru manca desa sering berubah penyebutannya.
Ilmu Black Magic bagi Bali otomatis dibayangkan adalah kehidupan malam merujuk kepada kuburan di waktu tengah malam. Seseorang yang dituduh menguasai Ilmu Pengeleakan itu seringkali adalah perempuan : dari segala usia. Sedang Balian (Dukun) selalu entah kenapa pasti yang mengambil profesi ini adalah lelaki. Ada kesalahpahaman yang cukup serius mengenai keilmuan pengeleakan ini. Karena dalam pemanggungan selalu disebutkan para penganut ilmu hitam ini akan memuja Hyang Bherawi : ini serius sulit menjelaskan siapa Hyang Bherawi itu (2) Karena dalam keseharian, jika kita tanya orang Bali, siapa yang dipuja di Pura Dalem (?) Lalu mengapa Calon Arang, Mpu Bharadah, Mpu Kuturan itu dalam teks Calon Arang yang paling tertua, yang dijadikan rujukan penulisan pembagian wilayah Kadiri dalam Sejarah Nasional disebutkan beragama Budha. Dan dalam teksnya itu termuat, bagaimana Calon Arang mengucapkan bait mantra pemujaan kepada Durga Gangga Gori (sebutan untuk Durga dalam pembayangan Dia Yang Maha Kasih). Penyusuran ini, membawa saya memahami perbedaaan Budha Nusantara dengan Budha yang sekarang disebut agama Budha itu. Pada kisah Sutasoma (jelas ini teks Budha): Sutasoma pun mendapat anugrah mantram Dharani itu di serra Gandamayu, diberkahi oleh Durga Gangga Gori juga. Penulis kakawin Sutasoma juga beragama Budha, Mpu Tantular.
Ini yang menyebabkan, saya makin tertarik tak hanya oleh rasa tak adil terhadap perlakuan kekuasaan yang dialami Calon Arang. Tetapi isyarat- isyarat yang menyertainya dalam teks Calon Arang maupun teks-teks lainnya: mengisyaratkan ada ketegangan antara kepentingan kekuasaan dan kepentingan keagamaan saat itu.
Hal yang lain mengusik saya adalah akan agama saya sendiri. Yakni disebut Hindu, tetapi dalam upacara yadnya melibatkan kepemimpinannya kepada Pendeta Siwa dan Pendeta Budha. Dalam keseharian: keduanya ini berbeda figur. Tidak dalam bentuk slogan : siwa budha. Mengapa keduanya bisa menyatu (?) tetap terpisah dalam liturginya. Saya menemukan bahwa Budha di nusantara itu berbeda dengan Budha yang sekarang, menguasai departemen agama dan kegiatan keagamaan Budha Indonesia. Budha yang masih diwarisi di Bali: itu Budha khasnya nusantara, yang berayah keilahian kepada Sidayoga: yang dalam kitab Siwa Gama pun dicantumkan sebagai ayah ilahi dari mashab Siwa dan Budha Nusantara: yang kini hanya ada di Bali. Jadi, ketegangan Agama Siwa dengan Budha sebenarnya dimulai dari Mataram Hindu. Namun karena akar pemujaannya kepada Durga (pada tantris) itu yang menyebabkan tak dapat dipisahkan juga tak menyatu padu. Ajaran Tantra sangat feminim : posisi Shakti itu maha menentukan dari keberlanjutan kembang biak mahluk di muka bumi ini. Pradhana itu jauh lebih aktiv dibandingkan Purusha. Jadi, pengertian feminim itu beda dengan Pradhana.
Calon Arang dalam kisah teksnya maupun pemanggungannya: sering disebutkan memiliki kitab kesaktian bernama Lipya Aksara. Lipya itu bukan hanya berarti “lupa” sebenarnya artinya adalah melebihi kemahiran. Jadi penguasaan atas Aksara itu melebihi dari kemahiran manusia biasa. Pengajaran Aksara bagi jalan spiritual, keagamaan di Bali adalah mendasar sekali sebagai syarat utama. Bagi para pendeta di Bali syarat menguasai ilmu Aksara adalah syarat utama dan menjadi dasar kelulusannya untuk dapat dinobatkan sebagai pendeta.
Bayangkan figur Calon Arang ini yang menguasai Lipya Aksara dan dimusuhi secara serius oleh penguasa Kadiri (?)
Karena itu saya harus sportif kepada Airlangga, sekaligus meyakinkan diri saya, bahwa Calon Arang bukan mitos. Maka perlahan saya mencari bandingan dari informasi kisah lisan Calon Arang, dari dalam tradisi keluarga ke fakta sejarah, yang “sepertinya” lebih dianggap adil: Ini adalah sebagian yang bisa saya sampai dalam kesempatan ini, masih banyak yang tercecer dan belum lengkap.
1
Peristiwa
Prasasti Pucangan (1041) M dikeluarkan oleh Airlangga, mengenai silsilah Airlangga berkaitan dengan Pu Sindok, prasasti ini akan dapat dikuatkan dengan Prasasti Paradah 943 M yang memberikan informasi kerajaan Wangsa Isana tetap bernama Mataram walau sudah berpindah letaknya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, berpindah karena letusan gunung merapi, diperkirakan di daerah Penanggungan, kemudian Prasasti Anjlukladang tahun 937 M.
Prasasti yang Belum Disiarkan dan yang Belum Tuntas Dibaca
Ibu kota Mataram yang pertama adalah Tamlang, prasasti Truyyan tahun 929 M, dimuat dalam karya C Damais. Yang menyebabkan dugaannya di daerah Jombang. Letak ibu kota terus berpindah dengan berbagai alasan, di sini diperlukan pemahaman mandala. Kemudian dalam prasasti di Bali Airlangga diperkirakan lahir tahun 913 Saka. Ayah Airlangga bernama Udayana beristrikan Gunapriya saudara Dharmawangsa Tguh, mangkat tahun 923 Saka, didasarkan pada prasasti Air Hawang Saka 933 S, dan di Besakih ditemukan Prasasti Bharada ketika pertama kali ke Bali tahun 929 Saka, kedatangannya berkaitan dengan mangkatnya Gunapriya. Bagi beberapa kalangan di Bali, Gunapriya ini dikaitkan dengan cerita Calon arang.
Posisi yang Diperdebatkan
Pu Sindok menurut Poerbatjaraka, adalah raja menantu berdasarkan Prasasti Cunggrang, bergelar Dharmma, raja yang naik tahta karena perkawinan, ini agak berbeda dengan Tuntterheim yang menggunakan Prasasti Limus (Sugih Menak) tahun 915 M, Pu Sindok adalah cucu Dyah Daksa, permaisuri, gelarannya Rakai Halu dan Rakyan Mapatih Hino, tanda bagi calon pewaris yang sah.
Jejaring yang Ditandai sebagai Permenungan
Posisi Airlangga
Peristiwa
Di zaman Pu Sindok terinformasikan nama Pu Madhuralokaranjana, dikabarkan amal keagamaannya sangat besar dan menerima penetapan tanah sima, semacam tanah wakaf (Dhammakserra) yaitu Mahaprasada di Himad, termuat dalam prasasti Gulung-gulung tahun 929 M, termasuk dikabarkan tanah sima lainya seperti di Btawan, Guru, Air Gilang, Gapuk dan Mbang kemudian daerah sima meluas sampai ke daerah Jeru-jeru anak desa Linggasutan ini berkaitan dengan manca desa. Istilah mancadesa ini akrab bagi masyarakat Bali, namun diberbagai penelitian barat, istilah ini masih dianggap membingungkan.
Prasasti yang Belum Disiarkan dan yang Belum Tuntas Dibaca
Penetapan tradisi kabikuan lebih tegas kemudian dijelaskan pada prasasti Paradah I, di sini juga ditemukan mulainya ada pembelian tanah untuk tanah sima oleh Dyah Pendel seharga 1 Suwarna Mas dan diluar restu raja juga ditetapka daerah sima, tanah untuk menanam bunga-bungaan oleh Rakyan Kanurun Dyah Mungpah. Tahun 935 M pada prasasti Waharu IV, mulai samar-samar menyebut nama Buyut Manggali.
Posisi yang Diperdebatkan
Perhatikan bahwa Sang Hyang Kamahayanikan ditulis oleh Sri Sambhara Suryawarana, menerima tanah sima di zaman Pu Sindok, dalam pilihan katanya nantinya akan bertemu dengan kata Amoghapasa, 1286 zaman Kertanegara. Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab suci Budhawajrayana, perhatikan silsilah yang menyebutkan kakek Bhadarah adalah Pu Bajrasatwa.
Jejaring yang Ditandai sebagai Permenungan
Memahami Tantra, Budha Wajrayana, dsbnya. Memahami Tantra, Budha Wajrayana, dsbnya.
3
Peristiwa
Setelah Pu Sindok, Mataram memasuki era Dharmmawangsa Tguh, juga ditandai pemberian tanah sima yakni termuat dalam Prasasti Hara-hara pemberian tanah Pu Mano, kepada Pu Susuk Pager dan Pu Naranjana Bernama Pu Budhiwala
Jejaring yang Ditandai sebagai Permenungan
Mengenai posisi pujasastra dan cerita panji, saya mulai dapat membedakanya, dan sugguh kagum cara sublimasi, penyampaian sejarah, pesan dan segala kekurangan dan kelemahan para tokoh sejarah itu, sedemikian rupa menjadi kisah indah. Tercatat barisan nama pengawi lama dari Pu Kanwa sampai Pu Sedah dan Panuluh, dapat dibayangkan betapa suburnya aktifitas sastra dan agama era itu. Plus pembangunan candi-candi.
4
Peristiwa
Nama ibu Airlangga mulai dinformasikan justru pada pujasastra Wirata Parwa, Adiparwa dan Bhismaparwa. Setelah itu baru di beberapa Prasasti Bebetin, dst.
Jejaring yang Ditandai sebagai Permenungan
Kabikuan, dalam fase ini saya mulai membayangkan pemetaan wilayah.
5
Peristiwa
Wangsa Isana runtuh oleh serangan Haji Wura Wuri (diduga letak daerahnya di Banyumas) menyerang Lwaram, diperkirakan di Utaranya Madiun saat pernikahan Airlangga. Tguh dicandikan di Lwaram termaksud dalam Prasasti
Pucangan.
Prasasti yang Belum Disiarkan dan yang Belum Tuntas Dibaca
Terjadi sebenarnya dugaan Wura-Wura itu dari Sumatera, ini berkaitan karena Dharmawangsa Tguh pernah menyerang Sumatera, kemudian mengabur dengan Lo’Arang yang didekatkan dengan nama daerah Lawang.
Jejaring yang Ditandai sebagai Permenungan
Mengenai posisi pujasastra dan cerita panji, saya mulai dapat membedakanya, dan sugguh kagum cara sublimasi, penyampaian sejarah, pesan dan segala kekurangan dan kelemahan para tokoh sejarah itu, sedemikian rupa menjadi kisah indah. Tercatat barisan nama pengawi lama dari Pu Kanwa sampai Pu Sedah dan Panuluh, dapat dibayangkan betapa suburnya aktifitas sastra dam agama era itu. Plus pembangunan candi-candi.
6
Peristiwa
Tahun penobatan Airlangga diperdebaran antara 1010 M berdasarkan Candra Sengkala atau Jawa Kuna yang berbeda pembacaannya. Kemudian bahwa penyerbuan Wura-wuri tidak merebut Medang, namun membuat terbunuhnya putri mahkota, yang menjadi sebab Airlangga harus membuat Prasasti Pucangan untuk meredam ketegangan sekaligus legimitasinya, namun tetap akhirnya kerajaannya yang berpindah beberapa kali, terakhir beribu kota Daha, dan kemudian dibagi dua.
Prasasti yang Belum Disiarkan dan yang Belum Tuntas Dibaca
Mulainya diperkenalkan nama kerajaan Medang, yang digunakan dalam silsilah Dalem Bali juga nama Medang ada dalam beberapa cerita panji. Perhatikan pula bahwa era pemerintahan Airlangga penuh peristiwa penaklukan dari tahun 1029 M sampai tahun 1032 M, yang samar adalah mengenai informasi dalam bahasa Sansekerta yang mengisahkan seorang raja wanita, gagah perkasa menyerbu Airlangga tahun 954 Saka, namun sulit memperkirakan itu keturunan Wura-wuri, karena datangnya dari arah Barat. Airlangga juga berpindah karena perang dari Wwatan Mas ke Parakan, Prasasti Terep 21 Oktober 1032 M,
Jejaring yang Ditandai sebagai Permenungan
Membandingkan dengan basis historis, kepentingan kekuasaan, religius, dan mulai memperhatikan kalima-kalimat yang menarik seperti missal Lipiaksara. (Lipia artinya huruf hurufNya!)dan sugguh kagum cara sublimasi, penyampaian sejarah, pesan dan segala kekurangan dan kelemahan para tokoh sejarah itu, sedemikian rupa menjadi kisah indah. Tercatat barisan nama pengawi lama dari Pu Kanwa sampai Pu Sedah dan Panuluh, dapat dibayangkan betapa suburnya aktifitas sastra dam agama era itu. Plus pembangunan candi-candi.
7
Peristiwa
Bahwa putri Airlangga, pada prasasti Kamalagyan sebagai Rakyan
Mahamantri I Hino, Sangramawijaya bandingkan kemudian dengan prasasti
Pandan yang menjabat Hino justru laki-laki bernama Sri Samarawijaya
Dhamasupannnawahana Tguh
Prasasti yang Belum Disiarkan dan yang Belum Tuntas Dibaca
Di bagian ini dugaan bahwa Daha dibagi dua karena Airlangga amat mencintai kedua putranya mengabur, membingungkan karena Prasasti Sirah Keting tahun 1204 M menyebutkan nama Tguh, seolah menegaskan posisi pewarisan. Dasar terjadinya pembagian kerajaan. Antara keturunan Airlangga dari bukan keturunan Tguh dengan keturunan Tguh. Ini menguatkan sebutan Dharmma, sebutan raja menantu menurut Poerbatjaraka.
8
Peristiwa
Pembagian kerajaan Airlangga oleh Pu Bhadarah, antara Serat Calon Arang dan Negara Kertagama menurut Slamet Muljana tidak ada pertentangan antara Daha dan Kahuripan, atau antara Panjalu dengan Janggala, menggunakan arah Barat dan Timur. Terjadi juga perdebatan mengenai sungai yang mana yang dimaksudkan. Karena menyangkut letak Desa Kemal Pandak, namun ada yang berpendapat bahwa Panjalu/Daha/Kadiri era Airlangga berbeda dengan era penulisan Negara Kertagama maupun Pararaton, yang beberapa ratus tahun kemudian baru menuliskan sejarah pemisahan kerajaan Airlangga.
Prasasti yang Belum Disiarkan dan yang Belum Tuntas Dibaca
Bagi masyarakat Bali, Pu Bharadah dan Pu Kuturan adalah tokoh sejarah. Sempat para peneliti Barat menganggap Bharadah itu mitos. Untungnya kemudian Posisi Lemah Tulis termuat dalam Negara Kertagama, disebutkan dalam prasasti Darbaru, ini yang diungkapkan oleh Slamet Muljana. Untuk kemudian membandingkan Prasasti Mahaksobya dengan kisah pembagian dalam serat Calon Arang. Perhatikan kemudian bagaimana dalam silsilah Pu Kuturan menunjukan hubungan dengan Bhadarah, begitu pula dalam silsilah Dalem (Raja Bali). Dan sejarah Bali menunjukan gencologi ke Kadiri. Ini sungguh berbeda dengan anggapan kaitan geneologi ke Majapahit.
Jejaring yang Ditandai sebagai Permenungan
Membandingkan cara penulisan babad, silsilah dan cara membaca informasi yang beragam saya memilih puitika yang sublim, pada aspek spiritual dan kekayaan khasanah bacaan mengenai tantra dan kembali ke pertanyaan adalah, Janda Ing Jirah bukan mitos (?) letaknya dimana, apakah demikian gelap padahal menurunkan banyak keturunan yang sangat menentukan dari Singosari sampai Majapahit, sampai Bali (?)
Dari proses riset terhadap kisah Calon Arang itu, saya menuliskan dalam bentuk puisi, lalu naskah drama modern dalam empat sekuel: 1. Pembelaan Dirah, 2. Badan Bahagia, 3. Wisuda Gumi, 4. Kawean. Kemudian di tahun 2007 saya menulis Novel Janda dari Jirah, pada tahun 2021 saya menerbitkan Trilogi Jirah, itu semua dari proses tak hanya memahami Calon Arang dalam sejarah Kadiri, juga mempertemukan saya kepada Durga sebagai pemersatu dari ajaran Siwa Budha yang sampai kini di Bali masih kami hayati.
Siwa Gama, Salinan, koleksi keluarga.
Babad Calon Arang, salinan, koleksi keluarga.
Sejarah Nasional II, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka, 1984.
Beberapa Salinan Lontar yang Berkaitan dengan Pengobatan dan Kadyatmikan.