Kisah Para Dewi

Kisah Para Dewi

Bab 16: Durga dalam Kabajradharan

DAFTAR ISI

Dr. Hudaya Kandahjaya
Numata Center for Buddhist Translation and Research, California, USA

Email: hudaya@numatacenter.com

Sejak Hariani Santiko menyusun’disertasi tentang Durga, sedikitnya ada dua sarjana Indonesia lainnya yang menerbitkan disertasi sambil menyinggung Durga di Jawa dan Bali.’ Ini setidaknya menunjukkan keberhasilan penelitian perdana Hariani Santiko menggugah minat meneliti Durga dan sekaligus mengingatkan tentang kebutuhan dan kepentingan memahami peran Durga bagi kehidupan masa lalu dan kini. Namun, bila dilihat dari konteksnya, sejauh ini saya belum menemui penyelidikan yang memeriksa secara khusus aspek spiritual hubungan antara Durga dan Kabajradharan (atau agama Buddha esoterik) di Nusantara.” Oleh karena itu, saya akan mengkaji dan sekaligus melaporkan hasil atas kajian tersebut di sini. Penelitian ini menggunakan pendekatan serta sumber-sumber yang kelihatannya belum terjamah dalam kajian sebelumnya. Mudah-mudahan laporan ini bisa turut memperluas wawasan tentang Durga.

Dalam terbitan leksikon di Indonesia modern, Durga secara singkat disebut sebagai nama devi pasangan Siva, lalu ada pula tambahan entri yang menyebut aspek menakutkan (durgadevi) Dalam leksikon yang disusun Zoetmulder, entrinya juga merujuk beberapa karya sastra yang merekam nama Durga. Bagi yang awam ini mungkin sulit dipahami, tetapi walaupun singkat
rujukan ini tentu berguna bagi para spesialis. Dalam kajian-kajian terdahulu, selain yang disebut Zoetmulder, tertulis lebih banyak lagi karya sastra yang dirujuk sebagai sumber, ditambah dengan artefak arca Durga dari Jawa dan

Bali, prasasti terkait Durga, serta tradisi budaya yang melibatkan tokoh Durga. Hasil kajian menunjukkan bahwa keterangan tentang Durga masih dalam lingkup seputar Durga sebagai devi pasangan Siva, sebagai pembinasa asura berwujud kerbau (mahisasuramardini) yang mendominasi Jawa dan Bali, atau sebagai devi menakutkan (durgadevi), berikut penegasan bahwa wajah Durga di periode belakangan tampak lebih menakutkan.

Deskripsi yang menyebut Durga menakutkan atau memakan mangsa mirip dengan isi beberapa salinan manuskrip berjudul Purwaka Bumi Kamulan, Kamulan, atau Basundari yang beberapa di antaranya bertarikh sekitar abad ke-16 M,’ sehingga boleh jadi sejak manuskrip babonnya yang berusia lebih tua mereka adalah sumber yang turut berperan menyebar kepercayaan tentang Durgi seperti itu. Tetapi, saya rasa keterangan ini masih belum menjawab pertanyaan mengapa keadaan di Jawa dan Bali sebelum Durga berubah menakutkan justru berwajah cantik menawan, atau singkatnya, kalau begitu, apa sebetulnya yang membuat orang Jawa dan Bali ikut memuja Durga begitu hebat?

Salah satu sumber yang memberi tambahan informasi adalah ensiklopedi yang mengurai sumber-sumber tentang ikhwal Durga, dalam hal ini, ensiklopedi tentang literatur Purana (Mani 1975). Dari entri di ensiklopedi ini kita lalu tahu bahwa sumber primer yang mengurai ikhwal Durga sebetulnya adalah kitab Markandeya-purana. Kalau keterangannya diringkas, isi informasi umum tentang Durga seperti dimuat di ensiklopedi tersebutr—setelah saya terjemahkan—berbunyi sebagai berikut.

DURGA. Devi alam semesta, Durgi punya beraneka bentuk dan aspek. Parvati, pasangan Siva adalah salah satu bentuk Durga. Menurut doa para pemujanya, Devi ini bisa berubah ke banyak bentuk. Ia dipuja dalam 64 bentuk, sebagai Aryadurga, Vedagarbha, Ambika, Bhadrakili, Bhadrai, Ksemaksemakari, Naikabahu, Devi, dsb. Di India selatan, ia lebih dipuja dalam bentuk bengis dan menakutkan. Devi ini dalam aspek dan wajah ramah mengambil bentuk Kanya, Kamaiksi dan Mukamba. Di Kerala, Devi disebut Bhagavari, di Andhra sebagai Jokulambika, dan di Tamilnadu sebagai Kannaki. Pemujaan Devi ini dipandang berusia lebih dari 4000 tahun di India. Dalam literatur keagamaan ia tercantum sejak periode Veda hingga waktu Devi menempati kedudukan penting. Di zaman India modern, Sri Ramakrsna Paramahamsa, guru Svimi Vivekananda, adalah pemuja setia Durga.

Di kitab Mahabharata, ada berbagai rujukan terhadap Devi. Ketika Pandava sambil menyamar memasuki kotaraja Virita mereka memuja Durga, yang muncul di depan mereka dan memberi beberapa anugerah (Virata-parva, Bab 6). Di awal peperangan besar, Arjuna, atas anjuran Krsna berdoa kepada Durga, yang muncul di angkasa dan memberikan anugerah kepadanya agar menang di pertempuran itu (Bhisma-parva, Bab 23). Jika informasi ini betul-betul disimak, besar kemungkinannya pembacanya akan terbantu menyadari pentingnya kedudukan dan peran Durga dalam dunia spiritual yang dibangun oleh literatur Purana. Te
tapi, kalau kita renungkan lebih lanjut tentang sumber dan informasi mengenai Durga dari yang kita peroleh barusan, maka dalam hati kecil saya bertanya-tanya sekiranya mereka yang hidup di Jawa dan Bali dalam rentang abad ke-8 hingga ke-15 dulu juga bisa menjangkau informasi tentang Durga seperti itu. Tetapi, bila seandainya tidak terjangkau, bagaimana mungkin mereka bisa mendirikan arca, menggubah karya sastra, atau mencipta budaya seperti yang terwariskan kepada kita sekarang.

Sebaliknya, kalau mereka memang menerima transmisi dari India atau punya akses ke sumber primer seperti kita sekarang, saya lagi-lagi bertanya kenapa hasil penyelidikan dari Jawa dan Bali terasa belum memberi gambaran seluas seperti yang bisa kita peroleh barusan. Kalau memang sudah terjadi reduksi, pertanyaannya lalu apakah terjadinya reduksi di Jawa dan Bali akibat ketidaksempurnaan jalur transmisi, ataukah resipien di Jawa dan Bali— secara sengaja atau tidak—memilih hanya aspek Durga tertentu saja. Dalam kerangka bertanya seperti itu, saya temukan sebuah kitab leksikon Sanskerta dan Jawa Kuno berjudul Chandakarana, yang arti judulnya: seni menulis syair (Chandra 1997). Kitab Chandakarana mengandung bagian Amaramala, yang teks asalnya di India dinyatakan hilang.

Di bagian Amaramila dari kitab ini, penggubahnya mengabdikan penulisan Amaramala kepada Raja Jitendra dari dinasti Sailendra. Atas dasar informasi ini, Nicholaas Krom berpendapat bahwa kitab ini bertarikh abad ke-8 M. Lalu, kalau hanya melihat bagian Amaramala saja, maka kitab Chandakarana adalah kitab sejenis kitab Amarakosa. Tetapi karena kitab ini berisi berbagai instrument yang diperlukan oleh seorang pujangga, maka kitab Chandakarana mestinya adalah sebuah kitab rujukan penting yang selalu mendampingi para kawi di periode Jawa klasik.

Sinonim Uma:
paramesvari, bhavani, bhairavi, candi, candika,
rudrini, Sarvani, skandamita, adrija, suparnika
gauri, karvari, parvati, mahisavahana, durgga, –
ganga, raudri, rohini, mahisamardini, gandhari, rohini,
padmi, kundi, iSvari, kamani, mandri, kroddhri,
bhagavati, vijayi, Sri, mrdani, rajalaksmi, naran bhatari uma ika 33 |(OJ|

Sajak ini menyebut seluruhnya ada 33 sinonim terkait nama Um3. Jumlah sinonim ini hampir dua kali lipat dari sinonim yang tertera di kitab Amarakosa, yang hanya berjumlah 17 (Chandra 1997:193). Dengan begitu, kitab ini langsung membangkitkan kesan impresif, kesan yang berbeda daripada yang saya peroleh dari kumpulan manuskrip Merapi-Merbabu. Saya malah merasa bahwa, kitab ini sebenarnya memberi petunjuk kuat bahwa para sastrawan Jawa dulu memiliki pengetahuan dan keterampilan sastra sangat tinggi. Kesan dan petunjuk ini juga tidak sama atau malah berlawanan dengan kesan yang saya peroleh dari leksikon modern. Lebih daripada itu, keberadaan pengetahuan dan keterampilan begitu tinggi bisa kita pastikan menopang hadirnya berbagai karya seni, sastra, dan budaya adiluhung di Jawa dan Bali. Dengan kara lain, kitab Chandakarana mestinya pada zamannya dulu turut berperan melengkapi para pujangga, pandira, dan seniman mewujudkan arca- arca Durga, menggubah prasasti atau sastra, dan membangun tradisi yang mengikutsertakan Durga sesuai dengan keyakinan yang berkembang masa itu.

Kemudian, senarai di kitab Chandakarana pun membuat kita paham bahwa Durga dimengerti setara bukan hanya dengan Umi yang pasangan Siva, tetapi juga dengan nama-nama lain, seperti Paramesvari, Pirvati, Raudri, Rajalaksmi, Sri, dan Gauri. Akibatnya, karena bersinonim dengan Paramesvari dan Parvati, selain Uma, maka Durga sesungguhnyalah berstatus sangat luhur. Selain itu, adanya sinonim Rajalaksmi dan Sri membuka kemungkinan terjadinya pertukaran nama dan identitas dengan nama Laksmi dan Sri yang pasangan Visnu, tetapi sinonim ini sekaligus juga memastikan bahwa Durga adalah Sri. Lalu, dengan cara yang sama, Durga boleh mengambil identitas Gauri (Gori), yang cantik, seperti yang kedapatan di Jawa dan Bali.

Selanjutnya, karena Durga juga bersinonim dengan Raudri, sinonim ini ternyata membuka kawasan sama sekali baru. Nama Raudri, juga Rudra yang sinonim Siva, tercantum di dalam kitab San Hyan Kamahayanikan versi Siva (Chandra 1997:65-66). Dalam kitab ini, Raudri disebut sebagai bagian dari empat penutup (caturavarana), yakni: Manonmani yang menutup telinga, Sarvabhutadamani menutup mata, Raudri menutup mulut, dan Jyestha menutup kelamin di bagian anus. Paragraf yang mencantumkan Raudri saya kutip selengkapnya, berikut terjemahan Chandra, di bawah ini.

matarinyan hana suluh ikan tuvatuva rin madhyapada | suluh ha san vrah
in dharma | yadyan peteria manika | ya ta suluh tatva naranya || vijhana na
samnyagjfiana | pratyaksinumana ya vijhana na || manonmani talina kalih
| sarvabhatadamani rin mata kalih | rodri tutuk | jyestha bhaga purus |
kali mangv in payu | catur-havarana na kan astabhaga tungalen den dadi
pat | pinakavarana bhatara sadasiva || mahan ha rudra Sarira | metv in rat
| sira vekas in hagun | vindu tungal pinaro | suksma kan minsor | Sunya
kar minduhur || nivreti ha avak san hyan sadasiva || tryasana na brahma
visnu iSvara || astSakti ra astabhaga || navaSakti na navadevi | pinakavarana
bharira sadasiva | yan sira avak surya | vyapini Sakti | bhattara sadasiva juga
|| Siveccha ha bharara sadasiva | humijilaken bhatara iSvara | vineh iccha rin
rat | nimittanira iharan ISvara | sira prabhu vnan sakaharep | harep amukti
| harep (36a) sugih | hanen acintyakara sevu pamukti nira | rih haganal
lalit | sevu.rih ruhur | sevu rin sor | yan bhatara | yan bhuta | yan manusya
| yan tiryak | saprakara nin hamukti kabeh | prabhu ta ya | sira $tinya | iti
dharma kalepasen ||

Terjemahan:

Namun, ada suluh (swluh) menurut para tetua di dunia. Suluh adalah yang tahu dharma, bahkan ketika ada kegelapan. Ini dikenali sebagai unsur penerangan. Vijfiana berarti pengetahuan benar. Persepsi dan kesimpulan adalah vijfhiina. Manonmani di kedua belah telinga, Sarvabhutadamani di kedua mata, Raudri di mulut, dan Jyestha di organ kemaluan wanita dan pria di daerah anus. Yang disebut caruravarana (empat penutup) adalah Astabhaga (delapan bagian) bersatu menjadi empat, yang menutupi Sadasiva. Mahan berarti Rudra yang diwujudkan dan berwujud di dunia. Ia adalah yang teragung di antara yang agung. Bindu adalah Satu terbelah menjadi dua. Stiksma turun, dan Siinya naik. Nivrtti adalah perwujudan Sadasiva. Tryasana berarti Brahma, Visnu dan ISvara. Astasakti berarti Astabhaga. NavaSakti berarti Sembilan Dewi, menutupi Sadasiva. Jika diwujudkan sebagai matahari, ia adalah Vyapint Sakti, Sadasiva sendiri. Siveccha berarti Sadafiva, yang membangkitkan Isvara, juga memberi keinginan kepada dunia, dan karenanya ia disebut ISvara. Ia adalah gusti, yang bisa mengerjakan apa pun yang diinginkan, entah kebebasan atau kekayaan duniawi. Ia adalah bentuk tak terbayangkan, namun juga terlibat dalam ribuan kenikmatan, baik dalam bentuk yang kasar (ganal) maupun yang lembut (adit). Ia ribuan kali di atas dan di bawah. Sebagai Gusti, sebagai makhluk-makhluk, sebagai manusia, sebagai binatang: sebagai segala sesuatu ia menikmati semua. Ia adalah Gusti, Kekosongan. Demikianlah tabiat (dharma) kebebasan.

Dalam paragraph ini disebut pula bahwa empat penutup ini berhubungan dengan sembilan Sakti (navasakti), yang sebagaimana ditunjukkan oleh Chandra (ibidem) nama-nama sembilan $akti tersebut tercantum di kitab Jnanasiddhanta (Soebadio 1971:134-135). Makna dan fungsi dari pernyataan ini untuk proses spiritual tentu masih harus dipelajari lebih lanjut. Namun, melalui secercah informasi ini kita mulai menampak peranan Raudri dalam aspek spiritual, atau dengan kata lain—karena Raudri adalah sinonim dari Durgi—peranan Durga dalam aspek spiritual. Di sini, biar pun pernyataan yang menyebut peran Raudri (atau Durga) boleh dibilang hanya sedikit sekali, pernyataan yang sedikit ini tetap memberi kita kesempatan lebih besar untuk mendalami konteks kehadiran Durga dan memahami alasan meluasnya pemujaan Durga dalam dunia spiritual Jawa. Dalam konteks ini, ketika kita mempelajari kitab San Hyan Kamahayanikan versi Siva, sejak awal perlu kita sadari bahwa kitab ini tidak melulu berisi ajaran Siva, tetapi sebenarnya memuat paduan ajaran Buddha dan Siva. Di bagian permulaan kitab San Hyan Kamahayanikan versi Siva ada sepanjang kira-kira 6 folio pertama yang memuat ajaran yang kira-kira sejajar dengan tahapan Rahasia Agung (mahaguhya) di versi Buddha. Lalu, dalam folio 17 versi Siva, kitab ini pun mencantumkan ajaran-ajaran serupa dengan yang ada di versi Buddha, yaitu terkait ajaran trip4ramrta (asih, bhakti, dan punya), catugparamita (maitri, karund, mudita, dan upeksa), dan satparamita (virya, prajia, Sila, ksanri, dan dhyana).S Paragraf yang memuat ajaran ini saya kutip seutuhnya, berikut terjemahan Chandra, sebagai berikut

nihan san hyan hrdaya dravya | Ivirnya | krpa” | satya | sidhu | paramartha |
sukha | 5 | tri-paramita |lvirnya | masih | bhakti | punya | 3 || catus-paramita
| metri | karuna | mudita | upeksa | 4| sat-paramita | Ivirnya | virya | prajna
| Sila | ksanci | dhyana | 6 |||

tapa-$inta-ksama-sakti-raga-dvesa-vivarjitah |
sarigatah sarva-viphale omkaram parisudhyate ||

kaliranya ikan vinastu tapa | san nityatingal raga dvesa visaya | sukha
duhkha | tinilar de nira | pinarisuddha rin san hyan omkara | tan pegat
munin antahhrdi | ya ta mahanaken $anta na | rahayu | Santi na sukha tan
pabalit duhkha | ksama ha tanana vaneh de nira | tungal ikan bhuyana
Iavan $arira | ri veruh ira hi mula-madhyavasana nin dadi Iavan tan-dadi ||
sma | krama nin vidvan ||

dusta-matta-prakopasya himsakarmma-paradara |
dyita-vya (17b| vahara-mithya ityete asta-codikah ||
ya tilaren de san tapibhyasa ||

am-ah japakna pin Sivadhyana | nirmala phalanya ||| yan sadasivadhyana
dirghayusa phalanya | yan paramasiva-dhyana moksa phalanya || yan
mahyun if ripu-samhara rudra-dhyana | yan mahyun svastha nin rat
mahadeva-dhyina ||| yan mahyun sakarya siddha $ankara-dhyana ||
yan mahyun kasihanin hyan janma kunan 1Svara-dhyana || iti san hyan
mahijapa | hayva vera | paramarahasya sira | am atm4 vijaksara nira | ah
Suinya vija | mahasan yogi sirayva cavuh |||

Terjemahan:

Yang disebut hrdaya-dravya ada lima: krpa (welas asih), satya (kebenaran), sadhu (kebaikan), paramartha (niat agung), sukha (kebahagiaan). Tiga paramita adalah: masih (welas asih), bhakti (bakti), punya (jasa kebajikan). Empat paramita adalah: martri (cinta kasih), karund (welas asih), mudita (kegembiraan), xpeksa (keseimbangan). Enam paramita adalah: vinya (semangat), prajna (kebijaksanaan), Sila (disiplin), ksanti (kesabaran), diryana (meditasi).

tapa-Santa-ksam3-sakti-raga-dvesa-vivarjitah |
sangatah sarva-viphale omkaram parisudhyate ||

Yang ingin bertapa (asetik) harus menanggalkan kegairahan, kebencian, dan nafsu indria. Ia harus menanggalkan kegembiraan dan kesedihan. Ia harus mensucikan diri dengan omkara yang ilahi, tanpa henti, selama bergenerasi-generasi (munir) di dalam lubuk hatinya. Ini akan
menghasilkan ketenangan dan ketenteraman. Santi berarti kebahagiaan yang tak pernah menjadi ketidakbahagiaan. Ksama berarti tiada yang lainnya menurutnya. Makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (tubuh) adalah satu, sewaktu menyadari asal mula, pertengahan, dan akhir keberadaan dan ketakberadaan. Ia menyadari (sma-smarana) laku seorang bijaksana.

Kemudian, seperti halnya versi Buddha, versi Siva ini pun mengakui kesetaraan sebutan Tuhan atau Ketuhanan, dan bahkan mengakui kesetaraan kesaktian batin terluhur di antara berbagai perguruan spiritual yang dikenal waktu itu. Semua ini diperkuat oleh pernyataan di kitab San Hyan Kamahayanikan versi Buddha—yang oleh Kats disebut B (Cod. 5083)—yang berbunyi sebagai berikut.”

Bvat saiva nihan: Si, pasukna, va, vetufia, ya, antarafia, ya Siva jati kan ya,
ya ta matan yan sinanguh tungal ika Buddha lavan Siva.

Terjemahan:

Untuk Saiva begini: Si, masuk, va: keluar, ya: di antaranya. Ya sebenarnya Siva. Oleh karena itu, mereka— Buddha dan Siva—disebut tunggal. Pernyataan ini pada hakekatnya parallel dengan isi sajak di kitab Chandakarana. Isinya menegaskan keeratan hubungan antara Siva dan Buddha, dan seperti yang dinyatakan di kitab Sar Hyan Kamahayanikan memastikan kesetaraan di antara mereka, sebagai berikut (Chandra 1997:184).

bhatara Sivabuddha tan hana vaneh | nimitta nih urip nikah pabhuvana |
hana pva – – bhakti makvana sira | sukha ndu nuniveh uripta madava ||
Terjemahan:

Tiada selain Bhatara Sivabuddha yang menyebabkan kehidupan di dunia. Jika seseorang berbakti sepenuhnya, ia meraih kebahagiaan dan bersamaan itu memperoleh kehidupan panjang.

Bila pendapat Krom betul bahwa kitab Chandakarana bertarikh abad ke-8, maka kitab ini adalah sumber yang menggenggam bukti tertulis pertama untuk sebutan Bhatara Sivabuddha, sebelum seburan ini di belakang hari menjadi julukan yang dipakai oleh Raja Krtanagara (1268-1292 M). Tetapi, terlepas dari betul tidaknya pendapat Krom, bukti tertulis perdana di kitab Chandakarana ini kenyataannya didukung oleh bukti-bukti arkeologis. Ada sedikitnya dua bukti arkeologis penting yang berasal dari abad ke-8. Yang pertama adalah prasasti Kelurak yang berangkatahun 782 M dan berhubungan dengan candi Sewu. Prasasti ini berisi sajak-sajak, khususnya sajak 13-15, yang berbunyi, sebagai berikut.

Pilar kejayaan yang tiada taranya ini adalah sebuah jembatan agama yang sempurna. Arca Manjufri adalah perlindungan bagi semua makhluk. Yang berada di dalam adalah Buddha, Dharma dan Sangha. Mereka harus dilihat di permata yang indah ini menghancurkan musuh Smara. Yang satu ini, ia, adalah vajradhrk, yang penuh berkah, adalah Brahma, Visnu, dan Mahesvara. Gusti ini, tercipta dari semua dewa, dipuji sebagai Manjuvak.

Ada dua butir dari sajak-sajak ini yang perlu kita simak di sini. Butir pertama, Manjusri dinamakan juga vajradhrk. Epitet vajradhrk adalah setara dengan vajradhara, atau bajradhara. Pemakaian epitet ini menunjukkan komunitas di sekitar candi Sewu mengenal dan memahami sebutan Vajradhara. Nama Vajradhara disebut berulang kali di kitab San Hyan Kamahayanikan. Lalu, kitab Desavarnana (Nagarakrtagama) gubahan Mpu Prapafica dari zaman Majapahit menegaskan keberadaan perguruan Kabajradharan untuk situs Budur, yang bukan lain adalah kawasan Borobudur, dan yang menurut hemat saya mewujudkan secara tiga dimensi ajaran yang dikandung oleh kitab San Hyan Kamahayanikan. Oleh karenanya, di sini saya juga memanfaatkan sebutan Kabajradharan mengikuti klasifikasi Mpu Prapanca untuk menyebut secara umum ajaran spiritual yang direkam di kitab Sar Hyar Kamahayanikan. Lalu, butir kedua yang bisa disimak dari prasasti Kelurak menyangkut penegasan bahwasanya Manjusri yang memiliki Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) adalah juga identik dengan Trimurti (Brahma, Visnu, dan Mahesvara).

Bukti arkeologis kedua yang mendukung pernyataan di kitab Chandakarana adalah candi Borobudur. Di rangkaian panel relief Gandavyihasatra yang menampilkan, antara lain, para guru atau kalyinamitra Sudhana, kita bisa pastikan bahwa arsitek Borobudur dengan sengaja memajang kalyanamitra Mahadeva sebagai Siva Mahadeva seperti ternyata dari pahatan segala atribut Siva untuk melengkapi panel 11-104 yang menampilkan 9 Di sini saya memakai sebutan Kabajradharan mengikuti klasifikasi Mpu Praparica semata-mata untuk memudahkan pembicaraan dalam kajian ini. Sebutan bagi agama Buddha esoterik di Jawa sendiri bisa berbeda-beda mengikuti konteks atau kebutuhan. Kalau kita mengikuti judul isi kitab Sah Hyah Kamahayanikan, kita bisa saja menyebutnya sebagai Mantranaya, sejalan dengan yang digunakan di Cina: Zhenyan, atau di Jepang: Shingon. Selain itu, ada pula sebutan Kasogatan untuk menyebut perguruan agama Buddha secara umum.kalyanamitra ini. Keputusan arsitek Borobudur menampilkan Siva Mahadeva secara lugas menegaskan pandangan spiritual yang dianutnya, mengikuti pandangan penggubah kitab Gandavyuhasutra, yaitu bahwa pencapaian tujuan spiritual tertinggi bukan milik eksklusif perguruan spiritual tertentu, melainkan bisa diraih melalui beraneka jalan spiritual.

Selanjutnya, prasasti Taji Gunung yang bertarikh 910 M mengawali isi prasasti dengan pujian om namassivaya namo buddhaya (Sarkar 1972:124). Lalu, serupa dengan itu, ada pula pujian om namo buddhaya nama sivaya manamarsaya namo brahmanaya, yang terdapat di akhir prasasti Gandakuti yang bertarikh 1042 M (Museum Nasional 1986-1986:75). Dari sini kita menyadari bahwa semua paham ini pada waktunya menjadi pelopor bagi kitab Kakawin Sutasoma, gubahan Mpu Tantular, yang melahirkan dan memberkahi negara Republik Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan latar belakang seperti ini, kita dengan sendirinya menjadi bisa lebih mudah pula memahami ketika membaca transformasi dalam keluarga literatur Dewa Roetji yang mempertemukan kesetaraan sebutan Ilahi dari agama Buddha, Hindu, dan Islam.” Konteks dan kecondongan dunia spiritual Jawa seperti di atas memberi kita tambahan pegangan untuk memahami berkembangnya pandangan spiritual terkait Durga. Di kitab Sar Hyan Kamahayanikan versi Buddha dijelaskan tiga tatar pemahaman spiritual, seperti berikut.

Sira ta deva visesa ri boddha, bhatara paramaSinya faran ira, sira ta bharira
paramasiva naran ira, bhatara purusa sira de san vadisisya bhagavan kapila, san hyari
atma naran ira de san vadikanabhaksyasisya, bhatara nirguna fharan ira de san vadi
vesnawa, sira ta phala ni pratyaksa de dan icaryya nirikara,

Ia adalah Deva Visesa menurut kaum Buddha, yang disebut Bharira Paramasuny .
Ia disebut Bhatara Paramasiva. Ia adalah Bharara Purusa menurut para siswa

Guru Bhagavan Kapila. Ia disebut San Hyan Atma menurut para siswa Guru Kanabhaksya. Ia dipanggil Bhatara Nirguna menurut Guru Vesnava. Ia adalah buah pratyaksa menurut Dan Acirya Nirakara. sira matemah bharira ratnatraya mvani bhatara panca tathagata de dan acaryya sakara, Ia menjadi Bhatara Ratnatraya dan Bhatara Pafica Tathagata menurut Dan Acarya Sakara sira inandelaken ri san arcca, pratima, pera de dan acaryya vahyaka, Ia dipercaya sebagai arca, pratima, dan peta, oleh Dani Acarya Vahyaka. sira san hyan visesa jiva haran ira, siratasan | Ia disebut San Hyan Visesa Jiva. Ia juga hyan vangsil haran ira vaneh. dipanggil San Hyani Vangsil.

Tatar tanpa lambang (rirakara) adalah yang melandasi kesetaraan sebutan Tuhan atau Ketuhanan berbagai perguruan spiritual. Pada tatar ini, Bhatara Paramasunya yang Buddha setara dengan Bharara Paramasiva yang Siva. Dengan cara serupa, pada tatar dengan lambang (sakara), Ratnatraya yang Buddha setara Trimurti yang Hindu, dan begitu pun pada tatar eksternal (vahyaka) untuk berbagai arca atau patung atau lukisan. Dengan demikian, bisa kita bayangkan bahwa keluhuran pemahaman spiritual berdasar pada tiga tatar pemahaman ini adalah kerangka yang memungkinkan komunitas Spiritual di Jawa dan Bali pada masa silam untuk menerima Durga secara besar- besaran, boleh jadi diawali dan ditandai oleh arca Mahisasuramardini di candi Prambanan.

Berlatar pengertian spiritual seperti diuraikan barusan, kita sekarang lebih mudah memahami beraneka ungkapan atau penampilan eksternal yang bermunculan dari tatar pemahaman spiritual berlainan dan yang entah bertalian dengan Durga atau pasangannya Rudra. Beberapa contoh menarik akan saya sampaikan di sini. Untuk yang prasasti, saya tidak mengamati prasasti berdasar ada tidaknya kutukan dalam prasasti tersebur. Prasasri-prasasti di Jawa yang berisi kutukan, baik yang bersinggungan dengan Durga maupun yang tidak, sudah didaftar dan ditabulasi oleh Santiko (lihat Santiko 2016:107-112). Perlu juga dicatat bahwa menurut para ahli epigrafi atau arkeologi, beberapa prasasti dipandang merupakan salinan (tinulad) yang berasal dari zaman sesudahnya, seperti misalnya prasasti Kaficana (860 M) dan prasasti Gandakuri (1042 M) (Santiko 2016:1073 Sambodo 2018:32-33), tetapi di sini saya tetap memanfaatkan prasasti tersebut mengingat isinya berguna untuk memahami kecondongan pandangan spiritual yang dikandung olehnya beragama Buddha dan pemuja Vairocana, tetapi di akhir prasasti juga memberi sembah kepada para dewa, termasuk Durga (durggadevi).

Di tradisi hidup Bali terlestarikan sebuah pujian (strti) berjudul Navakampa yang masih terus didaras hingga sekarang. Pujian utamanya ditujukan kepada Vajrapani yang berwajah bengis (candavajrapani). Tetapi setelah memuji Vajrapani, ada pula pujian terkait Rudra yang berbunyi: namo bhagavate mahavajradhara svaha namo rudra namo hrdayam.” Di Jawa, ada prasasti Kancana (Gedangan A) yang berangka tahun 860 M (Sarkar 1971:133-162) yang menyebut seorang keturunan ksatria bernama Boddhimimba.

Di pihak lain, ada juga prasasti yang nampaknya memuja Durga sepenuhnya, seperti ditunjukkan oleh prasasti Timbanan Vungkal yang berangkatahun 913 M (Sarkar 1972:138-142). Prasasti ini mengawali isinya dengan pujian kepada Rudra dan Durga (om namo rudradurggebhyah svaha), dan di bagian akhir memperlihatkan tingginya kewenangan Durga. Menarik untuk diperhatikan adalah dicantumkannya nama dewata Ahirbudhnya sewaktu prasasti ini menyebut titimangsa. Nama ini juga tercantum di prasasti Gandakuri (1042 M). Dalam konteks literatur Purana, Ahirbudhnya adalah satu dari lima putra ViSyakarm34, arsitek para dewa, yang bersaudara dengan Rudra (Mani 1975). Tetapi, Zoetmulder (1982) menunjukkan bahwa Ahirbudhnya adalah nama Sanskerta untuk nama Jawa Kuno: Ahibuddha, Ahirbuddha, dan Ahnibuddha, dan menurut Zoetmulder semuanya merujuk nama Rudra. Di kitab Chandakarana, Ahirbudhnya adalah salah satu sinonim Siva, sehingga bagi para pujangga Jawa Kuno nama ini adalah juga sinonim bagi Rudra.

Selanjutnya, ditambah dengan penjelasan lainnya tentang proses meraih tingkat spiritual tertinggi yang direkam di kitab San Hyan Kamahayianikan, kita sekarang juga bisa menggunakan kacamata lain sewaktu membaca ikhwal Durga seperti yang diuraikan di kitab Merkandeya-purana. Menurut kitab ini, khususnya yang terkait dengan kasus pembinasaan asura berwujud kerbau (mahisasuramardini) yang sangat populer di Jawa dan Bali silam, di situ diceritakan bahwa tubuh Durga terbentuk dari cahaya terang benderang (teja) yang menerangi seluruh alam semesta. Informasi tentang cahaya seperti demikian jelas menunjukkan bahwa cahaya itu bukan sembarang cahaya kerumitan korespondensi antara isi Navakampa dan prasasti Lempeng Timah Perunggu Borobudur. Masih harus diperiksa lebih lanjut sekiranya namo rudra
namo hrdayam di Navakampa adalah hasil kesengajaan mengubah atau hasil kesalahan penyalinan (atau transmisi) dari maharaudram nama hrdayam, karena ungkapan di Navakampa sebelumnya adalah namo bhagavate mahavajradhara svaha, sedangkan di prasasti Lempeng Timah Tembaga Borobudur berbunyi namo bhagavato mahavajradharasya. Namun demikian, patut dicatat kiranya bahwa Navakampa bukan satu-satunya yang turut mencantumkan pujian terhadap Rudra (Siva), ada Mahcikarunika Dharant atau Nilakantha Dharani yang sangat terkenal itu yang mencantumkan pujian terhadap Siva (Nilakantha), juga Visnu (Varihamukha, Narasimha), melainkan cahaya spiritual agung sebagaimana halnya cahaya yang tercipta manakala pelaku spiritual meraih pengetahuan atau kebijaksanaan luhur sempurna. Cahaya terang benderang ini adalah cahaya yang mengenyahkan dan memadamkan semua kegelapan atau noda batin yang—di kitab Markandeya-purana—diperumpamakan sebagai asura berwujud kerbau yang sangat tangguh (mahisasura).

Di kitab San Hyan Kamahayanikan versi Buddha maupun versi Siva, cahaya terang benderang serupa itu disebut tubuh cahaya ilahi (divaripa atau divarnpa), atau yang cemerlang (prabhasvara). Ini adalah cahaya pengetahuan atau kebijaksanaan luhur yang diraih setelah mengenyahkan semua kegelapan batin. Terpancarnya cahaya cemerlang ini adalah awal bangkitnya pencerahan agung setelah mengalahkan segala musuh sakti (Satru sakti), atau segala jenis godaan tangguh (smara).

Dengan memakai kacamata seperti itu, kita akan memperoleh pandangan berbeda ketika kisah itu menjelaskan bahwa Durg1 lahir dari cahaya terang benderang (reja) yang memancar dari bagian kepala makhluk-makhluk ilahi (termasuk di antaranya: Indra, Brahma, Visnu, dan Siva). Kisah ini sebenarnya memberitahu kita bahwa kelahiran Durga terjadi melalui proses spiritual. Dalam terminologi spiritual di India, proses kelahiran seperti itu adalah yang disebut proses kelahiran tidak melalui rahim (ayonija). Proses kelahiran ayonija ini dialami oleh makhluk-makhluk ilahi. Kitab Lalitavistara menceritakan bahwa Siddhartha Gautama lahir dari sisi kanan lambung ibunya. Proses kelahiran ini sama dengan cara lahir Indra. Dalam literatur India, ada banyak lagi resi yang lahir tidak melalui rahim, misalnya: Aurva dari paha, Prthu dari lengan, Mindhatr dari kepala, dan Kaksivat dari ketiak.”

Akibat selanjutnya, kalau pandangan spiritual demikian kita ikuti, maka Durga adalah makhluk ilahi yang proses kelahirannya tidak melalui rahim. Pandangan ini memberi kita kesempatan untuk memahami alasan Durga ditampilkan elok rupawan meskipun berpose sedang membantai asura berwujud kerbau (mahisasuramardini). Pose demikian sejatinya melambangkan kemenangan sewaktu membasmi segala jenis kegelapan batin hingga ke akar-akarnya menggunakan aneka senjata kesempurnaan kebijaksanaan atau keserbatahuan.

Ketajaman kesempurnaan kebijaksanaan sepadan pemotong intan seperti tertera di judul ajaran Sikyamuni kepada Subhati berbunyi Vajracchedikaprajnaparamita.” Di Jawa dan Bali, Subhiiti yang satu dari sepuluh siswa utama Sikyamuni dikenal melalui ajaran tantra bajradhatu Subhuti yang terekam di kitab San Hyan Kamahayanikan.

Dengan demikian, senjata-senjata kebijaksanaan pembantai asura berwujud kerbau adalah serupa dengan penggambaran pedang kebijaksanaan yang digenggam oleh Marijusri untuk menebas ketidaktahuan, seperti yang tertampak pada arca Arapacana Manjusri di Jawa abad ke-14, sebuah arca indah yang sekarang sayangnya tidaklagi terjangkau oleh kita.

KEPUSTAKAAN

Ariati, Ni Wayan Pasek. The Journey of a Goddess: Durga in India, Java and
Bali. Ph. D. Diss. NT, Australia: Charles Darwin Universty, 2009: terbit
dengan judul: The Journey of the Goddess Durga: India, Java and Bali.
New Delhi: Aditya Prakashan, 2016.

Calo, Ambra. “Durga Mahisasuramardini in Likely Tantric Buddhist Context
from the Northern Indian Subcontinent to 11th-Century Bali” Pratu 1
(2020):1-20.

Chandra, Lokesh. The Thousand-armed Avalokitesvara. New Delhi: Abhinav,
1988.

. “Saiva Version of Sari Hyan Kamahayanikan” Cultural Horizons of India
5 (1997): 7-101.
. “Chanda-Karana: The Art of Writing Poetry” Cultural Horizons of

15 Bergantung pada cara menafsir kata majemuk vajracchedika, judul
vajracchedikaprajnaparamita juga bisa diterjemahkan sebagai “kesempurnaan
kebijaksanaan yang memotong layaknya vajra.”
India 6 (1997):147-249.

Griffiths, Arlo. “The “Greatly Ferocious’ Spell (Maharaudra-nima- hrdaya):
A dharani Inscribed on a Lead-Bronze Foil Unearthed near Borobudur,”
Epigraphic Evidence in the Pre- Modern Buddhis World: Proceedings
of the Eponymous Conference Held in Vienna, ed. K. Tropper (Vienna:
Arbeitskreis ftir Tibetische und Buddhistische Studien, 2014):1—36.

Hara, M. “A Note on the Buddha’s Birth Story” Indianisme et bouddhisme:
Melanges offerts & Mgr Etienne Lamotte, Publications de PInstitut
Orientaliste de Louvain (Louvain-La-Newve: Institut Orientaliste,
1980):143-157.

Kandahjaya, Hudaya. Tiada Dharma Mendua: Kajian dan Terjemahan San
Hyan Kamahayanikan. Jakarta: Penerbit Karaniya, 2022.

Kats, Jacob. San Hyan Kamahayanikan, Oud-Javaansche tekst, met inleiding,
vertaling en aantecekeningen. “s-Gravenhage: M. Nijhoff, 1910.

Mani, Vettam. Puranic Encyclopaedia. Delhi: Motilal Banarsidass, 1975.
Mardiwarsito, L. Kamus Jawa Kuna — Indonesia. Ende: Nusa Indah, 1981.

Museum Nasional. Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta:
Museum Nasional, 1985-1986.

Nastiti, Titi Surti. Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat
Jawa Kuna (Abad VII-XV Masehi). Disertasi Doktor. Depok: Universitas
Indonesia, 2009: terbit dengan judul: Perempuan Jawa. Bandung: Pustaka
Jaya, 2016.

O’Flaherty, W. D. The Rig Veda, An Anthology. New York: Penguin Books,
1983.

Sambodo, Goenawan A. “Prasasti Warungahan: Sebuah Data Baru dari Masa
Awal Majapahit” Amerta 36.1 (Juni 2018):1-66.

Santiko, Hariani. Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X — XV
Masehi. Disertasi Doktor. Jakarta: Universitas Indonesia, 1987: terbit
dengan judul: Bhatari Durga. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 1992.

Sarkar, H. B. Corpus of the Inseriptions of Java. 2 vol. Calcutta: K. L.
Mukhopadhyay, 1971-1972.

Setyawati, Kartika, et al. Katalog Naskah Merapi-Merbabu. Yogyakarta:
Penerbitan Universitas Sanata Dharma, dan Opleiding Talen en Culturen
yan Zuidoost-Azit en Oceanie, Universiteit Leiden, 2002.
322 Membaca Durga — Makalah Lecture Durga dalam Kabajradharan

Soebadio, Haryati. /2dnasiddhanta. The Hague: Martinus Nijhoff, 1971.

Waranabe, Shoko. “On Durga and Tantric Buddhism” Chizan Gakuho 18
(1955):36-44.

Zoetmulder, P. J. Old Javanese – English Dictionary. s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1982.