Kisah Para Dewi

Kisah Para Dewi

Bab 07: Pencitraan Durga dalam Kakawin Jawa Kuno

DAFTAR ISI

Dr. Wayan Jarrah Sastrawan
Ecole frangaise d’Extr@me-Orient, Universite Paris Sciences et Lettres
jarrah.sastrawan@efeo.net

Durga adalah dewi Hindu yang sangat berdampak dalam budaya Nusantara (Tulisan ini merupakan bagian dari proyek DHARMA “The Domestication of “Hindu” Asceticism and the Religious Making of South and Southeast Asia”. Proyek ini telah menerima pendanaan dari European Research Council (ERC) dengan nomor proyek 809994). Cerita dan perwujudan sosok ini mengandung berbagai makna dalam konteks dan jaman yang berbeda, dari Jawa Tengah di abad ke-8 hingga masa kini. Dimulai dari kemunculan awalnya dalam beberapa teks India lebih dari dua ribu tahun lalu, tokoh Durga dibawa ke Nusantara di abad-abad awal tarikh Masehi, beriringan dengan konsep-konsep keagamaan lain dari Asia Selatan. Di jaman Jawa Kuno, mulai dari abad ke-8, Durga digambarkan sebagai dewi pelindung dan pemberantas kejahatan. Perwujudannya yang paling terkenal adalah Durga Mahisasuramardini (“Durga penakluk setan (yang berbentuk) lembu? – Cerita Durga sebagai penakluk Mahisasura diceritakan pertama kali dalam teks Devi Mahatmyam.Teks berbahasa Sansekerta ini diperkirakan ditulis di abad ke-5 atau ke-6 Masehi. Adegan penaklukan Mahisasura terdapat pada pupuh ke-2 dan ke-3 dari teks ini (Coburn 1984)). Namun dalam beberapa tradisi tulis dan pentas berbahasa Jawa mulai dari abad ke-13, Durga diasosiasikan dengan sifat kejam dan hal-hal yang mengerikan, termasuk memakan daging manusia, praktek bersemedi di kuburan dan penyebaran wabah (Dalam konteks India, sifat-sifat menyeramkan seperti ini lebih sering diasosiasikan dengan Kali daripada Durga). Di Bali, Durga sampai sekarang masih dianggap umum sebagai tokoh yang berbahaya dan dekat dengan ilmu sihir hitam (Pasek Ariati 2007: 367-368).

Makalah ini akan membahas soal perubahan pencitraan Durga di Jawa di abad ke-13 dan ke-14, sebagaimana tercermin dalam teks kakawin Ghatotkacasraya dan Sutasoma (Kakawin merupakan satu genre puisi berbahasa Jawa Kuno (yang juga disebut bahasa Kawi) yang menggunakan metrum berdasarkan pola vokal panjang-pendek. Teks-teks kakawin ditulis sejak abad ke-9 sampai sekarang, genre ini dikemukakan oleh para sarjana seperti PJ. Zoetmulder, Kuntara Wiryamartana dan Helen Creese, antara lain). Dua teks ini memiliki sudut pandang yang cukup berbeda, meskipun berasal dari lingkungan kultural yang mirip, yaitu dua pusat kerajaan di Jawa Timur pada jaman klasik akhir: Kediri dan Majapahit. Gambaran Durga dalam kedua teks ini bersifat ambigu dan menunjukkan perbedaan ideologis, khususnya antara paham Saiva dan Buddha. Dengan melacak gambaran-gambaran yang tercantum dalam karya sastra ini, kita bisa mengerti perkembangan pencitraan Durga sebagai sosok yang dapat melindung, namun di sisi lain juga bisa menakutkan dan mengancam.

 

PERUBAHAN WATAK DURGA DI NUSANTARA

Bukti awal keberadaan Durga di Nusantara bukan dalam tulisan, melainkan dalam seni rupa. Arca Durga sering ditemukan di Jawa dan Bali dalam konteks arkeologi, mulai dari abad ke-8. Sebagai ciri khas Saiva di Nusantara yang nyaris tidak ditemukan di India, Durga seringkali dikelompokkan bersama Agastya, Ganesa, dan Siva/Mahadeva. Kelompok berempat ini diwujudkan sebagai arca yang ditempatkan pada empat segi bangunan candi, misalnya di Candi Siva dalam kompleks Prambanan. Biasanya, Durga ditempatkan di posisi utara, sedangkan Mahaideva berada di timur, Agastya di selatan, dan Ganesa di barat. Arca Durga hampir selalu diwujudkan sebagai Mahisasuramardini yang menginjak seekor lembu, dengan bentuk yang terlihat berwibawa dan tegas. Selain keberadaan Durga dalam lingkungan Saiva, juga terdapat arca-arca Durga dalam konteks Buddhis, termasuk di Bali pada abad ke-11 (Calo 2020). Semua contoh seni rupa diatas mencerminkan Durga dalam perannya sebagai pelindung dan penjaga kebaikan, dan belum menampilkan sifat-sifat menyeramkan seperti taring tajam, mata melotot dan rambut panjang kusut, yang kemudian lebih dikaitkan dengan sosok jahat.

Perubahan pencitraan Durga merupakan salah satu masalah pokok yang diteliti oleh Prof. Hariani Santiko dalam disertasi S3 beliau, berjudul Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi (1987), yang kemudian dibukukan (1992) dan diringkaskan dalam bahasa Inggeris (1997). Hariani Santiko mengajukan argumentasi berdasarkan penyerapan konsep Tantris dalam dua konteks sosial berbeda di jaman Jawa klasik akhir: lingkungan dalam istana dan lingkungan luar istana. Menurut analisa beliau, konsep esoteris yang dianut oleh kalangan elit dalam istana, misalnya raja Krtanagara (bertahta 1268 s/d 1292 M), ditafsir salah oleh masyarakat luar kraton. Upacara esoteris seperti paricamdakarapnja (Tima perilaku pakai huruf ma”) kemudian dianggap oleh orang awam sebagai perbuatan jahat yang melanggar moral (Konsep paficamikara meliputi lima hal tabu yang disebut dengan huruf awal ma-, yaitu madya (alcohol), mamsa (daging), matsya (ikan), mudra (gestur), dan maithuna (hubungan seksual). Istilah ini diasosiasikan dengan “pendekatan kiri (Sanskrit: vimacara, Bali: pengiwaan) dalam aliran Tantra). Menurut Hariani Santiko, salah kaprah inilah yang menyebabkan pencitraan Durga merosot, dari dewi pelindung manusia dan pasangan dewa Siva, menjadi raksasa bertaring yang berkuasa atas dunia kematian dan sihir gelap (1997: 222-223).

Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Ni Wayan Pasek Ariati dalam disertasinya The Journey ofa Goddess: Durga in India, Java and Bali (2009) yang kemudian dibukukan (2016). Beliau berpendapat bahwa pencitraan Durga sebagai raksasa menyeramkan sebenarnya juga muncul di kalangan elit, bukan hanya di kalangan masyarakat kebanyakan seperti yang dikemukakan “oleh Hariani Santiko. Pasek Ariati mengajukan bukti relief ukiran di Candi Tegowangi, yang mengilustrasi kisah Sudamala dengan menampilkan Durga dalam perwujudan murkanya (bahasa Jawa Kuno: trivikrama, bahasa Bali: pamurtyan). Candi tersebut dibangun sebagai tempat pemujaan untuk Bhre Matahun, seorang kerabat raja Majapahit yang wafat di akhir abad ke-14. Selanjutnya, Pasek Ariati mengaitkan relief Sudamala ini dengan upacara sraddha untuk Gayatri, seorang tokoh utama di istana Majapahit, yang dilaksanakan pada tahun 1362 M. Menurut Pasek Ariati, hubungan dengan Gayatri menjadi alasan mengapa sebutan Ra Nini diterapkan pada Durga (Pasek Ariati 2007: 285) (Gayatri (alias Rajapatni) adalah anak bungsu dari Krtanagara, dan juga salah satu istri dari Krtarajasa (alias Raden Vijaya), maupun seorang nenek dari Rajasanagara (alias Hayam Wuruk). Wafatnya pada tahun 1350 M dan upacara sraddhanya pada tahun 1362 M merupakan peristiwa penting bagi istana Majapahit. Upacara ini disebut dalam kronik Pararaton dan diceritakan panjang lebar dalam kronik Desavarnana (alias Nagarakrtagama)). Beliau mengajukan hipotesa bahwa sifat-sifat Durga yang menyeramkan bisa dikaitkan dengan perannya sebagai pelindung tanah perdikan (sima) dari abad ke-10 sampai dengan abad ke-15 (Pasek Ariati 2007: 105-110).

Mengapa dan bagaimana pencitraan Durgi bisa berubah dari tokoh pelindung menjadi majikan penyihir dan setan? Salah satu jalan untuk memahami persoalan ini ialah melalui karya-karya tulis dari periode peralihan tahun 1200-1400 Masehi. Untungnya, masih terdapat dua karya kakawin yang menggambarkan Durga dari sudut pandang berbeda, yaitu Ghatotkacasraya (awal abad ke-13) dan Sutasoma (akhir abad ke-14). Dalam teks ini, kita temukan perwatakan Durga yang ambigu dan beranekaragam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan aliran keagamaan yang berkembang di masyarakat Jawa, baik di kalangan istana maupun di luar. Ternyata pencitraan Durga lebih merupakan beberapa gagasan berbeda yang bertumpang tindih pada masa yang sama, daripada sebuah progresi teratur dari satu konsepsi lama (misalnya Durga sebagai pembela) ke konsepsi baru (misalnya Durga sebagai majikan raksasa).

 

DURGA DALAM KAKAWIN GHATIYKACASRAYA

Ghatotkacasraya (Pertolongan Ghatotkacz”) diciptakan oleh seorang penyair memakai nama pena Panuluh (“penyuluh”). Dari pupuh pertama, terdapat keterangan bahwa karya ini ditulis atas perintah raja Jayakrta pada awal abad ke-13 (Raja ini juga dikenal sebagai Krtajaya, dengan nama asli Madaharsa. Ia memerintah
dari istananya di Kediri, dari akhir abad ke-12 sampai tahun 1222 M, menurut
prasasti sejaman dan kronik Desavarnana). Maka karya kakawin jelas diciptakan dalam lingkungan kerajaan untuk kepentingan raja Jayikrta, yang dipersamakan dengan tokoh Krsna dalam perannya sebagai memulih keseimbangan dunia. Ghatotkacasraya menceritakan pertualangan cinta Abhimanyu (putra Arjuna) dan kekasihnya Ksiti Sundari, yang akhirnya berhasil dengan bantuan Ghatotkaca. Teks ini mencerminkan corak Saiva kental, khususnya aliran Bhairava, yang menyediakan jalan Tantris kepada orang bukan pertapa seperti bangsawan dan raja untuk meraih kekuatan dan pencapaian spiritual ( Keberadaan pengaruh Saiva Tantris di istana Kediri sudah terbukti dari munculnya
tokoh guru spiritual dari raja Jayabhaya (pangajyan sri maharaja) dalam prasasti
Hantang yang bertarikh 1135 M. Guru ini disebut sebagai “kepala para yogi yang
memakai jalan Bharrava’ bhairava-ma(r)eganugamana-yogifvara(dhikara) (sisi
b8-A9). Kutipan dari prasasti berdasarkan suntingan sementara oleh Arlo Griffiths
dan Eko Bastiawan). Sesuai dengan aliran
tersebut, gagasan teologis dalam teks ini menggambarkan kenyataan utama
(paramatattua) sebagai kesatuan dari prinsip maskulin (Siva) dan prinsip
feminin (Durga) (Sanderson 1990: 668-670).

Sosok Durga disebut dua kali dalam Ghatotkacasraya. Ia muncul pertama
dalam adegan Abhimanyu menyembah Smara dengan “mengucap mantra
puncak berulang-ulang, yang diuraikan dengan puji-pujian dalam bentuk
sajak” (sampun pwajapa kutamantra ginalar lawan vilapastuti (pupuh
25 bait 3). Abhimanyu kemudian tertidur dan dalam mimpinya melihat
dewata dalam bentuk ardhanarisvara (setengah lelaki, setengah perempuan).
Perwujudan ini membelah diri menjadi dewa Smara dan istrinya dewi Ratih.
Abhimanyu memuji Smara dan menerima anugerah dari dewa itu, tetapi ia
malah mengabaikan dewi Ratih (Situasi ini cukup mirip dengan sebuah adegan dalam teks Tintu Panggelaran
(diperkirakan disusun pada abad ke-16), di mana dewi Umi menghukum anaknya
Kumara karena ia hanya bersikap sungkan terhadap ayahnya, tetapi meremehkan
ibunya (Robson & Hadi Sidomulyo 2021: 45)) . Dewi itu langsung menjelma dalam bentuk
murkanya (bait 5-6):

tandwa krodha siran trivikrama karas-ras krira Durgakrti
anghrik sahasa kataran panapathe mangdbik sawerning galang
dy ay Parthasutapa ko n wanang asampe tar sumombah ry aku
astvamangguha duhkha ko mapasaha mwang sadhya bhukti ng lara

Terjemahan:

Lantas ia murka, bentuknya berubah menjadi menakutkan, bengis
bagaikan Durga,
Ia menjerit keras dan mengerikan, sambil mengutuk dan mengejek, sebab
amarahnya.
Ai ai, putra Arjuna, kok bisa kau kurang ajar tak menyembah aku?
Baiknya kau dapat sengsara, terpisah dari tujuanmu dan mengalami
penderitaan.”

Di sini, bentuk bengis dewi Ratih yang menyerupai Durga tidak
digambarkan secara eksplisit, tetapi hanya diindikasikan dengan istilah
trivikrama. Abhimanyu langsung memohon maaf atas kesalahannya dan
menghaturkan pujian dan mantra kepada Ratih/Durga, yang membuat dewi
senang: langsung ia bersikap ramah lagi dan kembali menjelma sebagai Bhatari
Ratih’ (rap ndah somya muwah ta rakwa tumuluy sang sri bhatari Ratih (bait
7|). Yang ditekankan oleh penyair di sini adalah sifat pemaaf dari dewi, asalkan
ia dihormati dengan mantra dan pujian yang benar. Pentingnya mantra dalam
konteks ini mengindikasikan pengaruh gagasan Saiva Tantris dalam teks ini
(Sanderson 1988). Ketika kembali sadar dari mimpi itu, ketakutan Abhimanyu
pada kemurkaan dewi dapat dibatasi oleh karena keberhasilan penggunaan
mantra untuk menenangkan kemabli dewi Ratih/Durga.

Mimpi ini merupakan persiapan untuk pertemuan langsung antara
Abhimanyu dan dewi Durga yang diceritakan dalam pupuh 30-32. Setelah
mengalahkan seorang raksasa bernama Karalavaktra, yang mengaku Durga
sebagai majikannya, Abhimanyu diantar ke wilayah Durga sebagai kurban agar
dia bisa memakannya. Rumah Durga digambarkan secara ambigu, dengan
mencampur keindahan bangunannya dengan keseraman penghuninya (pupuh
30 bait 6):

datang ngkaneng Durgalaya wukir agong hap-hap aruhur
penuh ratnabhra suarga ng umah ahalap gopura manik
kunang pwakweh rah len iki tahulan ing preta kasawur
ponuh sarsok tang bhiita hala-hala kapwamodi-madi

Terjemahan:

Datanglah mereka di tempat Durga, gunung besar nyaris tak terlihat saking
tingginya,
Penuh dengan ratna gemilang, rumah itu surga, gapura indah dengan
manik-manik,
Tetapi ada juga banyak darah, dan selain itu, tulang dari hantu gentayangan
tersebar,
Sesak dengan makhluk jahat yang semua pada menakutkan.

Ketika dewi Durga muncul dari rumahnya, bentuknya terlihat seperti
raksasa (bait 8):

mijil prapte beng garjita lumihat ing mukhya tadahon
matangnya n gong-gongan Iwir amapokand ng andabhuvana
wwalu ng hasratondas tiga dada walang lampir aganal
matawalw adanggtrasalit irung arong roma murarak

Terjemahan:

Ia datang keluar, senang melihat makanan pilihan itu (yakni Abhimanyu),
Maka ia membesar seakan mau mengisi seluruh alam semesta,
Lengannya delapan, kepalanya tiga, dadanya berwarna-warni norak,
Matanya melotot, taringnya tajam, lubang hidungnya melebar, rambutnya kusut.

Durga di sini digambarkan dengan raut muka kasar, mirip dengan relief
Ra Nini pada ukiran dinding di Candi Tegowangi, sehingga menunjukkan
kesinambungan langsung dengan gambaran dewi ini dalam teks-teks Calon
Arang dan Sudamala. Meskipun demikian, Abhimanyu masih dapat
menenangkan dewi dengan menyampaikan pujian dan mengucapkan mantra,
seperti dalam mimpi sebelumnya. Pupuh 31 terdiri atas lima bait berisi pujian-
pujian terhadap Durga yang dituturkan oleh Abhimanyu. Dalam bait-bait
tersebut, yang ditekankan adalah hubungan Durga dengan pasangan beda
kelaminnya. Mereka berdua diindentifikasikan dengan “kenyataan utama
(paramatattva), pada bait 2:

ekatvanta lawan sira ng paramatattva tuwin adadi sarvadevata
Brahma Visnu Mahesvaradi sira len kita matamah Umadidevati

Terjemahan:
Kesatuanmu dengannya adalah kenyataan utama, yang malah menjadi
semua dewata:
Brahma, Visnu, Mahesvara d.l.l., sedangkan engkau menjadi dewi Uma d.l.l.

Pembelahan paramatattua menjadi pasang dewa-dewi meningatkan pada
bentuk ardhanarisvara dalam mimpi Abhimanyu sebelumnya. Menurut
pujian ini, Durga selaku bagian dari paramatattva dapat menitis dalam semua
sosok dewi-dewi yang ada, termasuk dewi Umi yang ramah dan penyayang.
Gambaran ini mencerminkan gagasan dari teks-teks beraliran Sakta seperti
Devi Mahatrnya, yang mengedepankan dewi sebagai unsur tertinggi. Gagasan
ini dikembangan pada bait 3:

kruran Rudra bhatara Bhairava ta namanira n agati linakarana
ngkan Durga kita Bhatravi paramasiksmatara pinakajivaning praja

Terjemahan:
Rudra yang murka, namanya bhatara Bhairava ketika ia berperan sebagai ,
pembinasa,
Saat itu engkau Durga adalah Bhairavi, amat sangat halus, yang menjiwai
dunia

Rudra dan Durga, dalam wujudnya sebagai Bhairava dan Bhairavi,
memainkan peran ambigu sebagai penghancur maupun penghidup dunia.
Keseimbangan pasang dewa-dewi ini ditekankan berulang-ulang dalam teks
Ghatotkacasraya. Sifat Durga yang seram dan menakutkan ternyata hanyalah
satu perwatakan dari esensi dewi yang merupakan separuh dari kenyataan
utama (paramatattua). Yang penting, segala ancaman dari perwujudan Durgi
ini dapat dikendalikan dengan pengucapan mantra dan pujian yang tepat.
Dengan cara ini, Abhimanyu berhasil mendamaikan Durga dan akhirnya diberi
bantuan dan nasihat untuk mencapai tujuannya.

 

DURGA DALAM KAKAWIN SUTASOMA

Sutasoma adalah karya kakawin yang ditulis oleh seorang penyair dengan
nama pena Tantular (artinya “tidak terusik”) di paruh kedua dari abad ke-14.
Dalam pupuh pertama, karya ini didedikasikan kepada seorang raja Majapahit
termahsyur, yaitu Rajasanagara alias Hayam Wuruk. Raja ini disembah dengan
gelar Bajrajfiana yang merupakan “perwujudan dari kekosongan’ (sinyatmaka)
dalam “kemunculannya dari kesadaran akan pencerahan” (wijilniran
saking bodhicitta). Dari pembukaan ini, terlihat jelas bahwa teks Sutasoma
mencerminkan sudut pandang Buddha Tantris, berbeda dengan corak-corak
Saiva dalam Ghatotkacasraya. Persaingan antara aliran Buddhis dan Saiva
menjadi salah satu tema pokok dalam kakawin Sutasoma, yang digambarkan
dalam kontestasi antara Sutasoma sebagai penjelmaan Buddha dan Purusada
yang menyembah Kala.

Pandangan Buddhis yang menjiwai teks Sutasoma menghasilkan gambaran
Durga yang lebih negatif kalau dibandingkan dengan Ghatotkacasraya.
Sutasoma sengaja mencari Durga di daerah kuburan, yang penuh dengan
mayat, anjing dan burung gagak (pupuh 9, bait 5-6):

lor wetanya togal-tagal hapa-hapa pangabotan ika Sunya nismara,
kserragang kahiring kidul vadara pang kayunika kasine lawan rukam,
sok tekang kunapagalar hana hanar hana lawas ahamang sedang basah,
Svanyatryawurahan waneh ya margbut congal alayu mangiraken wohang
dangdangnyaliworan padatri mihat ing sava makotokan ing labak-labak,
romanyadal akat lawan sirah awor dukut aking usungan haneng padu,
len tekang tabulan kapala matumang garagasan i samipaning hawan,
dodot wukon anahon kasampir i pagornya kura-kura gadang-gadang janur

Terjemahan:
Di timur lautnya ada padang rumput, pangabetan itu sepi dan tidak jelita,
Di selatan ada kuburan besar, dengan pohon bidara, pung, kasine dan rukem,
Sesak dengan bangkai terserak, ada yang baru, ada yang lama sudah mulai membusuk
Anjingnya berisik dan galak, ada yang merebut batang leher, ada yang menyeret tulang rahang
Gagaknya berseliweran, pada menjerit, memandang bangkai tercabik di lembah itu,
Rambut kusutnya melekat pada kepala, berjeratan dengan rumput kering, usungannya ada di pojokan,
Apalagi tengkorak berlambak dan tulang kerangka di tepi jalan,
Kain tercemar tetap tersampir di pagar kura-kura, gadang-gadang dan kelapa muda.

Dewi ini dikenal dengan nama Bheravi maupun Vidyut Karali. Kedua
nama tersebut dapat diasosiasikan dengan aliran Tantra. Keseraman
lingkungan kuburan itu ditekankan oleh penyair. Ketika dewi Durga muncul
di hadapan Sutasoma, penampilannya digambarkan dengan cara yang sama
(pupuh 10, bait 2-3):

Ghora ng varnahirsng dvadasamukha dumilah songnikang netra rakta,
danstra rwagatiriksnan gringi-ringi masangit kaga krsnabhimana,
kesavyang bang kapaladbhuta sokarira ring karna tulya dvicandra,
malwalandung todun ing wotong akavaca mong carma sinhangarupa.
sarvastranekavarnakrama ri tanganirekang dasastra prakara,
capa mwang nagapasa krtala musala len bajra cakranivarya,
piirva ng haste tangon sobhita mamanga kapalaputih sankhatulya,
srmsum rab len wudukning wwang isinika kiwamusti khadgatitiksna

Terjemahan:
Seram, berwarna hitam, bermuka duabelas, matanya merah menyala,
Dua taringnya sangat tajam dan rancap, kalungnya dari burung hitam terbakar,
Kepalanya menakutkan dengan rambut merah, bunga di telinganya seperti dua bulan,
Lebar dan panjang turun ke perutnya, berbaju kulit macan bagaikan badan singa.
Aneka senjata berwarna-warni ada di tangannya. Adapun sepuluh jenis senjata:
Gandewa dan jerat naga, pedang, godam, bajra dan cakra tak terlawan,
Di depan, tangan-tangan kanannya indah, memegang tengkorak putih seperti sangka
Berisi sumsum, darah dan lemak manusia, tangan kirinya menggenggam curik tajam

Sutasoma menanggapi kehadiran Durga dengan meditasi dan yoga, alih-alih mengucapkan mantra dan puji-pujian. Oleh karena itu, ternyata malah
Durga yang menyembah Sutasoma dengan penuh hormat (bhaktya-pranamya)
sebagai perwujudan Buddha. Kakawin Ghatotkacasraya menyediakan satu
pupuh pujian-pujian kepada Durgi yang dihaturkan oleh Abhimanyu,
sedangkan kakawin Sutasoma mengandung satu pupuh pujian-pujian kepada
Sutasoma yang diucapkan oleh Durga (pupuh 11). Tidak dapat disangkal
bahwa teks Sutasoma menempatkan keunggulan aliran Buddha Tantris lebih
tinggi daripada kemampuan Bhairava yang diwakili oleh Durga.

Meskipun demikian, Durga tetap memainkan peran sebagai pemberi
anugerah dalam kisah Buddhis ini. Ia memberkati Sutrasoma dengan suatu
“mantra utama (mantradhika) bernama Mahahrdayadharani (Judul ini cukup lazim digunakan untuk beberapa mantra-mantra penting dalam tradisi Buddhis). Di sini
terdapat kesan bahwa keilmuan beraliran Bhairava masih dianggap penting
untuk diketahui oleh seorang Boddhisattva. Harus diingat bahwa Sutasoma
sengaja mencari pertemuan dengan Durga di titik awal pertualangannya.
Maka peran Durga dalam naratif tetaplah sebagai sosok yang menolong sang
pahlawan untuk mencapai keberhasilan, tidak begitu berbeda dari kasus
Abhimanyu dalam puisi Ghatotkacasraya.

Di teks Sutasoma, pertolongan Durga juga bisa dimanfaatkan oleh
pihak jahat. Dalam pertempuran terakhir Sutasoma melawan Purusada
dengan pasukan setan dan raksasanya, kekuatan Durga digunakan oleh
kedua kelompok. Awalnya, raja Dasabahu menggunakan ilmu sihirnya
untuk mengajak Durga dalam bentuknya sebagai Mahabhairavi untuk turun
ke medan perang (pupuh 133, bait 1). Para setan dan raksasa itu kabur di
hadapannya, karena Durga “memang merupakan asal-muasal dari raksasa
yang sangat menakutkan itu di masa lalu? (rakwa sireki mulanikanang
yaksatirodreng danga (bait 2|). Durga tetap dikaitkan dengan setan dan
raksasa, meskipun dalam konteks ini membantu pihak yang benar yakni
Dasabahu.

Purusida, musuh utama dalam cerita Sutasoma yang mewakili kaum
Saiva Bhairava, dapat mengendalikan Durga dengan “pujian dan mantra
sempurna yang mematikan sihir Bharara Nini’ (stuti mantra siddhi pamunah
mayan bhatari nini [bait 3]) (Penyebutan nama Bhatara Nini di sini juga membuktikan bahwa figur Ra Nini justru sudah dikenal di abad ke-14). Kepakaran Purusada atas pujian dan mantra memungkinkannya untuk menenangkan dewi, persis seperti apa yang
dilakukan oleh Abhimanyu dalam cerita Gharotkacasraya. Maka Durga
digambarkan sebagai tokoh ambigu yang akhirnya bisa dimanfaatkan oleh
pihak yang salah. Akhirnya, bukanlah Durga yang menjamin keberhasilan
para pahlawan dalam kisah ini, melainkan sifat kebuddhaan yang ada pada
diri Sutasoma sendiri.

 

KESIMPULAN

Makalah ini telah memeriksa pencitraan Durga dalam dua teks berbahasa
Jawa Kuno dari jaman klasik akhir, yaitu kakawin Ghatorkacasraya (abad ke-
13) dan kakawin Sutasoma (abad ke-14). Kedua teks tersebut menggambarkan
Durga sebagai wakil aliran Saiva Bhairava, yang memiliki bentuk menyeramkan
ketika ia marah. Dalam kedua kisah ini pula, kemurkaan Durga dapat
dikendalikan dengan mengucapkan pujian dan mantra-mantra tertentu.
Tetapi kedua teks ini menekankan aspek-aspek berbeda, berdasarkan sudut
pandang mereka yang berseberangan. Ghatorkaciraya yang beraliran Saiva
menempatkan Durga di posisi tertinggi, berpasangan dengan Siva sebagai
kenyatan utama (paramatattva). Sutasoma malah menempatkan kesadaran
Buddha sebagai kebenaran tertinggi, sedangkan peran Durga terbatas hanya
pada pemberian anugerah saja. Sajak ini menggambarkan Durga sebagai dewi
yang mudah dikendalikan oleh siapa saja yang memujinya dan menguasai
mantranya.

Perbedaan pencitraan Durga dalam kedua contoh kakawin ini
mencerminkan latar belakang ideologisnya masing-masing. Bisa jadi,
polemik agama dalam kerajaan Jawa pada abad ke-13 dan abad ke-14 pernah
mempengaruhi cara bagaimana Durga digambarkan dalam karya sastra,
seni rupa maupun pertunjukan. Kedua puisi kakawin yang dibahas di atas
menunjukkan bagaimana pencitraan Durga beranekaragam ini bisa muncul,
bahkan dalam lingkungan istana yang mewariskan kesinambungan kebudayaan
cukup kuat. Apalagi di masyarakat umum pada jaman itu, yang tidak dapat
kita melacak tradisi tulisnya lagi. Lewat perbandingan gambaran Durga
dalam kakawin dengan apa yang dicantumkan dalam teks-teks Jawa dan Bali
di jaman berikutnya (misalnya Calon Arang, Sudamala, Tantu Panggelaran,
dan Koravasrama), barangkali bisa diteliti secara lebih terperinci transformasi
pencitraan Durga di Nusantara dari masa ke masa.


DAFTAR PUSTAKA

Calo, Ambra. 2020. “Durga Mahisasuramardini in Likely Tantric Buddhist
Context from the Northern Indian Subcontinent to 11″-Century
Bali”, PRATU: Journal of Buddhist and Hindu Art, Architecture and
Archaeology of Ancient to Premodern Southeast Asia 1: 1-20.

Coburn, Thomas B. 1984. Devi-Maharmya: The Crystallization of the Goddess
Tradition. Delhi: Motilal Banarsidass.

Alexis Sanderson. 1988. “Saivism and the Tantric Traditions” dalam The
World 5 Religions, disunting oleh S. Sutherland, L. Houlden, P. Clarke &
F. Hardy. London: Routledge & Kegan Paul, 660-704.

Hariani Santiko. 1987. Kedudukan Bhatari Durga di Jawa Pada Abad X- XV
Masehi. Disertasi S3, Universitas Indonesia.

Hariani Santiko. 1992. Bhatari Durga. Depok: Universitas Indonesia.

Hariani Santiko. 1997. “The Goddess Durga in the East-Javanese Period”. Asian
Folklore Studies, 56 (2): 209-226.

Soewito Santoso. 1975. Sutasoma: A Study in Javanese Wajrayana. Delhi:
International Academy of Indian Culture.

Ni Wayan Pasek Ariati. 2009. The Journey ofa Goddess: Durga in India, Java
and Bali. Disertasi S3, Charles Darwin University.

Ni Wayan Pasek Ariati. 2016. The Journey of the Goddess Durga: India, Java
and Bali. Delhi: International Academy of Indian Culture and Aditya
Prakashan.

Stuart Robson. 2016. The Kakawin Ghatotkacasraya by Mpu Panuluh. Tokyo:
Tokyo University of Foreign Studies.