Kisah Para Dewi

Kisah Para Dewi

Bab 02: Tantrayana dalam Ritual di Bali

DAFTAR ISI

Dr. I Wayan Budi Utama dan I Gusti Agung Paramita, S.Ag, M.Si.
Universitas Hindu Indonesia

Email: budi utama2001@yahoo.com

 

INTRODUKSI

Abdullah, dkk. (2008) menyatakan bahwa proses transformasi sosial yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, baik mengenai cara keberagamaan, praktik-praktik ritus lokal, hingga bagaimana suatu komunitas berusaha membangun strategi bertahan di bawah bayang-bayang dan tantangan global, mengalami hambatan serius. Alasannya antara lain (1) bahwa penelitian tentang situasi lokal seringkali menempatkan peran yang kurang aktif dari agen setempat dalam konteks transformasi yang cukup luas. Aktor-aktor dalam konteks lokal ini dipandang hanya sekadar memberikan tanggapan atas tekanan-tekanan dari luar, baik aktor politik, ekonomi, hingga tokoh keagamaan: (2) studi tentang praktik keagamaan lokal dinilai kurang relevan bagi pemahaman perubahan politik dan ekonomi global. Anggapan ini tentu kurang beralasan karena transformasi lokal tidak saja berdampak pada dimensi politik dan ekonomi, tetapi juga pada aspek spiritualitas dan bangunan world view suatu masyarakat. Alasan lain tentang pentingnya studi- studi tentang lokalitas adalah bahwa pendekaran teoretis tenrang globalisasi ataupun modernisasi, telah menciptakan kekosongan dan ketidaktahuan akan praktik dan kearifan yang lahir dari perspektif lokal (Jocal wisdom). Untuk mengisi kekosongan tersebut membutuhkan pelibatan secara intens konstruksi- konstruksi lokal.

Untuk daerah Bali aspek lokalitas ini menjadi menarik untuk dikaji mengingat kekenyalan yang dimiliki dalam beradaptasi dengan lingkungan budaya yang berkembang di sekitarnya. Penduduk yang menempati Pulau Bali, sejak zaman prasejarah telah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi tentang adanya dunia lain” di luar dunianya sendiri yang diyakini dapat memberikan pengaruh terhadap kehidupannya.Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang hidup di pulau ini sejak zaman prasejarah telah mengenal agama. Kata ini memang berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti doktrin atau aturan tradisional yang suci (Zoetmulder, 2000).Agama juga berarti datang mendekat. Dalam ajaran agama Hindu dikenal tripramana, yaitu anumana, pratyaksa, dan agama. Agama dalam hal ini berarti pengetahuan yang diajarkan oleh guru (Sura dkk., 2002). Meskipun istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta yang masuk ke Indonesia pada zaman belakangan namun benih-benih keagamaan telah berkembang subur dalam masyarakat, jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu.

Perhatian para ahli tentang persebaran Hinduisme di Asian Tenggara lebih banyak terfokus pada peran aktif para aktor dan budaya India yang bersifat satu arah dalam memberikan pengaruh terhadap agama dan kebudayaan bangsa-bangsa di Asia Tenggara seperti Indo China, Khmer, dan Indonesia.Pandangan-pandangan tersebut diantaranya adalah dari sarjana Prancis bernama Coedes, demikian juga Krom menyatakan bahwa para pedagang India yang berjasa menyebarkan Hinduisme di Indonesia manakala mereka melakukan transasksi di daerah-daerah yang dilaluinya di Asia Tenggara. Sementara itu ahli lainnya van Leur menyatakan tentang peran para pedagang India yang dibantu kelompok brahmana berjasa dalam penyebaran Hinduisme di Asia Tenggara (Poespowardojo, 1986). Ahli lainnya seperti Mookerjee menyatakan bahwa peran para ksatria Indialah yang berperan dalam perkembangan Hinduisme di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Tim Penyusun,1985/1986). Pandangan-pandangan para ahli tersebut mengindikasikan bahwa aktor dan budaya lokal sangat pasif dalam menerima pengaruh Hinduisme.

Muncullah kemudian pandangan Guaritch Wales yang menyatakan tentang peran budaya lokal khususnya di kepulauan Indonesia dalam menerima pengaruh Hindu India yang disebutnya dengan istilah local genius. Wales menyatakan bahwa local genius ini bersifat sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang (Poespowardojo, 1986). Sementara itu Bosch dalam menganalisis tentang local genius lebih menitik beratkan perhatiannya pada peran aktor pelaku penerima kebudayaan itu (Magetsari,1986). Oleh karena itu, masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan agama Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (Bosch,1983).

Apa yang disampaikan oleh Wales di atas rupanya diperkuat oleh hasil penelitian Santos (2010) yang selama tiga puluhan tahun meneliti kerajaan emas di Atlantis, sehingga sampai pada sebuah kesimpulan yang membantah pandangan ahli sebelumnya. Dia menyatakan bahwa dari Indonesialah peradaban itu menyebar ke belahan dunia lainnya. Hal ini terjadi pada saat terjadi ledakan dahsyat gunung api di Indonesia seperti Krakatau dan Tambora yang mengakibatkan naiknya suhu udara dunia. Akibatnya es mencair serta menaikkan permukaan air laut. Terjadilah migrasi penduduk (sudah barang tentu dengan kebudayaannya) secara besar-besaran dari Indonesia ke berbagai belahan dunia. Teori yang disampaikan Santos memang masih menjadi bahan perdebatan, namun hal ini menunjukkan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang dikenal dengan istilah lokal genius memungkinkan bagi bangsa Indonesia untuk melakukan lokalisasi budaya-budaya yang datang belakangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi arus balik pemikiran yang melihat bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia memang memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang kebudayaan yang disebut lokal genius. Local genius ini baik budaya maupun aktor lokal memang bersifat sentral dalam hubungannya dengan persebaran Hinduisme (dalam hal ini difokuskan pada ajaran Tantrayana). Muncul beberapa pertanyaan menarik terkait dengan keberadaan ajaran Tantrayana dimaksud yaitu bagaimanakah lokalisasi Tantrayana di Indonesia? Adakah sistem kepercayaan lokal yang memberi peluang bagi pencangkokan Tantrayana di Bali, serta bagimanakah keberlanjutan keberadaan ajaran Tantrayana di Bali saat ini?

 

PADA MULANYA CELAK KONTONG LUGENG LUWIH

Istilah lokalisasi yang diberikan oleh Niels Mulder (1999) menunjukkan adanya inisiatif dan sumbangan masyarakat-masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggungjawab atas hasil-hasil pertemuan budaya. Dengan kata lain, budaya yang menerima pengaruh dari luarlah yang menyerap dan menyatakan kembali unsur-unsur asing dengan cara menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan pandangan hidup. Dalam proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu menemukan akar-akar lokal, atau cabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing itu dapat dicangkokkan. Baru kemudian, melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cangkokan itu akan berkembang dan berbuah (Mulder,1999). Sementara itu Nordholt (2006) mendefinisikan lokalisasi sebagai proses aktif untuk mengadopsi dan memberikan makna baru terhadap konsep-konsep dari India.

Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kebudayaan serta sistem keyakinan masyarakat Bali sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi ketika proses lokalisasi itu terjadi antara lain sebagai berikut.
1. Kepercayaan tentang gunung dan laut sebagai alam roh
2. Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan lain dan akan menjelma kembali
3. Adanya kepercayaan bahwa organ-organ tubuh tertentu terutama penis dan vagina memiliki kekuatan magis sebagai penolak bala dan media untuk mohon kesuburan.
4. Adanya kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai pertolongan (Sutaba,1980: Pemda Bali, 1985 /198G, Ardana, 1986).

Ada yang menarik dari paparan tersebut di atas terkait dengan topik pembahasan mengenai ajaran Tantrayana yaitu adanya kepercayaan tentang kekuatan magis yang dimiliki oleh alat kelamin sebagai penolak bala dan sebagai media untuk memohon kesuburan. Jika dihubungkan dengan ajaran Tantrayana terdapat kemiripan dengan penggunaan Yantra dalam bentuk penis dan vagina sebagai sarana pemusatan pikiran.

Pada awalnya di zaman pra sejarah, konon diyakini Tuhan adalah perempuan. Tuhan perempuan ini sungguh menarik, terdapat nama-nama seperti Isis, Aphrodite, Ishtar, Juno, Demeter dan sebagainya yang eksistensi mereka mendunia dari Rusia hingga Cina, Eropa, Indonesia, dan Afrika juga Australia. Tuhan perempuan selama ribuan tahun menjadi acuan yang tak tergoyahkan. Tuhan Isis meletakkan dasar-dasar hukum, mengukuhkan kekuasaan perempuan yang memiliki kemampuan bahkan untuk memisahkan mana yang disebut surga dan mana yang disebut dunia. Ia mengatur semuanya termasuk bulan dan matahari, juga termasuk laki-laki dan tak ada yang mampu membantah. Singkatnya perempuan adalah segalanya. Pada perjalanan sejarah selanjutnya, para Tuhan perempuan direduksi keberadaannya menjadi Dewi yang dimasukkan dalam kategori mitos. Perempuan dianggap tidak lagi memiliki kualitas kesakralan atau kenabian atau memiliki pengetahuan superior atau kekuasaan apapun bila merujuk pada pendapat Arivia (2009).

Dasar-dasar ajaran Tantrayana yang memposisikan pemujaan terhadap perempuan (sakti) sebagai sesuatu yang sangat penting, telah ditemukan jauh sebelum pengaruh Hindu berkembang di India. Temuan-temuan yang dihasilkan dari penggalian di daerah Mahenjodaro dan Harrapa antara lain arca terracotta yang menggambarkan tubuh wanita dengan pinggang ramping, pinggul dan buah dada yang penuh sebagai gambaran wanita yang subur, telah mengantarkan para ahli untuk berasumsi bahwa orang-orang Dravida sebagai pendukung kebudayaan ini lebih mengutamakan pemujaan terhadap Dewi (Sakti). Disamping itu ditemukan juga arca laki-laki bermuka tiga dalam posisi duduk bersila (sikap meditasi) dengan penis dalam keadaan ereksi (Majumdar,1998: Mantra, 2006). Sikap ini mengingatkan pada sikap meditasi dalam ajaran Yoga. Bila memang demikian keadaannya kiranya bisa dikatakan bahwa ajaran Yoga yang berkembang belakangan di India berasal dari akar tradisi bangsa Dravida. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila dalam Tantrayana dikenal juga proses untuk mencapai siddhi melalui aktivitas gerak kundalini dari muladaracakra sampai sahasraracakra sebagai langkah-langkah untuk penyatuan diri dengan Sakti. Temuan kedua arca tersebut mengingatkan pada tradisi megalitik di Indonesia berupa patung-patung dengan alat kelamin yang digambarkan secara natural, berfungsi sebagai penolak bala. Pada masa berkembangnya kebudayaan Arya di India, agama orang-orang Dravida sebagai kelompok yang “kalah” mengalami masa surut. Pada masa belakangan sistem keagamaan bangsa Dravida ini muncul lagi dan memberi pengaruh besar
terhadap ajaran Tantrayana.

Munculnya kitab Atharwa Weda kiranya mengindikasinya bahwa ajaran-ajaran agama Dravidian mulai muncul lagi dalam perjalanan sejarah agama Hindu di India. Dari paparan di atas kiranya tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa ajaran Tantrayana tersebut adalah perpaduan antara agama Dravidian dengan ajaran Yoga. Catatan terpenting dari ajaran Tantra adalah memberikan posisi sentral pada Sakti (Parwati) sebagai aspek pradhana dari Siwa. Sakti dalam hal ini bisa dikembangkan pengertiannya sebagai aspek keperempuanan, feminism. Dengan kata lain bahwa Tantrayana bersifat menjunjung feminisme, agak berbeda dari ajaran-ajaran lainnya yang bersifat sangat maskulin. Hal ini tercermin dalam simbol kundalini berupa ular membelit lingga tiga setengah lingkaran. Dalam praksis, hidupnya kundalini inilah yang menjadi tujuan utama sehingga mampu menyatukan kekuatan Sakti (Parwati) dengan Siwa dalam dirinya (Utama, 2008, Rawson,1993). Gayut dengan paparan tersebut di atas Aveling (2001) seorang ilmuwan dari La Trobe Melbourne Australia dalam analisisnya tentang sajak-sajak Sitor Situmorang, menyatakan bahwa Tantrayana memberi warna yang sangat kuat terhadap religiusitas masyarakat Bali khususnya masyarakat Bali Aga.

Tradisi penggunaan simbol-simbol seks dalam hubungannya dengan hal-hal yang bersifat religius pada masyarakat Bali sudah dikenal sejak zaman purba seperti tampak pada arca-arca pemujaan yang bercorak megalitik. Ciri-ciri megalitik yang menonjol pada arca-arca dari masa Hindu di Pura Kebo Edan adalah hadirnya pahatan phallus (seks laki-laki) yang sangat besar. Ciri-ciri utama yang menunjukkan unsur prasejarah ini dapat ditelusuri melalui pahatan-pahatan dari tradisi zaman megalitik yaitu munculnya pahatan phallus dan vagina pada candi Sukuh (Linus,1978). Menurut R.P Soejono (dalam Redig, 1997) phallus dianggap mempunyai kekuatan gaib yang sangat besar. Kepercayaan ini menyebabkan pahatan atau gambaran semacam phallus terusbertahan hingga saat ini karena dalam tradisi megalitik unsur-unsur yang mengacu pada kekuatan gaib merupakan unsur penting dalam menghadapi gangguan-gangguan dari pengaruh jahat. Bagian tubuh manusia lainnya yang dianggap penting adalah vagina. Salah satu bentuk peninggalan dari zaman megalitik yang ditemukan di pura Dalem Tamblingan berbentuk batu monolit dengan lubang disertai satu batu berbentuk silinder tertancap pada lubang tersebut. Peninggalan ini oleh masyarakat diberi nama Celak Kontong Lugeng Luwih. Celak Kontong adalah simbol seks laki-laki dan Lugeng Luwih adalah simbol seks perempuan. Pertemuan kedua unsur ini melambangkan kesuburan (Mahaviranata,1993).

Tinggalan-tinggalan sejenis lainnya tersebar hampir di seluruh wilayah pulau Bali seperti misalnya di Pura Dalem Celuk Buruan. Tampilan arca dengan pahatan kelamin secara mencolok, baik laki-laki maupun perempuan, ditambah lagi tampilan wajah yang menakutkan seperti mata melotot, mulut terbuka, atau dengan mara ketiga di arara dua alis. Tampilan kelamin yang tidak anatomis proporsional, tidak dimaksudkan tampil erotik, melainkan untuk menunjukkan besarnya kekuatan magis yang dimilikinya, sehingga sanggup menolak segala bahaya dan dapat menjadi pelindung bagi arwah orang yang sudah meninggal dunia dan masyarakat yang masih hidup.

Temuan di Pura Pusering Jagat Pejeng berupa sebuah phalus dan vagina dalam sebuah bangunan suci, yang sampai sekarang dipercaya akan memberikan anak bagi pasangan yang belum memperoleh keturunan. Demikian juga di desa Tenganan Pagringsingan terdapat sebuah phalus yang masih berfungsi sakral di sebut Pura Kaki Dukun, yang diyakini untuk memohon anak dan kesejahteraan masyarakat(Sutaba, dkk.,2007).

Konsep-konsep lokal di atas merupakan tempat yang ideal bagi pencangkokan ajaran Tantrayana. Kata Tantra berasal dari akar tan, yang makna paling sederhana adalah “menyebarkan, “menggandakan.” Kata ‘tantri” berarti pengetahuan tentang asal-usul segala sesuatu di jagad raya. Dalam pengertian ini terkandung makna reproduksi yang menjadi karakteristik dari prakerti atau pradana, sehingga dalam ritual Tantra organ generative perempuan menjadi media pemujaan. Sricakra Tantrik tidak lain merupakan perwujudan dari organ generatif perempuan (Bhattacharryya,1975).

Upacara-upacara magis yang dirancang untuk menjaga kesuburan ladang tampak menjadi bagian dari kompetensi khusus perempuan yang merupakan para penanam pertama tanah itu dan yang memiliki kekuatan untuk melahirkan anak memiliki pengaruh simpatik pada kekuatan-kekuatan vegetatif bumi. Karenanya, ketika produktivitas alami dipandang di dalam pengertian produktivitas manusiawi, ibu-bumi (carth-mother) dalam pengertian ibu-manusiawi (buman-mother), ritual-ritual pertanian yang bersandar pada asumsi bahwa produktivitas alam atau bumi-ibu (mother-earth) bisa ditingkatkan dengan peniruan reproduksi manusia dan ini memunculkan upacara-upacara seks di seluruh dunia, termasuk pemujaan Lingga dan Yoni
(organ laki-laki dan perempuan), organ laki-laki menyimbolkan tindakan penanaman dan organ perempuan menyimbolkan bumi yang mengandung buah. Ketika tubuh manusiawi dan bumi diasumsikan memiliki sifat-sifat kesamaan alami, keduanya harus dipahami sebagai berinteraksi dan tergantung. Misteri alam oleh karena itu harus menjadi misteri tubuh manusia, tubuh manusia menjadi mikrokosmos jagad raya, dan ini diperhitungkan untuk kosmogoni Tantra yang bertujuan untuk menjelaskan kelahiran Jagad Raya di dalam pengertian misteri kelahiran pengada manusiawi.

Festival-festival yang menandai berbagai operasi pertanian hampir tidak terhindarkan ditandai oleh upacara-upacara yang melibatkan persenggamaan. Seperti telah dinyatakan di atas, terutama /ingga atau organ laki-laki adalah simbol tindakan penanaman sementara Yoni atau organ perempuan mewakili Bumi Ibu (Mother Earth).

Asal usul upacara-upacara seks Tantrik oleh karena itu harus dicari dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual yang telah dikatakan era sebelumnya. Pada kenyataannya, praktek-praktek erotis yang berhubungan dengan pemujaan Tuhan feminin Ibu (Mother Goddess) tampak lebih tua daripada teks-teks yang berhubungan dengan praktek-praktek erotis itu. Adopsi ritual sekelompok khusus masyarakat oleh kelompok lain pada dasarnya berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh pergeseran-pergeseran ketegangan pada mode-mode produksi pangan primitif. Suku-suku yang melakukan kegiatan penggembalaan pasti telah meminjam atau mewarisi banyak fitur ritual mereka dari suku-suku yang melakukan perburuan, karena berburu mengarah pada domesrikasi ternak. Pada derajat kedua penggembalaan, seperti terjadi pada masyarakat-masyarakat Vedik, ketika pemeliharaan ternak dilengkapi oleh pertanian, beberapa fitur pertanian juga digabungkan dalam ritual-ritual penggembalaan.Di dalam Tantrisme arti penting khusus dilekatkan pada ritual-ritual yang terpusat di seputar organ kelamin perempuan dan ritual-ritual ini disebut bhagayaga atau
lata-sadhana (Utama,2012).

Konsep-konsep Tantra tersebut di aras ketika masuk ke Indonesia mendapat kan tempatnya untuk dilakukan pencangkokan, dengan getah budaya lokal Tantrayana menjadi tumbuh subur di Indonesia. Setelah masuknya pengaruh Hindu tradisi pemahatan phalus dan vagina ini dihinduisasi sehingga menjadi bentuk Linggayoni. Lingga adalah lambang Dewa Siwa, berupa tiang batu terdiri atas tiga bagian. Bagian paling bawah berbentuk prisma segi empat dinamakan Brahmabhangga, di tengah berbentuk prisma segi delapan dinamakan Wisnubangga, dan di atas berbentuk silinder dinamakan Siwabangga. Keseluruhannya di samping sebagai lambang Siwa juga menjadi lambang Dewa Tri Murti dengan Siwa sebagai Dewa tertinggi. Lingga ini biasanya didirikan di atas alas yang disebut Yoni. Yoni sering kali dikatakan sebagai lambang Dewi Uma, istri Siwa. Lingga di atas yoni melambangkan penyatuan Siwa Uma yang dikatakan sebagai penyebab terciptanya alam semesta. Bentuk lingga bersumber pada bentuk kelamin laki-laki, sedangkan yoni bersumber pada bentuk kelamin perempuan (Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, tt.: 16 Riana, 2003).

Menurut Sumardjo (2002) pada zaman primordial suku, Dunia Atas adalah tempat Sang Hyang dan para Hyang, hanya dapat dihubungai satu arah, yakni mendatangkan Dunia Atas ke dunia manusia. Roh-roh penuh energi itu dapat “didatangkan” atau ”diturunkan” manusia dengan berbagai metodenya. Setelah masuknya agama-agama India, maka dikenal hubungan ”ke atas” oleh manusia. Konsep ”manunggaling kawulo Gusti” dimaksudkan secara India, yakni manusia atas inisiatifnya, dapat ”naik” menyatu dengan ” Tuhan”. Inilah yang dikenal dengan laku mistik.

Dengan masuknya agama-agama India maka dikenallah jalan dua arah itu, yakni ”Tuhan” turun kepada manusia, dan manusia naik menuju Tuhan. Ajaran ”naik” dan ”turun” dalam hubungan penyatuan manusia dengan ”Tuhan”ini, terdapat dalam ajaran Tantrayana. Tujuan Tantrayana adalah Jiwanmukta (meraga sukma) yakni pembebasan diri sementara dalam hidup ini, dengan usaha diri sendiri. Seorang tantris tidak hanya menguasai energi dari prakerti atau pradana, sehingga dalam.ritual Tantra organ generative perempuan menjadi media pemujaan. Sricakra Tantrik tidak lain merupakan perwujudan dari organ generatif perempuan (Bhattacharryya,1975).

Upacara-upacara magis yang dirancang untuk menjaga kesuburan ladang tampak menjadi bagian dari kompetensi khusus perempuan yang merupakan para penanam pertama tanah itu dan yang memiliki kekuatan untuk melahirkan anak memiliki pengaruh simpatik pada kekuatan-kekuatan vegetatif bumi. Karenanya, ketika produktivitas alami dipandang di dalam pengertian produktivitas manusiawi, ibu-bumi (earth-morher) dalam pengertian ibu-manusiawi (buman-mother), ritual-ritual pertanian yang bersandar pada asumsi bahwa produktivitasalam atau bumi-ibu (mother-earth) bisa ditingkatkan dengan peniruan reproduksi manusia dan ini memunculkan upacara-upacara seks di seluruh dunia, termasuk pemujaan Lingga dan Yoni (organ laki-laki dan perempuan), organ laki-laki menyimbolkan tindakan penanaman dan organ perempuan menyimbolkan bumi yang mengandung buah. Ketika tubuh manusiawi dan bumi diasumsikan memiliki sifat-sifat kesamaan alami, keduanya harus dipahami sebagai berinteraksi dan tergantung. Misteri alam oleh karena itu harus menjadi misteri tubuh manusia, tubuh manusia menjadi mikrokosmos jagad raya, dan ini diperhitungkan untuk kosmogoni Tantra yang bertujuan untuk menjelaskan kelahiran Jagad Raya di dalam pengertian misteri kelahiran pengada manusiawi.

Festival-festival yang menandai berbagai operasi pertanian hampir tidak terhindarkan ditandai oleh upacara-upacara yang melibatkan persenggamaan. Seperti telah dinyatakan di atas, terutama lingga atau organ laki-laki adalah simbol tindakan penanaman sementara Yoni atau organ perempuan mewakili Bumi Ibu (Mother Earth).

Asal usul upacara-upacara seks Tantrik oleh karena itu harus dicari dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual yang telah dikatakan era sebelumnya. Pada kenyataannya, praktek-praktek erotis yang berhubungan dengan pemujaan Tuhan feminin Ibu (Mother Goddess) tampak lebih tua daripada teks-teks yang berhubungan dengan praktek-praktek erotis itu. Adopsi ritual sekelompok khusus masyarakat oleh kelompok lain pada dasarnya berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh pergeseran-pergeseran ketegangan pada mode-mode produksi pangan primitif. Suku-suku yang melakukan kegiatan penggembalaan pasti telah meminjam atau mewarisi banyak fitur ritual mereka dari suku-suku yang melakukan perburuan, karena berburu mengarah pada domestikasi ternak. Pada derajat kedua penggembalaan, seperti terjadi pada masyarakat-masyarakat Vedik, ketika pemeliharaan ternak dilengkapi oleh pertanian, beberapa fitur pertanian juga digabungkan dalam ritual-ritual penggembalaan.Di dalam Tantrisme arti penting khusus dilekatkan pada ritual-ritual yang terpusat di seputar organ kelamin perempuan dan ritual-ritual ini disebut bhagayaga atau
lata-sadhana (Utama,2012).

Konsep-konsep Tantra tersebut di atas ketika masuk ke Indonesia mendapat kan tempatnya untuk dilakukan pencangkokan, dengan getah budaya lokal Tantrayana menjadi tumbuh subur di Indonesia. Setelah masuknya pengaruh Hindu tradisi pemahatan phalus dan vagina ini dihinduisasi sehingga menjadi bentuk Linggayoni. Lingga adalah lambang Dewa Siwa, berupa tiang batu terdiri atas tiga bagian. Bagian paling bawah berbentuk prisma segi empat dinamakan Brahmabhangga, di tengah berbentuk prisma segi delapan dinamakan Wisnubangga, dan di atas berbentuk silinder dinamakan Siwabangga. Keseluruhannya di samping sebagai lambang Siwa juga menjadi lambang Dewa Tri Murti dengan Siwa sebagai Dewa tertinggi. Lingga ini biasanya didirikan di atas alas yang disebut Yoni. Yoni sering kali dikatakan sebagai lambang Dewi Uma, istri Siwa. Lingga di atas yoni melambangkan penyatuan Siwa Uma yang dikatakan sebagai penyebab terciptanya alam semesta. Bentuk lingga bersumber pada bentuk kelamin laki-laki, sedangkan yoni bersumber pada bentuk kelamin perempuan (Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, tt.: 16, Riana, 2003).

Menurut Sumardjo (2002) pada zaman primordial suku, Dunia Atas adalah tempat Sang Hyang dan para Hyang, hanya dapar dihubungai satu arah, yakni mendatangkan Dunia Aras ke dunia manusia. Roh-roh penuh energi itu dapat “didatangkan” atau diturunkan” manusia dengan berbagai merokenya. Setelah masuknya agama-agama India, maka dikenal hubungan “ke atas” oleh manusia. Konsep ”manunggaling kawulo Gusti” dimaksudkan secara India, yakni manusia atas inisiatifnya, dapat naik” menyatu dengan ”Tuhan”. Inilah yang dikenal dengan laku mistik.

Dengan masuknya agama-agama India maka dikenallah jalan dua arah itu, yakni ”Tuhan” turun kepada manusia, dan manusia naik menuju Tuhan. Ajaran ”naik” dan ”turun” dalam hubungan penyatuan manusia dengan ”Tuhan”ini, terdapat dalam ajaran Tantrayana. Tujuan Tantrayana adalah Jiwanmukta (meraga sukma) yakni pembebasan diri sementara dalam hidup ini, dengan usaha diri sendiri. Seorang tantris tidak hanya menguasai energi diri sendiri yang tersimpan dalam tubuhnya, tetapi juga energi universal, sebab mikrokosmos manusia satu zat dengan makrokosmos semesta, sehingga mencapai tingkat kesempurnaan secara spiritual. Tantrayana menghubungkan tubuh dengan semesta melalui cakra atau pusat. Untuk menolong pemusatan diri ini, dipakai mantra, mandala, mudra, dan yantra. Melalui alat-alat ini dicapailah penyatuan esensi ( the state of being one essence). Pada dasarnya tubuh ini sakral, dan potensi jiwa (rasa, rasio, hasrat) juga sakral, oleh karenanya dapat dipakai pula untuk tujuan-tujuan sakral yang universal. Di samping itu Tantra menembus batas kasta dan gender. Dengan jiwanmukta, seseorang dapat memperoleh kuasa atas alam fenomena, menjadikan dirinya siddha, yaitu menjadi Siwa itu sendiri. Siapapun dia dengan meditasi tantris dapat menjadikan dirinya seperti Dewa (godlike).

Mantra, adalah ungkapan verbal yang mengandung daya-daya atau energi yang bersifat magis, yang biasanya diucapkan berulang-ulang penuh konsentrasi. Kata-kata dalam mantra sangat sulit untuk dirapalkan, dan dibutuhkan Guru pembimbing agar perapalan mantra menjadi tepat sehingga dapat memberikan vibrasi. Mudra adalah sikap tangan dan gerakan-gerakan tertentu dalam bersemadi. Yantra adalah gambar simbolik untuk pemusatan pikiran dalam bermeditasi, yang biasanya adalah gambar mandala atau gambar-gambar lainnya (Chawdhri, 2006).

Sementara itu yang dimaksud dengan mandala adalah ”lingkaran dalam bujur sangkar” atau “bujur sangkar dari lingkaran” . Lingkaran dalam agama primordial Indonesia, telah dikenal sebagai tempat hadirnya Dunia Atas ke dunia manusia seperti tampak dalam ruang tarian atau upacara sakral. Lingkaran adalah lambang waktu, dan bujur sangkar adalah lambang ruang. Lingkaran sebagai waktu adalah esensi (purusha), dan bujur sangkar sebagai ruang adalah substansi (pr2krti). Bujur sangkar dari lingkaran adalah tertangkapnya, atau menyatunya, yang esensi ke yang substansi. Lingkaran dalam bujur sangkar adalah hadirnya yang esensi di yang substansi. Yang esensi dan substansi itu asalnya atau sumbernya adalah Yang Tunggal. Yang Tunggal memanifestasikan Diri dalam yang esensi (purusha) dan substansi (prakrti), waktu yang spiritual dan ruang yang material. Manusia tercipta oleh menyatunya purusha dengan prakrti. Pada dasarnya manusia adalah mandala, dan sebagai mandala manusia dapat memroses dirinya untuk menjadi yang Tunggal, sumber manusia yang tercipta atas yang esensi, yang mewaktu, yang spiritual dengan yang substansial, yang ruang dan yang material (Sumardjo, 2002). Dalam pandangan Hindu, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dalam arti bahwa adanya manusia adalah sebagai akibat dari pertemuan purusa dan prakrti (dalam filsafat Sankhya dan Yoga), manusia juga sebenarnya memiliki kemampuan yang bisa mengantarkannya untuk menyatu kembali dengan Sang Pencipta. Inilah yang dalam ajaran Hindu disebut dengan Moksa.

Kehadiran sistem filsafat Sankhya dan Yoga melalui konsep purusa-pradhana yang bersifat dualitas komplementer identik dengan konsep Dewa dengan saktinya, seperti Brahma dengan Laksmi, Ciwa dengan Parwathi (Kinsley,1998),mengakar kuat dalam masyarakat Hindu di Bali yang gayut dengan konsep-konsep lokal.Konsep-konsep lokal yang dikenal dengan istilah rwa bhineda (konsep binari) seperti hulu teben, kiwa tengen,kacir-Juweng, luh-muani, yang mengakar kuat pada sistem relegi masyarakat Bali, menjadi modal penting dalam proses lokalisasi ajaran Tantrayana di Bali.

 

MEMBONGKAR STIGMA

Tantrayana sangat berpengaruh di Bali, dengan demikian aspek-aspek ajarannya sangat signifikan dalam mewarnai ajaran agama Hindu di Bali seperti: penggunaan candi sebagai tempat pemujaan Durga, pemujaan terhadap unsur Sakti dari Dewa seperti Uma, Laksmi, Sri dan sebagainya. Namun demikian ajaran ini kurang mendapat posisi terhormat dalam wacana Hindu di Bali khususnya. Menurut hasil analisis Fic (2003) hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor sebagai berikut.

Pertama, teks-teks Tantrik ditulis di dalam bahasa yang kabur yang berusaha menyembunyikan makna yang sesungguhnya dari para praktisi yang akan salah menggunakan teks-teks itu untuk alasan-alasan yang menguntungkan diri mereka sendiri.

Kedua, teks-teks itu sulit untuk dipahami karena simbolisme kompleks mereka yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan mistis suara mantera (mantras), kekuatan-kekuatan lingkaran, diagram dan segitiga (mandala) sebagai bidang-bidang energi kosmis, dan karena ritual dan metode inisiasi (Sadhanas) yang tidak jelas yang dilakukan oleh para praktisi atau para pencari energi-energi itu. Ritual, metode dan teknik, yang disebut yoga (jalan), diarahkan pada seluruh rentang tujuan: dari menghasilkan kekuatan psikis di dalam tubuh dan pikiran seseorang hingga mencapai kebahagiaan absolut, atau pencerahan, hingga melakukan penyatuan-penyatuan seksual non-erotis ritualistik untuk memobilisasi energi-energi kosmis dengan kembali pada tindakan pertama penciptaan, dan hingga mempraktekkan seks kelompok diri sendiri yang tersimpan dalam tubuhnya, tetapi juga energi universal, sebab mikrokosmos manusia satu zat dengan makrokosmos semesta, sehingga mencapai tingkat kesempurnaan secara spiritual. Tantrayana menghubungkan tubuh dengan semesta melalui cakra atau pusat. Untuk menolong pemusatan diri ini, dipakai mantra, mandala, mudra, dan yantra. Melalui alat-alat ini dicapailah penyatuan esensi (the state of being one essence). Pada dasarnya tubuh ini sakral, dan potensi jiwa (rasa, rasio, hasrat) juga sakral, oleh karenanya dapat dipakai pula untuk tujuan-tujuan sakral yang universal. Di samping itu Tantra menembus batas kasta dan gender. Dengan jiwanmukta, seseorang dapat memperoleh kuasa atas alam fenomena, menjadikan dirinya siddha, yaitu menjadi Siwa itu sendiri. Siapapun dia dengan meditasi tantris dapat menjadikan dirinya seperti Dewa (godlike).

Mantra, adalah ungkapan verbal yang mengandung daya-daya atau energi yang bersifat magis, yang biasanya diucapkan berulang-ulang penuh konsentrasi. Kata-kata dalam mantra sangat sulit untuk dirapalkan, dan dibutuhkan Guru pembimbing agar perapalan mantra menjadi tepat sehingga dapat memberikan vibrasi. Mudra adalah sikap tangan dan gerakan-gerakan tertentu dalam bersemadi. Yantra adalah gambar simbolik untuk pemusatan pikiran dalam bermeditasi, yang biasanya adalah gambar mandala atau gambar-gambar lainnya (Chawdhri, 2006).

Sementara itu yang dimaksud dengan mandala adalah ”lingkaran dalam bujur sangkar” atau “bujur sangkar dari lingkaran” . Lingkaran dalam agama primordial Indonesia, telah dikenal sebagai tempat hadirnya Dunia Atas ke dunia manusia seperti tampak dalam ruang tarian atau upacara sakral. Lingkaran adalah lambang waktu, dan bujur sangkar adalah lambang ruang. Lingkaran sebagai waktu adalah esensi (purusha), dan bujur sangkar sebagai ruang adalah substansi (prakrti). Bujur sangkar dari lingkaran adalah tertangkapnya, atau menyatunya, yang esensi ke yang substansi. Lingkaran dalam bujur sangkar adalah hadirnya yang esensi di yang substansi. Yang esensi dan substansi itu asalnya atau sumbernya adalah Yang Tunggal. Yang Tunggal memanifestasikan Diri dalam yang esensi (purusha) dan substansi (prakrti), waktu yang spiritual dan ruang yang material. Manusia tercipta oleh menyatunya purusha dengan prakrti. Pada dasarnya manusia adalah mandala, dan sebagai mandala manusia dapat memroses dirinya untuk menjadi yang Tunggal, sumber manusia yang tercipta atas yang esensi, yang mewaktu, yang spiritual dengan yang substansial, yang ruang dan yang material (Sumardjo, 2002). Dalam pandangan Hindu, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dalam arti bahwa adanya manusia adalah sebagai akibat dari pertemuan purusa dan prakrti (dalam filsafat Sankhya dan Yoga), manusia juga sebenarnya memiliki kemampuan yang bisa mengantarkannya untuk menyatu kembali dengan Sang Pencipta. Inilah yang dalam ajaran Hindu disebut dengan Moksa.

Kehadiran sistem filsafat Sankhya dan Yoga melalui konsep purusa- pradhana yang bersifat dualitas komplementer identik dengan konsep Dewa dengan saktinya, seperti Brahma dengan Laksmi, Ciwa dengan Parwathi (Kinsley,1998),mengakar kuat dalam masyarakat Hindu di Bali yang gayut dengan konsep-konsep lokal.Konsep-konsep lokal yang dikenal dengan istilah rwa bhineda (konsep binari) seperti bulu teben, kiwa tengen,kacir-luweng, luh-muani, yang mengakar kuat pada sistem relegi masyarakat Bali, menjadi modal penting dalam proses lokalisasi ajaran Tantrayana di Bali.

MEMBONGKAR STIGMA

Tantrayana sangat berpengaruh di Bali, dengan demikian aspek-aspek ajarannya sangat signifikan dalam mewarnai ajaran agama Hindu di Bali seperti: penggunaan candi sebagai tempat pemujaan Durga, pemujaan terhadap unsur Sakti dari Dewa seperti Uma, Laksmi, Sri dan sebagainya. Namun demikian ajaran ini kurang mendapat posisi terhormat dalam wacana Hindu di Bali khususnya. Menurut hasil analisis Fic (2003) hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.

Pertama, teks-teks Tantrik ditulis di dalam bahasa yang kabur yang berusaha menyembunyikan makna yang sesungguhnya dari para praktisi yang akan salah menggunakan teks-teks itu untuk alasan-alasan yang menguntungkan diri mereka sendiri.

Kedua, teks-teks itu sulit untuk dipahami karena simbolisme kompleks mereka yang berhubungan dengan kekuatan-kekuaran mistis suara mantera (mantras), kekuatan-kekuatan lingkaran, diagram dan segitiga (mandala) sebagai bidang-bidang energi kosmis, dan karena ritual dan metode inisiasi (Sadhanas) yang tidak jelas yang dilakukan oleh para praktisi atau para pencari energi-energi itu. Ritual, metode dan teknik, yang disebut yoga (jalan), diarahkan pada seluruh rentang tujuan: dari menghasilkan kekuatan psikis di dalam tubuh dan pikiran seseorang hingga mencapai kebahagiaan absolut, atau pencerahan, hingga melakukan penyatuan-penyatuan seksual non-erotis ritualistik untuk memobilisasi energi-energi kosmis dengan kembali pada tindakan pertama penciptaan, dan hingga mempraktekkan seks kelompok untuk tujuan-tujuan ekstatis keagamaan dan tujuan-tujuan lain yang lebih bersifat keduniawian. Teknik-teknik ini, maksudnya berbagai bentuk yoga, harus diteliti dan dipraktekkan dengan panduan seorang guru. Guru ini, biasanya adalah seorang praktisi yang berpengalaman, memperkenalkan pemula kepada Tantra dengan menafsirkan teks-teks sakral, dengan melakukan ritual-ritual inisiasi dan biasanya memberdayakan pemula itu melalui transfer energi, sebelum murid yang diinisiasi bisa menjalankan ritual, metode dan teknik yoga sendiri.

Ketiga, karena aspek-aspek yang disebutkan belakangan itulah Tantra telah mendapatkan reputasi praktek-praktek yang secara moral rusak dan merendahkan derajat, khususnya seks kelompok sekte Lengan Kiri (Niwrtthi Marga) melalui “Panca Makara”, yang menjauhkan para sarjana serius hingga tidak meneliti praktek-praktek itu.

Tantrayana sangat terkenal dengan ajaran Panca Ma, yaitu: (1) Marsya makan ikan, (2) Madya, minum minuman keras: (3) Mamsa, makan daging, (4) Mudra, gerakan-gerakan tertentu, (5) Maituna, hubungan seks, sebagai media pemujaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuatan, kekuasaan, dan kesaktian (pengetahuan) dari Dewi Parwati sebagai Sakti Siwa ( Surasmi, 2007). Dari paparan tentang Panca Ma di atas jelas bahwa aspek-aspek Tantra
sekilas memang tampak berlawanan dengan ajaran Hindu pada umumnya yang lebih bersifat asketis (Aveling, 2007).

Tantra adalah sejumlah teori, teknik dan ritual-ritual yang dikembangkan di India di masa lalu, yang kemudian menyebar ke bagian-bagian lain Asia. Ada dua aspek mendasar Tantra. Aspek pertama adalah teorinya tentang penciptaan, yang menyatakan bahwa jagat raya tidak memiliki awal dan akhir, dan bahwa semua manifestasinya semata-mata merupakan proyeksi-proyeksi dari energi ketuhanan Penciptanya. Aspek kedua dari Tantra adalah kepercayaan bahwa pelaksanaan teknik-teknik dan ritual-ritual Tantrik memungkinkan akses terhadap energi ketuhanan, yang memungkinkan para praktisi tenik dan ritual itu untuk memberdayakan diri mereka, dan juga memberdayakan orang lain yang berhubungan dengan mereka di dalam hubungan guru-murid. Jadi, pengetahuan dan penerapan tepat teknik dan upacara Tantrik dipercaya memanfaatkan energi-energi kosmis Sang Pencipta untuk pengembangan tujuan-tujuan duniawi dan juga tujuan-tujuan spiritual para praktisi teknik dan ritual itu (Fic,2003).

Ajaran penting Tantrayana adalah penguasaan pengetahuan tentang Tuhan serta implementasinya dalam kehidupan. Menurut pandangan Tantra, kebebasan abadi (moksha) tidak akan pernah dicapai oleh seseorang melalui japa, mantra, dan upacara homa, jika tanpa dilandasi oleh pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang Brahman yang berada dalam dirinya sendiri.

Liberation does not come from japa, homa, ora hundred fasts: man becomes liberated by the knowledge that he bimself is Brahman (XIL,115).

Final liberation is attained by the knowledge that the Atma (Soul) is the witness, is the Truth, is ommipresent, is one, free from all illuding distractions of self and not self, the supreme, and, thouh abiding in the body, is not in the body (XTI, 116).

Those who (in thetr ignorance) believed that Ishvara is (only) in images made of clay, or stone, or metal, or wood, merely trouble themselves by their tapas. They can never attain liberation without knowledge (XTI,119). (Avalon,1913).

For him who knows that all is Brahman there is neither sin nor virtue, neither heaven nor future birth. There is none to meditate upon, nor one who meditates (XTI,126). (Avalon,1913).

Pemahaman yang kurang tepat terhadap ajaran Tantrayana memang dapat dimaklumi karena teks-teks Tantrayana bersifat sangat rumit dan rahasia. Dalam perkembangannya terdapat pandangan keliru tentang Tantrayana yang identik dengan seks bebas atau hubungan seks yang berlebihan. Tentu kurang bijaksana jika dikatakan bahwa Tantrayana adalah ajaran yang melegalkan hubungan seksual secara bebas sehingga dipandang merendahkan martabat perempuan. Tantra sangat menghormati perempuan dan sama sekali tidak berpandangan bahwa perempuan adalah pemuas seksual sebagaimana pandangan yang keliru tentang maituna. Tantrayana sangat keras dalam mengatur persoalan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan istrinya. Hal ini dapat dibaca dalam kitab Mahanirvana Tantra berikut ini.

Maithuna other than with the householder’s own wife is condemned. And this is not only in its literal sense, but in that of which is known as Ashtanga (cighr-fold) maithuna vis., smaranam (thinking upon it), kirthanam (talking of it), keli (play with women), prekshanam (looking upon women), guhyabhasanam (talk in private with women), sangkalpa (wish or resolve for maithuna), adhyavasaya (determination toward it), kriyanishpati (actual accomplishment of the sexual act). In short, the pashu (and except for ritual purpose those who are not pashu) shoul, in the words of the Shaktakramiya, avoid maithuna, conversation on the subject, and assemblies of woman (“naithunam tatkathalapang tadgoshthing parivarjjatet). Even in the case of the householder 5 own wife marital continency is enjoined. The divinity in woman, which the Tantra in particular proclaims, is also recognized in the ordinary Vaidik teaching, as must obviously be the case given the common Joundation upon with all the Shastra rest. Woman is not regarded merely as an object of enjoynment, butas a house-goddess (gribadevata).

A man should consider as wife only that woman who has been married to him according to Brahma or Shaiva form. All other women are the wives of others (LX,46) (Avalon,1913).

Pemujaan dengan Latasadhana (hubungan seks atau martuna) bahkan hanya boleh dilakukan lima hari setelah wanita datang bulan (menstruasi). Ajaran Tantrayana sebenarnya memiliki aturan yang sangat ketat dalam penerapan konsep Panca Ma atau Panca Makara. Penggunaan daging, biji-bijian, minuman keras, mudra (gerak-gerak tertentu), serta maituna (hubungan seks) hanya boleh dilakukan dalam proses ritual di bawah bimbingan Guru. Hubungan seks hanya boleh dilakukan dengan pasangan yang sah.

Tujuan para pemuja Sakta-Tantrik adalah untuk menyadari jagat raya dalam dirinya sendiri dan untuk menjadi satu dengan para tuhan feminin itu. Bagi kaum Tantra, semua perempuan dipahami sebagai perwujudan dari Praktri atau Sakti, dan dengan demikian mereka menjadi objek penghormatan dan pemujaan. Kaum Tantra tidak melakukan pembedaan di antara apa yang
disebut perempuan yang bajik dan apa yang disebut perempuan hina (fallen woman).Konsep patriarkial tentang kesucian perempuan tidak berhubungan dengan pengikut Tantra. Setiap calon harus menyadari prinsip keperempuanan secara laten dalam dirinya sendiri, dan hanya dengan menjadi seorang perempuan ia berhak memuja pengada tertinggi (Utama,2012).

Penerapan ajaran panca ma sangat tergantung pada jenjang kemampuan, tujuan yang ingin dicapaipara pengikut Tantrayana, tetapi secara umum hal ini dimaksudkan sebagai upaya mencapai penyatuan dengan Tuhan. Ajaran panca ma ini ibaratkan terapi terhadap racun dengan menggunakan racun sebagai penetralisirnya (Nila, 1997).

Hasil penelitian Fic (2003) menemukan bahwa penyebaran ajaran Tantrayana meliputi wilayah yang sangat luas yakni Tibet, China, Burma, Thailand, Malaysia, Laos, Kambodia, Vietnam dan Indonesia, dimulai pada abad-abad awal milenium terakhir. Persebaran ajaran Tantrayana di Jawa Tengah oleh raja Hindu Sanjaya membangun kerajaan Sailendra yang kuat yang bersaing mendapatkan pengaruh atas wilayah dengan kerajaan-kerajaan Budhis yang kurang terkenal di wilayah itu. Pada tahun 732 setelah Masehi, raja ini mengijinkan pendeta Tantrik Hindu mentahbiskan sebuah lingga kerajaan di ibu kotanya, yang memperkenalkan Pemujaan Devaraja di India. Pemujaan Devaraja merupakan fondasi doktrinal dan simbolisme Sivaisme Tantrik yang melegitimasi kekuasaan dinasti-dinasti Jawa selanjutnya hingga kejatuhan Majapahit pada tahun 1527 menjadi Islam, selama periode waktu panjang ribuan tahun. Dari ibu kota Sanjayalah pemujaan ini dibawa ke Kambodia pada masa itu, yang merupakan fondasi doktrinal dan simbolisme ikonografis untuk Angkor Wat Agung dari sejak abad ke-8.

Eksistensi kerajaan-kerajaan Hindu dan Budhis baik di Sumatra maupun Jawa —di mana kelas-kelas pendeta mereka mempraktekkan doktrin-doktrin Hindu dan Budhis selama berabad-abad, dan di mana desain arsitektural dan ikonografi tempat-tempat pemujaan berkembang pesat—merupakan lahan subur untuk kedatangan dan pencangkokan Hinduisme Tantrik dan Budhisme berdasarkan pada sistem-sistem lama, khususnya selama abad-abad ke-7 dan ke-8 Masehi.

Pengaruh-pengaruh Tantrik ini berasal dari kerajaan-kerajaan Pala di Bihar, India barat laut, dan di Kancipuram, dan tempat-tempat lain pantai timur India Selatan, yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan maritim kuat Pallavas dan Cholas selama masa itu. Pada bagian-bagian wilayah ini Hinduisme dan Budhisme Tantrik berkembang berdampingan dengan pusat-pusat Tantrik di Orissa, Kalinga, Bengal Barat dan tempat-tempat lain di India timur laut. Bagian-bagian India ini didominasi oleh Tantrisme Hindu dan Budhis dengan bentuk-bentuk yang berbeda, dengan cabang-cabang dan interaksi-interaksi mereka, peminjaman dan sintesis dari abad ke-8 setelah Masehi. Universitas Nalanda di Bihar, yang adalah pusat studi Tantrik Budhis pada masa itu, memainkan peran penting di dalam penyebaran Tantrisme ke Indonesia. Universitas itu memiliki sejumlah besar siswa dari Indonesia, yang tinggal di perguruan tinggi itu, atau vihara, diberkati oleh patron Budhis kaya dari Sumatra. Saat pulang,—sebagai pendeta, rahib, guru dan sarjana yang ditahbiskan—para siswa membawa pesan Tantrisme jauh dan luas dan menjadi fondasi doktrinal dan juga praktis sistem Budhis esoterik ini di Indonesia.

Pada saat itu Budhisme Tantrik, tersebar luas di Sumatra, seperti disebutkan di dalam prasasti abad ke-7 yang ditemukandi Srivijaya, berhubungan dengan praktek-praktek yang digunakan untuk mencapai kekuatan-kekuatan supernatural. Penafsiran-penafsiran lain tentang daun-daun emas merujuk pada Budha Vairocana, Aksobhya, Ratnasambhava dan Amboghasiddhi, yang semuanya merupakan bagian dari kuil-kuil dewa Budhis Tantrik. Banyak candi Vajrayana dibangun di Padang Lawas, Sumatra Utara, di antara abad ke-6 dan ke-7 setelah Masehi. Sejumlah besar benda ritual perunggu—vajra, halilintar, lonceng, patung-patung berbagai dewa Tantrik—telah ditemukan di banyak tempat di Sumatra, dan juga Jawa. Salah satu contoh mencolok Tantrisme Budhis di Sumatra adalah patung Bhairawa Buddha yang sangat mengesankan, yang mendominasi bentang lahan Tantrik dan praktek-praktek pemujaan Bhairava di Padang Roco Sumatra Barat, pada abad ke-16 setelah Masehi.

Para pemuja Bhairawa sangat senang mempraktekkan “hal-hal terlarang” (panca ma), karena mereka percaya bahwa dengan melakukan ritual hal-hal yang terlarang dibatasi untuk orang biasa, jiwa pemuja bisa dipisahkan dari badan material dan terserap menjadi dewa, jika mungkin selama hidupnya. Orgi ritual dengan keasyikan berlebihan pada lima hal terlarang, lima Ma sebagai ritual disebut (mamsa -daging, matsya —ikan madya —alkohol, maituna —hubungan sex, dan mudra —gerakan-gerakan tubuh mistis), dilakukan sebagai upacara pembebasan roh. Simbol-simbol kematian juga digunakan, seperti pisau untuk membunuh, mangkuk tengkorak kepala, tulang mansuia dan kunjungan-kunjungan pada malam hari untuk melakukan ritual-ritual di kuburan dan membakar dupa (ghat).

Lebih jauh, para pemuja Bhairawa percaya bahwa perpisahan jiwa dari benda (matter), yang diperoleh dengan melakukan upacara-upacara dan pengucapan mantra, memberi pelaku kekuatan-kekuatan supernatural untuk melakukan keajaiban-keajaiban, seperti terbang di udara, menghilang, mampu berjalan menembus benda-benda padat, kekebalan, dan kekuatan-kekuatan
Siddhi lain.

Saat ritual-rivual Bhairawisme Budhis diperkenalkan ke Sumatra dan Jawa dan bahkan Bali, mereka berinteraksi dengan praktek-praktek mistis asli setempat yang dilakukan oleh para pendeta dan shaman dan menciptakan ‘banyak sekte sihir, termasuk sekte sihir putih dan hitam. Di Bali shamanisme asli setempat yang penting untuk pemujaan leluhur, yang menampilan tarian trans, merupakan lahan subur untuk sekte-sekte asing untuk berkembang
dengan menyerap praktek-praktek asli setempat.

Pandangan ini diperkuat oleh hasil penelitian Goris yang menemukan di Bali dimasa lampau pernah berkembang paling tidak sembilan sekte yang satu diantaranya adalah Bhairawa (Goris, 1974). Dari 9 (sembilan) sekte yang pernah dicatat oleh Goris di atas beberapa sekte kini sudah sulit didapatkan informasi keberadaannya seperti sekte Brahmana dan Rsi. Namun sekte-
sekte lainnya lebur dalam ajaran Siwa Siddhanta. Yang menarik disini adalah leburnya Budha (Sogata) dalam ajaran Siwa Siddhanta. Menjadi menarik karena di daerah asalnya yaitu India antara Siwaisme dengan Buddhisme masing-masing berdiri sendiri bahkan cenderung bersifat kompetitif. Di Bali keduanya mengalami perluluhan sehingga muncul sebutan Siwa Buddha. Perluluhan keduanya bisa terjadi disebabkan oleh kuatnya pengaruh ajaran Tantrayana (Bhairawa) atas keduanya (Sedyawati, 2009).

Raja Kertanagara adalah mistikus Hindu dan Budhis dan seorang Tantrik, yang berjasa melakukan penyatuan politis berdasarkan pada pemujaan Tantrik sebagai agama negara. Pada tahun 1263 setelah Masehi ia diinisiasi memasuki pemujaan Hevajra Budhisme Tantrik, mempraktekkan kesatuan Tantrik ritual dengan Ratunya Bajradewi untuk memastikan perlindungan kekuasaannya, dan keduanya berinkarnasi di dalam sebuah patung Ardhanareswara, yang menggabungkan karakteristik laki-laki dan perempuan. Namun demikian, praktek-praktek Tantrik Hindu mendapatkan dorongan baru dengan penyebaran Pemujaan Bhima di Jawa Tengah dan Timur, khususnya ketika Candi Sukuh dan Candi Ceto dibangun selama abad ke-14 hingga ke-15
setelah Masehi. Di sini di Candi Sukuh Sivaisme Tantrik diubah menjadi Pemujaan Bhima asli setempat.

Transformasi terjadi pada tahap akhir periode Majapahit, pada tahun 1437 setelah Masehi, ketika Bhima dipotret sebagai paderi Siwa di Bumi, yang membagikan Tirtha Amrta Siwa, air suci keabadian dan pemberi keturunan. Ia menjadi agen penting pemujaan kesuburan, sebuah gerakan kuat budaya populer pada masa itu, yang menampilkan banyak karakteristik yang didelegasikan kepadanya oleh Siwa. Karakteristik ikonografik pembeda adalah penis terbuka, “kuku panchanakha”, yang berarti penetrasi. Candi Sukuh, yang dibangun pada tahun 1437 setelah Masehi dan ditahbiskan sebagai sebuah candi Sivaisme Tantrik pada tahun 1440 setelah Masehi, menandai titik puncak perkembangan Pemujaan Bhima di Jawa dan filsafat hidup yang mendasarinya —osilasi di antara kematian dan kelahiran kembali di dalam siklus abadi perubahan dan transformasi. Akibatnya, seni Candi Sukuh, yang mengekspresikan konsep filosofis dan juga simbolisme pemujaan Bhima, secara keseluruhan telah di-Jawa-kan (Fic,2003).

Hal ini mengingatkan kita pada arca Bhairawa Bhima di Pura Kebo Edan Gianyar. Disini Bhima digambarkan sedang menari di atas mayat dengan penis dalam keadaan ereksi menunjuk kearah kiri. Arca ini juga menggunakan tutup muka atau topeng. Hal ini mengingatkan kita pada ajaran Tantrayana yang sangat bersifat rahasia.Artinya ajaran ini dirahasiakan bagi mereka yang belum dipersiapkan menerima ajaran Tantrayana.Kerahasiaan ini dipertahankan bukan karena ajaran itu bersifat gaib tetapi dimaksudkan agar tujuan agama bisa dicapai.Ajaran ini sudah berkembang pesat di Bali jauh sebelum Bali ditaklukkan oleh Majapahit. Pada masa kerajaan Kediri di Jawa Timur yang diperintah oleh raja Kerta Negara dikenal sebagai pusat perkembangan ajaran Tantrayana di Indonesia. Di Bali kemudian berkembang ajaran Tantrayana
dengan tokohnya yang terkenal Kebo Parud (Kebo Edan) seorang patih yang mewakili pemerintahan Kediri di Bali. Sementara itu di Sumatra ajaran Tantra ini mulai berkembang sekitar abad ke-14 di bawah pemerintahan raja Adityawarman (Surasmi, 2007).

Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa Tantrayana telah menjadi modal simbolik para raja di Indonesia untuk melanggengkan kekuasaannya. Tantrayana sebagai modal simbolik sekaligus pula telah memberikan kekuasaan simbolik kepada para raja yang melegitimasikan keberadaannya dengan menggunakan simbol-simbol Tantra. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujuannya untuk memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak dikenali bentuk aslinya tapi ia tetap diakui. Kekuasaan simbolik bekerja dengan menggunakan simbol-simbol sebagai instrumen ”pemaksa” terhadap kelompok subordinat yang turut berperan mereproduksi tatanan sosial sesuai dengan keinginan kelompok dominan. Optimalisasi kekuasaan simbolik ini menurut Bourdieu sangat tergantung pada dua hal. Pertama, kekuasaan simbolik didasarkan pada kepemilikan modal simbolik (symbolic capital). Artinya semakin besar modal simbolik yang dimiliki seseorang atau kelompok, semakin besar peluangnya untuk menang. Dalam hal ini modal simbolik merupakan kredit bagi terbentuknya otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan sebelumnya. Kedua, bergantung pada efektifitas simbolik di mana strategi investasi simbolik bekerja. Efektivitas ini bekerja atas dasar pandangan yang ditawarkan atau sejauh mana strategi investasi simbolik dijalankan. Dengan demikian kekuasaan simbolik merupakan sebuah kekuasaan pentasbihan, sebuah kekuasaan untuk menyembunyikan atau menampakkan sesuatu lewat simbol (Fashri,2014).

 

JEJAK TANTRAYANA DALAM RITUAL DI BALI

Upacara agama Hindu di Bali saat ini adalah kelanjutan dari sistem agama lokal yang telah bercampur luluh dengan ajaran agama Hindu, Budha dan Tantrayana. Hal ini dapat diamati dalam penggunaan beberapa peralatan ritual, seperti dalam upacara perkawinan. Gayut dengan penelusuran jejak Tantrayana secara garis besarnya upacara perkawinan Hindu di Bali dapat
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pendahuluan (7makalan-kalan), upacara pokok (masakapan) dan upacara lanjutan (majauman).

Upacara ini disebut pekalan-kalan atau padengen-dengenan yang dilaksanakan di depan sanggah/pemerajan atau dilaksanakan di »atar halaman rumah kemudian sembahyang di sanggah pemerajan. Tujuan upacara ini adalah menghilangkan sebel serta membersihkan/ menyucikan sukla-swanita atau kama bang-kama petak. Di samping itu juga sebagai upasaksi serta mendapatkan restu dari Hyang Widhi Wasa maupun masyarakat dalam lingkungannya. Di antara sesajen yang diletakkan di tanah terdapat Pepegatan. Pepegatan ini terdiri atas dua buah cabang pohon dapdap yang ditancapkan di dekat tempat upacara, terapi di luar sesajen. Kedua barang pohon dadap ini dihubungkan dengan benang putih. Setelah selesai melakukan upacara
makalan-kalan, kedua mempelai berjalan menerobos di antara dua batang dadap tersebut sehingga benang penghubungnya putus. Upacara ini bermakna sebagai pelepasan status bujangan (separation) dari mempelai berdua dan akan memasuki masa berumah tangga.

Dalam upacara pekalan-kalan ini dilengkapi dengan simbol-simbol seks, seperti tikehdadakan tikar kecil yang terbuat dari anyaman daun pandan yang masih hijau. Tikeh dadakan ini akan dirobek oleh mempelai pria dengan mempergunakan keris. Tikehdadakan ini kemungkinan adalah lambang kegadisan dari mempelai perempuan. Di daerah Bonian, Selemadeg, Tabanan tidak menggunakan tikehdadakan, tetapi kelukuh (sejenis pelepah pohon pinang yang dibentuk menyerupai kendi) yang di dalamnya diisi dengan tuak. Pada saat upacara kelukuh yang berisi tuak ini dipegang oleh mempelai wanita lalu ditusuk dengan keris oleh mempelai pria hingga tuak tumpah ke tanah. Hal ini mungkin sebagai simbol pertemuan antara seks laki-laki dengan seks perempuan.

Upacara masakapan di bale atau masakapan beduur. Upacara ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari upacara makalan-kalan atau masakapan beten. Upacara ini pada dasarnya bersifat pengesahan secara sekala niskala perkawinan kedua mempelai. Upacara ini disamping mawidhi saksi juga dihadiri oleh para prajuru adat di lingkungannya. Pada saat ini yang
bersangkutan dinyatakan secara sah telah menjadi anggota penuh masyarakat adatnya. Oleh karenanya mulai saat itu yang bersangkutan telah mulai kena ayahan desa. Mereka yang sebelumnya menjadi anggota teruna -teruni kini telah beralih (merge) menjadi sepasang suami istri yang telah terikat tali perkawinan. Sejak saat ini mereka mulai tuwnmabanjar.

Rangkaian terakhir dari upacara perkawinan adalah upacara majauman, mapajati atau ngaba tipat bantal. Upacara ini merupakan kunjungan resmi yang bersifat sosial religius (2gregation atau integrasi kembali ) yang dilakukan kedua mempelai kepada keluarga pradhana (wanita), tetapi tidak dibenarkan untuk menginap di rumah keluarga pradhana saat itu. Upacara ini ditandai dengan membawa jauman berupa tipat bantal dengan segala kelengkapannya. Tipat yang dimaksud di sini adalah ketupat (adalah lambang pradhana atau
vagina) sedangkan bantal adalah sejenis jajan yang terbuat dari campuran ketan, beras, parutan kelapa, gula pasir dan garam dibungkus janur dan bentuknya adalah bulat panjang (adalah lambang purusa atau phallus). Upacara ini bertujuan mohon pamit mempelai wanita secara sekala dan niskala. Secara sekala mempelai wanita mohon pamit kepada orang tua dan kerabat dekatnya, termasuk secara kedinasan. Sebaliknya secara niskala mempelai
wanita mohon pamit kepada bhatara- bhatari leluhurnya yang dilaksanakan dengan membawa jauman berupa tipat bantal dengan segala kelengkapannya (Kantor Dokumentasi Budaya Bali, 2000: 79).

Yang menarik dari upacara ini adalah adanya sarana berupa tiparbantal dalam kaitannya dengan majauman. Kata majauman berasal dari kata jaum (alat menjahit). Secara maknawi jaum dapat diartikan sebagai penyambung atau penyatuan dua unsur dalam hal ini adalah keluarga purusa (pengantin laki-laki) dengan keluarga pradhana (pengantin perempuan) yang disimbolkan dengan tipat bantal. Tipatbantal ini tampaknya ada hubungannya dengan penyatuan dua unsur yaitu bantal adalah simbol seks laki-laki sedangkan ripar adalah simbol seks perempuan.

Kembali pada upacara mejauman dengan membawa tiparbantal dan pejati, pada dasarnya kurang tepat bila dikatakan bahwa upacara ini sebagai upacara “mtapamit” dari mempelai wanita secara sekala kepada keluarga dan kerabatnya dan secara #iskala kepada bhatara/bhatari leluhurnya di sanggah/merajan. Mungkin ini adalah semacam pelaporan secara »iskala bahwa yang bersangkutan (mempelai wanita) telah kawin dengan seorang lelaki pilihannya. Dilihat dari sarana yang dibawa serta munculnya istilah mejauman kiranya lebih tepat kalau upacara ini ditafsirkan sebagai bentuk penyatuan dengan sungguh-sungguh ( pejati dan mejauman ) dua keluarga mempelai sehingga muncullah istilah pewarangan. Kata pewarangan berasal dari akar kata “warang”, mempunyai dua arti: (1) berarti modal yang digabungkan dalam perjudian, (2) berarti besan, mawarang berarti berbesan, pewarangan berarti perkawinan (Warna, 1990: 792). Pengertian pewarangan ini rupa-rupanya memperkuat argumentasi bahwa pada upacara mejawuman bukanlah upacara mohon pamit dari mempelai wanita, tetapi merupakan bentuk penggabungan
dua keluarga mempelai melalui majejauman berupa tipat bantal. Secara sosial yang kawin itu bukan hanya mempelai berdua tetapi kedua keluarga itu mewarang. Artinya, sama-sama mengeluarkan “modal berupa anak-anak yang melakukan upacara pernikahan. Kedua keluarga ama-sama ngetohinpianak agar mereka menjadi keluarga bahagia, sehingga harus dibina bersama oleh kedua keluarga besarnya.

Paparan di atas memperjelas tentang adanya hubungan yang sangat signifikan antara konsepsi seks dalam teologi Hindu yang kemudian dijabarkan dalam aktivitas ritual perkawinan di Bali. Hubungan seks sebagai sesuatu yang suci sesuai dengan mantra dan seloka kitab suci, diimplementasikan dalam ritual perkawinan dengan menggunakan simbol-simbol seks seperti tikeh dadakan ataupun kelukuh dan keris sebagai simbol perempuan dan laki-laki. Secara simbolis seks laki-laki (kama petak) dan seks perempuan (kama bang) disucikan terlebih dahulu dengan sarana upacara sebelum perkawinan atau hubungan seksual itu dilakukan. Upacara majauman dengan salah satu perlengkapan berupa tipatbantal mengandung makna sebagai simbol seks serta penyatuan antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, dengan tujuan memperoleh keturunan (Utama, 2004).

Pada upacara Perang Ketupat di Desa Kapal Badung, jelas menggunakan sarana tipat dan bantal. Tipat adalah lambang vagina atau keperempuanan, sedangkan bantal adalah lambang phalus atau penis sebagai simbol seks laki-laki. Pertemuan keduanya melalui aktivitas ritual berupa ”perang” diharapkan akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya.

Penggunaan simbol-simbol seks dalam ritual perkawinan bisa juga diamati dalam ritual perkawinan di desa Sesetan Denpasar melalui simbol Kala Badeg. Tradisi ritual med-medan(tarik menarik) di desa Sesetan Denpasar, dapat juga diartikan sebagai “perkawinan kosmik” dengan tujuan memperoleh kesejahteraan bersama.

Bila diperhatikan sarana upacara di Bali akan selalu menemukan alat yang disebut caratan coblong. Sepasang keramik sebagai wadah air yang jika diamati lebih jauh rupanya merupakan pasangan simbolik phalus dan vagina atau lambang purusa dan prakerthi. Demikian juga penggunaan porosan silih asih yang dibentuk dari dua buah daun sirih.

Banten Dewa Dewi dalam sebuah ritual di Bali jelas menunjukkan unsur-unsur Tantrayana. Adanya klatkat Sudamala yang sangat identik dengat Yantra dalam Tantrayana pada bagian tengahnya berisi tiang tegak sebagai media menusukkan daun beringin. Simbol-simbol ini adalah refresentasi dari konsep-konsep Tantrayana berpadu dengan agama lokal.

Dalam tata bhoga masyarakat Bali dikenal makanan olahan daging dan darah yang disebut /awar. Tradisi ini mungkin merupakan tradisi di zaman pra Hindu, namun setelah terjadinya proses lokalisasi Tantrayana, ia kemudian disajikan dalam struktur pangider-ider (arah mata angin). Lawar hitam (hijau) di arah kaja, lawar merah di selatan, lawar putir di timur, lawar kuning di barat, dan di tengah-tengah adalah sate dan sambal. Komposisi arah mata angin dengan komposisi warna ini tampak jelas dalam upacara-upacara agama Hindu di Bali. Di dalam Tantra, karena alasan yang sama,arti penting khusus dilekatkan pada darah menstrual. Di dalam pemikiran primitif, semua perubahan terus-menerus yang terjadi pada darah baik
bersifat menstrual atau /ochical (pelepasan darah uterin, jaringan, dan lendir normal dari vagina setelah kelahiran anak), sama-sama diperlakukan sebagai perwujudan dari kekuatan pemberi kehidupan yang terdapat secara inheren pada jenis kelamin perempuan. Ini juga menjelaskan penggunaan warna merah terang atau warna kuning tua pada benda-benda pemujaan dan pada tubuh-tubuh perempuan. Relasi warna merah terang dan kuning tua dengan darah menstrual dan juga dengan aspek-aspek produktif alam. Tujuan utama sihir pertanian adalah untuk meng-komunikasikan kesuburan perempuan kepada ladang. Dua metode dasar oleh karena itu digunakan untuk mempertinggi kesuburan ladang: ketelanjangan ritual (pemaparan organ seksual perempuan pada ladang) dan kesatuan seksual.

Kesatuan seksual kosmik dengan tujuan untuk memperoleh anugrah berupa kesuburan, kemakmuran, dan bahkan kekuatan sakti (power) sampai saat ini masih berlangsung dalam berbagai ritual dalam masyarakat Hindu di Bali seperti upacara Ngusabha Kuningan di Desa Cempaga Buleleng, upacara Kebo Dongol di desa Kapal Badung, dan upacara Tilem Kajeng di Desa Sanur.

Penggunaan daging, minuman tuak, arak, berem, mudra para pendeta, serta gerak-gerak tari sakraldalam aktivitas ritual di Bali rupanya merupakan keberlanjutan tradisi lokal yang luluh menyatu dengan ajaran panca makara dalam Tantrayana.

 

TANTRAYANA DALAM BIDANG KEBUDAYAAN

Tarian Suci Bathara Berutuk di Trunyan Bangli, juga mengindikasikan bahwa hasil pertemuan Sang Dewa dengan Sang Dewi akan mendatangkan kesuburan. Adegan Metambak yang merupakan puncak dari pementasan pantomim Bhatara Berutuk, dan harus diakhiri pada matahari menjelang
terbenam, ketika Sang Dewi telah berhasil terjatuh dalam pelukan Sang Dewa untuk disanggamai. Adegan ini dianggap sangat genting karena akan menentukan kesuburan alam semesta serta segala isinya ( Danandjaja, 1985). Tarian ini rupanya merupakan penyatuan antara magi dan agama. Tarian ini sepertinya mencoba “memaksa” para dewa untuk berbuat sesuai dengan harapan dan doa masyarakat Trunyan. Senggama ritual, suatu hubungan kelamin secara ritual yang dilakukan melalui hukum imitasi benar-benar ”memaksa” dewa Bapak Langit dan Ibu Bumi melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para penari Bhatara Berutuk. Dengan demikian, hujan akan turun dan panen akan tumbuh pada musim yang lain (Pals, 2001).

Kuatnya pengaruh Tantrayana di Bali bisa juga ditelusuri dari kehadiran faham Bhairawa Bhima yang digabung dengan praktik-praktik agama lokal (shamanisme dalam istilah Fic) rupanya menghasilkan praktik-praktik magis yang disebut pangiwa panengen. Hadirnya Dewi Durga dalam praktik-praktik magis ini memperkuat dugaan bahwa Tantrayana memang berpengaruh kuat di Bali. Arca Bhima yang telanjang dengan penis mengarah ke kiri dan memakai masker yang kini tersimpan di Pura Kebo Edan Bedulu Gianyar mendukung simpulan dimaksud.

Tarian Barong yang sangat terkenal di Bali juga menggambarkan kuatnya jejak-jekak Tantrayana. Dalam pertunjukkan ini Barong dan Rangda sebagai aktor kuncinya. Keduanya sering kali dibayangkan sebagai lambang kebaikan versus keburukan. Barong diidentikkan dengan hal-hal baik dan Rangda dipandang sebagai ikon keburukan. Namun pada akhir pertunjukkan Barong dan Rangda menari-nari dan tidak pernah menggambarkan adanya salah satu
pihak yang kalah, karena pada hakikatnya keduanya adalah lambang kelelakian (purusa) dan keperempuanan (pradana) yang bersifat komplementer.

Dalam bidang kesenian kita juga mengenal kendang lanang wadon, dengan nada yang diatur sedemikian rupa penggabungan keduanya menghasilkan nada-nada yang harmoni.Dalam bidang sastra kita mewarisi cerita Tantri. Bagian cerita yang menjadi fokus perhatian dalam kaitannya dengan Tantrayana adalah Prabu Aiswarya Dala, seorang raja dengan kekuasaannya
yang tanpa batas mulai merasa jenuh dengan segala kelimpahan materi yang dimilikinya. Walaupun dalam kehidupannya ia mampu makan segalanya, bisa makan daging atau ikan sepuasnya, bisa minum minuman keras sesukanya, namun tetap saja merasa dirinya sama seperti raja lainnya atau bahkan rakyat biasa yang juga bisa makan seperti rajanya. Ia ingin sesuatu yang beda dari orang kebanyakan sebagai jayacihna seorang raja yang maha kuasa. Oleh karena itu, ia menginginkan agar setiap malam bisa tidur dengan seorang gadis perawan. Dengan demikian ia akan menjadi raja yang maha kuasa melebihi yang lainnya. Gambaran tentang karakter raja Aiswarya Dala tersebut adalah representasi ajaran Panca Ma dalam Tantrayana(Utama,2013).

Pemaknaan bisa sangat berbeda tergantung “kepentingan”. Makna aktual dari sebuah teks menurut McCaerty (2006), yang muncul ketika dia”bicara” pada penafsirnya, tidak tergantung pada situasi pengarang dan public yang menjadi sasarannya aslinya. Sekurang-kurangnya makna tersebut tidak dikungkung olehnya, karena makna juga ditentukan oleh situasi histories penafsir, dan oleh karena itu oleh keseluruhan perjalanan sejarah objektif. Makna suatu teks ada di luar pengarang, bukan hanya kadang-kadang melainkan selalu. Dengan demikian pemahaman bukan hanya bersifat reprodukrtif, namun juga produktif . Pada prinsipnya, makna satu teks tidak sempurna, dia terbuka bagi interpretasi dari perspektif masa depan. Gerak
sejarah dan situasi penafsir yang terus berubah menimbulkan aspek baru dan mengubah elemen lama menjadi sesuatu yang baru.

 

PEMUJAAN DURGA DI BALI

Durga merupakan salah satu Dewi Hindu paling populer yang memiliki sejumlah peran. Durga memiliki posisi penting karena dianggap sebagai salah satu Mahadewi atau dewi besar. Dewi dalam Hindu tidak pernah monistik. Artinya mereka bersifat dualistik dengan karakter yang seakan saling bertentangan. Dalam kasus Durga, dikenal mewakili sifat keibuan, namun di
lain pihak juga merupakan prajurit tangguh yang ditakuti. Durga merupakan simbol dari kekuatan dan merupakan kekuasaan tertinggi. Durga menginspirasi manusia dalam tugas, pekerjaan, usaha, petualangan dan industri. Pemujaan terhadap kekuatan ini melahirkan pemujaan kepada Sakti dalam agama Hindu. Konsep tentang Durga bersumber dari Veda dan Upanisad. Singkatnya untuk menghancurkan kekuatan setan dan ketidak percayaan pada kekuatan Tuhan lahirlah bentuk sebagai Durga.

Dewi Durga sering disebut dengan Parwati, Uma, Kali (Mahakali), maupun Sati adalah “sakti” Nya Dewa Siva yang sama-sama memiliki tugas untuk melebur. Beberapa kalangan dan pengikut aliran sakta meyakini Durga/Parwati merupakan adik Dewa Wisnu dan adik Dewi Gangga yang dipandang sebagai Dewi Utama yang artinya “tak terkalahkan”. Dewi Durga merupakan perwakilan dari kekuasaan, kekuatan, moralitas dan perlindungan. Dewi Durga biasanya digambarkan sebagai seorang wanita cantik berkulit kuning mengendarai seekor harimau. Ia digambarkan dengan banyak tangan dengan posisi mudra yakni sebuah gerak tangan yang sakral.

Kebanyakan umat Hindu memahami Dewi Durga sangat menyeramkan misalnya bentuk “Rangda” padahal pemahaman itu tidaklah benar. Durga bertugas sebagai Dewi yang membasmi kejahatan dan menolong yang teraniaya. Dewi Durga dipuja oleh orang-orang yang memohon anugerah
berupa kekuatan karena merasa jiwanya terancam. Tujuan dari menyembah Durga untuk menolong orang yang terancam jiwanya seperti diserang penyakit non medis dan membantu menyembuhkan orang yang sudah derserang penyakit sampai sekarat pun. Itu sebabnya di Bali ada istilah nunas di Dalem atau “nebusin’ yang tujuannya apakah beliau berkenan untuk menyembuhkan atau mencabut nyawanya. Siapa pun yang memuja beliau akan dijauhkan dari petaka. Durga dipandang sebagai penguasa para setan dan makhluk yang tidak kasat mata. Beliau dipuja demi mendapat perlindungan dari serangan ilmu hitam. Di dalam lontar Purwagama Sasana disebutkan bahwa Durga memiliki S(lima) pancaran sakti yang disebut Panca Durga yaitu, Kala Durga, Durga Suksmi, Sri Durga, Sri Dewi Durga, dan Sriaji Durga. Semuanya merupakan kekuatan yang maha luar biasa yang dapat memberi ketentraman sekaligus menimbulkan bahaya. Sedagkan Parwati diartikan sebagai Mata Air Pegunungan.

Mitologi kisah kelahiran Durga sebagai berikut:

Di awali dari kehidupan Manu yang kedua, seorang raja bernama Surata memerintah di bumi. Dia mencintai keadilan dan seorang yang saleh, tetapi para menteri dan hampir semua bawahannya memiliki sifat jahat korupsi dan merampas perbendahaan sehingga dalam sekejap pundi-pundi kerajaan menjadi kosong. Raja Surata sangat sedih akhirnya pergi ke hutan meninggalkan kerajaannya mengembara tanpa tujuan, sampai akhirnya menemukan sebuah gubuk milik Rsi Medha dan melihat seorang tua yang bernama Samadhi sedang berduka duduk di luar gubuk karena diusir keluarganya setelah harta miliknya dirampas dan dikuasai. Singkat cerita, sang Rsi, Raja Surata, dan Samadhi menjadi guru dan murid. Banyak nasehat sang Rsi dtularkan kepada kedua orang muridnya itu salah satunya adalah kisah pertempuran Mahamaya Laksmi nama lain dari Durga dengan raja raksasa Mahisasura yang telah mengusik kehidupan para Dewa. Kemalangan para Dewa akibat gangguan Mahisasura melukai Brahma, Visnu dan Mahesa. Akhirnya kekuaran-kekuaran dalam energi bersatu membentuk cahaya yang bersinar dari badan dan datang bersamaan menjadi sebuah bola cahaya yang kuat dengan mengambil bentuk Devi Bhagavati Durga yang mengendarai seekor singa. Dewa Visnu memberikan Chakra-Nya, Siva memberi Trisula, Brahma memberi Kilat, Indra memberi Vajra, Halilintar, matahari mempersenjataiNya dengan senjata nuklir, bulan memberinya Pedang, angin mengirimkan Kecepatan, dan para Dewa lainnya juga memberi kekuatan masing-masing kepada Durga.

Dengan bersenjatakan yang luar biasa, Dewi bertangan sepuluh, Durga berdiri mengendarai singa ketika para Dewa memohon kepada-Nya agar menghapuskan mereka dari teror setan kuat Mahisasura. Dalam peperangan, Durga berteriak dengan kemarahan sampai di Alkapuri menantang
Mahisasura. Peringatan demi peringatan Durga telah membawa ketakutan pada raksasa Mahisasura dan membuat nya roboh seperti pohon akibat pancungan Trisula. Kemenangan Durga menjadi kegembiraan para Dewa karena membuat kehidupan di alam Dewata kembali aman dan damai. Pemujaan terhadap Dewi Durga yang biasa dilakukan di Bali selain dengan ritual khusus seringkali diiringi dengan pagelaran seni sakral “Calon Arang melalui tema-tema tertentu sesuai kebutuhan para pemuja atau yang punya hajatan.

 

PENUTUP

Dari paparan ringkas di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, bahwa kebudayaan Bali sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha sudah berada pada jenjang yang tinggi terbukti dari adanya lokal genius berupa sistem kepercayaan terhadap roh nenek moyang yang dapat memberikan perlindungan, tentang phalus dan vagina yang memiliki kekuatan sebagai penolak bahaya dan untuk memohon kesuburan dan kemakmuran. Aspek lokal ini menjadi kondisi penting bagi pencangkokan ajaran Tantrayana yang datang kemudian.

Kedua, dengan bekal lokal genius yang dimiliki maka aktor dan kebudayaan setempat memiliki posisi sentral dalam lokalisasi ajaran Tantrayana di Bali. Peran aktif aktor dan kebudayaan setempat dalam lokalisasi Tantrayana di Indonesia muncul dalam tokoh Bhima (baik di Jawa maupun Bali) sebagai perwakilan Siwa yang memberikan amertha.Di Bali khususnya terjadi sublimasi genitalia menjadi bentuk-bentuk simbol yang lebih abstrak (tipat bantal, caratan coblong, banten dewa-dewr,dsb). Hal ini menepis anggapan bahwa dalam persebaran kebudayaan Hindu di Indonesia dan Bali khususnya yang berperan dominan adalah aktor dan kebudayaan India.

Ketiga, Tantrayana memiliki posisi penting dalam dinamika keberagamaan di Indonesia bahkan dipandang berjasa dalam mempersatukan faham Siwaisme dan Budhisme, namun seringkali kurang mendapat perhatian dari para peneliti agama disebabkan oleh stigma dan labelisasi sebagai ajaran seks bebas.

Keempat, secara genealogis Tantrayana di Indonesia terkait erat dengan relasi kuasa yang dibangun para penguasa dengan tokoh Bhima sebagai ikon, yang tentu saja melekat pada dirinya sebagai faham yang mengutamakan pemujaan pada Sakti (power) aspek dinamis dari Siwa.

 

DAFTAR BACAAN

Avalon, Arthur (Sir John Woodrofte). 1960. Principles of Tantra (Tantra Tatva). Madras: Ganesh & Co. Privite LTD .1913. Tantra of rhe Grear Liberation (Mahanirvana Tantra). London: Luzac&Co.

Aveling, Harry. 2001. The Rites of the Bali Aga. Introduction Jakarta : Metafor. Arivia,Gadis. 2009. Yang Sakral dan Yang Sekuler. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Bhattacharyya,Narendra Nath. 1975. History of Indian Erotic Literature. New Delhi: Munshiram Manoharial Publishers Pct.Ltd.
Berg,CC.1985. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Bosch, F.D.K. 1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.

Chawdhri,L.R. 2006. Yantra, Mantra, and Tantra. USA,INDIA: New Dawn Press,Inc

Coomaraswamy, Ananda. 1999. The Dance of Shiva. New Dehli: Muntilal Banarsidas.

Danandjaja, James. 1985. Pantomim Suci Batara Berutuk Dari Trunyan, Bali. Jakarta : PN. Bali Pustaka.

Fashri, Fauzi.2014. Pierre Bourdieu, Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra.

Fic, Victor M. 2003. The Tantra. Delhi: Abhinav Publication.

Goris, R. 1974. Sekre-sekte di Bali. Jakarta : Bhratara.

Linus, I Ketut. 1978. Candi Sukuh (Beberapa Catatan Singkat). Denpasar: Lembaga Research dan Publikasi Institut Hindu Dharma.

Magetsari, Noerhadi. 1986. Local Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam buku Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta : Pustaka Jaya.

Mahaviranata, Purusa. 1993. Celak Kontong Lugeng Luwih, dalam Forum Arkeologi, Nomor 1/1992/1993. ISSN 0854-3232

Majumdar, R.C.1998. Ancient India.Delhi : Motilal Banarsidass Publishers Private Limited.

Mantra, Ida Bagus. 2006. Peradaban Lembah Sungai Shindu pernah dimuat dalam Majalah Kala Wrtta, No.6, th III, Nopember 1963, kini diterbitkan dalam buku berjudul Menemui Diri Sendiri. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.

MeCarthy, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Mulder, Neils. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. Jawa, Muangthai da Filipina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nordholr, Henk Schulre. 2006. The Spell af Power. Sejarah Politik Bali 1650 — 1940. Jakarta : KITLV

dan Gerry yan Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan KITLV

Pals, Daniel L. 2001.Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Galam.
Phalgunadi, I Gusti Putu. 2006. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu. Denpasar: Widya Dharma.

Poespowardojo, Soerjanto.1986. Pengertian Local Genius dan Relevansinya Dalam Modernisasi, dalam buku Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta : Pustaka Jaya.

Redig, I Wayan. 1997. Ciri-ciri Ikonografis Beberapa Arca Hindu di Bali (Studi Banding Dahulu dan Sekarang) dalam Dinamika Kebudayaan Bali. Ed. 1 Wayan Ardika. Denpasar: Upada Sastra.

Riana, I Ketut.2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya“ Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Lingusitik Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, Bali.

Rawson, Philip. 1993. Tantra, The Indian Cult of Ecstasy. London : Thames an Houdson Ltd.

Santiko, Hariani. 1992. Bhatar’ Durga. Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.

Santos, Arysio. 2010. Atlantis The Lost Contenent Finally Found. Akarta: Ufuk Press

Sedyawati, Edi. 2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya Dharma.

Sura, I Gede dkk. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemda Tingkat I Bali.

Surasmi, I Gusti Ayu. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa.

Susanto S.J, Budi. 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Sutaba, I Made. 1980. Prasejarah Bali. Denpasar : BU. Yayasan Purbakala Bali.

Sutaba, I Made,dkk. 2007. Sejarah Granyar dari Jaman Prasejarah sampai Masa Baru Modern. Gianyar: Pemerintah Kabupaten Gianyar, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.

Tim Penyusun. 1985/1986. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali. Denpasar : Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku Agama.

Utama, I Wayan Budi. 2005. Perkembangan Agama Hindu di Bali: Suatu Proses Dialektis. Dalam Dharmasmrthi, Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Nomor 5 Vol III. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI.

Utama, I Wayan Budi dan Jaya Kumara. 2012. Kama Sastra, Simbol dan Maknanya. Denpasar: PT. Mabhakti.

Zoetmulder,P.J.2000. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Warna, I Wayan.dkk.1990. Kamus Bali Indonesia.Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Woodrofte, Sir John. 1927. Sakti and Sakta. Ganesh & Co (Madras) Privite Ltd.