Dr. Titi Surti Nastiti
Badan Riset dan Inovasi Nasional
Email: tsnastitiegmail.com
Durga dalam bahasa Tamil disebut Turkkar yang berarti “sulit diakses, tidak dapat dilewati, tidak dapat dicapai” yang mengacu pada Durga sebagai putri dewa gunung, yaitu Parwati. Durga juga diartikan sebagai “yang tidak terkalahkan, yang tidak dapat disangkal”, merupakan nama yang mempunyai aspek hebat atau setengah hebat sebagai Sakti dari Dewa Siwa (Liebert 1976, 83). Dalam bahasa Sanskerta, Durga mempunyai arti yang hampir sama, yaitu “sukar didatangi, tidak dapat dicapai” (Zoetmulder 2004, 237), dapat diartikan juga sebagai benteng (Kumar 1974, 120) atau “ia yang memusnahkan halangan/kesulitan (Santiko 1987, 2). Secara umum, Durga digambarkan sebagai perempuan jelita dengan banyak manifestasi. Manifestasi yang paling terkenal adalah Parwati, Durga Mahisasuramardini, Camunda/Camundi, Kali, dan Ambika. Ia juga termasuk di antara kelompok navasakti (Liebert 1976, 83) atau nava Durga (Santiko 198, 3).
Durga merupakan aspek kroddha (bengis) dari Parwati (Uma), sakti dari Dewa Siwa. Sakti dalam agama Hindu adalah kekuatan dewa-dewa untuk melakukan tugas-tugasnya yang diwujudkan sebagai pasangan dewa-dewa tersebut (Santiko 1987, 1). Durga diciptakan oleh para dewa yang ingin mengalahkan pasukan asura yang menyerang kahyangan. Serangan ini mengakibatkan peperangan antara pasukan asura dibawah pimpinan Mahisasura dan pasukan para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra. Mahisasura sangat luar biasa saktinya sehingga ia dapat mengalahkan pasukan Dewa Indra. Karenanya untuk mengalahkan Mahisasura para dewa sepakat untuk menggabungkan semua kesakriannya dalam satu wujud yang memiliki semua kesaktian dewa, yaitu Durga.
Durga yang menggambarkan kesaktian Brahma, Wisnu, Siwa, serta dewa- dewa lainnya diwujudkan sebagai perempuan cantik yang memegang pelbagai senjata hadiah dari para dewa. Ia pun diberi seekor singa oleh Himalaya sebagai tunggangannya. Selain senjata, Durga pun digambarkan memakai pakaian dan perhiasan berupa anting-anting, kalung, gelang, dan cincin yang juga merupakan hadiah dari para dewa.
Dikisahkan dalam kitab-kitab Purina, Durga dengan mengendarai singa, mendaki Gunung Windya, tempat tinggal para aSura. Dengan bekal senjata dari para dewa, Durga dengan mudah mengalahkan para aSura. Untuk mengalahkan Mahisasura, ia melompat dari singa tunggangannya ke atas punggung Mahisa, menginjak lehernya, dan menusukkan tombak ke dadanya, Mahisa berubah wujud menjadi raksasa dan menyerang Durga, akhirnya Mahisa mati karena tikaman pedang Durga. Sejak saat itu Durgi mendapat julukan Mahisasuramardini (pembunuh raksasa berwujud mahisa). Ia dipuja sebagai dewi penyelamat, dewi penghalang rintangan, dan siapa pun yang memujanya pada waktu mendapat kesulitan maka Durga akan memberikannya
kemudahan.
Arca Durga MahisaSuramardini digambarkan sebagai seorang perempuan berdiri dalam sikap abhangga, dwibhangga, tribhangga, atau samabhangga, praryalidha di atas mahisa (kerbau). Ia digambarkan bertangan 2, 4, 6, 8, 10. Jika bertangan dua maka tangan kirinya menarik ekor mahisa dan tangan kanannya menjambak rambut asura. Jika berjumah lebih dari dua maka
tangan lainnya memegang laksana yang banyak variannya antara satu arca dengan arca lainnya, seperti cakra, trisula, sangkha, pasa, aksamala, danda, dhanu, damaru, keris, pedang, pisau, gada dan parasu. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpebjateng/Durga-mahisasuramardhini/).
Arca Durga yang paling banyak ditemukan di Jawa maupun di Bali adalah Durga Mahisasuramardini. Sampai saat ini belum ada bukti Durga dipuja sebagai #stadewata karena di candi-candi di Jawa maupun di Bali belum ditemukan Durga yang ditempatkan di garbhagrha (bilik utama) atau khusus pemujaan kepada Durgz seperti di India. Durga di Jawa dan Bali pada umumnya dipuja sebagai parswadewata, karena itu ia ditempatkan di bilik utara candi atau di bilik sebelah kiri garbhagrha.
Menurut Hariani Santiko, di Jawa, Durga mempunyai dua aspek, pertama sebagai Bhatari Gori yang disebutkan dalam Tangtu Panggelaran sebagai penjaga pintu gerbang sebelah utara tempat tinggal Bhatara Guru yaitu Mahameru dan kedua sebagai seorang tokoh raksasi yang disebut sebagai Durggadewi (Santiko 1987, 403). Adapun penempatan Durga di utara karena sebagai Sakti Siwa Durga adalah “ibu dunia” dan sebagai pelindung manusia dari ancaman musuh serta marabahaya, karenanya ia diletakkan di dunia manusia yaitu di sebelah utara (Santiko 1987, 73-74).
Dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna yang berhubungan dengan Durga, pertama adalah prasasti yang dipahatkan pada arca Dewi Cimundi yang merupakan salah satu manifestasi dari Durga. Kedua ditulis dalam prasasti pada bagian sambhanda (alasan mengapa suatu prasasti dibuat), dan ketiga ditulis pada bagian Sapatha (kutukan). Dalam bagian $apatha dapat dibagi lagi menjadi dewi yang diseru sebagai saksi dalam peresmian sebuah sima dan dewi yang disebut sebagai penghukum orang-orang yang merusak suatu sima. Sementara itu dalam prasasti-prasasti Bali Kuna, Durga hanya terdapat pada bagian sapatha. Atas apa yang telah diuraikan muncul pertanyaan bagaimana gambaran Dewi Durga dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna dan Bali Kuna? Sehubungan dengan itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan Durga di dalam masyarakat Jawa dan Bali Kuna yang tergambar dari prasasti.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang disebut juga sebagai Interpretative research, naturalistic research, atau phenomenological rescarch. Adapun tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum dan pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan yang menjadi menjadi fokus penelitian (Rahmat 2009, 3).
Tahapan dalam penulisan ini dimulai dengan pengumpulan data, yaitu mengumpulkan prasasti-prasasti Jawa Kuna dan Bali Kuna yang berkaitan dengan Dewi Durga. Seperti diketahui penulisan prasasti dapat dibagi ke dalam: 1. Manggala (kalimat pembuka), 2. unsur penanggalan, 3. kejadian yang diperingati, 4. sambhanda, 5. keterangan tentang luas tanah yang dijadikan sima (tanah perdikan), 6. daftar nama penerima pasak-pasak (persembahan), 7. daftar saji-sajian, 8. upacara sima, 9. Sapatha, 10. citralekha (penulis prasasti) (Maziyah 2018).
Kemudian membaca kembali prasasti-prasasti yang berhubungan dengan Dewi Durga dari prasasti-prasasti yang telah diterbitkan. Setelah itu, prasasti-prasasti yang diperlukan dalam penelitian ini diterjemahkan. Tahap selanjutnya adalah interpretasi dara dari prasasti-prasasti Jawa Kuna maupun Bali Kuna secara hermeneutik, yaitu metode pemahaman melalui penafsiran (Hoed 2008, 83). Hasil penafsiran data tersebut kemudian disintesiskan agar dapat dianalisis dan ditarik suatu kesimpulan.
Prasasti Trp yang dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tanggal 15 Suklapaksa bulan Kartika 954 Saka (- 21 Oktober 1032) merupakan prasasti rinulad (salinan) dari masa Majapahit. Prasasti tembaga ini ditemukan di Gunung Penanggungan, Jawa Timur sebanyak dua set, yaitu prasasti Trp I (lempeng I, II, III) dan prasasti Trp II (lempeng II, VII, VIII). Sekarang menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta, dengan no. inv. E 79. Dalam sambhanda prasasti Trp disebutkan Sri Maharaja Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa meresmikan pertapaan di Trp yang terletak di Desa Kambang Sri menjadi daerah swatantra atas permohonan Rake Pangkaja Dyah Tumambong Mapanji Tumangala. Permohonan ini sebagai balas jasa karena pada saat raja terdesak dari istananya di Wwatan Mas oleh serangan musuh dan menyingkir ke Parakan, Rake Pangkaja Dyah Tumambong pergi ke pertapaan di Trp dan memuja di depan sebuah arca bhararf agar Sri Maharaja Airlangga dapat mengalahkan musuhnya. Kutipan sambhanda adalah sebagai berikut:
II.a. 2…….sambandha rake pankaja dyah tumamboy mapanji tumanygala. sira manambah”i paduka sri mdaharaja. majar”an hana ma
3. tapan anaran trp. paraniran palaradan. ri kala sri maharaja katalaya[]. sanke wwatan mas mara i patakan
4. hana ta sira bhatari ‘arceharupa. kapangih “i rikan patapan “1 trp. nkaina ta rakwa rake pankaja dyah tumamboy ma
II.b. 1. pra[r]thana ri jayasatru Sri maharaja riy samara.
(Boechari 1985-1986, 161-162).
Terjemahan:
II.a.2. Alasan Rake Parikaja Dyah Tumambong Mapafji Tumangala, ia menyembah kepada Paduka Sri Maharija (dan) berkata ada perta-
3. paan bernama Terep yang didarangi (pada waktu) melarikan diri (dari serangan musuh). Pada saat Sri Maharaja menyingkir dari Wwatan Mis menuju ke Patakan.
4. Ada arcanya Bharari terdapat di pertapaan di Terep. Di sana Rakai Dyah Tumambor ber-
II.b.1. doa agar Sri Miharija menang dalam peperangan.
Dalam prasasti Trp tidak disebutkan nama bharari yang dipuja oleh Rakai Dyah Tumambong, namun karena ia diminta untuk melindungi dan menyelamatkan raja dari kejaran musuh dan memenangkan peperangan maka jelas yang dimaksud dengan bhartari adalah Durga, karena ia adalah dewi pelindung dan dewi penyelamat.
Camunda/Camundi adalah salah satu aspek dari Durga yang membunuh dua raksasa bernama Canda dan Munda (Liebert 1976, 54), atau lebih rinci lagi dijelaskan dalam Markandeya Purana (dalam cerita Devi-mahatmya), Camundi adalah aspek Kali yang keluar dari kening Durga yang sedang marah pada aSura. Kali yang berbentuk mengerikan setelah berhasil membunuh Canda dan Munda dikenal dengan nama Cimunda (Agravala dalam Santiko 1987, 179). Dewi Cimundi adalah dewi yang sangat menakutkan dan merupakan dewi yang mempunyai peranan penting dalam aliran Tantra, khususnya Sakta Tantra (Santiko 1987, 179).
Dalam salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh raja Krtanagara yang bergelar Sri Krtanagara Wikramadharmmottunggadewa (1268-1292) ada yang dipahatkan di belakang arca Dewi Cimunda. Prasasti ini dikenal dengan nama prasasti Camundi, merupakan prasasti terakhir dari raja Krtanagara sebelum gugur karena serangan Jayakarwang, hanya beberapa bulan setelah prasasti ini dibuat. Arca Dewi Cimunda ditemukan di Desa Argomulyo, Singasari,
Malang, Jawa Timur, dalam keadaan pecah berkeping-keping:. Setelah disusun, beberapa bagian prasastinya ada yang tidak terbaca karena kepingannya tidak ditemukan. Sekarang menjadi koleksi Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM), Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur dengan no inv. 22/Bta. Dikeluarkan oleh raja Krtanagara yang bergelar Sri Maharaja Digwijaya rirj Sakalaloka pada tanggal 14 paro gelap bulan Caitra tahun 1214 Saka (- 17 April 1292). Pada
bagian pembuka terdapat tulisan (nama) Scamundyai yang ditulis dalam aksara Dewa Nagari dan baris-baris selanjutnya ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa Kuna.
Menurut Santiko (1987, 179), Arca Camundi ini masuk ke dalam kelompok Sapta Matrka dan apabila dewi ini masuk pada kelompok Sapta Matrka maka disebut Cimundi. Karena itulah prasasti ini disebut prasasti Camundi, yang juga sesuai dengan tulisan pada bagian pembuka prasasti ini yang memperkuat pendapat bahwa Krtanagara adalah penganut Tantrayana.
Adapun isi prasasti Cimundi yang menuliskan pentahbisan Piduka Bhatari (Camunda) adalah sebagai berikut:
[nama]Scamundyai
//o// Iswastisa|kawarsatita 12[1]4
caitramasa tithi [ca]turdasi krsna [pak]sa [tu. wa.]
[w]r wara. julung pujut. pascimastha grahacara.
“aswini [naksatra aswidewa]
ta. mahendra [ma]ndala. pritiyoga.
wairdyyamubhirtta. Sakuni karana. [m]e
sarasi // tatkala kapratisthan paduk bhatari maka tewek huwus
[s]ri [ma]haraja digwi[ja]ya riy sakalaloka mawuyun yi
sakala dwipantara
//subham bbawatul//
(Santiko 1987, 166 : Damais 1990, 151: Suhadi dan Richadiana K. 1996/1997, 19: Boechari 2019, 337).
Terjemahan:
Atas nama Camundi
Selamat! Tahun Saka telah berlangsung 1214
Bulan Caitra, tanggal 14 parogelap, pada hari
Tunglai (paringkelan), Wagai (pasaran),
Kamis, (wukuJ: Julungpujut, grahacara: PaScimastha,
bintang: ASwini, (di bawah naungan): Dewa Aswi
mandala: Pritiyoga, muhrirtta: Wajrajya, karana: Sakuni, rasi: Mesa.
Pada saat ditahbiskan Paduka Bharari sejak
Sri Maharaja yang menang di seluruh dunia (digwijaya
riy sakalaloka) telah memasuki dwipantara.
// Semoga berbahagia //
Prasasti Jawa Kuna yang pertama kali menuliskan Sapatha adalah prasasti Tru i Tpussan II (764 Saka/842). Prasasti ini hanya menyebutkan kutukan yang akan menimpa orang-orang yang merusak atau mengganggu tanah yang telah ditetapkan oleh Sri Kahulunan, yaitu orang itu seperti telur yang dibanting dan tidak dapat kembali seperti semula, dan jika ia pergi ke hutan maka ia akan dimakan harimau, jika ia pergi ke tegalan akan dipatuk ular, dan jika sungai akan dimakan buaya (Sarkar 1971, 104-105: Wuryantoro 2019, 30).
Antara kutukan untuk orang yang berani mengganggu atau merusak tanah yang dijadikan sima dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna dan Bali Kuno pada masa-masa yang lebih awal agak berbeda. Misalnya kita bandingkan kutukan yang terdapat dalam prasasti Pahgumulan yang berangka tahun 824 Saka/902m dan prasasti Trunyan B yang berangka tahun 833 Saka/911. Dalam prasasti Pangumulan disebutkan:
III. 6. ….. yapu’an-hana wu’an nanyaya”a
7. siy “”umulah “umulah “ikin Sima waniP’a”1 pangumulan watak puluwatu huniwaih yan puputsta ya kadi lawas say hyay candraditya hana riy nakasa sumuluh bin “anda bhuwana mankana lawasanyan panguhay
8. pancamahapataka (Bosch 1925: Nastiti dkk. 1982, 16: Nastiti 2003, 137)
Terjemahan:
III. 6. Apabila ada orang merusak (dan) ba-
7. rang siapa (yang) mengusik-usik ini tanah perdikan di Desa Panggumulan yang termasuk wilayah Puluwatu, apalagi jika menghilangkannya, seperti lamanya bulan berada di angkasa menerangi dunia, akan demikianlah lamanya menemui
8. pancamahapataka'(Nastiri dkk. 1982, 35)
Bandingkan dengan prasasti Trunyan B yang berangka tahun yang berbunyi:
IIIb.1. …. kunay yathana ta
2. ni kasangarugyanna kabudi-kabudi, to thaninda bhatara di turunan “angan luk, pirumahingat to banua di ‘air rawan, yan “ada manangarugi ya, sapan “lih
3. bhatara, pin pitu yan manjanma tani kapadan min “urana janma papasansara sadakala (Goris, 1954: 59).
Terjemahan:
III.b. 1. ……… Demikianlah agar (keputusan raja) tidak
2. diubah sampai di kemudian hari yang merupakan wilayah Bharira di Turunan sampai di tikungan perbatasan Desa Air Rawang. Jika ada yang melanggarnya dikutuk oleh
3. Bhatara tujuh kali. Ia menjelma tidak akan menyerupai manusia, derita nestapa selalu menimpanya (Ardika dkk. 2018, 7).
Sementara itu, Sapatha yang menyeru dewa-dewi sebagai saksi terhadap kutukan yang menimpa orang-orang yang merusak suatu s/ma untuk pertama kalinya ditemukan pada prasasti Rukam (929 Saka/907) yang berasal dari masa pemerintahan raja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-911). Kalaupun dari masa sebelumnya ada penulisan Sapatha seperti ini, biasanya prasasti-prasasti tersebut adalah prasasti salinan (ti»w/ad) dari masa setelahnya seperti prasasti Bunrur/Kaficana A (732 Saka/860) yang merupakan prasasti tinulad dari masa
Majapahit. Bagian $apatha yang dituliskan dalam prasasti Rukam:
11.12…….Indah bhatara? baprakeswara brahma wisnu mahadewa candraditya ksi[ti)] jala pawana hutasana yajamana ‘a
13. kasa kalamrtyu ganabhnta sahananta sandhyadwaya “ahoratra yama baruna kuwera basawa yaksa raksasa pisaca ganabhuta’ rama dewata pretasura gandharwwa grba kinnara wi
14. dyadhara dewaputra nandiswara mahakala nagaraja winayaka sakwaih ta dewata prasiddha mayraksa kadatwan sri maharaja “y bhumi jawa kita masuk Y hati niy yway kabaih tan
15. kawnay tinahannan kyan-hana pu’a “anyaya “umulahulahha “ikiy si[ma] nuniwaih “an lebura ya duduk hatinya sbittakan wtaynya “udullakan pahunnya wijilakan dalammanya tampyal “wi
16. ranan “uwahi Tthannan yan-para ya rinsalas patukan—nin “ula panannan niy mon pulirakna niy dewa manyuh yan-para riy tgal alapan-niy glap s(mJpalan-niy raksasa sayhampansniy wu
sipamu|nu)
17. an Yandah ta kamuy hyay kusiga gargga metri kurupya’ patanjala suwuk lor kidul kulwan wattan buanyakan “iy nakasa yanay nway “umalahulah’ “ikey sima rakryan sanjiwana de
18. ya nta mati ya sampal salamwittakan-ni hyay kabaih tibakan ‘iy mahasamudra kelamakan ‘iy dawuhan “allap—ya jalamer’ sayhapp-ya wuhaya “ankanan—matya yanay nway “anyaya umu
19. — lahulah “ikey sima “upadrawa “y dewata tatan tmu “aysama Uhrasta liputtan niy dera muliha riy naraka tiba “Ty maharorawa yanay langhana “In djnd haji (Nasriti dkk. 1982, 25-26)
Terjemahan:
II.12. …….. “Wahai para dewa yang bertakhta di baprakeswara, Brahma, Wisnu, Mahadewa, Candraditya, Ksiti, Jala, Pawana, HutaSana, Yajamana,
13. Akasa, Kalamrtyu, Ganabhata, Sahananta, Sandhyadwaya, Ahoritra, Yama, Baruna, Kuwera, Basawa, Yaksa, Raksasa, Pisaca, Ganabhuta, Rama, Dewata, Pretisura, Gandharwwa, Graha, Kinnara,
14. Widyadhara, Dewaputra, NandiSwara, Mahakala, Nagarija, Winayaka, serta seluruh dewata utama yang (memberi) kebahagiaan dan menjaga keraton Sri Mahargja di tanah Jawa. Engkau masuk ke (dalam) hati semua orang tanpa
15. bisa ditahan. Bila ada yang berani merusak (dan) mengganggu sima ini, apalagi yang (akan) menghancurkannya, congkel hatinya, sobek perutnya, lepaskan pahuy-nya, keluarkan isi perutnya, tamparlah kedua pipinya
16. berulang-ulang. Bila ia pergi ke hutan hendaknya menjadi mangsa patukan ular (atau) menjadi mangsa harimau, diputar oleh Dewa Manyuh. Jika berjalan di tegalan disambar petir, dipatahkan dan ditelan oleh raksasa (bernama) si Pamunuan.
17. Wahai Dewata Hyan Kusika, Gargga Merri, Kurusya, Patafnjala, halaulah ia ke utara, selatan, barar, timur (dan) lemparkanlah ia ke angkasa. Jika ada yang berani mengganggu sima Rakryan Safjiwana
18. Matikan ia dan enyahkan oleh semua dewata, jatuhkanlah ia ke dalam samudera yang luas, tenggelamkan ke dalam bendungan, tarik sampai ke dasarnya (dan) diterkam buaya, demikianlah ia akan mati. Bila ada orang yang berani merusak dan
19. mengganggu sima ini, (berilah) ia penderitaan oleh dewata, tidak dapat berinkarnasi (?). Hancurkan dan liputilah dengan kesengsaraan, pulangkanlah ke neraka, jatuhkanlah ke (neraka) Maharorawa, bila ada orang yang tidak mengindahkan perintah raja. (Nastiti dkk. 1982, 39-40)
Bentuk Sapatha yang ditulis dalam prasasti Rukam ini kemudian menjadi format/templat (template) pada prasasti-prasasti setelahnya yang mempunyai bentuk seperti itu. Karena tidak semua prasasti mempunyai bentuk kutukan yang sama. Format yang digunakan tidak sama persis tetapi ada yang ditambah dan dikurangi. Demikian pula dewa-dewi yang diseru. Namun ada juga karena kesalahan tulis dari format prasasti Rukam, kesalahan ini diulang terus pada prasasti-prasasti setelahnya, contohnya kata dalam er yang selalu ditulis jalamer, tutuh tundunya seharusnya tutuh tundanya, atau agasti untuk agastya.
Adapun prasasti pertama yang memuat nama Durggadewi dalam Sapatha adalah prasasti Sanguran (846 Saka/948) yang dikeluarkan oleh raja Rakai Pangkaja/Sumba Dyah Wawa (927-928/929) (Santiko 1987, 96). Contoh prasasti yang memakai format prasasti Rukam yang menuliskan
Durggadewi, dapat dilihat pada prasasti Alasantan (861 Saka/939) dari masa raja Sindok (929-948) yang bergelar Rake Halu Pu Sindok Sri Ikanawikrama Dharmmotunggadewa. Kutipannya sebagai berikut:
III.17. …. “indah ta kita kamur hyar “in $ri haricandana ?agasti maharesi purba daksina pascimottara. maddhya “adrdhawamadhah rawi Sa
18. Si ksiti jala pawana hutasana yajamanakasa dharma “ahoratri Sandhya hrdaya. yaksa raksasa pisaca pretasura garuda gandharba. catwari lokapala yama baruna.
19. kuwera wasawa. mu’ar) putra dewata pafica kusika nandiswara mahakala sad winayaka nagaraja durgadewi. caturasa “ananta surendra. “anak ta hyay kalamrtyu ganabhuta. kita pra
IV.1. [siddha] manraksa kada[twan sri] maharaja i mday in bhrimi mataram kita “umilu manarira “masukin sarba sarira kita sakala saksibbrita tumon madoh lawan mapar6 “17 rahina wni “atden&ikan ta ikern sa
2. [maya sapatha] su[mpah pa]manmay mami ri kita hyay kabaih yawat iken nwan duricara tan-magam tan-—makmit “irikey sapatha sinrahakan san wahuta hyay kudur hadyan hulun matuha raray laki laki wa
3. [dwan] wiku (grhasta mufay patih wahuta rama. Yasiy “umulahulah ikey Imah waruk ryyalasantan sima panurumbigyan “inarpanakan sri mabaraja ” rakryan kabayan “ibu rakryan mapatih ri halu
4. [d]yah sahasra ‘i [dla]ha niy dlaha babakataya nuniweh yan dawuta say hyay watu Sima tasmat kabwataknanya patyananta ya kamuy hyay deyan rat patiya tat-tanoliba 4 wuntat tatstighala “i likuren.
5. taruy rin Yadegan tampyal “1 wiranan “uwahi ‘i thanan tutuh tundunya blah kapalanya. sbitakan wtaynya rantan ususnya wetwakan dalmanya dudut—hatinya. teber pepeddakan wkasan pranantika. ya
6. [n] para rinsalas pananan-iy mon. patukan-niy “ula. pulirakna niy dewa manyuh yan para riy tgal “alapan-iy glap sampalan-nig raksasa pananan-niy wwil si pamuhwan. tamolah ya ri sthanaya sarba roga ruma
7. [nca] ya. “arah ta kita kamun hyay kusika garga. metri kurusya patanjala suwuk lor suwuk-kidul kulwan wetan bwanakan riy “akasa salambitakan iy hyay kabaih tibikan “‘y maha samudra
8. [k]lammakan “17 (dawuhan “ala/pan san Iyan jalammer dudutan niy tuwiran sanhapan—niy wubaya. nka matya ‘ikay hway hkanan “anyaya lumebur “ikey Sima panurumbigyan ryyalasantan “upadrawa riy dewata ka
9. beb bhrsta liputan—niy phira muliha “ty ka naraka. tibakan riy maha rorawa klan-de say yama bala. palun-de say kinkara pig pitu “atayan bimban papa ‘ataya saysara sajiwa kala salwir—niy duhla” pangu
10. hanya sarupa niy lara bidepenya sakelik-niy manjanma dadyananya awika tan temu “ay Sama. wkassakan hawu kerir mankana tmahana nikan nwan anyaya lumebur “ikan Sima panurumbigyan ryyalasantan (Wibowo 1979, 40-42)
Terjemahan:
III. 17. …. Wahai para Hyang sekalian, Sri Haricandana, Agasti, Maharesi, (dewa penguasa) timur, selatan, barat, utara, tengah, zenith dan nadir, Rawi, Sa.
18. Si, Ksiti, Jala, Pawana, Hutisana, Yajamana, Akasa, Dharma, Ahoritri, Sandhya, Hrdaya, Yaksa, Raksasa, Pisica, Pretasura, Garuda, Gandharwa, Catwari, Lokapala, Yama, Baruna.
19. Kuwera, Wasawa dengan Putradewata, Paficakusika, Nandiswara, Mahakaila, Sad Winayaka, Nagaraja, Durgidewi, CaturaSa, Ananta Surendra, Ananta Hyan Kalamrtyu, Ganabhita. Engkau yang telah
IV.1. menyempurnakan dan menjaga keraton Sri Maharaja di Mdan di Kerajaan Mataram. Engkau ikut menjelma masuk ke setiap tubuh. Engkau hadir menjadi saksi yang menampakan diri, (yang dapat) melihat dari jauh maupun dekat pada siang maupun malam. Dengarkanlah yang
2. gaib sumpah kutukan kepada Engkau semua, apabila ada orang yang jahat yang tidak berguna, tidak menjaga kutukan ini yang diucapkan oleh Sang Wahuta Hyang Kudur (yang ditujukan kepada) tuan-hamba, tua-muda, laki-laki-pe-
3. rempuan, wiku-grhasta dan patih, wahuta, pejabat desa (dan) siapa pun yang mengganggu tanah waruk di Alasantan (yang merupakan) sima panurumbigyan (yang) dihadiahkan Sri Maharaja kepada Rakryan Kabayan, ibu (dari) Rakryan Mapatih ri Halu
4. Dyah Sahasra sampai masa yang akan datang. (Di tanah) yang baru berubah kedudukannya, terutama jika (ada yang) menghancurkan Sang Hyang Watu Sima. Oleh karena perbuatannya bunuhlah ia Wahai Dewa. Bunuhlah ia tanpa bisa kembali dan tertinggal di belakang, tidak dapat melihat pasangannya.
5. tarung berhadapan, pukul di sebelah kiri diulang sebelah kanan. Patahkan hidungnya, belah kepalanya, sobek perutnya, renggut ususnya, keluarkan dalamannya, tarik hatinya. Setelah itu sempurnakan, akhiri dengan kematian. Jika
6. pergi ke hutan menjadi mangsa harimau, dipatuk ular, diputar Dewa Manyuh, jika pergi ke tegal disambar petir, dicabik-cabik raksasa, dimakan raksasa si Pamurwan. Selamanya ia di tempat kediamannya Roga Ruma-
7. ica”, Wahai Dewa Hyang Kusika, Gargametri, Kurusya, Patanjala, halau ke utara, halau ke selatan, halau ke barat, halau ke timur, buang ke angkasa, robek sampai hancur oleh hyang semua, jatuhkan ke samudera luas,
8. tenggelamkan di bendungan (dan) tarik sampai ke dasarnya, ditarik oleh tuwiran (monster laut) dan diterkam oleh buaya. Demikian ia akan mati. Bila ada orang yang merusak sima panurumbigyan di Alasantan, (berilah) ia penderitaan oleh dewata se-
9. mua. Hancurkan dan liputilah dengan kesengsaraan, pulangkanlah ke neraka, jatuhkanlah ke (neraka) Maharorawa, dimasak oleh pasukan Dewa Yama, dipukul oleh Sang Kinkara, tujuh kali menjelma papa (dan) sengsara. Seluruh hidupnya selalu mengalami kesedihan.
10. Tidak henti-hentinya mengalami penderitaan dan menjalani rasa benci, dilahirkan kembali menjadi abu tanpa bisa kembali ke semula. Akhirnya seperti abu tertiup angin. Demikian nasib orang yang merusak (dan) menghancurkan sima panurumbigyan di Alasantan
Format Sapatha ini dipakai juga pada prasasti-prasasti Bali Kuna, terutama pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu (1049-1077). Sebagai contoh dapat dilihat pada bagian $apatha dalam prasasti Dawan (975 Saka/1035)” yang ditulis dalam aksara Bali Kuna dan bahasa Jawa Kuna sebagai berikut:
IX.a.2. ….. Indah ta bhatara punta hyan, hyay agasti,maharsi, purwwa, daksina, paScimottara, madhya Surdhamadah, rawi, Sasi, ksi
3. ti jala pawana, hutasana, #ahoratri sandyadwaya, yaksa, raksasa, piSaca, pretasura garuda gandarwa, kinara mahoraga, catwari lokapala, yama baruna, kuwera bisawa mwar putrade
4. wara, pafcakusika, nandifwara, mahakala, sadwinayaka, durgadewi, caturaStra, Sananta surendra fananta kalamrtyu, gana fbhuta) raja bhuta, kita milu mafarira, masukir sarba masarira saka
5. la saksi bhuta, tumon ‘anadoh lawan Sapar|k), rahina wni, Satrn6 Sikiy samaya sapatha sumpah pamaymay mami ri kita hyar kabeh, yawat tikang wway duricara tan yatna ryyanugraha padu
6. ka haji ?irikay karaman ?1 lutunan sapasuk thani, brahmana, ksatrya wesya sudra, badyan hulun rareyatuha lanan wadwan grahasta wiku, nayaka caksu parasandhiwisa tasi
IX.b.l. …… semulahulah fanugraha paduka haji, # dlaha niy dliha tasmat kabwataknanya patyananta ya kamuy hyan, de yan tat patiya tan panonliha ri wuntat, tan tinhala birinan tarung
2.1 tadgan, tutuh tundunya belah kapalanya, sbitaktn wtangnya, wetwaken dalmanya, dudut hatinya panan daginnya, “inum rahnya wehi prarantika, yan para rin alas sahut niy Sula, pulirakna nir
3.dewa manyu, yan para ya rity tgal samberin glap, sarba roga rumaficaya sarah ta kita hyan kuSika garga metri kurusya, patanjala, suwuk lor kidul kulwan wetan bwanaken rin ta
4. kaSa, salembitaken-i sarhyan kabeh tibanikay samudra k&elmakni dawuhan dudutin tuwiran, sanhapnir wubaya, muliha riy ndrakaloka, palun de say yama kinkara bala, pin pitu man
5. janma papa sansara, sajiwa kala salirin dukha bbukrinya, sakeliking janma mahanya, ‘awuka tan tmui) sama, mankana tmahanikay wway tumunarukta sanhyar prasasti kmitanikay kara
6. man & lutunan sapasuk thani (Santosa, 1965: 34-36, Ardika 2018, 8)
Terjemahan:
IX.a.2. ………. Wahai Bhatara Dapunta Hyang, Hyang Agasti, Maharsi, timur, selatan, barat, utara, tengah, atas, bawah, matahari, bulan
3. bumi. air, angin, api, siang-malam, pagi-sore, Yaksa, Raksasa, Pisaca, Pretasura, Garuda, Gandharwa, Kinara, Mahoraga, Catur Lokapala, Yama, Baruna, Kuwera, Basawa, dan Putradewata,
4. Pancakusika, Nandiswara, Mahakala, Sadwinayaka, Durgadewi, Caturasra: Ananta Surendra, Ananta Kalamrtyu, Gana Bhuta, dan Raja Bhura. Engkau yang ikut menjelma, menyusupi semua makhluk. Engkaulah yang ikut
5. menjadi saksi bhuta yang nyata, dapat melihat yang jauh maupun yang dekat, (juga) pada siang dan malam. Dengarkanlah janji kutukan sumpah kami kepadamu Hyang semua. Jika ada orang yang jahat, tidak mengindahkan anugerah paduka
6. raja kepada penduduk Desa Lutungan sewilayahnya, Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra, para budak, tua-muda, laki-perempuan, grahasta, wiku, nayaka, caksu, parasandhiwisa
IX.b.1. yang merusak/melanggar anugerah paduka raja, sampai kelak kemudian hari, semoga ia mendapat beban yang sangat berat (dalam hidupnya), bunuhlah dia, wahai yang mulia Hyang, jika ia tidak mati, supaya tidak selamat sampai kemudian hari, dan tidak dapat melihat
siapapun, terjanglah
2. badannya, patahkan hidungnya, belah kepalanya, sobek perutnya (dan) keluarkan dalamannya, tarik hatinya, makan dagingnya minum darahnya, akhiri jiwanya. Jika ia pergi ke hutan supaya dipatuk oleh ular, diputar oleh
3. Dewa Manyu, jika pergi ke ladang supaya disambar petir, supaya semua duka nestapa dideritanya. Wahai Engkau Hyang Kusika, Garga, Metri, Kurusya, Patanjala, terjanglah dari selatan, utara, barat dan timur, lemparkanlah ke
4. angkasa, agar disiksa oleh para dewa, campakanlah ke samudera, tenggelamkan di danau, ditarik oleh tuwiran, agar diterkam buaya. Pulangkanlah ke neraka, dipukul oleh Sang Yama (dan) pasukan Sang Kingkara, tujuh kali men-
5. jelma papa dan sengsara. Seluruh hidupnya selalu mengalami kesedihan, segala penderitaan manusia dialaminya, (dilahirkan kembali) menjadi abu tanpa bisa kembali ke semula. Demikianlah akibat dari orang yang melanggar (isi) prasasti yang dijaga oleh penduduk
6. Desa Lutungan sewilayahnya. (Santosa, 1965: 34-36: Ardika 2018, 8-10).
Mengingat ibu Anak Wungsu adalah Mahendradatta Gunapriya Dharmmapatni yang berasal dari Jawa. Seperti diketahui Mahendradattai adalah adik dari Dharmmawangsa Tguh (?-1017) dari Kerajaan Mataram Kuna yang menikah dengan raja Bali bernama Udayana dari wangsa Warmmadewa.
Dari pernikahannya mereka dikaruniai tiga orang putra, yaitu Airlangga yang kemudian menjadi raja di Jawa, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Anak Wungs$u menjadi raja menggantikan Marakatapangkaja. Oleh karena itu merupakan yang wajar jika pengaruh Jawa sangat kuat pada Anak Wungsu, termasuk juga memakai bahasa Jawa Kuna dalam prasasti-prasastinya dan memakai format Sapatha yang biasa terdapat pada prasasti-prasasti Jawa Kuna.
Pada umumnya dewa-dewa yang diseru dalam Ssapatha adalah Baprakeswara, Haricandana, Agastya, Maharesi yang tidak selalu disebut bersama-sama. Kemudian dewa-dewa Hindu dari kelompok yaksa, raksasa, piSaca, pretasura, gandharwa, dan sebagainya: kelompok Lokapala (dewa penjaga arah mata angin): Hyang Pancakusika (Kusika, Gargga, Merri, Kurusya, Patanjala), Maihakala dan Nandiswara, Sad-winayaka, Nagarija: Durggadewi, Ananta Surendra dan Ananta Kalamrtyu, Kama, Basundara-Basundari, Kuweraj Kiligni. Disamping itu menyeru Pancamahabhata (umumnya terdapat pada prasasti masa Kadiri), Yajamana, Caturasra, Sandhya-
dwaya-Sandhya-traya, arah mata angin, arwah leluhur dan makhluk halus (Santiko 1987, 104-132).
Tidak banyak prasasti yang menyeru Dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) sebagai saksi. Durggadewi tidak diseru jika dalam prasasti telah menyeru Dewa Trimurti. Hal ini menunjukkan bahwa Durggadewi sejajar kedudukannya dengan Dewa Trimurti tersebut, artinya Durga dianggap sebagai sakti-nya Siwa. Selain itu pada masa Kadiri, Durggadewi tidak pernah
disebut karena dalam Sapatha masa Kadiri yang diseru bukanlah dewa-dewa Hindu, elainkan Sang Hyang Paficamahabhura, yakni arah mata angin, air, api, dan lain-lain (Santiko 1987, 147).
Durga merupakan satu-satunya dewi yang disebut dalam $apatha. Sesuai dengan tradisi Hindu, Dewi Durga adalah dewi yang menakutkan dan meminta kurban daging dan darah bahkan manusia (Santiko 1987, 153-156). Dalam $apatha Durga diseru sebagai saksi peresmian suatu sima dan
hukuman bagi orang yang merusak sima sangat mengerikan seperti yang telah disebutkan dalam kutipan pada format: “Congkel hatinya, sobek perutnya, lepaskan pahug-nya, keluarkan isi perutnya, tamparlah kedua pipinya berulang-ulang. Bila pergi ke hutan dipatuk ular atau dimakan. Menjadi putaran (dari) kemarahan dewa-dewa. Bila berjalan di tegalan disambar petir, dipatahkan dan ditelan oleh raksasa (bernama) si Pamunuan. Dilempar ke angkasa, dijatuhkan ke dalam samudera, tenggelamkan ke dalam bendungan, tarik sampai ke
dasarnya dan diterkam buaya”.
Berkaitan dengan Durga identik dengan dewi yang menakutkan, dapat dilihat pada prasasti Trailokyapuri/Jiwu II dan Trailokyapuri/Jiwu III/IV (1408 Saka/1486) yang dikeluarkan oleh raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Dalam prasasasti ini, meskipun Bharari Durga disebutkan pada bagian Saphata, akan tetapi bukan sebagai dewi yang diseru melainkan sebagai penghukum orang-orang yang kena kemarahan Bhatara Yama Kala karena mengganggu Sri Piduka Brihmarzja. Dalam prasasti Trailokyapuri/Jiwu II disebutkan:
…. kunan yan hana
miruddha “ paduka sri brahma
raja, sahananya makadi sa
nagata prabhu, mantra sigrha tiba
kna kroddha bhatara yama kala
gni warsa tadahen denira bhatari durgga cucup uteknya,
langgha rudiranya, rima-rima hati
nya hamelamel dagingnya)
(Brandes 1913, 218).
Terjemahan:
…. Selanjutnya jika ada
yang mengganggu kepada Piduka Sri Brahma-
raja (dan) semua yang menjadi
raja yang akan datang, didoakan cepat jatuh
kena kemarahan Bhatara Yama, Kala, Ag-
ni, warsa (hujan?), dimakan olehnya Bhatari Durga, disedot otaknya,
diminum darahnya, dikoyak-koyak hatinya, dan dikunyah-kunyah dagingnya
dan dalam prasasti Trailokyapuri/Jiwu III/TV, disebutkan:
27. …. tadahen
28. denira dewi
29 durggastu //o//
(Brandes 1913, 226)
Terjemahan:
27…. semoga dimakan
28. olehnya Bhatari Durga.
29. Hendaknya demikian //0//
Dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna, selain sebagai dewi yang disebut dalam Sapatha, Durga juga dipuja seperti yang ditulis dalam Prasasti Trailokyapuri (Jiyu II) yang berangka tahun (1408 Saka/1486). Dalam prasasti disebutkan bahwa persembahan kepada Bhatari Durga setiap tanggal 15, upacara dilaksanakan di Kabuyutan oleh Mihamantri dan upacara Puja Agung seriap
tanggal 5 bulan ASadha di Kabuyutan dengan biaya 5 kati (Santiko 1987, 186: 2011, 138-129). Kutipannya sebagai berikut:
…. bha
tari durgga rip mahamantri riy ka
buyutansanken pancadasi, de
niy pujanaguy “n kabuyutan
(Brandes 1913, 217)
Terjemahan:
… Bharari Durgga (oleh) Mahamantri di Ka-
buyutan setiap tanggal 15, melakukan
puja agung di Kabuyutan.
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk puja agung kepada Bharari Durga lebih kecil dari biaya untuk pemujaan kepada Bhatara Yama sebanyak 15 kati 10 (masa?)
Durga merupakan aspek kroddha (bengis) dari Parwati (Uma), yang digambarkan sebagai perempuan cantik jelita. Manifestasi Durga yang paling dikenal di Jawa dan Bali adalah Durga Mahisasuramardini yang digambarkan sebagai dewi bertangan banyak dan memegang senjata pemberian para dewa untuk mengalahkan a$ura. Dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna dan Bali Kuna, Durga merupakan satu-satunya dewi yang disebut dalam sapatha.
Atas dasar data pada bagian Sapatha dari prasasti-prasasti Jawa Kuna, yaitu waktu menyeru dewa-dewi, jika menyeru Durga maka Dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) tidak diseru, menunjukkan kedudukan Durga sejajar dengan Dewa Trimurti. Sebagai dewi yang sejajar dengan Dewa Trimurti dapat dilihat juga dari pentahbisan Durgi oleh raja Krtanagara dengan wujud Dewi Camunda dan juga dituliskan namanya dalam prasasti Cimundi. Seperti kita ketahui bahwa Dewi Camunda adalah satu manifestasi dari Durga. Demikian pula dari prasasti Trailokyapuri II diketahui ada pemujaan kepada Durga yang disebut puja agung dan dilakukan pada tanggal 15 setiap bulan di Kabuyutan (tempat yang disucikan). Oleh masyarakat Jawa Kuna, Dewi Durga dianggap sebagai dewi pelindung dan dewi penyelamat yang selalu menolong orang yang dalam kesulitan. Hal ini tercermin dari prasasti Trp yang menyebutkan bahwa Rakai Dyah Tumambong memujanya ketika kerajaan sedang kesulitan karena diserang musuh dan berdoa supaya raja Airlangga menang perang.
Selain sebagai dewi pelindung, Durga juga bisa menjadi dewi penghukum manusia yang merusak sima dengan menyedot otaknya, mengoyak hatinya, memakan dagingnya, merobek perutnya, dan meminum darahnya seperti yang dituliskan dalam prasasti Traiokyapuri II/IV (1408). Durga sebagai penghukum orang-orang yang merusak sima digambarkan sangat kejam dan menakutkan. Hal ini sesuai dengan tradisi Hindu yang menggambarkan Dewi Durga sebagai dewi yang menakutkan dan meminta kurban daging dan darah bahkan manusia.
Sementara itu, kedudukan Dewi Durga dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna dan Bali Kuna mempunyai kesamaan, yaitu sebagai Durggadewi yang diseru sebagai saksi dalam Sapatha untuk menghukum orang-orang yang merusak suatu sima.
Ardika, I Wayan, I Ketut Setiawan, IGN Tara Wiguna, I Wayan Srijaya. 2018Sapatha dalam Relasi Kuasa dan Pendisiplinan pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XIV Masehi, Berkala Arkeologi 38 (1): 1-16.
Boechari. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional, Jilid 1. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.
Boechari. 2019. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Cetakan keriga.
Bosch, F.D.K. 1925. De Oorkonde van Kembang Arum, Ordheidkundig Verslag Bijlage B, 41-49.
Brandes, J.L.A. , 1913, “Oud-Javaansche Orkonden Negalaten Transcripties yan Wijlen Dr. J.L.A. Brandes Uitgegeven door NJJ. Krom”, Verbandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen LX.
Damais, Louis Charles. 1990. Etudes d’Epigraphie Indonesienne. Paris: Ecole Frangaise d’Extr@me-Orient.
Goris, R. 1928. De Oude-Javaansche inscripties uit het Sri-Wedari museum te Soerakarta, Oudheidkundig Verslag Bijlage B: 63-70.
Goris, Roelof. 1954. Prasasti Bali. Jilid 1. Bandung: N.V. Masa Baru
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Liebert, Gosta. 1976. “Iconographic Dictionary of the Indian Relogion”, dalam J.E. van Lohuizen-de Leeuw, Studies in South Asian Culture, vol. 5. Leiden: E.J. Brill.
Kumar, Puspendha. 1974. Sakti Cult in Ancient India. With special reference to the Pur@nic literature. Varanasi: Bharatiya Publishing House.
Maziyah, Siti. 2018. Implikasi Prasasti dan Kekuasaan pada Masa Jawa Kuna. Anuva 2 (2): 177-192.
Naerssen, F.H. van. 1941. Oudjavaansche Oorkonde in Duitsche en Deensche Verzamelingen. Disertasi. Leiden: Rijksuniversiteit Leiden.
Nastiti, Titi Surti, Dyah Wijaya Dewi, Richadiana Kartakusuma. 1982. Tiga Prasasti dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen P & K.
Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi Pemutakhiran.
Rahmat, Pupu Saeful. 2009. Penelitian Kualitatif. Eguilibrium 5(9): 1-8.
Santiko, Hariani. 1987. Kedudukan Bharari Durga di Jawa Pada Abad X- XV Masehi. Disertasi. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.
Santiko, Hariani. 2011. Puja-Caru pada Masyarakat Jawa Kuna, Paramita 21/2): 125-137.
Santosa, Ida Bagus. 1965. Prasasti-prasasti Anak Wungsu di Bali. Skripsi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Stutterheim, W.F. 1936. De dattering van eenige Oostjavaansche Beeldengroepen, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 76: 313-317.
Wibowo, A.S. 1979. Prasasti Alasantan Tahun 861 Saka, Majalah Arkeologi (1979) Th. 3: 3-36.
Zoetmulder, PJ. 2004. Kamus Jawa Kuna. Jakarta: PT Gramedia. Cetakan keempat.
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpebjateng/Durga-mahisaSuramardhini/ diunggah pada tanggal 3 Maret 2016.