Dr. Sudibyo
Departemen Bahasa dan Sastra FIB Universitas Gadjah Mada
sudibyomg7 9@gmail.com
Y.B. Mangunwijaya merupakan salah seorang pengarang yang banyak melakukan eksplorasi kreatif dengan memanfaatkan narasi sejarah dan tradisi (konvensi) dalam penulisan novel-novelnya. Novel-novel seperti Roro Mendut (1983), Genduk Duku (1987), Lusi Lindri (1987), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983) merupakan contoh novel yang memanfaatkan dialog antara tradisi (konvensi) dengan inovasi kreatif. Roro Mendut berpijak pada cerita Pranacitra-Roro Mendut. Namun, Roro Mendut versi Mangunwijaya mencoba membalikkan horizon pembaca konvensional yang biasa dipergunakan untuk menikmati kisah Pranacita-Roro Mendut. Jika di dalam kisah Pranacitra-Roro Mendut pada akhir cerita dikisahkan Roro Mendut melakukan bunuh diri karena melihat Pranacitra dihukum mati oleh Tumenggung Wiraguna, di dalam novel Roro Mendut, Roro Mendut mati bukan karena bunuh diri melainkan karena melawan tindakan sewenang-sewenang Tumenggung Wiraguna terhadap diri Pranacitra.
Pemanfaatan unsur tradisi (konvensi) juga didayagunakan Y.B. Mangunwijaya dalam Lusi Lindri dan Genduk Duku. Lusi Lindri dan Genduk Duku berlatar belakang sejarah masa pemerintahan Amangkurar I di Kerajaan Mataram dan masa-masa seputar itu. Lusi Lindri dan Genduk Duku (tokoh utama kedua novel itu) bukanlah manusia sejarah (historis person) melainkan tokoh rekaan pengarang. Meskipun demikian, kehadiran Lusi atau Genduk Duku tetap penting karena kedua tokoh ini merupakan inkarnasi – setidak- tidaknya merupakan manifestasi — tokoh Roro Mendut. Melalui novel Lusi Lindri dan Genduk Duku, kisah Roro Mendut terabadikan, tidak berhenti pada peristiwa kematian Roro Mendut sebagaimana diceritakan di dalam kisah Pranacitra-Roro Mendut. Di dalam kedua novel ini terlihat keterampilan Mangunwijaya memanfaatkan cabang dan ranting pohon silsilah sebagai bahan penulisan novel-novelnya.
Apa yang dilakukan Mangunwijaya bukan merupakan hal baru. Berabad-abad sebelumnya para penulis babad telah melakukan hal yang sama. Di dalam hal ini Mangunwijaya hanya melanjutkan tradisi penulisan babad. Akan tetapi, Lusi Lindri dan Genduk Duku berbeda dengan babad karena di dalam kedua novel ini terdapat inovasi- kreatif yang tidak akan dijumpai di dalam karya sastra berjenis babad, misalnya mengenai emansipasi perenpuan. Dengan demikian, narasi babad hanya merupakan model yang dipergunakan untuk penulisan novel Lusi Lindri dan Genduk Duku. Hal yang hampir sama dilakukan Mangunwijaya di dalam penulisan novel Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Apabila di dalam Roro Mendut, Lusi Lindri dan Genduk Duku Mangunwijaya memanfaatkan cerita-cerita historis yang berasal dari Jawa, di dalam Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa Mangunwijaya memanfaatkan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia Timur (di sekitar Kepulauan Maluku) pada masa pendudukan Portugis. Berbeda dengan novel Roro Mendut, Lusi Lindri, Genduk Duku, dan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa yang memanfaatkan peristiwa sejarah untuk penyusunan ceritanya, novel Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi mengeksplorasi cerita wayang untuk membangun kisahnya.
Kedua novel itu sama-sama mendayagunakan cerita wayang sebagai kerangka cerita dan menempatkan cerita wayang tersebut pada bagian awal novel yang diberi tajuk “prawayng”. Semua kejadian yang terdapat di dalam kedua novel tersebut dapat dikembalikan pada bagian prawayang sehingga terciptalah relasi intertekstual antara cerita Kakrasana-Narayana (prawayang Burung-burung Manyar) dengan novel Burung-burung Manyar dan cerita pengutukan Uma menjadi Durga (prawayang Durga Umayi) dengan novel Durga Umayi. Namun, harus diingat bahwa Burung-Burung Manyar bukanlah kisah tentang Kakrasana-Narayana dan Durga Umayi tidak berarti harus sama dengan cerita pengutukan Uma menjadi Durga. Cerita Kakrasana-Narayana dan cerita tentang pengutukan Uma menjadi Durga adalah tradisi atau konvensi’ yang dimanfaatkan di dalam rangka penulisan novel Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi.
Berdasar pada uraian-uraian di atas jelaslah bahwa di dalam Sebagian besar novel-novel Y.B. Mangunwiajaya terdapat jalinan dialogis antara tradisi (konvensi) dengan inovasi. Dengan demikian dapat dikatakan — karena begitu pentingnya peran tradisi (konvensi) dalam penulisan novel-novel di atas tanpa unsur-unsur tradisi (konvensi) tersebut tidak akan tercipta novel Roro Mendut, Lusi Lindri, Genduk Duku, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, Burung burung Manyar, dan Durga Umayi. Hal-hal inilah, khususnya fenomena dalam Durga Umayi yang yang melatarbelakangi tulisan ini. Sehubungan dengan itu, pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan ialah: (a) dengan cara bagaimana pengarang mengintegrasikan teks (-teks) terdahulu (prateks/ hipogram): (b) dengan cara bagaimana pembaca dapat mengenali prateks/ hipogram, (c) apa fungsi prateks/ hipogram dalam konteksnya yang baru.
Tulisan ini memanfaatkan teori intertekstualitas. Pemilihan teori intertekstualitas sebagai alat untuk menganalisis aspek kesastraan bertolak dari hakikat teks. Teks berasal dari kata bahasa Latin textus atau textum yang diturunkan dari verba texere yang berarti menenun atau menganyam (Segre, 1988: 3005 Cuddon, 1992: 63, dan Kuiper, 1995: 1102). Teks adalah sebuah metafora yang melihat keseluruhan kompleks wacana sebagai suatu anyaman atau tenunan (Segre, 1988: 300: Baron, 2020: 154).
Dengan demikian, apabila teks dibaca oleh pembaca individual atau suatu komunitas baca dengan cara berkomunikasi dengannya, teks ditenun atau dianyam kembali berdasarkan benang-benang teks-teks lain yang jumlahnya tidak terbatas (Aichele and Gary A. Phillips, 1995: 8 lihat juga Barthes dalam Young, 1981: 32). Berdasarkan perspektif ini, sebuah teks akan menjadi lebih bermakna apabila dibaca dalam hubungannya atau dalam pertentangannya teks dengan (-teks) lain. Fenomena ini dapar dijelaskan melalui dua alasan. Pertama, seorang penulis adalah seorang pembaca teks sebelum ia menjadi pencipta teks. Oleh sebab itu, tidak dapat dihindarkan jika karya sastra yang diciptakan hadir melalui referensi-referensi dan kutipan-kutipan. Kedua, apa yang dihasilkan melalui proses pembacaan merupakan pertemuan dari seluruh teks yang dihadirkan pembaca dalam proses pembacaan (Worton and Judith Still, 1991: 1—2, Bax, 2013: 1) karena tidak ada pembaca yang membaca teks dalam vakum. Pembaca membaca dengan sejumlah pertanyaan dan dugaan (Cole and Paul Peterse, 2014: 4)
Konsep intertekstualitas melihat setiap teks sebagai mozaik kutipan- kutipan, penyerapan, dan tranformasi dari teks lain (Kristeva via Culler, 1975: 1395 Baron, 2020: 334: Allen, 2022: 38). Konsep intertekstualitas memungkinkan teks dipahami bukan sebagai sebuah struktur yang menjadikan dirinya sendiri, melainkan sebagai sebuah bentuk struktur yang sekaligus bersifat diferensial dan historis (Frow, 1991: 45, ). Teks bersifat mandiri, tetapi juga merupakan bagian dari suatu mata rantai sejarah. Situasi ini mewajibkan teks ditempatkan dalam rangka kesejarahannya dan interkoneksitasnya dengan teks-teks lain yang sezaman (bdk. Jauss, 1983: 32 dan 36).
Sehubungan dengan itu, dalam tulisan ini, perhatian terhadap narasi tentang pengutukan Uma sebagai teks latar mendapat prioritas karena pada hakikatnya suatu teks memiliki makna hanya karena adanya hal-hal tertentu yang telah ditulis sebelumnya (lihat Culler, 1983: 103, Riffaterre, 1991: 56, Mason, 2019: 7). Meskipun demikian, praktik intertekstualitasnya tidak perlu direduksi menjadi masalah sumber atau pengaruh. Intertektualitas tidak harus dikacaukan dengan asal-usul teks karena kutipan yang menjadi dasar penyusunan teks adalah anonim dan tanpa tanda kutip (Barthes: 1977: 39 dan Barthes, 1979: 77). Intertekstualitas terjadi karena ungkapan-ungkapan yang berasal dari teks lain beririsan satu sama lain dan saling menetralkan (Kristeva dalam Orr, 2003: 27). Genette dalam Bauman (2004: 4) menyebut fenomena intertekstualitas sebagai transendensi tekstual teks.
Proses interteks setidak-tidaknya memiliki dua aspek, yaitu aspek intraliterer dan ekstraliterer. Dipandang dari aspek intraliterer, sebuah teks sastra merupakan reaksi terhadap karya sastra semasa atau yang ada sebelumnya (Zima, 1981: 90). Riffaterre (1984:23) menyebut teks yang melatarbelakangi penciptaan teks (-teks) yang lebih kemudian sebagai hipogram. Sementara itu, dari segi ekstraliterer sebuah teks sastra dapat berupa reaksi terhadap keadaan sosial, ideologis, dan keadaan historis tertentu (Zima, 1981: 90).
Di dalam bagian prawayang novel Durga Umayi (selanjutnya disebut DU) Mangunwijaya mengisahkan satu versi cerita tentang Durga yang rupanya berasal dari cerita wayang yang beredar dalam tradisi pewayangan Yogyakarta dan sekitarnya. Ceritanya adalah sebagai berikut. Pada suatu ketika pasangan Batara Guru dan Dewi Uma bercengkerama mengendarai kereta kencana di angkasa. Mereka tertawa, tergelak dalam canda ria. Awan gemawan, pelangi sapta warna, serta keindahan alam manusia yang terlihat dari angkasa membangkitkan gairah dan birahi raja para dewa. Batara Guru memohon belas kasih untuk mereguk madu milik Dewi Uma. Tentu saja, Umayi yang cantik dan santun menolak keinginan Batara Guru. Penolakan ini tidak memadamkan keinginan Batara Guru, tetapi justru semakin mengobarkan gairan Batara Guru. Ja mendesak dan memaksa-maksa Dewi Uma untuk melakukan persetubuhan. Dewi Uma marah. Batara Guru pun diserapahi, sehingga bertaring seperti seorang raksasa. Sebaliknya Batara Guru pun lebih murka setelah mengetahui bahwa dirinya bertaring karena serapah Dewi Uma. Ia membalas mengutuk Dewi Uma. Seketika Dewi Uma yang cantik jelita berubah menjadi seorang raksasi buruk rupa. Ia diusir dari tempat para dewa dan dibuang di Sentragandamayit ditemani Batara Kala sebagai suaminya yang sebenarnya berasal dari ceceran air mani Batara guru ketika memaksa-maksa Dewi Uma untuk melakukan bersetubuhan di tengah angkasa.
Berdasar cerita-cerita tentang Durga secara garis besar cerita Durga dapat digolongkan menjadi dua kelompok cerita (Santiko, 1987), yakni: (a) cerita tentang Durga yang disembah dan dipuja sebagaimana terdapat di dalam Kakawin Ghatorkacasraya (Robson, 2016) , Kakawin Sutasoma (Santoso, 1975), dan cerita Calon Arang (Poerbatjaraka, 1926) : (b) cerita tentang Durga yang muncul sebagai Durga karena kutukan Bhatara Guru seperti terdapat di dalam Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924), Korawasrama (Swelengrebel, 1936), Kidung Sudamala (Calenfels, 1925), dan cerita wayang.
Di dalam cerita kelompok pertama deskripsi tentang Durga tidak disebutkan secara jelas, sedangkan di dalam cerita kelompok kedua keberadaan Durga digambarkan dengan lebih jelas, yakni: (a) Durga adalah wujud demonik Uma setelah dikutuk oleh Bhatara Guru, (b) wujud Durga adalah wujud yang tidak diinginkan, (c) Durga adalah perempuan raksasa yang buruk rupa.
Cerita tentang pengutukan Uma menjadi Durga dan tentang watak- watak jahat Durga melatarbelakangi penulisan novel DU. Di dalam DU dapat ditemukan identitas cerita Durga sebagaimana terdapat di dalam Tzntu Panggelaran, Korawasrama, Kidung Sudamala, dan cerita wayang khususnya bagian prawayang novel DU. Tentu saja, jejak itu tidak tersurat secara eksplisit, melainkan hanya tersirat secara implisit dan subtil. Meskipun demikian petunjuk ini dapat dipergunakan untuk menentukan hipogram DU, yaitu bahwa dari beberapa populasi hipogram di atas tentang Durga sebagaimana terdapat di dalam bagian prawayang novel DU merupakan hipogram novel DU. Hal ini dikuatkan oleh adanya beberapa isyarat yang disebutkan secara eksplisit di dalam novel DU. (h.63, 64, 67, 83, 111, 119, dan h.183).
Novel DU diilhami oleh cerita tentang pengutukan Uma. Keterangan mengenai hubungan ini meskipun tidak secara eksplisit dapat ditemukan pada bagian awal novel DU yang diberi tajuk “prawayang”. Tokoh utama DU, Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida yang biasa disebut Iin, Tiwi, atau Nussy digambarkan sebagai seorang perempuan yang di dalam dirinya bersemayam dua perangai yang sangat bertolak belakang yaitu watak Umayi/Uma dan watak Durga (DU, h.63, 64, 67, 83, 111, 119, dan 183). Tarik-menarik antara sifat: Umayi/Uma yang santun dan berbudi luhur dengan sifat Durga yang tamak, serakah, dan jahat memunculkan Iin, Tiwi, atau Nussy menjadi Umayi/ Uma yang Durga atau Durga yang Umayi/Uma yang kemudian disimpulkan sendiri oleh penulis DU bahwa Iin, Tiwi, atau Nussy adalah Durga yang Umayi.
Di samping memiliki hubungan yang bersifat intertekstual dengan cerita tentang pengutukan Uma/Umayi, DU juga memiliki jalinan intertekstual dengan beberapa cerita wayang yang lain. Cerita-cerita wayang itu ditunjukkan melalui gambar tokoh-tokoh wayang yang terdapat di dalam delapan episode DU, yakni (1) Mustakaweni, h.1 s.d. 28, (2) Adipati Karna, h.29 s.d. 42, (3) Srikandi, h.43 s.d. 73, (4) Kenyawandu, h. s.d. 98, (5) Permadi, h.99 s.d. 124, (6) Togog, h.125 s.d. 158, (7) Raseksi, h.159s.d. 172, dan (8) Banowati, h.173 s.d. 185.
Latar belakang kehidupan dan sepak terjang tokoh-tokoh wayang ini tampaknya dipergunakan untuk menjelaskan perjalanan kehidupan Iin, Tiwi, atau Nussy dari waktu ke waktu yang amat bermanfaat untuk memahami relasi dialogis teks DU dengan cerita tentang Durga. Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis hubungan intertekstual teks DU dengan cerita tentang pengutukan Uma/Umayi menjadi Durga terlebih dahulu akan dijelaskan kaitan kedelapan episode DU dengan cerita tentang Mustakaweni, Adipati Karna, Srikandi, Kenyawandu, Permadi, Togog, Raseksi, dan Banowati. Urutan penyebutan tokoh-tokoh wayang di atas menjadi dasar bagi urutan episode dan pembahasan dalam tulisan ini.
Episode Mustakaweni merupakan episode pertaama novel DU. Di dalam episode ini diceritakan silsilah Punyo (tuan sekaligus nyonya) Insulinda Nusamusbida yang biasa disebut Iin, Tiwi, atau Nussy yang disejajarkan dengan Mustakaweni. Keduanya, baik Iin maupun Mustakaweni adalah wanita-wanita yang cerdik dan berinteligensi tinggi. Iin yang hanya tamatan Sekolah Rakyat Sempoerna bekas Bijzondere Holland Inlandsche School memiliki kemampuan yang sangat menonjol dalam bidang bahasa. Penguasaan bahasa Belandanya misalnya mencapai Algeemen Beschaafd Nederlands (bahasa Belanda standar). Berbekalkan bahasa Belanda dan bahasa-bahasa lain yang amat dikuasainya – bahasa Inggris dan bahasa Perancis — Iin mengorbit di dunia pergaulan internasional dengan berbagai macam profesi, seperti call girl, agen rahasia suatu partai terlarang, pelobi ulung, dan pengusaha multi jutawan.
Di dalam cerita wayang Mustakaweni yang ingin membalas dendam kepada pandawa karena kematian ayahnya berusaha mencuri Pustaka Kalimasada. Mustakaweni tahu bahwa pusaka Kalimasada merupakan sumber kekuatan utama Pandawa. Dengan terlebih dahulu mencuri Pustaka Kalimasada akan tidak terlalu sulit bagi dia untuk menghancurkan Pandawa. Akan tetapi, meskipun pada awalnya Mustakaweni berhasil membawa lari Pustaka Kalimasada, Mustakaweni tidak berhasil menguasai sumber kekuatan tersebut. Usahanya digagalkan oleh Priyambada, salah seorang anak Arjuna. Ia malahan diperisteri Priyambada yang notabene adalah anak pembunuh ayahnya. Ayah Mustakaweni, Mustakawaca mati terbunuh oleh Arjuna (lihat Mulyono, 1978, 131-134).
Di dalam memuliakan dan meluhurkan orang tua, Iin juga dapat dibandingkan dengan Mustakaweni. Iin berusaha sekuat tenaga agar ayahnya, Obrus ketika meninggal mendapatkan pangkat letnan kolonel anumerta. Namun, seperti halnya Mustakweni yang gagal menjunjung tinggi nama ayahnya karena bertemu dengan Priyambada, Iin juga gagal mewujudkan keinginan luhurnya itu karena ia menolak pendekatan mesum seorang perwira yang menjadi kunci dalam perkara itu.
Pada masa peralihan kekuasaan dari orde lama kepada orde baru di kalangan masyarakat Jawa berkembang rumor-rumor mengenai diri mantan presiden Ri, Ir. Soekarno. Salah satu rumor yang menarik ialah rumor yang menyejajarkan nasib Soekarno dengan tokoh wayang Adipati Karna. Rumor tersebut menyebutkan bahwa nasib Bung Karno nama panggilan akrab presiden pertama RI tak ubahnya seperti Adipati Karna yang terpaksa bertempur di pihak Korawa justru untuk kejayaan para Pandawa. ia bertempur untuk membesarkan hati para Korawa yang pada waktu itu nyalinya sudah ciut menghadapi keperkasaan Pandawa. Pulihnya semangat Korawa mempunyai arti yang penting bagi para Pandawa yang mendapatkan kewajiban melenyapkan angkara murka karena Pandawa dapat lebih leluasa menjalankan tugasnya membasmi tindak durjana. Apabila pada waktu itu Korawa menyerah kepada para Pandawa, tugas suci Pandawa melenyapkan angkara murka tentu tidak akan terwujud. Untuk itu, pengorbanan Adipati Karna dengan jalan mempertaruhkan nyawanya sendiri sebagai tumbal kebahagiaan para Pandawa mendapatkan tempat tersendiri di kalangan masyarakat Jawa. Adipati Karna dikenang sebagai model kesatria sejati yang patut diteladani (lihat Serar Tripama karya Mangkunegara IV).
Kisah Adipati Karna di atas pada waktu itu dihubungkan dengan riwayat presiden pertama RI yang bersedia menyerahkan “Supersemar” yang bagi dia (Bung Karno) tak ubahnya seperti buah simalakama. Menyerahkan Supersemar berarti mengakhiri kekuasaan, tidak menyerahkan “Supersemar” akan timbul kekacauan karena pada waktu itu sudah terjadi tarik-menarik yang cukup tegang antara kekuatan-kekuatan yang pro dan anti Soekarno. Ternyata, Bung Karno memilih kesatuan dan persatuan bangsa serta bersedia turun dari jabatannya.
Rumor yang lain berasal dari etimologi nama Soekarno yang dapat dijelaskan secara etimologis terjadi dari kata Karno yang berarti telinga dan prefiks su dari bahasa Sansekerta yang berarti bagus dan mungil. Soekarno mempunyai kemampuan berbicara yang sangat memukau di telinga pendengarnya. Dengan kata lain Soekarno dilahirkan sebagai politisi yang tangguh juga karena dia mampu membuat telinga orang yang mendengar pidato-pidatonya. Hal ini dihubung-hubungkan dengan kelahiran Aadipati Karna yang dalam cerita wayang diceritakan muncul dari telinga Dewi Kunti. Berdasarkan cerita ini dapat dikatakan bahwa kedua Karna, Bung Karno dan Adipati Karna memiliki persamaan yaitu sama-sama dilahirkan dari telinga. Barangkali, rumor-rumor semacam inilah yang melatarbelakangi penulis novel DU mengisahkan hubungan Insulinda Pertiwi Nusamusbida dengan Bung Karno.
Episode Adipati Karna adalah episode yang sangat penting bagi kehidupan Iin. Di dalam episode ini melalui bibinya Iin berjumpa dengan Bung Karno, orang yang amat dikaguminya. Iin mulai menghayati arti perjuangan mekipun perannya hanya sebagai tukang cuci dan seterika keluarga Bung Karno. Namun, dengan melihat apa-apa yang terjadi dan berlangsung di rumah kediaman Bung Karno Iin muda menjadi lebih menghayati makna perjuangn.
Menurut lin perjuangan tidak selalu harus berarti bedil dan mesiu. Hal-hal kecil yang turut melancarkan jalan perjuangan juga perlu mendapatkan perhatian, misalnya peran para pembantu rumah tangga yang turut mempersiapkan berlangsungnya perundingan-perundingan untuk melaksanakan perjuangan (h. 35-38) karena para pejuang tahunya segala sesuatu harus sudah beres. Keyakinan semacam ini semakin tertanam pada diri Iin di kelak kemudian hari, yaitu ketika pada masa revolusi fisik ia harus bertugas di dapur umum yang melayani keperluan para pejuang (lihat episodeberikutnya), episode Srikandi).
Di samping mempertemukan Iin dengan Bung Karno, episode Adipati Karna juga mempertemukan Iin dengan seorang pejuang muda berkepala gundul bersenapan kayu dan mikrofon kotak pegangsaan (nama sandi). Kedua orang ini, khususnya pemuda gundul bersenapan kayu di kelak kemudian hari banyak membantu Iin melepaskan diri dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya (penjelasan mengenai hal ini dapar dilihat di dalam episode Togog, Raseksi, dan Banowati).
Di dalam dunia pewayangan Srikandi ditokohkan sebagai prajurit wanita yang gagah berani. Srikandi sering turut serta menyelesaikan kemelut yang menimpa negaranya. Misalnya, di dalam lakon Mustakaweni Maling Srikandi berperang mati-matian melawan Mustakaweni untuk memperoleh kembali pusaka Kalimasada yang dicuri oleh Mustakaweni (Hardjowirogo, 1968: 245-246, Mulyono, 1978: 131-134). Sepak terjang Srikandi yang lain yang menuntut kegagahberaniannya sebagai seorang prajurit wanita ialah ketika di dalam perang Bharatayudha ia harus menghentikan perlawanan Bisma. Bisma yang gagah berani dan merupakan seorang prajurit tanpa tanding itupun masih berhasil dibunuh Srikandi dengan bantuan roh Dewi Amba yang telah menyatu dengan dirinya (Mulyono, 1983: 56-61). Sifat dan ketokohan Srikandi sebagai wanita yang gagah berani ini kemudian menjadi ideal type bagi wanita atraktif yang berjiwa pemberani.
Episode Srikandi merupakan episode transisi di dalam DU. Di dalam episode ini konflik-konflik yang berada di seputar tokoh Tin memuncak. Beberapa peristiwa penting mengubah kehidupan Iin secara radikal. Pertama, pergaulannya dengan kawan-kawan ayah menjadikan Tin sebagai seorang Srikandi yang gagah berani. Kedua, pergaulan itu mampu mengubah Iin yang semula lembut dan berbudi menjadi Iin yang ganas dan kejam ketika menyaksikan seorang perwira muda Gurka yang tidak berdaya. Perwira muda itu dipenggal lehernya. Pembunuhan ini mengantarkan Iin ke jurang kesengsaraan, Iin disekap NEFIS dan dijebloskan ke dalam penjara mirip kandang anjing. Iin yang rongsokan NEFIS ini kemudian berprofesi sebagai pelacur.
Apabila perjalanan hidup Iin dihubungkan dengan kisah Uma/Umayi, peritiwa pembunuhan perwira muda Gurka itu dapat disamakan dengan kesalahan Uma terhadap Bhatara Guru. Uma/Umayi karena kesalahannya dikutuk diserapahi menjadi Durga yang buruk rupa dan diharuskan tinggal di setra Gandamayit, tempat pembuangan yang berbau mayat. Iin – sebagai balasan perbuatannya membunuh perwira Gurka – disekap, disiksa, dan diperkosa beramai-ramai oleh para anggota NEFIS kemudian dicampakkan ke dalam penjara mirip kandang anjing. Kesejajaran yang lain, terpuruknya Iin di dalam kehidupan gelap sebagai pelacur dapat dibandingkan dengan awal mula kehidupan Uma/Umayi sebagai Durga. Keduanya sama-sama menjalani kehidupan sebagai akibat dari buah perbuatannya.
Berdasar pada kesamaan-kesamaan ini dapat dikatakan bahwa episode Srikandi merupakan awal novel DU yang sesungguhnya. Mulai episode ini di dalam diri Iin mengalir dua arus watak yang bertolak belakang. Di satu pihak, Iin yang sukarelawati dan berjiwa Srikandi adalah Uma/Umayi. Di pihak lain, Iin yang pembunuh sadis perwira Gurka adalah Durga. Dengan demikian, Iin adalah Durga Umayi/ Uma.
Di dalam cerita wayang Kenya Wandu digambarkan sebagai raksasa yang bukan laki-laki dan bukan perempuan. biasanya, tokoh wayang ini berperan sebagai abdi seorang raja dengan nama Cantekawarti, Kepetmega, dan lain-lain. Kenya Wandu memiliki banyak kesaktian dan kemampuannya tidak berbeda dengan laki-laki. Berkat kelebihan-kelebihannya itu Kenya Wandu dipercaya oleh raja yang membawahinya untuk melaksanakan tugas-tugas khusus (Hardjawirogo, 1968: 220-221).
Kisah Kenya Wandu menunjukkan bahwa di dalam jagad pewayangan pernah ada pemikiran mengenai perbedaan gender. Haruskah perbedaan gender selalu diwujudkan dengan jenis pekerjaan yang berbeda. Ternyata, dunia pewayangan pernah memberikan jawaban tegas yang hampir tidak berbeda dengan gagasan-gagasan tentang kaum wanita pada masa sekarang, yakni perbedaan gender tidak perlu dipertajam dengan pembagian kerja secara seksual yang amat kerat. Kenyawandu menjalankan pekerjaan yang tidak biasa dilakukan laki-laki. di samping itu, karena pekerjaannya ia juga harus bergauld engan laki-laki. Berdasar pada kenyataan ini terlihat bahwa di dalam cerita- cerita wayang tertentu polarisasi laki-laki dan wanita tidak terlalu ketat (bdk. cerita tentang Srikandi dan Mustakaweni). Oleh karena itu, menjadi cukup beralasan jika episode ini diberi tanda gambar tokoh wayang Kenya Wandu.
Iin atau Pertiwi Nusamusbida, di dalam episode ini juga bergelar Madame Nussy de Progueleaux (h.93 dan 97). Tiwi sangat mendambakan kemandirian perempuan dan menolak segala bentuk diskriminasi yang bersifat seksis. Menurut dia wanita bukanlah mahkluk dapur-smur-kasur (h.78 dan 81). Trilogi dapur-sumur-kasur justru sangat merendahkan wanita sebagai tukang masak (dapur). Tiwi juga menolak teori Freud yang menyatakan bahwa wanita merasa rendah diri di hadapan laki-laki karena wanita tidak memiliki penis sebagaimana kaum laki-laki. Menurut Tiwi justru laki-lakilah yang merasa iri dan cemburu karena tidak memiliki buah dada seperti kaum perempuan (h.77 dan 78).
Tiwi tidak mau menjadi wanita dapur-sumur-kasur. Ja aktif dalam kegiatan nation building yang salah satu diantaranya di buktikan dengan kegiatannya sebagai aktivis LEKRA. Disamping itu berkat kejeniusan dan kejeliannya ia berhasil memasuki jaringan bisnis internasional. Untuk itu, hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, misalnya dari suatu apartement di Paris pindah ke suite di Wina, pindah lagi ke sebuah ranch di Meksiko, kemudian ke sebuah bungalow di Puncak atau di Pulau Seribu (h. 8S). Tiwi juga menganut kehidupan bebas. Ia hidup bersama dengan lelaki bule tua yang kaya raya (h. 84), dengan lelaki Hongkong, Beijing Nagasaki, dan seorang laki-laki yang berasal dari Singapura (h. 84). Pendek kata, hidup Tiwi serba extravagan.
Berkat pergaulan dengan kaum jer set internasional Tiwi mendapat pekerjaan sebagai pelobi bertaraf internasional. Tugasnya, melakukan perundingan-perundingan penjajagan sebelum dilakukan perundingan sebenarnya oleh para wakil negara. Pekerjaan ini mempertemukan Tiwi dengan pemuda gundul bersenapan kayu yang sekarang sudah mempunyai kedudukan tinggi dalam salah satu Badan Intelijen yang berkuasa (h. 94). Diantara keduanya kemudian terjalin hubungan separuh asmara dan separuh spionase. Sepak terjang kedua agen ini mempunyai pengaruh yang besar di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia (h. 96).
Sebagai imbalan jerih payahnya berperans erta dalam rekayasa politik nasional baik Tiwi maupun pemuda gundul bersenapan mendapat komisi yang sangat banyak berupa dolar, rubel, yen, gulden, poundsterling, dan rupiah. Apalagi ketika pemerintah RI melakukan penyitaan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, mendapatkan pampasan perang Jepang, dan membeli peralatan angkatan laut dan angkatan udara dari Uni Soviet, Tiwi dan pemuda gundul bersenapan kayu mendapat imbalan dalam jumlah yang luar biasa banyak.
Semua itu menjadikan Tiwi kaya raya, sehingga tidak mustahil pagi hari ia masih sarapan di Ritz Hotel, paris, siang di London, petang di New York, malamnya tidur di Sydney, esok paginya sarapan pagi di Tokyo dan semuanya dilakukan di hotel berbintang lima (h. 98).
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat ditemukan identifikasi tokoh Kenya Wandu pada diri Tiwi. Tiwi adalah tokoh yang menyuarakan anti diskriminasi gender. Sikapnya ini diwujudkan secara ekstrim melalui gaya hidupnya yang berpindah dari seoang lelaki kepada lelaki yang lain. Tiwi menolak perkawinan dan memilih hidup kumpul kebo. Bukankah gaya hidup semacam ini bertolak belakang dengan identitas yang biasa dikenakan pada perempuan, yaitu santun dan menjunjung tinggi kesusilaan. Tiwi adalah Kenya Wandu (perempuan maskulin) karena memberontaki dan menyimpangi predikat-predikat yang biasa dilekatkan pada perempuan. Kedudukan Tiwi ambivalen karena telah meninggalkan feminitasnya.
Permadi adalah nama lain Arjuna. Di dalam cerita wayang Permadi atau Arjuna disebut sebagai satriya lelananging jagad — satria jantan mahasakti. Oleh karena itu, ia banyak digila-gilai wanita. Banyak wanita terpikat pada ketampanan wajah Permadi atau Arjuna.
Ketampanan wajah Permadi atau Arjuna sering dipergunakan untuk melukiskan ketampanan wajah seseorang, sehingga muncullah simile – wajahnya tampan seperti Arjuna. Disamping itu, nama Arjuna juga sering dipergunakan untuk menyebut laki-laki kekasih hati.
Episode Permadi atau Arjuna mempertemukan Tiwi dengan seorang pelukis bernama Rohadi. Pertemuan itu terjadi secara kebetulan ketika Tiwi selaku pengurus pusat LEKRA dan komisaris khusus Gerwani sedang bertugas dalam kaderisasi seniman di Yogyakarta (h. 106). Karena keadaan pada sore itu agak gelap, Tiwi tersesat di sebuah tempat di sebelah barat kraton. Tiwi berjumpa dengan seorang pemuda yang tidak disangka-sangka wajahnya persis perwira muda Gurka yang pernah ia penggal lehernya pada peristiwa Halo- Halo Bandung yang membara itu (h. 110). Mata Tiwi menjadi berkunang- kunang dan tahu-tahu, di luar kesadarannya, ia jatuh dalam pelukan pemuda yang wajahnya persis perwira Gurka tersebut.
Rohadi adalah putra kelahiran Klungkung, Bali. Sejak pertemuannya dengan Rohadi, gagal totallah misi kebudayaan LEKRA yang diemban Tiwi. Tiwi jatuh hati pada Rohadi, pelukis miskin yang tidak menganut paham realisme sosialis, bukan penanda tangan manifest kebudayaan, dan yang hanya melukis berdasarkan tuntutan kemerdekaan berkreasi (h. 113).
Di hadapan Rohadi, Tiwi bersandiwara seolah perawan yang tahu tata susila meskipun hasrat keperempuannya kadang ingin menawarkan pangkuannya kepada Rohadi. Setiap kali hasrat itu muncul, terdengar di telinganya suara-suara yang mengingatkan bahwa Tiwi sebenarnya sudah rusak di tangan para algojo NEFIS. Dengan demikian dihadapan Arjuna pujaan hatinya, Tiwi tampil tanpa cela.
Episode Permadi menunjukkan bahwa Tiwi yang di dalam tubuhnya terkandung sifat-sifat Durga dan Umayi tidak mampu menundukkan Rohadi yang tampan seperti titisan Wisnu. Tiwi justru bertekuk lutut dihadapan Rohadi. Sebaliknya, Rohadi yang telah mengenggam jiwa Tiwi juga tidak mampu mengembalikan Tiwi yang Durga menjadi Tiwi yang Umayi. Tiwi tetap malang melintang sebagai Durga, bukan karena perkenalannya dengan Tiwi, tokoh LEKRA dan Gerwani, sesudah peristiwa pemberontakan G 30 S PKI, Rohadi diasingkan di Pulau Buru. Rohadi meninggal secara tragis ketika akan melarikan diri. Tubuhnya ditemukan tanpa kepala sudah dimakan semut dan kecoa (h. 141). Keadaan Rohadi mirip perwira muda Gurka yang kepalanya dipenggal Tiwi, sehingga dapat dikatakan baik perwira muda Gurka maupun Rohadi adalah korban-korban Tiwi ketika watak Durga menguasai Tiwi. Rohadi yang Arjuna pasti tidak akan mampu meruwat Durga (Tiwi) karena yang mempunyai kemampuan meruwat Durga hanyalah Sadewa.
Episode Togog mengisahkan perjalanan hidup Tiwi sekitar masa pemerontakan G 30 S PKI. Tiwi yang pada waktu itu turut menyiapkan pengiriman senjata untuk angkatan ke-5 demi mudahnya tinggal di Beijing. Ketika pemberontakan PKI berhasil ditumpas, Iin pergi ke Hongkong mencari pemuda gundul bersenapan kayu yang alamatnya sudah diketahuinya. Akan terapi, pertemuan itu tidak dapat menciptakan suasana akrab seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya karena ideologi mereka bertolak belakang. Tiwi tahu persis apa yang harus dilakukannya. Berkat cek seharga satu karung ringgit Belanda Tiwi mendapatkan tiga buah paspor diplomatik palsu dari pemuda gundul bersenapan kayu itu.
Dengan memanfaatkan tiga buah paspor diplomatik palsu itu Tiwi menuju Singapura untuk berkonsultasi mengenai kemungkinan melakukan operasi plastik di salah satu klinik bedah plastik yang termasyhur di sana. Pada 11 Maret 1966 Tiwi keluar dari klinik bedah plastik itu dengan wajah baru sesuai dengan foto yang terdapat dalam tiga buah paspor diplomatik palsu buatan pemuda gundul bersenapan kayu. Tiwi bermeramorfose menjadi seorang wanita yang ditafsirkan sebagai wanita berdarah Makao campur Portugis atau berdarah Jepang dan Perancis. Yang jelas Tiwi bukan lagi si Jelita asli Jawa Tengah, Tidar, Progo dan Elo (h. 131). Di dalam paspor tertulis profesi Tiwi ialah pemilik dan direktur utama Global Joy Corporation, sebuah perusahaan konglomerat yang menangani segala perusahaan apa pun, khususnya dalam bidang kepariwisataan.
Pada suatu waktu ketika Tiwi tengah bercengkerama dalam kemewahan sebuah hotel di Abu Dhabi Uni Emirat Arab Tiwi teringat nasib abang kembar dampitnya, Brojol (h. 145). Tiwi segera memerintah sekretaris pribadinya untuk mengurus VIP-elass ticket ke Jakarta, selanjutnya jika terpaksa mencarter sebuah pesawat Boeing 737 ke Yogyakarta atau Solo dengan pesanan jemputan special jip super de-luxe yang mampu melaju di medan yang berat. Setelah segala pesanan itu dipenuhi Tiwi atau Madame Nussy de Progueleaux terbang menuju Jakarta dilanjutkan dengan penerbangan pendek menuju Yogyakarta. Di Bandara Adisucipto sudah menunggu sebuah jip super de-luxe yang akan membawanya ke desa Kang Brojol.
Sesampai di desa Kang Brojol Tiwi merasa sangat kaget. Desa yang dahulu subur dengan sawah-sawah hijau kuning, sekarang sudah diobrak-abrik ratusan buldoser dan ribuan truk-bak jungkir balik, sehingga pemandangan menjadi mirip tambang timah (h. 147). Tiwi baru sadar di lembah yang dahulu sejahtera dan indah permai itu yang sekarang dirusak dan diobrak- abrik ratusan buldoser dan ribuan truk-bak jungkir baik justru akan dibangun sebuah proyek yang kontraknya ia tanda tangani sendiri berpatungan dengan beberapa konglomerat dalam negeri dengan garansi beberapa bank terkenal di dunia (h. 148). Rencananya, desa Kang Brojol akan disulap menjadi semacan Disneyland dengan unsur-unsur puncak kebudayaan Nusantara. Distu akan dibangun 1945 hotel dan motel berbintang lima, 17 bank, 8 kasino, dan suatu taman miniatur pera dunia dengan segala atraksi dan kekhasan masing-masing negara dalam skala seperti di Madurodam, negeri Belanda (h. 149).
Menyadari apa yang telah diperbuatnya dan apa yang akan dialami oleh Kang Brojol, Tiwi menjadi lunglai tak berdaya. Ia ingin menolong Kang Brojol, tetapi ia yakin, Kang Brojol tidak akan mengenalnya karena operasi plastik yang dilakukan Tiwi telah memotong hubungan masa lampaunya dengan Kang Brojol. Tiwi termangu-mangu sedih. Ia lantas mengenang masa-masa miskin dahulu yang rasanya lebih bahagia daripada menjadi milliarder dolar, tetapi harus membunuh abangnya sendiri (h. 158).
Berdasar uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa episode Togog di dalam rangkaian episode secara keseluruhan dengan meminjam idiom pertunjukan wayang kulit semalam suntuk merupakan episode “goro-goro”.
Pemilihan figur Togog sebagai simbol episode dapat diterangkan dengan penjelasan sebagai berikut. Togog merupakan simbol tokoh opurtunis yang selalu berganti-ganti majikan. Togog selalu bernaung di bawah majikan yang selalu hidup penuh kemewahan. Meskipun ia selalu berusaha mengingatkan majikan yang diikutinya untuk tidak berbuat tidak baik, Togog tidak pernah berhasil mengerem keinginan jahat para majikannya. Disisi lain, kehadiran Togog bersama saudaranya Bilung acapkali memancing humor segar walaupun kadang juga terasa satirik karena ia yang jelas-jelas berada di pihak golongan pemuja kemewahan dan kenikmatan dunia masih berusaha berpetuah mengingatkan orang-orang disekelilingnya untuk berbuat bijak.
Apabila penjelasan mengenai figure Togog di atas dicarikan kesejajarannya dengan cerita di dalam episode Togog, maka peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh Tiwi terasa mirip dengan jalan hidup tokoh Togog. Pada saat orang- orang berusaha memadamkan pemberontakan G 30 S PKI, di luar negeri Tiwi justru berusaha membantu gerakan tersebut sekuat tenaga dengan pamrih mendapatkan imbalan dalam jumlah yang besar. Peristiwa pemberontakan G 30 S PKI adalah sebuah “goro-goro”. Di satu pihak, banyak orang yang menderita karena meletusnya peristiwa ini. Akan tetapi, di pihak lain peristiwa ini juga merupakan setire yang pahit karena banyak orang berusaha menarik keuntungan dari meletusnya peristiwa ini. Sebagaimana halnya Tiwi, ketika orang-orang di tanah air sibuk memulihkan keadaan setelah meletusnya pemberontakan G 30 S PKI, ia justru enak-enak di Singapura melakukan operasi plastik untuk menghilangkan identitasnya sebagai tokoh LEKRA dan gembong Gerwani. Selanjutnya dengan identitas yang baru ia malang melintang di dunia bisnis internasional sebagai seorang milliader dolar. Padahal tanah air tercinta yang dulu pernah dibelanya dari gangguan Belanda dan yang proklamasinya ia hadiri sedang sangat menderita.
Kejadian bersifat satirik juga terjadi ketika Tiwi menandatangani megaproyek berupa pembangunan semacam Disneyland di Indonesia. Ternyata, lokasi Disneyland yang sedang digarap dan diporakporandakan oleh ratusan buldoser dan ribuan truk-bak jungkir balik adalah desa Kang Brojol, saudara kembar dampitnya.
Semua peristiwa di atas terjadi hanya pada masa “goro-goro” —- masa kacau ketika banyak orang tidak lagi mengindahkan tatanan yang umum berlaku. pada masa itu muncul orang-orang berperangai Togog — opurtunis dan hedonis – mencuri-curi kesempatan memperkaya diri sendiri tanpa mengingat tanah air yang pernah dibela mati-matian dan saudara kandung yang amat dikasihi (Tiwi), serta kekasih hati yang pernah bersama-sama mengisi hari-hari yang sepi (perlakuan pemuda gundul bersenapan kayu ketika dimintai bantuan Tiwi membuat paspor diplomatik palsu).
Uraian-uraian di atas juga menjelaskan bahwa DU memberi kesaksian tentang praktik pembangunan pada era itu. DU menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukan pada masa itu berkelindan dengan kepentingan korporasi asing, kapitalisme global, dan tidak bisa lepas dari bayang-bayang kekuatan neokolonialisme (bdk. Huggan and Tiffin, 2010: 28). Pembangunan dilakukan tidak berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, sehingga tidak menyejaterakan rakyat dan justru memiskinkan. Pembangunan lebih banyak dilakukan karena tekanan para pemodal asing yang bersekongkol dengan para pengusaha bumiputra. Para pengusaha ini adalah adalah rekan orang-orang yang berada di pusat kekuasaan atau para penguasa itu sendiri. Kadang-kadang intervensi kapitalisme global sebagai instrumen neokolonialisme berperan besar
dalam proses itu, Pembangunan dilakukan dengan mengabaikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
Di dalam dunia pewayangan raseksi adalah raksasa perempuan atau isteri seorang raksasa. Biasanya tokoh ini dimunculkan untuk menggambarkan seorang dewi yang sedang menjalani kutukan karena dimurkai oleh dewa yang lebih berkuasa. Penderitaan sebagai raseksi berakhir apabila ada kesatria yang berperang melawannya dan mampu mengalahkannya (Hardjowirogo, 1968:254).
Di dalam episode raseksi dikisahkan duka tokoh Iin, Tiwi, atau Madame Progueleaux ketika mengunjungi kakanya, Brojol di desa kediamannya. Pertama, sebagaimana telah disebutkan pada pasal sebelumnya Tiwi merasa iba saat mengetahui bahwa mega proyek Disneyland yang kontraknya ditandatanganinya ternyata berlokasi di lembah tempat kakanya, Brojol bermukim. Kedua, seperti yang diduga sebelumnya kehadiran sebagai Madame de Progueleaux (identitasnya setelah operasi plastik) sama sekali tidak dikenali oleh kakaknya, Brojol. Meskipun Tiwi sempat berdialog dengan Brojol, Brojol tetap tidak mengenalnya.
Peristiwa ini meninggalkan bekas yang cukup dalam di hati Tiwi (Madame de Progueleaux) sehingga di akhir kunjungannya Tiwi meninggalkan uang sejumlah tujuh belas juta rupiah untuk keluarga Brojol (uang ini oleh keluarga Brojol kemudian dibagi ke segenap penduduk desa karena dianggap berasal dari dewa penolong yang murah hati).
Sepulang dari desa Brojol, Tiwi membulatkan tekad untuk mengakhiri kehidupannya sebagai Madame de Progueleaux. Untuk itu, ia kembali berkonsultasi pada klinik bedah plastik di Singapura yang dulu mampu mengubah seorang Tiwi menjadi Madame de Progueleaux. Profesor, kepala tim bedah plastik itu menyanggupi permintaan Tiwi untuk memetamorfosakan Madame de Progueleaux kembali menjadi Iin Sulinda Pertiwi (h. 167). Selanjutnya tim dokter bedah plastik yang menangani Tiwi dan beberapa orang notaries memberi kesaksian yang dapat diakui hokum internasional bahwa pribadi Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida identik dengan pribadi Charlotte Eugenie de Progueleaux (h. 168).
Setelah sukses melakukan operasi plastik dan berpribadi sebagai Punyo Nusamusbida, Tiwi menemui pemuda gundul bersenapan kayu untuk meminta paspor baru. Dengan berbekal paspor itu, Tiwi berniat kembali ke Indonesia untuk menemui kakaknya, Brojol (h. 172).
Berdasar pada uraian-uraian di atas perjalanan hidup Tiwi dapat dibandingkan dengan kehidupan seorang raseksi. Tiwi yang sedang menjalani lakon kehidupan sebagai Madame de Progueleaux adalah raseksi yang sedang menjalani kutukan. Ia tidak dapat berbuat sesuatu ketika desa kakaknya diporakporandakan ratusan buldoser dan ribuan truk-bak jungkir balik meskipun semua peristiwa itu terjadi berdasarkan persetujuannya. Ia juga tidak mampu berbuat apa-apa ketika berjumpa dengan kakaknya Brojol karena Brojol sama sekali tidak mengenalnya sebagai Madame de Progueleaux.
Operasi bedah plastik yang dilakukan Tiwi untuk mengubah Madame de Progueleaux menjadi Punyo Nusamusbida dan pemberian paspor yang dilakukan pemuda gundul bersenapan kayu adalah peristiwa ruwatan yang mengubah raseksi menjadi seorang dewi. Madame de Progueleaux yang berpenampilan seperti wanita Indo Makao-Portugis adalah raseksi, sedangkan Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida yang pribumi adalah seorang dewi.
Episode Banowati mengisahkan kehidupan Tiwi pasca operasi bedah plastik yang memetamorfosakan Tiwi (Madame de Progueleaux) menjadi Tiwi (Nusamusbida). Di dalam episode sebelumnya, episode raseksi diceritakan bahwa yang memisahkan Tiwi dengan kakaknya, Brojol adalah wujud Tiwi sebagai Madame de Progueleaux. Oleh karena itu, Tiwi bertekad mengakhiri kisah hidupnya sebagai Madame de Progueleaux dan kembali menjalani hidup sebagai Insulinda Pertiwi Nusamusbida agar dapat bertemu dan dikenali oleh Brojol yang sangat dirindukannya.
Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, di dalam pesawat terbang Tiwi Nusamusbida bertemu dengan seorang lelaki gentleman beraksen Perancis. Gentleman muda yang ramah dan sopan itu memperkenalkan diri sebagai dokter ekonomi makro yang baru saja lulus cumlaude dari Universitas Sorbonne. Keduanya terlibat dalam pembicaraan yang sangat asyik.
Sesampai di bandara Soekarno-Hatta gentleman itu menolong Tiwi mengambilkan barang-barang Tiwi yang ada di atas tempat duduk dan mempersilakan Tiwi untuk keluar melalui pintu VIP. Akan tetapi sungguh tak disangka di bawah ujung sayap pesawat Tiwi Nusamusbida disambut dua orang petugas berseragam yang segera memborgolnya dan mendorongnya ke jok belakang sebuah VW Kombi. Sementara itu, sang gentleman duduk tenang di samping sopir dan pura-pura tiak melihat apa yang terjadi di jok belakang (h. 176). Tiwi merasa sangat malu. Ia pun menangis merenungi nasibnya.
Setelah melalui proses interogasi yang panjang dengan bukti-bukti keterlibatannya di dalam barisan LEKRA dalam demonstrasi mengganyang Malaysia, foto-foto Tiwi berpidato di alun-alun Madiun yang menganjurkan massa menggantung para kapitalis birokrat, Tiwi merasa bahwa ia tidak mungkin bertemu lagi dengan Brojol. Sebabnya jelas, keterlibatannya dengan partai berlambang palu arit itu akan membahayakan kedudukan Brojol. Brojol tentu akan terkena operasi bersih lingkungan yang dapat menodai sejarah kehidupannya sepanjang hayatnya. Oleh karena itu, Tiwi memilih sama sekali tidak menyebut nama Brojol dan rela dijebloskan ke dalam penjara.
Di dalam penjara Tiwi hanya mendapatkan fasilitas satu set bacaan Al Ouran, Al Kitab Kristen-Katolik, dan Kitab Bhagavatgita (h. 177). Melalui kitab-kitab itu Tiwi melakukan kontemplasi seraya berdoa untuk keluarga Brojol dan penduduk desa pengungsian. Tiwi merasa bebahagia dan bersyukur bahwa keberadaannya di penjara akan menggagalkan proyek Disneyland pariwisata dan widyawisata di desanya karena 9096 saham proyek ada di tangannya. Akan tetapi, yang terjadi berbeda. Pada suatu hari datanglah lima orang petugas, satu diantaranya adalah yang berlagak gentleman mengaku dokter ekonomi lulusan Sorbonne. Mereka bertanya kepada Tiwi apakah Tiwi identik dengan Charlotte Eugenie Madame de Progueleaux. Tiwi menjawab tegas bahwa ia benar-benar identik dengan Madame de Progueleaux (h. 179). Tiga hari setelah itu gentleman itu datang lagi bersama dengan delapan orang yang lain yang mengabarkan bahwa Tiwi dibebaskan tetapi dengan syarat Tiwi harus menyelesaikan proyek Disneyland yang sudah direncanakan. Tiwi pun menyanggupi persyaratan tersebut. Akan tetapi, setelah menyepakati perjanjian itu Tiwi berhadapan dengan sebuah dilema. Di satu pihak, kesanggupannya menyelesaikan proyek Disneyland mengharuskan ia kembali melakukan operasi bedah plastik karena semua kontrak ditanda tangani Tiwi ketika masih sebagai Madame de Progueleaux. Di pihak lain apabila ia tetap sebagai Insulinda Pertiwi Nusamusbida lama-lama orang tentu akan mengetahui hubungan Tiwi dengan Brojol yang hal ini akan membahayakan Brojol. Ia tahu Brojol sudah cukup menderita. Untuk itu, Tiwi berniat membeli kembali seluruh lahan desa yang sudah diambil alih proyek (h. 182) dan mengembalikannya ke keadaan semula. Namun, apakah rencana itu tidak menampar muka pihak-pihak yang berkuasa dan berwibawa.
Tiwi berpikir, merenung-renung, dan mengotak-atik apa yang harus segera dilakukan. Ia terombang-ambing dalam ketidakpastian sampai akhirnya ia menemukan secercah harapan ketika teringat pada Mikrofon Pegangsaan Timur 56 (h. 184).
Dari uraian-uraian di atas tampak bahwa episode Banowati memiliki jalinan yang sangat erat dengan episode Raseksi. Di akhir episode Raseksi digambarkan bahwa Tiwi hampir yakin setelah berganti rupa melalui operasi bedah plastik menjadi Insulinda Pertiwi Nusamusbida — sebelumnya Madame de Progueleaux -— akan bertemu kembali dengan kakaknya Brojol. Dilukiskan kerinduan Tiwi kepada Brojol seperti kerinduan Banowati kepada Arjuna (h. 172). Berdasarkan pada hal ini dapat ditangkap isyarat bahwa episode Banowati dapat lebih dipahami jika dapat dijelaskan dengan baik hubungan Banowati dengan Arjuna.
Di dalam dunia pewayangan dikisahkan bahwa Banowati memiliki hubungan khusus dengan Arjuna. Meskipun secara lahiriah ia isteri Duryudana, ia hanya mempersembahkan cinta tulusnya kepada Arjuna, lelaki yang sangat dicintainya. Keinginan Banowati untuk diperisteri Arjuna terkabul setelah Perang Kuruksetra karena Duryudana dan seluruh keluarga Korawa ditumpas oleh para Pandawa. Namun, perbuatan Banowati ini diketahui salah seorang sahabat Korawa yang tidak ikut terbunuh di dalam perang Kuruksetra, yaitu Aswatama. Pada suatu malam ketika Aswatama dengan licik membantai anak cucu Pandawa, ia juga membunuh Banowati.
Episode Banowati melukiskan Tiwi yang sudah menjadi Insulinda Pertiwi Nusamusbida karena merasa gembira akan bertemu kembali dengan Brojol menjadi kurang waspada. Ia terjebak seseorang berlagak gentleman yang menjebloskannya ke dalam penjara.
Kegembiraan Tiwi akan bertemu dengan Brojol dapat dibandingkan dengan kegembiraan Banowati menyambut kedarangan Arjuna setelah perang Kuruksetra. Banowati tidak mengetahui bahwa Aswatama sangat mendendam kepadanya karena berkhianat kepada Duryudana. Demikian pula halnya dengan Tiwi, ia sama sekali tidak menyangka jika gentleman yang sempat dikaguminya akan menjebloskannya ke dalam penjara. Apabila di dalam cerita wayang pembunuhan Banowati mengakhiri dendam Aswarama, di dalam DU penahanan Tiwi tidak mengakhiri penderitaan Tiwi. Tiwi masih harus menghadapi berbagai permasalahan karena dalam rangkaian cerita DU secara keseluruhan Tiwi adalah Durga yang sedang menjalani kutukan.
Berdasar pada pembahasan tiap-tiap episode di dalam DU dari segi intraliterer dapat disimpulkan bahwa episode Mustakaweni, Adipati Karna, Srikandi, Kenya Wandu, Permadi, Togog, Raseksi, dan Banowati menjelaskan fase-fase perkembangan watak Insulinda Pertiwi Nusamusbida yang suratan nasibnya seperti Dewi Umayi yang dikutuk menjadi Durga. Episode Mustakaweni, Adipati Karna, dan separuh pertama episode Srikandi merupakan periode Umayi, sedangkan separuh kedua episode Srikandi, Kenya Wandu, Permadi, Togog, Raseksi, dan episode Banowati merupakan periode Durga.
Pada periode Umayi, Iin adalah seorang wanita yang cerdas, terampil, pemberani dan berhati lurus, sedang di dalam periode Durga Tiwi Nusamusbida berubah menjadi pembunuh sadis, callgir! bereputasi internasional tokoh LEKRA dan Gerwani serta pendukung setia gagasan feminisme tentang kemerdekaan kaum perempuan. Jika di dalam periode Umayi watak Iin tergolong datar, di dalam periode Durga Iin memiliki kepribadian yang terbelah. Tiwi yang lebih banyak muncul menjelma menjadi Umayi, sehingga muncul konflik-konflik atau terjadi tarik-menarik antara watak Umayi dan watak Durga yang lebih banyak didominasi oleh Durga. Barangkali hal inilah yang menjadi alasan Mangunwijaya memberi judul pada novelnya Durga Umayi bukan Umayi Durga.
Satu hal yang terasa aneh ialah meskipun novel DU memiliki relasi intertekstual dengan cerita Durga, di dalam DU sama sekali tidak terdapat episode Umayi atau episode Durga. Hal ini dapat dijelaskan dengan keterangan demikian. Pada hakikatnya tiap-tiap episode DU baik secara implisit maupun sedikit transparan melalui jejak-jejak yang diberikan di dalam beberapa bagian teks memiliki hubungan intertekstual dengan stereotip watak Umayi dan Durga. Episode Musrakaweni, Adipati Karna dan separuh akhir episode Srikandi, Kenya Wandu, Permadi, Togog, Raseksi, dan episode Banowati ternyata lebih banyak memiliki jalinan intertekstual dengan stereotip watak Durga. Oleh karena itu, episode Umayi dan episode Durga tidak dihadirkan secara eksplisit karena pada hakikatnya semua episode yang ada di dalam DU adalah episode Umayi dan Durga atau episode Durga-Umayi.
Sebagian besar uraian-uraian di atas menunjukkan identifikasi dan kesejajaran novel DU dengan dengan hipogramnya, yaitu cerita Durga yang tertera pada bagian prawayang novel DU. Misalnya, pembunuhan yang dilakukan Tiwi terhadap perwira muda Gurka dengan akibat Tiwi diinterogasi, disekap, disiksa, dan diperkosa oleh para anggota NEFIS dapat dibandingkan dengan jatuhnya kutukan Bhatara Guru terhadap Dewi Umayi yang mengubah Umayi menjadi Durga. Kehidupan Tiwi pasca kebrutalan NEFIS mirip kehidupan Durga di Sentragandamayit. Tiwi berkelana dari satu negara ke negara lain, dari satu hotel ke hotel lain sebagai tokoh LEKRA dan Gerwani serta sebagai ca//girl bereputasi internasional. Operasi bedah plastik yang memetaformosakan Tiwi menjadi Madame de Progueleaux yang berciri curoasiatik mengokohkan identitas ke-Durga-an Tiwi.
Titik balik kehidupan Tiwi sebagai Durga terjadi pada peristiwa operasi plastik kedua yang dilakukan Tiwi. Operasi bedah plastik itu meruwat Tiwi yang Durga menjadi Tiwi yang Umayi. Hanya bedanya jika di dalam cerita wayang – cerita Durga Ruwat atau Sudamala —setelah diruwat oleh Sadewa, Durga kembali menjadi Uma (Umayi) dan lepas dari penderitaan. Di dalam novel DU, setelah menjalani operasi bedah plastik yang kedua Tiwi tidak segera lepas dari penderitaan. Tiwi masih harus menghadapi berbagai dilema. Dengan kata lain, jika di dalam cerita wayang penderitaan Uma sebagai Durga berakhir dengan ruwat, dalam DU penderitaan Tiwi tidak berakhir dengan operasi bedah plastik kedua. Tiwi masih harus menghadapi berbagai masalah yang belum terselesaikan. Ruwatan itu belum mengakhiri kutukan.
Sementara itu, dari segi ekstraliterer DU merupakan respons terhadap keadaan sosial, ideologis, dan keadaan historis semasa. DU merespons pembangunanisme yang serakah, kosmopolitanisme yang korup, aparatus negara yang mementingkan dirinya sendiri dan eksploitatif serta hipermaskulinitas yang yang selalu menjadikan perempuan sebagai korban. Dapat dikatakan bahwa DU turut berpartisipasi dalam transformasi dan perubahan sosial, politik, serta kebudayaan tidak sebagai agen negara melainkan sebagai representasi rakyat kecil atau golongan yang tersisihkan. DU melibatkan diri dalam perjuangan melawan dominasi dengan menawarkan pesan-pesan moral untuk menghadapi kekuasaan yang otoritarian dan monolitik. Perspektif yang kritis dan nonkonformis ini memberikan kontribusi signifikan DU dalam upaya mengoreksi pemerintah yang totaliter.
Aichele, George and Gary A. Phillips. 1995. “Exegesis, Eisegesis, Intergesis”.
SEMELIA, 69/70: pp. 7—18.
Allen, Graham. 2022. Intertextuality. London-New York: Routledge (Third
Edition).
Baron, Scarlett. 2020. The Birth of Intertextuality The Riddle of Creativity.
New York-London: Rourledge.
Barthes, Roland. 1977. Image Music Text. London: Fontana.
Barthes, Roland, 1979. “From Work to Text”. Dalam Josue V. Harari. Textual
Strategies: Persepective in Post-Structuralist Criticism. Ithaca: Cornell University Pres, pp. 73—81.
.1981. “Theory of the Text”. Dalam Robert Young, ed. Untying the Text:
A Post-Strucruralist Reader. Boston: Routledge & Kegan Paul, pp. 31—47.
Bauman, Richard. 2004. 4 World of Others” Words: Cross-Cultural Perspectives
on Intertextuality. Malden-Oxford-Victoria: Blackwell Publishing.
Bax, Stephen. 2013. Researching Intertextual Reading. Bern: Peter Lang AG.
Callenfels, PV. van Stein. 1925. “De Sudamala in de Hindu-Javaansche
Kunst”. VBG LXVI: 1-181.
Cole, Ross and Paul Peterse. 2014. Hermeneutics, Intertextuality and the
Contemporary Meaning of Scripture. Adelaide: Avondale Academic Press.
Cuddon, J.A. 1991. Dictionary of Literary Terms and Literary Theary.
London: Penguin Books.
Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poerics: Structuralism, Linguistics and the
Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
»1983. The Pursuit of Signs: Semuotics, Literature, Decontruction. London:
Routledge & Kegan Paul.
Fokkema, Douwe dam Elrud Ibsch. 1992. Literatuur Werenschap &
Cultuuroverdracht. Muiderberg: Dick Countinho.
Frow, John. 1991. “Intertextuality and Ontology” dalam Worton, Michael
dan Judith Still. Intertextuality: Theories and Practises. Manchester:
Manchester University Press, pp. 45—55.
Hardjowirogo. 1968. Sedjarah Wajang Purwa, Djakarta: Balai Pustaka.
Huggan, Graham and Helen Tiffin. 2010. The Postcolonial Ecocriticism:
Literature, Animals, Environtment. London and New York: Routledge.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minreapolis:
University of Menesota Press.
Kuiper, Katleen (ed) 1995. Merriam Websters Encylopedia of Literature.
Springfield Merriam Webster Inc.
Mangunwijaya, Y.B. 1981. Burung-Burung Manyar. Jakarta: Djambatan,
1983. Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Jakarta: Djambatan.
1983. Roro Mendut. Jakarta: Gramedia.
—. 1987. Genduk Duku. Jakarta: Gramedia.
2… 1987. Lusi Lindri. Jakarta: Gramedia.
1991. Durga Umayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Menyelisik Jejaring Intertekstualitas Novel Durga Umayi Karya Y.B. Mangunwijaya 281
—— 1998. “Saran “Groot Major” Prakoso”, Kompas, 19 Juli.
Mason, Jesica. 2019. Intertetextuality in Practice. Amsterdam/ Philadelphia:
John Benjamins Publishing Company
Mulyono, Sri. 1978. Wayang dan Karakter Wanita. Jakarta: Gunung Agung.
Orr, Mary. 2003. Intertextualitry: Debates and Contexts. Cambridge-Oxford:
Polity Press-Blackwell Publishing.
Pigeaud, Theodor Gautier Thomas. 1924. De Tantu Panggelaran : Een Oud-
Javaansch Prozageschrift. Leipzig: H.L. Smiths.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1926. “De Tjalon Arang”, BKI No. 82 : 110—180
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University
Press, 1978.
. 1991. “Compulsory Reader Response” dalam Worton, Micahel Judith
Still. Intertextuality: Theories and Practices. Machester: Manchester
University Press, pp. 56—77.
Robson, Stuart. 2016. The Kakawin Ghatotkacasraya by Mpu Panuluh.
Tokyo: ILCCA Tokyo University of Foreign Studies.
Santiko, Hariani. 1987. Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X-XV
Masehi. Disertasi Universitas Indonesia (tidak diterbitkan).
Santoso, Suwito. 1975. Sutasoma: A Study in Javanese Wajrayana. New Delhi:
International Academy of Indian Culture.
Segre, Cesare and Tomaso Kemeny. 1988. Introduction to the Analysis of the
Literary Text. Bloomington: Indiana University Press.
Srill Judith dan Michael Worton. 1991. “Introduction” dalam Worton,
Michael dan Judith Still. Intertextuality: Theories and Practices.
Manchester: Manchester University Press, pp. 1— 44.
Swellengrebel, J.L. 1936. Korawasrama: Een Oud-Javaansch Prozageschrift.
Santpoort: Mees.
Zima, Peter V. 1981. Literatuur en Maatscbappij: Inleiding in de Literatuur
en Tekstsociologie. Assen: Van Gorcum.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.
282 Membaca Durga — Makalah Simposium
Mustakadewi (h. 1 s.d. 28) Karna (h. 29 s.d. 42)
Episode 3 Episode 4
Srikandi (h. 43 s.d. 73) Kenyawandu (h. 74 s.d. 98)