Wiwin Indiarti, S. S., M. Hum.
Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas PGRI Banyuwangi
Email: wiwinindiarti@gmail.com
Sri Tanjung adalah manuskrip yang kaya untuk studi pemikiran dan praktik
keagamaan di masa lalu. Bagian utama dari kisah Sri Tanjung adalah ritual
pemurnian Sri Tanjung oleh Yang Nini (Durga) yang disebut panglukatan atau
lukat. Lukat atau rawat adalah upacara diksa (penahbisan) untuk menghapus
klesa (dosa) atau mala (najis/ kotoran) dari jiwa seorang sisya (murid), Bagi
sebagian orang Jawa dan Bali ruwar dipercaya sebagai sarana tolak bala atau
penangkal marabahaya. Di ujung timur Jawa, tradisi lukat terkait dengan
kisah panglukatan Sri Tanjung oleh Durga yang menjadi sumber legenda
etiologis Banyuwangi. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi jejak
ruwat Durga dalam manuskrip dan ritual di ujung timur Jawa. Metode
yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara dan analisis dokumen. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa tokoh Durga dalam lontar Sri Tanjung, memiliki
peran dan karakter protektif sebagai sosok pelindung manusia dari ancaman
musuh dan orang jahat serta dari segala kesulitan yang dialami manusia di
dunia. Panglukatan Sri Tanjung oleh Durga dengan banyu arum merupakan
manifestasi watak Durga yang penuh kasih sayang dan penolong sebagai Durga
Mahisasuramardini, sang sakti Siwa. Jejak panglukatan Sri Tanjung oleh Durga
tersebut terepresentasi hingga kini dalam wujud perangkat ritual banyu arum
pada setiap ritual mocoan lontar (pelantunan tembang berbasis manuskrip
kuno) pada masyarakat Osing di Banyuwangi.
Keywords: banyu arum, durga, lukat, mocoan, sri tanjung.
Sri Tanjung, sebuah kidung (puisi lirik) Jawa Kuno, merentangkan romansa
percintaan yang diiringi kisah pertemuan, intrik, kemalangan, dan episode
penyucian diri. Kisah ini tidak hanya mewujud dalam bentuk pahatan
relief (Berdasarkan bukti-bukti arkeologi, kisah Sri Tanjung telah dikenal pada abad
XIV-XV M karena beberapa fragmen dari cerita itu diabadikan dalam bentuk
relief pada gapura dan candi- candi di Jawa Timur: Gapura Bajang Ratu (1340
M), Candi Jabung (1354 M) Candi Penataran (1375 M), dan Candi Surowono
(1478 M)). Ia juga tertera dalam manuskrip dan menjadi legenda etiologis kota
Banyuwangi. Larik-larik puisi S7 Tanjung juga pernah hidup dalam ritual
pelantunan tembang di ujung timur Jawa. Sri Tanjung diyakini merupakan
kelanjutan dari cerita Sudamala, kisah lika-liku petualangan si kembar
Pandawa, yaitu Nakula dan Sadewa. Sri Tanjung merupakan kisah lanjutan
yang menceritakan keturunan si kembar Pandawa tersebut, Sri Tanjung dan
Sidapaksa. Kedua kisah itu memiliki akar pada epos besar Mahabharata, yang
tercatat sebagai salah satu hasil kebudayaan India kuno dan memiliki andil
terhadap perkembangan kesusastraan Jawa pada umumnya. Baik Sr7 Tanjung
maupun Sudamala kedua-duanya memiliki persamaan dalam hal adanya kisah
lukat atau ruwat yang terkait dengan Durga.
Di ujung timur Jawa, tradisi /ukar terkait dengan kisah panglukatan Sri
Tanjung oleh Durga yang menjadi sumber legenda etiologis Banyuwangi.
Manuskrip Sri Tanjung di Banyuwangi lebih dikenal sebagai lontar Sri
Tanjung. Manuskrip ini pernah digunakan oleh masyarakat Osing sebagai
sarana ritual berupa pelantunan tembang berbasis manuskrip kuno yang
disebut sebagai mocoan lontar. Mocoan sebagai bentuk seni tradisi pelantunan
tembang serupa dengan macapatan (Jawa), mamaca (Madura) mabasa (Bali),
mamaos (Sunda), dan pepaosan (Lombok). Namun demikian, masing-masing
bentuk seni tradisi pelantunan tembang tersebut memiliki pola nada yang
berbeda di setiap wilayah sehingga pola nada tembang dalam mocoan berbeda
dengan pola nada macapatan, mamaca, mabasa, mamaos, maupun pepaosan.
Mowoan lontar di Banyuwangi menggunakan manuskrip kuno beraksara
pegon. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa mocoan lontar
merupakan produk dari proses akulturasi atau silang budaya antara Islam dan
kepercayaan serta kebudayaan lokal pada masa lalu, dalam hal ini kebudayaan
masyarakat Osing (Mumfangati, 2009: Beatty, 2012: Indiarti, 2015). Salah satu
perangkat ritual penting dalam setiap ritual mocoan lontar di Banyuwangi adalah penggunaan banyu arum (air harum) sebagai simbolisasi /ukar. Banyu
arum hingga sekarang masih digunakan sebagai perangkat ritual utama dalam
mocoan lontar di Banyuwangi.
Tulisan ini memaparkan jejak ruwat terkait Durga dalam lontar Sri
Tanjung Banyuwangi yang secara simbolik masih terdapat dalam ritual mocoan
lontar pada masyarakat Osing di Banyuwangi.
Kajian mengenai ruwat Durga dalam lontar Sri Tanjung Banyuwangi dan
jejaknya dalam kehidupan masyarakat Osing di Banyuwangi ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dengan tujuan agar
bisa mengeksplorasi dan mengidentifikasi tokoh durga dan religi ruwat dalam
lontar Sri Tanjung Banyuwangi serta representasi ruwat dalam ritual tradisi
mocoan lontar yang masih bertahan hingga sekarang di Banyuwangi.
Penelitian dilakukan di Banyuwangi yang merupakan wilayah utama
orang Osing sebagai pemilik ritual tradisi pelantunan tembang mocoan
lontar. Informan utama (key informan) dalam penelitian ini ditentukan
dengan cara bersyarat, yakni individu pelaku dan tetua mocoan lontar. Metode
pengumpulan data penelitian melalui wawancara, observasi, analisis dokumen
dan studi pustaka. Analsis data dilakukan melalui reduksi data, display dara
dan kesimpulan atau verifikasi data (Miles dan Huberman, 2007).
Kisah Sri Tanjung dalam larik-larik rembang (puisi) yang dikenal di dalam
naskah-naskah dari Bali dan Banyuwangi (Prijono, “Sri Tanjung: Een Oud Javaansch Verhaal”, Disertasi, (The Hague: H.L. Smits, 1938), hlm. 4. Th. Pigeaud, Literature of Java: Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in The Library of The Universiry of Leiden and Other Public Collections in The Netherlands Volume I Synopsis of Javanese Literature 900- 1900 AD (The Hague : Martinus Nijhof, 1967), hlm. 199). Ada perbedaan dalam detil-detil
narasi dan pembagian metrum di antara naskah S7 Tanjung versi Bali dengan
Banyuwangi. Prijono membandingkan teks satu manuskrip Bali (Manuskrip
Perpustakaan Universitas Leiden Or. 3801) dengan satu manuskrip dari
Banyuwangi (Or. 4506) dan mencatat bahwa meskipun ada perbedaan besar,
mereka memiliki prototipe yang sama, dilihat dari fakta bahwa beberapa bait
atau larik memiliki kata yang identik atau hampir identik’. Dalam wujud
naskah, Callenfels (1925) berpendapat bahwa manuskrip Sr? Tanjung diduga
ditulis di mandala dan asrama sastra Blambangan, yang berkembang pada abad
17-18 M. Pigeaud (1967) menduga naskah Sr7 Tanjung sebagai hasil sastra dan
kebudayaan kerajaan Blambangan di ujung timur Jawa.
Naskah puisi Sri Tanjung di Banyuwangi ditulis di atas kertas
menggunakan aksara pegon dan lebih dikenal sebagai /ontar Sri Tanjung.
Istilah /ortar di sini berarti “manuskrip” atau “cerita” dan tidak mengacu
pada daun lontar sebagai materi atau bahan naskah dituliskan4. Penyebutan
lontar ini juga secara umum ditujukan untuk beragam naskah kuno lainnya
yang ada di Banyuwangi, di antaranya lontar Yusup, lontar Juwarsah, lontar
Tawangalun, lontar Hadis Dagang, lontar Ahmad, lontar Rengganis, lontar
Damarwulan, dan lain-lain.
Istilah lontar untuk penyebutan setiap manuskrip kuno bagi orang
Banyuwangi ini sedikit banyak agak membingungkan bagi orang yang terbiasa
dengan istilah lontar sebagai manuskrip yang diterakan di lembaran daun
lontar atau rontal yang helaian-helaiannya disebut sebagai lempir. Namun
demikian, para peneliti sesungguhnya sudah sejak lama mencatat penyebutan
istilah /ontar yang berbeda pengertiannya di Banyuwangi tersebut’.
Transliterasi dan terjemahan lontar Sri Tanjung Banyuwangi baru-baru
ini telah diterbitkan8. Buku tersebut merupakan karya pertama yang secara
lengkap berisi transliterasi dan terjemahan manuskrip Sri Tanjung versi
Banyuwangi. Manuskrip Sri Tanjung versi Banyuwangi yang menjadi rujukan
transliterasi dan terjemahan dalam buku tersebut adalah naskah koleksi
Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia dengan kode
naskah CH 54 NR 163. Total dalam Lontar Sri Tanjung (CH 54 NR 163)
terdapat 15 pupuh yang terdiri hampir 600 bait.
Pupuh atau dikenal juga macapat adalah bentuk puisi tradisional Jawa yang
memiliki jumlah suku kara dan rima tertentu di setiap barisnya. Terdapat 11
jenis pupuh atau macapat yang umum dikenal dalam kesusastraan Jawa, masing-
masing memiliki sifat tersendiri dan digunakan untuk tema cerita yang berbeda.
Pupuh atau tembang macapat memiliki urutan yang menggambarkan perjalanan
manusia sejak masih dalam kandungan hingga meninggal yaitu dimulai dari
Maskumambang hingga Pucung. Maskumambang (janin yang mengambang
dalam rahim ibunya), mijil (lahir), sinom (masa muda), asmarandana (masa
memadu asmara), gambuh (mencapai kecocokan antara laki-laki dan perempuan),
dhandhanggula (masa menjadi manusia dewasa), kinanthi (masa mendidik anak),
pangkur (masa memegang prinsip dan membuat skala prioritas dalam hidup),
durma (berderma), megatruh (berpisah antara ruh dan raga), dan pucung
(meninggal dan dipocong). Lihat Sri Gunawan Hascarya, 1979, Buku Macapat.
Surakarta: Proyek pengembangan ASKI.
Jenis pupuh dalam Lontar Sri- Tanjung ada empat, yaitu ukir (wukir), mijil, mahesa langit, dan durma. Garis besar isi lontar Sri Tanjung berdasarkan buku tersebut adalah sebagai berikut.
Patih Sidapaksa dari Sinduraja diutus oleh Raja Hadikrama (juga disebut
Sulakrama) mencarikan obat untuknya. Sidapaksa pergi ke pertapaan Prangalas
yang kemudian mempertemukannya dengan cucu pertapa Tembangpetra
(Tambapetra), Sri Tanjung. Mereka jatuh cinta. Secara rahasia Sidapaksa
mengungkapkan perasaannya kepada Sri Tanjung. Pasangan itu berangkat
ke Sinduraja meninggalkan Prangalas. Sidapaksa dan Sri Tanjung tiba di
Sinduraja, disambut dengan meriah, duduk di pelaminan, menjadi suami istri
(pupuh 1).
Raja mendengar bahwa Sidapaksa telah memperoleh istri yang cantik di
Prangalas, dan dia ingin bertemu dengannya. Ketika Sidapaksa datang untuk
memberi penghormatan, raja memerintahkannya untuk pergi ke kendran
(surga Indra) untuk menagih tiga busur emas (kang emas tigang pelengkung)
dan tiga gulungan rumbai (kumbala tigang gelung) yang merupakan hutang
para dewa kepada raja . Dia memberi Sidapaksa surat pendamping yang tidak
boleh dia baca. Sidapaksa mencurigai niat raja tapi ia menurut saja. Ketika
Sidapaksa melaporkan tugasnya kepada istrinya, dia mengatakan kepadanya
bahwa perjalanan ke kendran biasanya memakan waktu tujuh tahun, sang isteri
memberinya baju antakusuma yang akan memungkinkan dia untuk terbang
ke sana. Dia berangkat (pupuh 2 – 5).
Raja Sulakrama mengunjungi Sri Tanjung di kediaman Sri Tanjung, dan
mencoba merayunya dengan janji dan ancaman. Sri Tanjung menolak. Ia lari
meninggalkannya dan bersembunyi. Dengan kemarahan yang membuncah,
sang raja pulang ke istananya. (pupuh &- 7).
Sidapaksa mencapai kendran berhatur sembah di hadapan Dewa Indra.
Ketika Dewa Indra membaca surat raja, ternyata surat itu berisi hasutan bahwa
Sidapaksa memiliki niat jahat hendak menghancurkan kendran. Sidapaksa
diserang oleh para dewa dan makhluk surgawi lainnya. Tak ada yang mampu
mengalahkannya kecuali Dewa Indra. Ia dikalahkan tetapi ketika akan dibunuh
oleh Dewa Indra ia menyebut-nyebut nama para Pandawa. Saat itu barulah
Dewa Indra menyadari bahwa Sidapaksa adalah cucunya sendiri. Sidapaksa
kemudian disambut penuh suka cita di kendran. Sidapaksa merasa bahwa
Raja sedang berlaku culas kepadanya (punika mangke jutika). Dewa Indra
bersumpah bahwa jika Sidapaksa dicelakai berarti sama halnya mencelakai
Dewa Indra (menawi cela tah kaki sejatind maringsun). Setelah beberapa hari
Sidapaksa lalu berpamitan untuk kembali pulang menuju Sinduraja dengan
membawa tiga busur emas dan tiga gulungan rumbai pemberian Dewa Indra
(pupuh 7).
Raja Sulakrama terkejut mengetahui bahwa Sidapaksa secara tidak
terduga mampu menyelesaikan tugasnya. Dia memutuskan untuk memfitnah
Sri Tanjung kepada Sidapaksa. Sidapaksa datang dan menyerahkan emas
dan rumbai. Raja memberi tahu Sidapaksa bahwa malam sebelumnya para
pelayannya mendapati Sri Tanjung sedang bermadu kasih dengan pria lain.
Sidapaksa kembali ke kediamannya dalam amarah yang membuncah. Dia
akan membawa kembali Sri Tanjung ke Prangalas. Dalam perjalanan di tengah
hutan setra gandamayu Sidapaksa berniat membunuh Sri Tanjung. Sri Tanjung
bersumpah bahwa bahwa jika darahnya berbau harum, maka itu menjadi
pembuktian bahwa dia tidak bersalah. Sidapaksa tetap menghunjamkan
kerisnya ke tubuh Sri Tanjung. Saat Sidapaksa membersihkan diri di perigi,
tetes darah di kainnya bercampur dengan air, menebar harum tiada tara.
Sidapaksa sangat menyesali perbuatannya. Sri Tanjung tak bersalah. Sidapaksa
hendak bunuh diri namun gagal. Dalam keadaan kacau ia kembali ke
kediamannya (pupuh 8 – 9).
Jiwa Sri Tanjung menuju surga. Ia berjumpa dengan Dewa Dorakala dan
Dewa Jaganata yang takjub akan keutamaan Sri Tanjung. Dewa Dorakala
dan Dewa Jaganata mengajaknya berkeliling melihat neraka. Setelah
menyaksikan segala siksaan di neraka yang sesuai dengan perbuatan yang telah
dikerjakan di dunia, roh Sri Tanjung disuruh pulang ke bumi. Sesampainya
di Setragandamayu, Sri Tanjung bertemu dengan Hyang Nini (Durga). Dia
dihidupkan dari kematian dan dilukat oleh Hyang Nini dengan mandi di beji,
dan kemudian dihiasi dengan pakaian dan bunga. Hyang Nini menyuruhnya
kembali ke pertapaan kakeknya. Setibanya di Prangalas dia menceritakan
keseluruhan cerita. Sidapaksa mendengar suara Hyang Nini yang mengatakan
bahwa istrinya telah dihidupkan kembali. Sidapaksa disuruh Hyang Nini
untuk menyusul isterinya ke Prangalas. Sidapaksa pergi ke Prangalas, tetapi
Sri Tanjung hanya mau kembali bersatu dengannya jika Sidapaksa membawa
kepala raja Sulakrama. Sidapaksa menyanggupi. Pasukan Prangalas berkumpul
sementara Sidapaksa pergi ke kendran untuk meminta bantuan kepada para
Pandhawa. Mereka bersedia membantunya. Pasuka Pandhawa berangkat ke
Sinduraja dan bergabung dengan tentara Prangalas. Sidapaksa kembali kekediamannya di Sinduraja, berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang serangan
itu (pupuh 10-— 11).
Di Sinduraja raja Sulakrama mendengar pasukan mendekat. Dia
memanggil Sidapaksa dan memerintahkan dia untuk menghadang serangan
itu. Namun Sidapaksa bertarung di pihak musuh dan setelah pertempuran
berkepanjangan Sidapaksa membunuh Sulakrama dan membawa pergi
kepalanya. Pasukan kembali ke Prangalas. Sri Tanjung duduk berdampingan
dengan Sidapaksa. Kepala raja Sulakrama, yang telah dibungkus kain merah
muda, diletakkan di bawah pelaminan. Sri Tanjung pun naik ke pelaminan
seraya menginjak kepala itu (sarwi atingkeringan sirah). Segenap Pandawa
pulang ke kendran. Ia pun memohonkan doa agar Sidapaksa dapat hidup
bahagia tiada kurang dari kasih sayang Tuhan (tulusa mukti paparman).
(pupuh 12 – 15).
Terkait naskah Sri Tanjung, Pigeaud telah mengklasifikasikan puisi Sri Tanjung
sebagai kisah pengusir roh jahat.” Sementara Zoetmulder menyatakan bahwa
Sri Tanjung adalah sumber yang kaya untuk studi pemikiran dan praktik
keagamaan di masa lalu. Bagian utama dari kisah Sri Tanjung adalah ritual
pemurnian Sri Tanjung oleh Yang Nini (Durga) yang disebut panglukaran
atau lukat.
Lukat atau ruwat adalah upacara diksa (penahbisan) untuk menghapus
klesa (dosa) atau mala (najis/ kotoran) dari jiwa seorang sisya (murid). Bagi
sebagian orang Jawa ruwat dipercaya sebagai sarana tolak bala atau penangkal
marabahaya. Secara etimologis kata ruwat memiliki persamaan makna dengan
lebur” dan “pulih”. Sementara Poerwadarminta secara spesifik memaknai
ruwat sebagai luwar saka ing bebandan paukumaning dewa” (lepas dari
kesulitan yang merupakan hukuman dari para dewa).
Istilah rewat atau Iukat setidaknya termuat dalam naskah Jawa Kuno,
Ramayana, yang ditulis kira-kira pada tahun 820-832 Saka. Pada era kerajaan
Kediri hingga Majapahit kata rzwat juga ditemukan dalam manuskrip kuno
Arjunawiwaha, Ramaparasuwijaya, Parthayajha, Kunjarakarna, Sundayana,
Calonarang, dan Sudamala. Cerita ruwat dalam beragam manuskrip tersebut
menunjukkan bahwa kisah mengenai ruwat pernah populer pada masa itu. Di
ujung timur Jawa dikenal pula manuskrip yang terkait /ukat, yaitu lontar Sri
Tanjung. Kisah ini salah satunya mengisahkan tentang prosesi panglukatan
Sri Tanjung oleh Durga.
Siapakah Durga yang menjadi tokoh kisah /ukat dalam lontar Sri Tanjung?
Pemujaan terhadap dewi Durga yang bermula di di India memiliki latar
belakang sejarah dan mitologi yang sangat panjang dan terkait pemujaan dewi
kesuburan selama peradaban Lembah Indus (3000-1500 SM). Kedatangan
orang-orang Indo-Arya membuat penggabungan budaya Indo-Arya dengan
budaya penduduk lokal India yang sudah ada sebelumnya dan menciptakan
jenis tradisi dan budaya baru, dewa-dewa lokal kuno dimasukkan ke dalam
bentuk pemujaan orang Indo-Arya. Tiga dewa utama yang muncul dari
kombinasi peradaban Indo-Arya dan Lembah Indus ini adalah Brahma,
Wisnu, dan Siwa. Tampaknya sangat mungkin bahwa permaisuri mereka, yang
kemudian dikenal sebagai sakti arau “kekuatan” mereka, dikembangkan dari
dewi-dewi lokal. Yang paling penting dari dewi-dewi ini dalam “Tradisi Besar”
Hinduisme India adalah Sarasvati, Laksmi dan Durga, yang bahkan hingga saat
ini dianggap sebagai pasangan Brahma, Wisnu dan Siwa”.
Dalam Hinduisme dewa dianggap memiliki energi atau kekuatan tertentu,
yang mereka butuhkan untuk memenuhi tugas mereka. Energi ini sering
memanifestasikan dirinya sebagai sakti, pasangan wanita atau pasangan dari
dewa. Sakti Siwa disebut Parvati, Durga, atau Kali, sedangkan sakti Visnu
adalah Laksmi, dan sakti Brahma adalah Saraswati. Sakti Siwa dipuja dalam
berbagai aspeknya, aspek santa (ketenangan) dari sakti Siwa mewujud sebagai
Parvati atau Uma, #rodha (kemarahan) bermanifestasi sebagai Durga, dan
krura (keganasan) sebagai Kali”.
Sebagai dewi terpenting (Dewi Ibu), Durga mempunyai berbagai aspek,
dan tiga di antaranya, sering dibicarakan dalam kitab-kitab Purana dan Tantra,
adalah sebagai pembinasa asura (Mahisasuramardini), sebagai penguasa
tanam-tanaman dan kesuburan, serta sebagai penguasa penyakit menular.
Di Jawa, Durga dikenal dalam dua aspeknya saja, yakni sebagai pembinasa
asura dan penguasa penyakit, sedangkan sebagai penguasa tanam-tanaman dan
kesuburan telah digantikan oleh tokoh lain, yaitu Sri Laksmi atau yang lebih
dikenal sebagai dewi Sri.
Peranan Durga sebagai Mahisasuramardini berkembang di Jawa pada
awalnya memiliki peran protektif sebagai sosok pelindung manusia dari
ancaman musuh dan orang jahat serta dari segala kesulitan yang dialami
manusia di dunia. Sosok Durga kemudian mengalami demonisasi, dicitrakan
sebagai iblis, berwujud raksasi bertaring. Demonisasi Durga di Jawa
direpresentasikan dalam sumber-sumber tertulis setelah era Majapahit runtuh,
seperti Tantu Panggelaran dan Korawasrama. Dalam perkembangan lebih
lanjut demonisasi Durga juga terdapat pada kisah Sudamala. Lebih jauh lagi
citra Durga sebagai raksasi yang amat jahat dan menakutkan semakin menguat
dalam kisah Calon Arang. Hingga saat ini sosok Durga sebagai raksasi inilah
yang dikenal masyarakat secara umum dan ikonik dengan penggambaran
sang sakti Siwa tersebut. Meskipun di Bali Durga juga dipuja, namun citranya
sebagai dewi terkutuk bertabiat jahat, sumber segala penyakit, dan penguasa
ilmu hitam tetaplah melekat pada sosok Durga”. Dalam persepsi orang Bali,
Durga adalah dewi setan yang bersemayam di tanah yang terbakar yang disebut
Setra Gandamayu dan memakan mayat sebagai makanannya'”,
Sosok Durga dalam Sri Tanjung versi Banyuwangi (disebut sebagai Yang
Nini atau Hyang Nini) sesunggunya adalah sosok Durga kelanjutan dari kisah
Durga dalam Sudamala (Ra Nini atau Yang Nini adalah istri Dewa Siwa yang dikutuk, yakni Dewi Uma, lantaran ia telah berbuat serong terhadap suaminya. Akibat kutukan (sapata) ini
Uma berubah wujud, dari perempuan cantik menjadi raksasi yang diberi sebutan
Ra Nini atau disebut juga Dewi Durga (Bhagawati). Ia pun dibuang dari alam
kedewataan (kendran) ke pekuburan (kasetran Gandhamayu) di alam kehidupan
manusia. Sapata terhadapnya bisa berakhir, yakni kembali ke wujud cantik dan
berciri dewani serta kembali tinggal di kendran, apabila mendapat “penebusan
dosa” dengan pengorbanan si bungsu dan sekaligus seorang dari si kembar Pandawa
Lima, yakni Sadewa (,PV. van Stein Callenfels, “De Sudamala in de Hindu-
Javaansche kunst”, TBG LXVI, 1925. The Hague: Martinus Nijhoff)). Hal ini ditunjukkan dalam teks Sri Tanjung yang menyebutkan bahwa Sri Tanjung mendapat warisan baju antakusuma dari
Sadewa saat ayahnya tersebut berhasil meruwat durga dalam kisah Sudamala.
Tokoh Durga muncul dalam Lontar Sri Tanjung versi Banyuwangi pada
pupuh ke-11 (ukir) sebanyak 35 pada (bait). Munculnya tokoh Durga terkait
perjumpaannya dengan Sri Tanjung (pupuh 11 ukir bait 8-37) dan saat Durga
memberi petunjuk kepada Sidapaksa (pupuh 11 ukir bait 69-73).
Dalam seluruh kemunculan Durga tersebut tidak disebutkan penampakan
fisik Durga secara khusus. Pada naskah Sr Tanjung versi Bali penampakan
sosok durga sebagai raksasi bertaring disebutkan secara detil dan jelas
(bertaring, berambut gimbal dan menakutkan). Deskripsi fisik Durga terebut
tidak terdapat dalam naskah Srz Tanjung versi Banyuwangi. Namun di dalam
teks Sri Tanjung versi Banyuwangi hanya disebutkan bahwa Sri Tanjung
merasa ketakutan (sang dewi wedi tumingal) saat berhadapan dengan sang
penguasa Setra Gandamayu tersebut (pupuh 11 ukir bait 8). Dalam teks Sri
Tanjung versi Banyuwangi kemunculan sosok Durga diliputi kegemparan
semesta, seperti dalam pupuh 11 ukir bait 36 berikut.
Nekakaken mangke kedug lindhu
udan beraja mangke
gereh muni asenggeni
teja bandhung lan kuwung
nekakaken udan watu
Yang Nini mengwujud mangke
peteng dhedhet kadi dalu
geledheg gelap angapar
candera bandhung surya kembar
Terjemahan:
Datanglah kemudian gemuruh gempa
hujan meteor
suaranya bergemuruh seperti api
bercampur cahaya pelangi
berdatangan hujan batu
Hyang Nini menampakkan wujudnya
gelap gulita seolah malam
petir guntur membenamkan
bulan bersama dengan matahari kembar
Citra buruk Durga dalam Sri Tanjung juga tidak pernah muncul.
Tokoh Durga dalam lontar Sri Tanjung bahkan memiliki peran sebagai
tokoh protagonis. Hal ini ditunjukkan dalam perannya sebagai sosok yang
menghidupkan Sri Tanjung dari kematiannya seperti termuat dalam pupuh
11 ukir bait 13 berikut.
Anjeneng Yang Nini sarwi ngejum
gelung
angantunan mangke
dhuh putu ningsun iki
layon kadeya turu
nyata dene laku ayu
anglilira aja suwe
atangiya mara bangun
tanpa japa tanpa mantera
ingsun nguripaken pejah
Terjemahan:
Hyang Nini berdiri seraya membenahi
gelungan rambutnya
meminta dengan halus
duh, cucuku ini
jasad yang seolah hanya tertidur
sungguh mulia laku hidupnya
bangunlah jangan berlama-lama
bangunlah bangun
dengan tiada japa mantra
aku hidupkan yang telah mari
Durga juga menjadi tokoh yang berperan dalam perjumpaan kembali Sri
Tanjung dengan Sidapaksa. Ia memberikan petunjuk kepada Sidapaksa untuk
menemui Sri Tanjung di Prangalas, setelah ia menghidupkannya dari kematian
dan melukatnya (sun lukat lawan sun lungsur) (pupuh 11 ukir bait 18).
Secara khusus watak menonjol tokoh Durga dalam lontar Sri Tanjung
adalah kasih sayang dan penolong. Durga juga memiliki peran penting bagi Sri
Tanjung dan Sidapkasa untuk mendapatkan kemuliaannya. Perwatakan tokoh
Durga tersebut tentu saja berbeda dengan sifat yang dilekatkan pada sosok
Durga yang dikenal secara umum sebagai raksasi yang tidak hanya berwajah
menyeramkan tapi memiliki sifat yang buruk. Tokoh Durga dalam lontar Sri
Tanjung, meskipun sosoknya menakutkan bagi Sri Tanjung, namun memiliki
peran dan karakter sebagai Durga Mahisasuramardini, sebagai sosok pelindung
manusia dari ancaman musuh dan orang jahat serta dari segala kesulitan yang
dialami manusia di dunia.
Gambaran umum di Jawa dan Bali tentang tempat berdiamnya Durga,
Setra Gandamayu, sebagai tempat yang menyeramkan juga tidak didapati
dalam lontar Sri Tanjung Banyuwangi. Bahkan tempat panglukatan Sri
Tanjung oleh Durga, yang tentunya berada di wilayah Setra Gandamayu,
digambarkan sebagai tempat yang indah. Tempat melukat Sri Tanjung yang
dinamakan Telaga Tunjung Wungu itu berair mancawarna (lima warna).
Di sekelilingnya tumbuh beragam pohon dan bunga: pohon bodhi, pohon
randhu, pohon beringin, wangsa, welandi, teratai putih, teratai merah, teratai
ungu dan teratai kuning. Segenap buah-buahan bergelantungan di tepian
telaga: duren, manggis, celuring, kepundung, wunglon, poh ganda, poh
dadu, nangka, bogor, jambu dersono, dan jambu mawar. Bahkan menurut
Sri Tanjung, taman bunga yang ada di tempat itu jauh lebih indah daripada
taman bunga di kendran (pupuh 11 ukir bait 28-43).
Secara spesifik peran utama Durga dalam lontar Sri Tanjung adalah
perannya sebagai tokoh yang melakukan /ukat terhadap Sri Tanjung untuk
menghilangkan duka lara dan segenap kutukan arau malapetaka. Prosesi /ukar
Durga terhadap Sri Tanjung dilakukan di beji (sendang atau telaga) yang
dipenuhi dengan taman bunga (pupuh 11 ukir bait 18).
Lah adusa nini putuningsun
sun ngclukat mangke
ing beji tuyane wening
telaga wastanepun namanya telaga
Penglukatan Tunjung Wungu
amanca warna banyund
tinanduran sarwa santun
pangleburan lara rena
sekehe nendhang upata
Terjemahan:
Mandilah, cucuku
aku lukat dirimu nanti
di sendang berair bening
Penglukatan Tunjung Wungu
berair lima warna
ditumbuhi beraneka bunga
tempat peleburan segala duka lara
segenap kutukan malapateka
Air dan bunga menjadi sarana panglukatan Durga kepada Sri Tanjung dan
dianggap sebagai sarana yang suci. Panglukatan merupakan laku pengudusan
(melalui media air suci) untuk mendapatkan hasil yang positif.” Pada
hakikatnya air dan bunga merupakan dua elemen sarana relaksasi. Dalam
falsafah pengobatan tradisional air adalah elemen yang sangat kuat dalam
praktik penyembuhan. Air dan bunga juga diposisikan sebagai pusat ritual
spiritual. Air selain memiliki fungsi profan sebagai sumber kehidupan juga
memiliki fungsi spiritual sebagai tirtha, air suci yang digunakan dalam kegiatan
yang berkaitan dengan praktik religi.
Dalam masyarakat Osing di Banyuwangi, air dan bunga sebagai media
penyucian diri diwujudkan dalam bentuk banyu arum. Banyu arum terdiri
dari air yang ditempatkan dalam mangkuk besar dan berisi kelopak bunga yang
terdiri atas tiga warna, putih, hijau, dan kuning. Bunga yang biasa digunakan
di antaranya adalah mawar, sedap malam, kenanga, dan kantil. Beberapa ritual
tradisi masyarakat Osing yang menggunakan banyu arum sebagai sarana ritual
di antaranya adalah: surup penganten, buang kuro, memulih, koloan, semoyo
buyut, semoyo putu, semoyo mantu, tingkeban, mendem puser, nyukit lemah,
buang rambut bajang dan mocoan lontar”. Seluruh ritual masyarakat Osing
yang menggunakan sarana ritual berupa banyu arum tersebut merupakan
simbolisasi lukat.
Tradisi pelantunan tembang di Banyuwangi yang digunakan sebagai sarana
ritual hingga saat ini masih berlangsung dan disebut sebagai ritual mocoan
lontar. Ritual mocoan lontar masih jamak dilakukan terutama di wilayah
pedesaan Banyuwangi dalam berbagai ritual selamatan daur hidup manusia
dan bersih desa. Beberapa ritual pelantunan tembang yang masih bertahan
hingga saat ini adalah ritual pelantunan tembang mocoan lontar Ahmad,
mocan lontar Juwarsah, mocoan lontar Hadis Dagang dan yang paling
populer adalah mocoan lontar Yusup. Sementara untuk mocon Lontar Sri
Tanjung, tradisi ritual pelantunan tembangnya telah lama lenyap. Pada paruh
awal abad keduapuluh Stoppelaar mencatat keberadaan mocoan lontar Sri
Tanjung yang masih dilakukan di Banyuwangi dan ritual tersebut hanya boleh
dilakukan oleh perempuan”. Pada masa itu dua lontar yang dianggap sebagai
“pusaka” adalah Lontar Sri Tanjung dan Lontar Tawangalun.
Pada pergantian abad ke 20, kedudukan lontar Sri Tanjung sebagai benda
pusaka dan sarana ritual mocoan pelan-pelan tergantikan oleh lontar Yusup.
Namun demikian simbol-simbol lukat dalam mocoan lontar Sri Tanjung
masih terlihat jejaknya pada beragam ritual mocoan lontar di Banyuwangi
dalam bentuk prosesi ritual banyu arum. Istilah banyu arum (air wangi:
banyu wangi) identik dengan nama kota Banyuwangi. Persamaan dari nama
Banyuwangi adalah toya arum atau tirta ganda (Dalam Babad Tawangalun, dikisahkan tentang pembukaan hutan Tirta Ganda yang dijadikan ibukota wilayah bekas kerajaan Blambangan, kemudian kota itu dinamakan Banyuwangi). Hal inilah yang secara
tidak langsung mengaitkan nama Banyuwangi dengan lontar Sri Tanjung.
Keterkaitan nama Banyuwangi dengan kisah Sri Tanjung ini sudah ada pada
awal abad kesembilan belas”.
Banyu arum adalah sarana penting dalam setiap prosesi ritual mocoan di
Banyuwangi. Air bercampur beragam kelopak bunga tersebut serupa dengan
prosesi /ukat Sri Tanjug oleh Durga dalam teks lontar Sri Tanjung pupuh 11
ukir bait 21 berikut.
Mandira gung kang wetan puniku
atat sih paksind
ngingsore tuya awening
telaga wastanepun
tunjung pethak kang tinandur
sekar mangke tah benture
tirtand wening dinulu
penglukatan lara raga
kaki nini kang adusa
Terjemahan:
Terdapat beringin besar di sebelah timur
ada burung kakatua
di bawahnya ada air yang jernih
sebuah telaga
yang ditumbuhi bunga teratai putih
beralaskan bunga-bunga
terlihat airnya yang jernih
tempat meruwat segala duka lara
tetua mandi bersuci
Salah satu prosesi utama ritual mocoan lontar adalah prosesi mengelilingkan
banyu arum (air bercampur kelopak bunga) dan meminumnya bersama-
sama. Pada saat banyu arum diminum secara bergiliran oleh para penembang
mocoan lontar dan segenap yang hadir itulah secara khusus dilantunkan nada
tembang arum-arum. Nada tembang khusus dalam mocoan yang dianggap
sebagai tembang sakral. Pelantunannya menggunakan tempo yang lambat
dan panjang. Arum-arum sendiri secara tekstual bermakna wewangian yang
merujuk pada salah saru elemen banyu arum yaitu bunga.
Meskipun banyu arum dalam ritual mocoan lontar saat ini tidak secara
langsung diasosiasikan dengan tradisi /#kat, namun dimungkinkan memiliki
keterkaitan dengan bentuk-bentuk tradisi penyucian diri di masa lalu.
Dimungkinkan bahwa banyu arum dan pelantunan nada tembang arum-
arum dalam mocoan lontar di Banyuwangi saat ini merupakan adopsi dari
ritual mocoan lontar Sri Tanjung yang pernah ada sebelumnya. Prosesi tersebut
berlangsung saat fragmen penyucian diri (Jzkat) yang dilakukan oleh Durga
kepada Sri Tanjung. Panglukatan yang dilakukan dengan mandi di sumber
air yang dipenuhi dengan berbagai bunga, air bercampur bunga, banyu arum.
Sri Tanjung adalah sebuah kisah Jawa Kuno yang menjadi legenda etiologis
kota Banyuwangi. Larik-larik puisi Sr7 Tanjung juga pernah hidup dalam ritual
pelantunan tembang di ujung timur Jawa. Sri Tanjung diyakini merupakan
kelanjutan dari cerita Svdamala. Kedua kisah itu memiliki akar pada epos
besar Mahabharata dan memiliki persamaan dalam hal adanya kisah /ukat
atau rzwat yang terkait dengan Durga.
Sebagai dewi terpenting (Dewi Ibu), Durga mempunyai berbagai aspek,
dan tiga di antaranya, adalah sebagai pembinasa asura (Mahishasuramardhini),
sebagai penguasa tanam-tanaman dan kesuburan, serta sebagai penguasa
penyakit menular. Demonisasi Durga di Jawa direpresentasikan dalam sumber-
sumber tertulis setelah era Majapahit runtuh, seperti Tantu Panggelaran dan
Korawasrama. Dalam perkembangan lebih lanjut demonisasi Durga juga
terdapat pada kisah Sudamala. Lebih jauh lagi citra Durga sebagai raksasi
yang amar jahat dan menakutkan semakin menguat dalam kisah Calon Arang.
Hingga saat ini sosok Durga sebagai raksasi inilah yang dikenal masyarakat
secara umum dan ikonik dengan penggambaran sang sakti Siwa tersebut.
Sosok Durga dalam Srt Tanjung versi Banyuwangi (disebut sebagai Yang
Nini atau Hyang Nini) masih berwujud sosok yang menakutkan meskipun
tidak disebutkan secara spesifik perwujudan fisiknya. Citra menonjol Durga
dalam Sri Tanjung versi Banyuwangi adalah berwatak kasih sayang dan
penolong. Ia menjadi tokoh sentral yang mempertemukan kembali Sri Tanjung
dengan Sidapaksa. Perwatakan tokoh Durga tersebut tentu saja berbeda
dengan sifat yang dilekatkan pada sosok Durga yang dikenal secara umum
sebagai raksasi yang tidak hanya berwajah menyeramkan tapi memiliki sifat
yang buruk. Tokoh Durga dalam lontar Sri Tanjung, meskipun sosoknya
menakutkan bagi Sri Tanjung, namun memiliki peran dan karakter protektif
sebagai Durga Mahisasuramardini, sosok pelindung manusia dari ancaman
musuh dan orang jahat serta dari segala kesulitan yang dialami manusia di
dunia.
Durga juga berperan sebagai tokoh yang menghidupkan Sri Tanjung dari
kematian serta melukatnya. Prosesi penglukatan tersebut menggunakan media
air bercampur bunga. Lukat atau ruwat adalah upacara diksa (penahbisan)
untuk menghapus klesa (dosa) atau mala (najis/ kotoran) dari jiwa seorang
sisya (murid). Bagi sebagian orang Jawa ruwat dipercaya sebagai sarana tolak
bala atau penangkal marabahaya. Prosesi penglukatan Sri Tanjung oleh Durga
tersebut terepresentasi hingga kini secara simbolik dalam wujud perangkat
ritual banyu arum pada setiap ritual mocoan lontar (pelantunan tembang
berbasis manuskrip kuno) dan ritual tradisi lainnya pada masyarakat Osing di Banyuwangi.
Ariati, Ni Wayan Pasek. 2009. “The Journey of A Goddess: Durga in India,
Java and Bali”. Disertasi. Darwin: Charles Darwin University.
Arps, Bernard. 1990. “Singing the life of Joseph: An all-night reading of the
lontar Yusup in Banyuwangi, East Java”, dalam Indonesia and Malay
World, No. 53 November 1990. DOI: 10.1080/03062849008729747.
Beatty, Andrew. 2012. “Kala Defanged: Managing Power in Java Away From
The Centre”. Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde, 168 (2-3): 173-
194.
Callenfels, BV. van Stein. 1925. “De Sudamala in de Hindu- Javaansche kunst”.
TBG LXVI. The Hague: Martinus Nijhoff.
De Stoppelaar, J.W. 1927. Balambangansch Adatrecht. Wageningen: Veenman.
Hascarya, Sri Gunawan. 1979. Buku Macapat. Surakarta: Proyek
Pengembangan ASKI.
Hinzler, H.ILR. 1986. Catalogue of Balinese manuseripts in the Library of
the University of Leiden and other collections in the Netherlands, vol. TI,
Descriptions of the Balinese drawings from the Van der Tuuk Collection.
Leiden: E.J.Brill and Leiden University Press.
Indiarti, Wiwin. 2015. “Kajian mengenai Desa Kemiren sebagai Penyangga
Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Osing”. Dalam Anasrullah (Eds.),
Jagar Osing: Seni, Tradisi dan Kearifan Lokal Osing (hlm. 139-156).
Banyuwangi: Rumah Budaya Osing.
Indiarti, Wiwin, Suhalik & Anasrullah. 2019. Babad Tawangalun: Wiracarita
Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang. Jakarta: Perpusnas
Press.
Indiarti, Wiwin, & Anasrullah. 2020. Lontar Sri Tanjung Kidung Kuno Ujung
Timur Jawa. Banyuwangi: DISPUSIP Banyuwangi.
Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif
(terjemahan). Jakarta: UI Press.
Mumfangati, Titi. 2009. “Macaan Lontar Yusup Tradisi Lisan sebagai
Bentuk Pelestarian Nilai Budaya pada Masyarakat Using, Banyuwangi”.
Patrawidya, 10 (2): 252-290.
Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java: Catalogue Raisonne of Javanese
Manuscripts in The Library of The University of Leiden and Other Public
Collections in The Netherlands Volume I Synopsis of Javanese Literature
900- 1900 AD. The Hague : Martinus Nijhof.
Poerwadarminta, WJ.S. 1939. Bacesastra Djawa. Batavia: J.B Wolters Uitgevers
Maatschappij N.V Groningen.
Prijono. 1938. “Sri Tanjung: Een Oud Javaansch Verhaal”. Disertasi. The
Hague: H. L. Smits.
Santiko, Hariani. 1987. “Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada abad X-XV
Masehi”. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Santiko, Hariani. 1997. “The Goddess Durga in the East-Javanese Period”.
Asian Folklore Studies, Volume 56, 1997: 209—226.
Suwantana, IG. 2016. Air, Tradisi, dan Industri: Air dan Spiritualitas –
Pelestarian Air dari Sisi Riual Hindu di Bali. Tabanan: Pustaka Ekspresi.
Suwena, I Wayan. 2018. “Makna Mitos Dewi Saraswati dan Mitos Dewi
Durga: Suatu Analisis Struktura?”. Sunari PenjorVol. 2. No. 1. Maret
2018: 58-73.
Winter, C.F. 1928. Serat Isi Tembung Kawi Mawi Tegesipun. Surakarta:
Reproductiebedrijf v/d Topografischen Dienst.
Zoetmoelder, PJ., SO. Robson, Darusuprapra, Suprayitna S. 2011. Kamus
Jawa Kuna — Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.