Kisah Para Dewi

Kisah Para Dewi

Bab 12: Tentang Kali

DAFTAR ISI

Goenawan Mohamad
Penulis – Budayawan
Email: (email penulis)

Pada Juni 2000 opera “Kali” dipentaskan di Teater On the Board di Seattle, di Amerika Sertikat. Komponis Tony Prabowo dan Jarred Powell menciptakan musiknya, koreografer Mary Sheldon Scott mengiringinya dengan karya tari, dan saya menulis libretonya.

Jarred Powell, yang mengajar di Cornish — tempat John Cage melahirkan komposisi avant-gardenya — bukan orang baru dalam kerja kolaboratif. Juga dengan seniman-seniman Indonesia, antara lain dengan Rahayu Supanggah dan Gusmiati Suit. Ia sendiri, selain komponis musik kontempoter, pendiri dan pemimpin Gamelan Pacifica. Judul karya operatik yang disiapkannya dengan Tony Prabowo selama empat tahun, “Kali”, datang dari ide dia.

Karya itu, sebuah kolase, adalah ekspresi kecemasan menyaksikan sejarah mutakhir yang penuh kekerasan, terutama di Indoenesia, selama Perang ingin. Tapi metafor utamanya berpusat pada hidup Gandhari, ibu para Kurawa, di hari-hari terakhir pertempuran Bharatayudha.

Kali, dewi kematian dalam mithologi Hindu, membayang di seluruh lakon. Diketahui bahwa Kali muncul dari amarah Dewi Durga dalam menghadapi mala dan kekejian. Dalam cerita dan tafsir yang tak habis-habisnya, Kali adalah sekaligus kekuaran destruksi dan rasa belas. Salah satu tafsir menyeburkan ia diciptakan Dewa Bhrahma untuk membawa Maut, meskipun ia sebenarnya sedih menanggung tugas itu.

Libreto saya secara bebas — baik yang versi Inggris maupun Indonesia — membawakan imaji Kali yang lain: Maut di dalam silih bergantianykebengisan dan kerinduan manusia, yang dialami dalam duka cita seorang ibu dan dalam tekadnya menyertai anak-anaknya yang musnah.

Sang Ibu, Gandhari, dengan demikian sebuah kekuatan tersendiri sebagaimana halnya Kali. Dalam cerita para dalang di Jawa, Gandhari dihadirkan sebagai sosok marginal yang pasif, yang menutup matanya dengan kain agar tak melihat dunia—sebagai tanda kesetiaan kepada suaminya, Raja Dhestarastra yang sejak kecil buta. Dalam puisi saya, Gandhari menutup matanya karena menolak melihat dunia yang diciptakan dewa-dewa—diciptakan dengan tak adil dan kejam, dibangun dengan nilai yang tak habis-habisnya menistakan mereka yang kalah. Gandhari adalah sebuah pembangkangan.

Saya juga menggambarkannya dalam sebuah figur wayang kuliv—bagian dari buku bergambar saya, Kitab Kurawa (2022). Adegan dalam lakon ini—yang juga sebuah puisi—berlangsung di salah satu bagian Istana Astina menjelang malam, di saat-saat kelam peperangan di Kurusetra.

 

GANDARI

Rekaman lima hari sebelum ibu para Kurawa itu membalut matanya dengan sehelai kain hitam—seraya mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak, beberapa detik sebelum ajal. Ia, yang tak ingin lagi melihat dunia, sore itu menengok ke luar jendela buat terakhir kalinya:
Sebuah parit merayap ke arah danau. Dua ekor tikus mati, hanyut. Sebila papan pecah mengapung. Sebatang ranting tua mengapung. Di permukaan telaga, di utara, dua orang mengayuh jukung yang tipis, dengan dayung yang putus asa. Ombak seakan-akan mati. Air menahan mereka. “Mereka lari dari koloni kusta”, kata Gandari dalam hati,” dan mereka lihat
warna hitam yang berhimpun di atas bukit.” Magrib, sebenarnya mendung, seakan mendekat. Air naik deras ke langit: sebuah pusaran sebelum hujan datang, lebat, menghantam danau. Dan angkasa gemetar ketika tubuh angin mengubah diri ke dalam putting beliung

Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya: pada halaman langit bintang membentuk asteris, yang merujuk ke nama yang tak ada, juga nama seorang dewa yang susut. Dan guruh berkejaran dengan hujan sepanjang trowongan langit yang merendah. Bumi rabun. Dan gerimis, seperti silabel yang lebat, berdegup, bergegas, berdegup, dari pinggir galaksi, membentuk tanda—arau sesuatu yang seperti tanda. Tapi perempuan itu tak memberinya arti. Di luar aula para dewa, ketika angkasa kosong, Brahma mencipta Kemarian. “Kali akan datang,” katanya, “dan akan melambaikan tangannya yang ungu. Tenanglah, semua tak akan apa-apa.” Di dalam ruang, tak ada yang ingin bicara. Dan dari bulan yang lambat. Maut meloncat ke kerumunan mega. Ia menari. Di pelukannya yang putih, ada mayat yang terpenggal. Malam itu para dewa pun diberitahu, itulah tarian Kali yang pertama. “Air mengisut, air surut, cahaya sepa,dan dari langit tak ada lagi apa-apa.” “Hanya di malam-malam tertentu dewa-dewa menciptakan teks mereka yang panjang, sepanjang ribuan makam.” “Mereka menghendaki aku, Kematian, Mereka menghendaki aku.” Mungkin Gandari mendengar kata-kata itu.

Tapi kemarin di balairung itu, bersama Destarastra yang berkabung, ketika ia dengar “pyuuu? kepodang hutan, ia tak tahu isyarat apa yang telah disampaikan. Itu adalah hari kesendirian mereka yang ke-7. Suami isteri di ruang selatan: sepasang tahta tua: dinding yang terlindung gordin, sepetak lantai dengan medan catur yang panjang, bidak-bidak berat yang berdiri berjauhan: ksatria asing, pion-pion yang bungkam, para pendeta yang angkuh, benteng bujursangkar. Gandari pernah menyukai semua itu: “Dulu aku memimpikan makhluk imajiner di hitam-putih senjakala. Tapi tiap malam Destarastra, suaminya, hanya bisa mengkhayalkan pelbagai unggas dengan bulu yang ia sebut hijau. Tapi tidak di malam itu. Dari plafon yang dipahat gambar naga, cahaya makin tak berarti. Lampu ke-3 tak ada lagi.

Ketika itulah raja yang buta itu berkata, “Aku membau amis empedu.” Meskipun semalam tak seorang pun mempersembahkan hewan korban. Orang-orang bersenjata telah meninggalkan mereka. Pada pukul 7:45 perempuan itu pun menggeruskan kuku tangannya pada kain lena lengan kursi. Ia dengar degup kaki kuda yang lelah itu lagi, seperti kemarin, seperti kemarin, dan seorang prajurit luka yang setiap senja berkata kepadanya: “Hamba membawa kabar peperangan, Ratu.” Gandari hanya memandang ke halaman. Ia seakan mendengar kalamakara di gerbang itu bergerak. Bersama suara katak yang mengigau. Mari kita pergi. Ke sebuah kota di mana nujum tak dibaca. Di mana anak-anak tak tumbuh. Di mana masa lalu adalah masa kini. Di mana “aku
hanya kata sebelum amnesia. Mari kita pergi ke sebuah kota di mana kabar adalah tafsir yang terlambat.

Tapi ia tahu, hanya ada sebuah kota yang tinggal. Di Dhenuka. Di perbatasannya yang kering, Kali berdiri dengan satu kaki, selama 15 ribu tahun. Parasnya yang gelap seperti Semeru malam memandang ke 700 rangka yang terhantar. “Paduka tak memberiku cermin. Hanya bisa kulihat wajahku pada langit sekeruh tembaga. Paduka tak memberiku warna meskipun pada perak pagi.” Brahma tertawa: “Tapi kau kematian. Kau Mertyu.” “Ya, aku kemarian. “Aku suka gerak burung di pohon yang pucat. Aku suka bau tahi sapi yang separuh terbakar. Aku suka “Mungkin juga Gandari cuma bermimpi tentang dewa-dewa yang bodoh. Kini ia ingin duduk.

“Jangan kau hanya diam,” suaminya berkata.Ia lihat jari kisut lelaki itu meremas kain kasar yang terjela dari sisi mahligai: karena ia sebenarnya gemetar. Ketika itu, utusan itulah yang bersuara. “Bhisma gugur, dengan 100 liang luka.” Dan ketika orang tua itu rubuhdi bawah bukit-bukit Kurusetra, perang berhenti sebentar, dan senjata diletakkan. Dan di kedua perkemahan “Bhisma gugur”, mereka berbisik, “dengan 100 liang luka “Katakan kepada saya, apakah yang paling menyakitkandari perang? Kekalahan? Atau kebencian?” Gandari ingin mengatakan kalimat itu, tapidi sudut halaman yang gelap, utusan yang letih itu hanya memejamkan matanya.

Ratu itu seperti melihat bidak-bidak catur bergerak Dengar, Destarastra. Dan ia mendengar. Karena kamar hanya konstruksi bunyi: di satu sudut di kain jendela, tempat ngengat menampar-namparkan kaki ke benang yang tak teranyam, ada riak pada lekuk renda. Dan ia tahu: jauh di kebun yang tak pernah hadir ranting getas karena hujan, di mana burung melepas lengking dan deras air memintasnya. Tapi tiap kali, ia merasa awan tak tersusun. “Mungkin tak ada surga.” tiba-tiba itulah yang dikatakannya “Tak ada kekalahan -“

Tapi kalimat itu tak ia lanjutkan. Seakan-akan ruang turun, digantikan gerak, dan gerak menemukan angkasa. Dan langit mengungsi. Barangkali itulah yang dimaksudkan ketika kemarin utusan itu bercerita, “Perang, baginda, telah menghalau bintang-bintang di atas Kurusetra. Sebenarnya ia bergidik: ia membayangkan perempuan hitam yang dating ke sudut selatan pertempuran mendekati tubuh Dursasana Kepala itu telah terpenggal. “Dan dengan wajah yang dingin, tuanku,” kata sang utusan,” Drupadi mencuci rambutnya dalam darah.”

“Dursasana.” Seperti jauh ia dari nama itu. “Darah anakku.” Yang tak melihat tak akan melihat yang keji. Yang tak mendengar tak akan mendengaryang dusta. Yang tak melangkah tak akan melangkah sampai batas hutan dan jalan masuk ke Astina. Ia hanya ingat. Ruang adalah sisa masa lalu. Apa yang dulu dikatakannya kepada ibunya, perempuan yang ketakutan? “Aku tak ingin kau menangis, Ibu: ketika aku lahir, kau biarkan para dewa mengambil mataku dari ceruknya.

2020-2021