Dr. Lydia Kieven
Peneliti Panji – Universitit Bonn
Email: Iydia.kicven@gmail.com
Salah satu relief di Teras Pendopo di Candi Panataran menggambarkan adegan dengan dua figur yang saling menghadap, yaitu seorang figur yang bertopi tekes dan seorang rakshasi. Menurut penafsiran penulis ini adalah figur Panji yang menyembah figur Durga. Dalam artikel ini saya mendiskusikan adegan ini dalam konteks luas.
Penelitian ini berdasarkan ikonografi penggambaran adegan tertentu itu, dan membandingkannya dengan contoh relief di candi-candi lain. Kemudian dibahas adegan ini dalam konteks relief-relief di Teras Pendopo dan dalam konteks kompleks Panataran seluruhnya. Selainnya, teks sastra yang berkaitan dengan tema penggambaran adegan ini, akan diperhatikan. Dengan pembahasan semua aspek-aspek penulis akan memberi usulan penafsiran. Penulis akan merujuk khususnya pada penelitiannya yang sebelumnya (Kieven 2013, 2014/17) tentang figur yang bertopi, dan pada penelitian Hariani Santiko (1987) tentang Durga.
Candi Panararan, yang lokasinya sekitar 12 kilometer di timur laut kota Blitar, dianggap sebagai candi negara Majapahit. Kompleks candinya yang terdiri dari tiga halaman dan suatu petirtaan, dibangun bertahap-tahap, kebanyakan bangunan antara pertengahan abad ke14 sampai awal abad ke15. Panjang keseluruhan kompleks candi sekitar 180 meter, dan lebarnya 60 meter. Dalam halaman pertama ada Teras Pendopo yang dibangun tahun 1375 M. Dalam halaman kedua ada beberapa bangunan dan puing-puing. Dalam halaman ketiga adalah Candi Induk – diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke 14.’ dengan arsitektur berunding khas Jawa Timur. Teras Pendopo dindingnya dihias penuh dengan relief naratif yang berdasarkan sastra Jawa lokal. Melalui penyelidikan penulis terhadap relief-relief di Teras Pendopo, disimpulkan ada sembilan narasi. Di dinding dua teras Candi Induk terdapat relief cerita yang berdasarkan sastra India, yaitu Ramayana dan Krishnayana.
Obyek penelitian kita ini adalah sebuah panil relief di dinding timur Teras Pendopo:? Panil nomor 26? (gambar 1) menggambarkan figur bertopi tekes yang berlutut di depan seorang rakshasi. Berbagai bentuk hantu dalam relief ini dan relief bersampingan adalah unsur khas untuk kuburan dalam seni Jawa kuno, misalnya diketahui dalam relief Sudamala di Candi Tigowangi dan di Candi Sukuh: Dewi Durga ada di kuburan Gandamayu, tempat pendiamannya.“ Dalam relief di Teras Pendopo, ikonografi rakshasi hampir sama dengan Durga dalam relief cerita Sudamala di Tigowangi (gambar 2). Dibandingkan dua figur ini, kita malah dapat kesan bahwa yang satunya adalah duplikasi dari yang lainnya. Figur di sebelah kiri yang berlutut ternyata menyembah Sang Durga: penutup kepalanya tekes khas untuk figur Panji.
Cerita yang memuat adegan ini belum dapat diidentifikasi. Namun begitu, penulis pernah manyampaikan penafsiran (Kieven 2013: 183-187, 2014/17: 211-217) yang dalam artikel ini akan dibahas ulang, diperdalam, dilihat dalam konteks lebih luas, dan direvisikan beberapa aspeknya.
Teras Pendopo dihias dengan sembilan series ukiran naratif (gambar 3, gambar 4). Tiga series diidentifikasikan sebagai penggambaran kidung Sang Satyawan, kidung Sri Tanjung, dan kisah Bubukshah dan Gagak Aking. Dalam semua relief, kecuali Bubukshah dan Gagak Aking, muncul seorang ber-tekes. Tokoh utama dalam dua series relief ini memakai tekes. Enam series relief lain yang menggambarkan tokoh ber-rtekes, belum dapat diidentifikasi narasinya. Menurut penafsiran penulis yang berdasarkan tafsiran Satyawati Suleiman (1978),5 cerita-cerita ini adalah variasi cerita Panji (Kieven 2013, 2014/2017). Cerita Panji termasuk sastra kidung. Dibandingkan sastra kidung dengan sastra Jawa kuno kakawin, isi cerita kidung biasanya lebih “down to earth” (“membumi”) daripada isi kakawin yang lebih terkait dengan dunia para ksatriya dan raja dan dewa. Cerita Panji malah lebih punya karakter kerakyatan dan folklor. Karakter yang sederhana itu dicerminkan dalam gaya penggambaran visul di relief. Diperbahas panjang lebar dalam Kieven 2013: 173- 210: 2014/2017:198-246. Berdasarkan Stutterheim (1935) dan Poerbatjaraka (1968). Robson 1971: 19: Kieven 2013: 29, 2104/2017: 33.
Belum diteliti apakah dalam:sastra Panji terdapat cerita dengan adegan Panji bertemu dengan Durga atau seorang rakshasa. Pertanyaan adalah: Kenapa begitu dalam penggambaran di Teras Pendopo?
Berikutnya akan dibahas berbagai aspek-aspek dalam konteks luas:
1. Ikonografi dan pembandingan dengan penggambaran lain di Teras Pendopo dan di candi-candi lain
2. Gaya (style)
3. Adegan dalam konteks cerita lengkap
4. Konteks bangunan /kompleks candi
5. Pembandingan dengan teks sastra
6. Fungsi Durga dalam sastra dan dalam seni
1. Ikonografi dan pembandingan
Dalam panil 26 (gambar 1) figur lelaki memakai topi dengan rambut keriting pada dahinya, pakaiannya sederhana dengan kain panjang dan ikat pinggang, hanya ada sedikit hiasan anting-anting dan gelang tangan. Ikonografi ini sama dengan tokoh ber-tekes lain di Teras Pendopo. Dalam penulisan lanjut artikel ini akan saya sebutkan tokoh yang bertopi tekes sebagai ,,Panji”, kecuali tokoh Satyawan dalam cerita Sang Satyawan dan Sidapaksa dalam Sr# Tanjung. Dalam adegan kita ini Panji, yang dalam posisi berlutut dan meyembah, ditemani oleh seorang berbadan kecil yang sering muncul dalam relief Teras Pendopo sebagai pendamping Panji dalam bentuk panakawan. Figur yang di sebelah kanan mempunyai badan besar dengan payudara, di kepalanya – walaupun sedikit hancur – kelihatan mata dan mulut yang besar, rambutnya liar, semua unsurnya khas untuk seorang rakshasi. Dua buah dada besar kelihatan berat seperti pada badan wanita yang sudah tua umurnya. Kakinya dalam posisi kasar, tangannya yang gemuk kasar juga: tangan kiri memegang sesuatu pada pinggannya, tangan kanan lurus dan menunjuk miring ke bawah, dengan dua jarinya lurus. Posisi jari-jari ini adalah tanda mengancam dan/atau menyuruh. Badan rakshasi dihias dengan sampur-sampur dan hiasan sebagai tanda status tinggi. Dari unsur-unsur ikonografi bisa diidentifikasikan sebagai rakshasi Durga. Di depannya ada figur kecil, mungkin seorang pendamping, lebih kecil daripada pendamping Panji. Di antara Panji dan Durga ada bahan bentuknya bersegi tiga mirip nasi tumpeng, dan kepala seorang yang ternyata dipotong dari badan seorang rakshasa besar. Dua bahan ini diletak di atas sejenis altar. Relief ini dihias di atas dengan ornamen-ornamen mirip awan atau bhuta.
Banyak unsur ikonografis sama atau mirip dengan penggambaran lain pada dinding Teras Pendopo, khusus aksesoris Panji dan bentuk panakawan, ikonografinya mirip juga dengan relief Panji di candi-candi lain, misalnya Candi Mirigambar.? Namun, di candi lain dengan relief cerita Panji, tidak ada satupun figur yang mirip rakshasa. Adegan di Teras Pendopo betul-betul unik.
Ikonografi Durga mengingat ikonografi Durga di Candi Tigowangi, yang dibangun sekitar 1400 M (gambar 2). Di situ, Kunti duduk menyembah Durga. Durga digambarkan dengan kepala besar, mata dan mulut besar, rambutnya keriting dan liar, badannya besar, kaki tegak dengan posisi kasar, satu tangan memegang sesuatu di pinggang, tangan lainnya lurus dan menunjuk kepada Kunti dengan mudra mengancam atau menyuruh. Badan dihias dengan sampur-sampur dan hiasan lain. Payudaranya besar seperti wanita muda. Kecuali payudara, badan Durga hampir identis dengan badan Durga di Teras Pendopo. Posisi dua tokoh masing-masing bolak-balik: Di Tigowangi Durga berdiri di sebelah kiri, dan Kunti ada di sebelah kanan. Di Tigowangi tangan Durga yang mengancam itu lurus horisontal, sementara tangan Durga di Teras Pendopo lurus miring ke bawah. Apa Durga di Tigowangi digambarkan berdasarkan model di Teras Pendopo yang lebih tua? Atau apa ikonografi ini adalah model biasa dalam zaman Majapahit yang mungkin pernah muncul juga di candi-candi lain tapi hilang? Dalam adegan dua-duanya Kunti dan Panji masing-masing duduk di bawah dan menghormati seseorang yang duduk lebih tinggi sebagai tanda berstatus tinggi, dan dengandemikian mereka mengakui otoritasnya.
Gestur tangan dengan dua jari lurus dikenal dari relief-relief lain sebagai tanda mengancam atau menyuruh. Di Candi Induk di Panataran dalam relief Ramayana ada berbagai penggambaran Hanuman dan Rahwana dengan gestur itu. Contoh-contohnya: Rahwana mengancam Sita (Stutterheim panel 109: gambar 4)’”, Hanuman mengancam para bhuta (Stutterheim panil 122), Hanuman mengancam Indrajit (Stutterheim panil 160), Rahwana menyuruh Hanuman akan dibunuh (Stutrerheim panil 163). Pertanyaan adalah dalam kasus kita ini: Durga mengancam dan menyuruh apa kepada Panji?
2. Gaya (style)
Gaya (style) penggambaran yang sederhana ini khas untuk relief-relief naratif yang berdasarkan pada cerita rakyat dan yang memvisualisikan cerita kidung. Style ini pernah disebut oleh penulis sebagai sryle post-mitologis (berdasarkan Forge 1978), beda dengan style mitologis yang khas penggambaran kakawin.” Style post-mitologis dibandingkan style mitologis lebih sederhana, figur lebih naturalistis, latar belakang adegan masing-masing agak polos dan tidak diisi penuh ornamen atau unsur alam. Sementara style mitologis yang juga disebut style wayang lebih kaya dan figur-figur lebih dihias, kepala para tokoh lelaki
mempunyai hiasan supit urang. Perbedaaan karakter cerita Panji / cerita kidung dan karakter cerita kakawin sebagai sastra dicerminkan dalam perbedaan karakter dalam penggambaran visual.
3. Adegan dalam konteks cerita lengkap
Adegan yang dibahas di sini adalah bagian series relief “Kisah raja naga” (panil 24-39). Diceritakan Panji melamar untuk menikah kekasihnya kepada orang tuanya, dan baru setelah bertemu dengan Durga dan Antaboga dia siap untuk menikah. Walaupun sampai saat ini belum dapat diidentifikasikan dengan suatu cerita Panji tertentu yang masih eksis, unsur-unsur yang khas untuk cerita Panji laku dalam penggambaran cerita ini. Unsur-unsur khasnya adalah: perpisahan, saling mencari sambil mengatasi banyak halangan, bertemu lagi, sambil menyeberangi air, dan meminta nasihat (Kieven 2013: 175: 2014/17: 202).
Relief-relief di seluruh Teras Pendopo dibaca mengikuti prasawya melawan jarum jam dari kiri ke kanan. Dalam panil pertama (no. 24) (gambar 6) Panji dan dua pelayan berlutut dan duduk di depan seorang lelaki yang duduk di atas bangku. Walaupun pakaian dan hiasan lelaki itu sederhana, gelung rambutnya mengingat pada gelung Yudhistira yang berstatus tinggi, misalnya dalam relief Parthayajna di Candi Jago. Tiga orang yang duduk atau berlutut, menyembah dan menghormati lelaki yang bergulung itu. Hormatnya dimanifestasikan juga oleh penyampaian tempolong, tempolong sebagai tanda hormat adalah unsur terkenal dalam relief naratif, misalnya dalam cerita Kunjarakarna di Candi Jago (Kieven 2013: 150-151, 2014/2017: 175). Dalam panil 25 (gambar 7), Panji berdiri dan membawa sesajen berbentuk tumpeng. Di depannya ada beberapa figur hantu: sebuah tangan yang besar, torso orang, awan berbentuk kala, yaitu adalah tanda Panji masuk kuburan. Kemudian ada adegan Panji dan Durga (panil 26) (gambar 1): di antara mereka dan di sebelah kanan Durga kelihatan tambah figur-figur hantu sebagai tanda lokasinya di kuburan, tempat pendiaman Durga. Sebelah kanan panil itu, series relief dipotong dengan pahatan kepala naga besar. Sebelah kanan kepala naga itu, cerita dilanjutkan dalam panil 27-39. Dalam panil 27 (gambar 8) Panji berdiri di depan seorang perempuan dengan sanggulnya yang khas untuk seorang pelayan emban. Panil 28 menggambarkan empat orang: seorang wanita muda dengan rambutnya panjang duduk di dalam pendopo: posisi badan, tangan dan kepala menunjukkan keadaannya rindu, di depan pendopo duduk seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dihadapi oleh Panji. Di antara mereka kelihatan seekor anjing. Tafsiran panil 28 ini: Panji mendekati orang tua seorang gadis yang disembunyikan di dalam pendopo, anjing yang menghadapi Panji, adalah tanda kesetian dan cinta si gadis.” Dalam panil 29 dan 30 Panji kelihatan bersama teman, kemudian mereka naik perahu di laut, di panil 31 Panji tenggelam di perairan, sementara teman duduk sendiri dalam perahu. Dalam panil 32 (gambar 10) kelihatan Panji berlutut dan menyembah seorang berbadan manusia dengan kepala dan ekor binatang: yaitu adalah raja naga Antaboga yang kerajaannya ada di laut. Cara Panji berlutut dan menyembah Antaboga sama seperti di depan Durga. Dalam panil berikutnya (no 33) (gambar 11) Panji naik ikan besar dan memegang sebuah kotak. Antaboga dikenal sebagai penjaga batu mulia: Apa dalam kotak itu ada sesuatu yang berharga? Dalam panil 34 Panji muncul sendiri di dalam pendopo kecil dan melihat ke kanan: di situa ada wanita muda dan emban (panil 35) yang menghadap ke arah pendopo. Mungkin wanita muda ingin mendekati pendopo untuk bertemu dengan Panji. Dalam panil 36 emban duduk sendiri di atas batur (gambar 12). Relief panil 37 menggambarkan Panji dan wanita muda di dalam pendopo secara mesra, emban menyaksikan penyatuan mereka dari luar (no. 38). Panil terakhir pada dinding timur ini (no. 39) menggambarkan pasangan berdiri dan berjalan (gambar 17).
Prasasti di atas panil 25 di Teras Pendopo didiskusikan oleh Satyawati Suleiman (1978:10). Dibaca oleh Brandes sebagai “haja haja nngah” oleh Brandes,'”“ artinya “het spook ten halven lijve/ the half-bodied ghost / hantu setengah badan”. Menurut Boechari prasasti dibaca “haja haja jnana”. Satyawati Suleiman memberi tafsiran: “pengetahuan tentang hantu dan roh- roh””, “Orang yang membawa sesajen untuk Durga mungkin lagi mencari ilmu rahasia tentang hantu-hantu atau roh-roh di kuburan, dengan tujuan mencapai “sakti”. Oleh karena pembacaan prasasti tidak jelas, arti dan makna tidak dibahas lebih dalam di sini.
4. Konteks dalam bangunan Teras Pendopo
Dinding timur Teras Pendopo dihias dengan empat series relief: cerita Sang Satyawan (panil 1-13), “Kisah dengan pertapa” (panil 14-18), Bubukshah dan Gagak Aking (panil 19-23), dan “Kisah raja naga” (panil 24-39).2
Sang Satyawan mengajar dharma kepada istri, dua-duanya menjadi pertapa di gunung Meru. Dalam cerita “Kisah dengan pertapa” dua kali ada adegan Panji duduk di sebelah seorang pertapa, dan satu adegan seorang perempuan duduk di sebelah pertapa (gambar 14), mereka menerima pengajaran. Cerita Bubukshah dan Gagak Aking (gambar 15) bertema meditasi, mereka dua-duanya dites oleh dewa Indra dalam wujud macan, sampai dua saudara ini diperbolehkan masuk surga Indra. Itu adalah tema-tema penting dalam seluruh relief di Teras Pendopo: pelajaran, mengatasi halangan, tes dan ujian. Pada sisi timur Teras Pendopo tema-tema itu malah ditonjol lewat banyak adegan meditasi dan dunia dewata.”
Dinding timur dibagi dengan dua kepala naga besar menjadi tiga bagian yang masing-masing kira-kira sama panjangnya. Ada 13 panil Sang Satyawan yang mengisi bagian pertama, di antara dua kepala naga ada “Kisah dengan pertapa” (6 panil), “Bubukshah dan Gagak Aking” (5 panil) dan 3 panil pertama dari cerita “Kisah raja naga”. Lanjutan cerita yang terakhir ini ada di bagian kanan sebelah kepala naga dengan 13 panil. Berarti “Kisah raja naga” paling panjang, dengan seluruhnya 16 panil. Persis di tengah dinding antara dua kepala naga digambarkan cerita dengan adegan-adegan rsi, cerita Bubukshah dan Gagak Aking dan adegan “Panji bertemu dengan Durga”. Dengan demikian makin dititikberatkan kaitan dengan dharma dan pertemuan dengan dewa. Ada contoh pada candi-candi lain yang prinsipnya sama: di tengah bagian belakang ada tema yang paling menonjol: contohnya di Candi Induk Panataran dalam relief Ramayana penggambaran penyeberangan Hanuman dari Ayodhya ke Langka lewat jembatan yang dibangun oleh tentaranya persis di tengah dinding belakang.
Konteks dalam kompleks Candi Panataran
Pada candi-candi periode Jawa Klasik akhir, yaitu periode Jawa Timur, salah satu ciri khas adalah orientasi candi ke gunung. Dinding atau bagian yang menghadap ke gunung, biasanya dihias dengan adegan yang berkaitan dengan par dewa, medirasi dan gunung. Contohnya Candi Surowono: Dalam relief Arjunawiwaha pada dinding belakang ada adegan para bidadari diutus oleh Dewa Indra untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa. Di Candi Induk Candi Panataran, di sisi belakangnya dalam relief Ramayana sama sekali tidak ada pertempuran, sementara sisi-sisi lain penuh adegan berperang. Dalam relief Krishnayana pada teras kedua pada dinding belakang ada adegan Krishna memuja Dewa Wishnu, sementara pada dinding lain – sama seperti dalam Ramayana- ada banyak adegan peperangan.
5. Pembandingan dengan teks sastra Sastra
Panji dan kaitannya dengan penggambaran di relief sudah didiskusikan panjang lebar.” Berikut ini diperhatikan khususnya karya sastra yang menceritakan tentang Durga. Ada berbagai teks puisi dan prosa.“ Penulis kebanyakan merujuk pada Hariani Santiko (1978), yang mendiskusikan posisi Durga dalam kakawin Gatotkacasraya (pemujaan Durga), kakawin Sutasoma (Durga sebagai pelindung), kidung Sudamala (rawatan Durga), kidung Sri Tanjung (Ra Nini melindungi Sri Tanjung), teks prosa – Calon Arang (pemujaan Durga), Tantu Panggelaran (rawatan Durga),“ dan Koraswasrama (ruwatan Durga) -, mungkin kidung Margasmara”. Durga disebut dengan nama berbeda-beda, misalnya Ra Nini, Bhairavi dll. Berikut ini penulis mengutamakan Ghatotkacasraya dan Sudamala, karena dalam dua-duanya ada banyak unsur yang patut sebagai pembandingan dengan penggambaran adegan yang dibahas dalam artikel ini. Kakawin Ghatotkacasraya (GK): Karya Mpu Panuluh dari akhir abad ke-12 menceritakan tentang Durga dalam canto 30.5-31.5. GK termasuk sastra kakawin yang masih sangat berdasarkan pada puisi India, dan sekaligus mengandung unsur khas Jawa, Ringkasan ceritanya: Abhimanyu, anak Arjuna, dan Ksiti Sundari, anak Krishna dan Rukmini, jatuh cinta. Ada kejadian- kejadian yang menghalangi cinta mereka, sehingga mereka saling merindukan. Dalam perjalanan, Abimanyu bertemu dengan demon yang mencari seorang yang akan dijadikan makanan untuk dewi Durga. Abimanyu siap dan dibawa ke depan Durga. Setelah dipuja dengan hormat oleh Abimanyu Durga merasa kasihan dan melepaskannya. Puja itu (“hymn of praise”) ditulis dalam bahasa indah luar biasa (canto 31.1-5). Durga berkata bahwa perilakunya hanya adalah tes terhadap Abimanyu sebagai bukti baktinya. Beliau mau membantunya mencari kekasihnya, dan menasehati Abimanyu untuk mencari Ghatotkaca yang semi-manusia dan semi-rakshasa (Canto 32-33). Abimanyu menemukan Ghatorkaca, yang sebetulnya seorang saudara sepupu, dan menyembahnya sambil disambut dengan meriah. Ghatotkaca memberikan hadiah: tambal indah dengan sirih dan busana yang mewah, tetapi Abimanyu tidak mau menerimanya karena sedih dan rindu terus (Canto 35). Akhirnya mereka pergi bersama-sama kembali ke tempat pendiaman si kekasih, dan setelah diatasi banyak halangan dan perang, Abimanyu dan Ksiti Sundari menyatu dan menikah. Menurut Hariani Santiko (1987: 317) dalam kakawin Ghatotkacasraya (canto 31.5) “Mpu Panuluh ingin mengemukakan dua hal, pertama bahwa bhatari Durga adalah dewi yang menerima persembahan korban darah, termasuk korban manusia. Kedua, Durga adalah pemberantas kejahatan, dan hal ini sesuai dengan tugas Durga “pembinasa asura”.” Menurut Robson (2016: 14) “ (…) the goddess Durga takes pity on Abhimanyu and gives him crucial advice.” (“Durga kasihan terhadap Abhimanyu dan menyampaikan nasihat yang luar biasa”.) Dalam adegan ini Durga muncul sebagai Durga Mahisasuramardhini (GK Canto 31: 5b). Deskripsinya sangat detil: mempunyai delapan tangan, mata melotot, gigi taring tajam, hidung berlubang besar, rambut kasar.
Beberapa bait dari GK:
Canto 30.6 (Hariani Santiko 1987: 195)”
– sampailah kesana ke tempat tinggal Durgga, (sebuah) gunung besar (dan)
tinggi terlihat samar-samar (…)
Canto 30.8 (Hariani Santiko 1987: 195)
– keluar(lah bhatari Durgga) sampai di luar senang hatinya melihat wajah yang akan disantap
– itulah sebabnya diperbesarnya (tubuhnya) seolah-olah memenuhi bulatan
dunia
– delapan tangannya, kepala tiga, dada belang, lampir kasar
– mata melotot, gigi taring tajam, hidung berlubang besar, rambut kasar (dan) kusut
Canto 31.5 a,b (Hariani Santiko 1987: 197)
– tetapi oleh suatu penghinaan, tuan akan menghukum (yang menghina) dengan berat, jelas akan diberi kutukan
– lihatlah hyang Mahisasura serta daitya Ruru yang (keduanya) telah
memperoleh kemenangan di dunia
Dalam kakawin GK Durga muncul sebagai Mahisasuramardhini. Semua teks sastra lain yang dibahas oleh Hariani Santiko menyebut Durga sebagai seorang rakshasi. Durga Mahisasuramardhini adalah seorang dewi, sedangkan dalam kisah lain “Durga bukan lagi seorang dewi, wujud Uma setelah dikutuk oleh Siva (bhatara Guru) karena telah membuat kesalahan-kesalahan.” (Hariani Santiko 1987: 374)
Kidung Sudamala: Dewi Uma dikutuk karena main seorang dan berwujud sebagai rakshasi Bernama Ra Nini. Selama 12 tahun dia diungsir ke kuburan Gandamayu. Kunti, ibu para lima Pandawa, meminta bantuan kepada Ra Nini untuk membunuh dua rakshasa yang mau menerang para Pandawa. Ra Nini bersedia dengan persayaratan bahwa Kunti mengorbankan Sadewa, anak bungsunya. Setelah dua kali ditolak, Kunti membawa Sadewa ke kuburan. Sadewa diperintah mengusir setan dari tubuh rakshasi, dan akhirnya berhasil. Ra Nini mendapat kembali wujud sebagai dewi Uma. Cerita yang di sini diringkaskan secara pendek saja, dramatis sekali dengan banyak adegan ancaman dan penyerangan makhluk-makhluk jahat.
6. Bentuk dan Fungsi Durga
Bhatari Durga mempunyai dua bentuk utama yang masing-masing dicerminkan dalam sastra dan dalam seni:
i) Durga Mahisasuramardhini yang membunuh demon Asura
ii) Durga sebagai rakshasi yang adalah penjelmaan Uma akibat kutukan dan diperintah tinggal di kuburan Gandamayu sebelum diruwat dan Kembali ke bentuk Uma
Selama seluruh periode Jawa Klasik, dari periode Jawa Klasik awal (era Jawa Tengah) sampai Jawa Klasik akhir (era Jawa Timur) terdapat jumlah besar arca-arca Durga Mahisasuramardhini. Durga dalam perwujudan rakshasi hanya ada dalam relief candi saja: di Tigowangi, Sukuh, (dua-duanya cerita Sudamala), dan di Panataran.”
Berikut ini akan disampaikan suatu seleksi aspek-aspek dari pembahasan lengkap oleh Hariani Santiko (1987: 309-396).
i) Bhatari Durga Mahisasurmardhini mempunyai salah satu fungsinya utama, yaitu Durga-puja.”” Ada empat tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pemujaan kepada Bhatari Durga (Hariani Santiko 1987: 319):
1. Menaklukkan musuh
2. Berkumpul kembali dengan orang yang dikasihi, dan agar memperoleh jodoh
3. Menjadi saksi pendirian suatu daerah sima
4. Membinasakan orang lain
ii) Bhatari Durga sebagai rakshasi punya tujuan utama untuk diruwatnya dari kutukan sehingga dia bisa kembali ke bentuk sebelumnya.”
“Apabila kita perhatikan, masing-masing konsepsi tersebut dibicarakan oleh kitab-kitab sumber yang berbeda jenisnya. Durga Mahisasuramardini yang bersifat krura (menakutkan) dibicarakan oleh kita-kitab kakawin, sedangkan raksasi Durga oleh kitab-kitab prosa yakni Tantu Panggelaran dan Koravasrama serta cerita-cerita dalam bentuk kidung yakni kidung Sudamala, mungkin pula dalam kidung Sri Tanjung dan kidung Margasmara.” Hariani Santiko (1987: 391).
Bentuk dan fungsi Durga bisa ditransferkan pada penggambaran di Teras Pendopo Candi Panataran. Tidak ada adegan lanjut yang menggambarkan Durga lepas dari bentuk rakshasi seperti dalam relief Sudamala di Candi Sukuh dan Tigowangi. Penulis menganggap itu sebagai tanda bahwa Panji tidak mau mengorbankan diri untuk meruwar Durga.? Dalam pembandingan dengan GK, ada kejadian dan adegan mirip: Abhimanyu siap mengorbankan diri kepada Durga untuk lepas kesedihan sendiri karena berpisah dari kekasihnya. Durga pura-pura mau menerima korbannya, namun kemudian mengutarakan bahwa dia mau mengetes Abhimanyu saja dan mengutusnya bertemu dengan Ghatotkaca yang semi-dewata dan berkumpul kembali dengan orang yang dikasihi (Hariani Santiko 1987: 339-343). Walaupun ada perbedaan antara bentuk dan fungsi dalam GK – Durga Mahisasuramardhini dengan delapan tangan sebagai dewi – dan dalam relief – Durga rakshasi dengan statusnya di bawah dewa -, paralelnya antara dua cerita sudah menjadi jelas, dan akan dibahas lanjut di bawah ini.
Sama dengan relief-relief di Candi Tigowangi dan Candi Sukuh, di Candi Panataran Durga digambarkan sebagai rakshasi dan bukan Durga Mahisasurmardhini. Berkaitan dengan pembandingan antara penggambaran di tiga candi tersebut, Hariani Santiko (1987: 389) mengemukakan: “Satu hal yang dirasa ganjil adalah, biarpun Durga pada jaman Majapahit dan sesudahnya telah menjadi raksasi, ia tetap berperan sebagai pelindung manusia dari kesulitan yang dihadapi.”
Patut diperhatikan adegan yang menggambarkan pertemuan dengan raja naga Antaboga (panil 32) (gambar 10). Ikonografi Antaboga dalam relief ini sama dengan ikonografi raja naga di Candi Jago dalam penggambaran cerita Anglingdharma (5 Aji Darma), yang berbadan manusia dengan kepala dan ekor ular. Relief-relief di Candi Jago diperkirakan dipahat pada pertengahan abad ke-14. Berarti ikonografi Antaboga sudah dikenal pada waktu pembangunan Teras Pendopo (1375 M). Dalam cerita Ari Darma, Antaboga menyerahkan suatu bahan gaib kepada Ari Darma. Dalam mitologi Jawa, Antaboga memang terkenal sebagai penjaga batu mulia.” Antaboga punya peran juga dalam Bhimasuci: Bhima yang masuk ke lautan, bertempur dengan Antaboga sebelum bertemu dengan Dewaruci dan mencapai ilmu tinggi.
Hariani Santiko (2015: 87) membahas simbolisme Antaboga (nama lain Anantabhoga) seperti berikutnya:
“Perlu dikemukakan disini, bahwa dalam beberapa mitologi, Naga seringkali (…) digambarkan bertubuh lebih besar dari ular biasa, memakai mahkota dan perhiasan lainnya, kadang-kadang digambarkan berkaki empat. Beberapa Naga dianggap setengah Dewa (demi god) dan dianggap sebagai penyangga bumi (bhudara), mereka adalah ular-naga Ananta atau Anantabhoga, ular Sesa, ular Basuki dan sebagainya. (…) diketahui bahwa tempat tinggal naga ada di dunia bawah (patala) oleh karenanya, naga dianggap sebagai penyangga bumi (bhudara).” Durga dan Antaboga dalam relief kita ini tidak berdiri di atas padmasana, ciri khasnya untuk para dewa. Durga sebagai rakshasi “berada jauh di bawah kedudukan para dewa” (Hariani Santiko 1987: 377-8).
Ada beberapa unsur kemiripan antara “Panji bertemu Durga dan Antaboga” dengan “Abimanyu bertemu Durga dan Ghatotkaca” dalam GK: Ada paralelnnya antara peran Panji dan Abhimanyu, dan antara peran Antaboga dan Ghatotkaca. Panji dan Abhimanyu siap mengorbankan diri sebagai santapan Durga. Durga merasa kasihan dan berkata bahwa dia mau mengetes Abhimanyu saja dan menasehatinya pergi ke Ghatotkaca. Durga bersikap sama kepada Panji dan dinasehati pergi ke Antaboga untuk minta bantuan dalam usaha mencari si kekasihnya, Tingkat spiritual dua kegiatan ini beda: Abimanyu dan Durga beraksi pada tingkat spiritual tinggi, sementara Panji dan Durga masih pada tingkat semi-manusiawi dan semi-dewata.
Durga junga mempunyai karakter Tantra. Dikutip seleksi dari ungkapan Hariani Santiko, khususnya mengenai GK (1987: 291-294)”:
»Dalam aliran Tantra, kuburan (…) merupakan tempat yang sangat tepat untuk melakukan sadhana, karena kuburan mengandung perlambangan pula. Pertama merupakan lambang terhapusnya ahangkara (ke-akua-an) serta nafsu-nafsu keduniawian“ (hlm 358). .(…) kuburan bagi penganut Tantra adalah ,pintu gerbang” untuk mencapai moksa.“ (hlm 359). ,Unsur Tantris dalam kakawin ini (Ghatotkacasraya) terlihat pula dalalm ungkapan-ungkapan di dalam Durga-stuti yang diucapkan oleh Abhimanyu” (hlm 354). Upacara Durga-puja ,,hanya boleh dilaksanakan oleh sadhaka yang telah tinggi tingkatan ilmunya” (hlm 348).
Pelajaran Tantra adalah ilmu rahasia dan esoteris yang hanya bisa dipelajari dengan seorang guru (Kieven 2013: 82: 2014/17: 95). Sangat diduga bahwa Panji sudah diberi pelajaran oleh seorang guru dan bahwa upacara pemujaan ini sudah boleh dilaksanakan oleh Panji. Panji sendiri baru dipersiapkan untuk menerima pengajaran.
Pertanyaan utama dalam penelitian kecil ini adalah mengenai fungsi dan simbolisme adegan Panji dengan Durga dalam relief di Candi Pantaran: Durga menyuruh apa kepada Panji? Apa dites, atau diperintahkan dipuja, atau mengorbankan diri? Apa Durga mau diruwat oleh Panji? Pertanyaan terakhir langsung bisa dijawab: Ternyata fungsinya bukan meruwat Durga seperti dalam Cerita Sudamala. Seandainya diruwat, ada adegan lanjut dengan Durga kembali menjadi Dewi Uma, tidak ada di Teras Pendopo. Cerita Kisah raja naga“ dan adegan dengan Durga tidak mempunyai fungsi exorcisme atau kelepasan seperti penggambaran Sudamala di Candi Tigowangi dan Candi Sukuh.
Panji siap mengorbankan diri, tapi diperintah oleh Durga menghormatinya dan diberitahu bahwa kejadian ini hanya tes saja. Kemudian Panji dinasehati pergi dan mencari seorang yang akan membantu. Panji bertemu dengan Antaboga yang menyampaikan karunia, sehingga Panji siap untuk bertemu dengan kekasihnya. Posisi Panji berlutut di depan Durga dan menyembah, bukan berarti dia melakukan upacara Durga-puja, karena dia belum diberitahu pengetahuan mantra esoteris dalam aliran Tantra. Panji menghormati Durga saja.
Semua aspek ini – Durga rakshasi dan Antaboga semi-dewa saja, Panji belum menjadi sadhaka untuk melakukan Durga-puja – sesuai dengan tafsiran penulis terdahulu bahwa cerita-cerita Panji dan tokoh Panji sendiri berperan sebagai perantara antara dunia manusiawi dan dunia sakral. Relief-relief ,,Kisah raja naga adalah manifestasi sebagai fungsi persiapan para peziarah untuk mendekati bagian sakral dalam kompleks Panataran, dititikberatkan dengan lokasi di dinding timur Teras Pendopo.
Dalam relief-relief ,,Kisah raja naga“ ada tiga panel yang menggambarkan air, dengan demikian dititikberatkan penyeberangan perairan. Seperti dikemukakan dalam penelitian penulis terdahulu, penyeberangan air mempunyai simbolisme mencucikan diri secara spiritual dan masuk pada tingkat pengetahuan ilmu lebih tinggi. Bhima dalam kisah Bhimasuci harus tenggelam dalam air dulu sebelum diperbolehkan oleh Dewaruci untuk mengerti ilmu tinggi dan manunggal dengan dewa. Dalam dua cerita masing- masing, dalam air ada pertemuan dengan makhluk yang membantu – Dewaruci membantu Bhima, Antaboga membantu Panji.
Dari pembandingan berbagai aspek dengan GK muncul pertanyaan apakah kakawin Ghatotkaca adalah sejenis blueprint yang ditransferkan dalam kreasi cerita Panji yang digambarkan di sini? Kakawin GK ditulis pada akhir abad ke-12, Teras Pendopo dibangun pada tahun 1375, berarti selisihnya sekitar 200 tahun. Walaupun Durga muncul dalam bentuk Dewi Durga Mahisasuramardhini dalam GK, dan sebagai rakshasi dalam relief, fungsinya masing-masing mirip: seseorang yang menghadapi Durga itu siap mengorbankan diri, dia dilepaskan dan diutus kepada makhluk yang akan membantu, dan akhirnya kembali ke kekasihnya. Elemen yang terakhir ini ada salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh orang yang melakukan Durga-Puja, seperti disebut di atas: “2.Berkumpul kembali dengan orang yang dikasihi, dan agar memperoleh jodoh” (Hariani Santiko 1987: 319). Bisa disimpulkan bahwa relief kita ini merepresentasikan tujuan sama, walaupun tidak dicapai lewat Durga-puja, namun lewat menghormatinya. Berarti dengan relief ini ada semacam campur dua prinsip yang disebut di atas: dikotomi antara Durga Mahisasuramardhini dalam sastra kakawin – perwujudannya dalam arca -, dan Durga rakshasi dalam sastra kidung dan sastra prosa – perwujudannya dalam relief.
Kesimpulan di atas ini memperkuat interpretasi yang sudah disampaikan terdahulu (Kieven 2014/2017: 216), dengan sedikit revisi dan perluasan pengertian:
“(-.) sepertinya kisah ini memiliki makna simbolis yang lebih dalam. Pertemuan dengan Durga digambarkan secara rinci sebagai alam kematian dan hantu. (…) pertemuan dengan Dewi Durga di kuburan menyucikan rohani, artinya, pertemuan itu tindakan tolak bala (…). Fakta bahwa Panji menyeberangi perairan, tenggelam dan menerima karunia dari dewa di samudra (…). Panji jelas pula mencari sesuatu yang sakral, yang dinyatakan dengan sikapnya yang berbakti kepada raja naga, dan karunia yang diterimanya (…) mempersiapkan Panji untuk menyatu dengan kekasihnya.
Aspek yang sangat karakteristik dalam cerita-cerita Panji bahwa Panji mengatasi segala halangan dengan cara sederhana, berlaku di sini dengan cara khusus. Pertemuan dengan seorang rakshasi yang menakutkan adalah halangan yang luar biasa dan melebihi halangan yang digambarkan pada relief-relief lain di Teras Pendopo. Apa Panji siap mengorbankan diri sendiri, atau apakah dia menyembah Durga saja supaya dinasehati tahap apa yang sebaiknya dilakukan untuk kembali kepada kekasih, atau apa Panji ingin mendapat ilmu spiritual?” Belum dapat dijawab dengan tentu. Seperti diketahui dari pembahasan dan penafsiran relief-relief di candi-candi secara umum, ada berbagai perspektif dan tingkat pengertian: cerita yang menarik, cerita yang mempunyai makna, cerita yang membantu pada pendekatan atau pemahaman ilmu spiritual. Demikian adegan “Panji dan Durga” juga bisa dilihat dari tingkat-tingkat berbeda-beda. Dengan mengatasi halangan yang luar biasa ini Panji menambah pencucian spiritual untuk maju pada tingkat ilmu yang tinggi sesuai, dan demikian dia berperan sebagai pengantar dan perantara. “