Dr. Darmoko
Universitas Indonesia
Email: pak.darmoko@gmail.com
Lakon wayang kulit purwa acapkali dipergunakan sebagai sarana upacara
pembebasan marabahaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Durga Ruwat
merupakan bentuk realisasi gagasan tentang upaya pembebasan seseorang atau
kelompok sosial tertentu dari marabahaya, sehubungan dengan pandangan
bahwa alam semesta sebagai sistem yang unsur-unsurnya saling terkoordinasi.
Pemikiran mitis yang beranggapan bahwa manusia memanfaatkan kekuatan
adikodrati, membingkai strategi manusia dalam melepaskan diri dari
marabahaya itu. Antara realitas sosial dengan pertunjukan wayang kulit purwa
lakon Durga Ruwat terhubungkan dengan simbol. Status, peran, dan karakter
Durga dalam lingkungan alam “kajiman’ (jin dan sebangsanya), telah menjadi
simbol kenistaan dan kejahatan. Meski memiliki kekuasaan karena status
bidadari yang dimilikinya, dalam upaya melepaskan diri dari sifat nista dan
jahat memerlukan perantara manusia. Bagaimana simbol ruwat dan kekuasaan
dikonstruksi di dalam teks ruwat menjadi permasalahan utama dalam paper
ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut diperlukan metode deskriptif
kualitatif yang digunakan untuk menjelaskan data sesuai dengan teks dan
konteks terkait dengan simbol serta metode penafsiran yang berorientasi pada
wacana kekuasaan dengan menempatkan teks dalam penampang komparasi.
Data yang berupa teks lisan ditranskripsikan ke dalam bentuk teks tulis secara
verbal, sehingga dapat diakses dan disajikan. Hipotesa penafsiran bahwa
strategi manusia untuk memanfaatkan kekuatan adikodrati dalam melepaskan
marabahaya, simbol dimunculkan secara verbal dan visual melalui memori
narasi kutukan oleh karena adanya kata-kata magis dari tokoh yang memiliki
kekuasaan, yakni Durga yang semula Uma, Batara Guru, Semar, dan Sang
Hyang Wenang. Kekuasaan Durga, Batara Guru, Semar, dan Sang Hyang Wenang berkorelasi dengan pengetahuan dalam status, peran, dan genealoginya
dalam dunia pewayangan. Manusia dalam kehidupannya secara terus menerus
mengupayakan pembebasan diri dari kuasa kenistaan dan kejahatan.
Kata kunci: durga, ruwar, simbol, kekuasaan, Jawa
The wayang kulit purwa play is often used as a means of liberation ceremony for distress
in the life of Javanese society. Durga Ruwat is a form of realization of the idea ofan
effort to liberate a person or certain social group from harm, in connection with the view
that the universe is a system whose elements are coordinated with cach other. Mythical
thinking, which assumes that humans take advantage of supernatural powers, frames the
human strategy to escape from this danger. Between social reality and the wayang kulit
purwa play, Durga Ruwat is connected with symbols. Durga status, role, and character
in the natural environment of kajiman (jinn and the like), has become a symbol of
humiliation and evil. Even though he has power because of bis angelic status, in an effort
to escape from despicable and evil nature, human intermediates are needed. How the
ruwat and power symbols are constructed in the ruwat text is the main problem in this
paper, To answer these problems, a qualitative descriptive method is needed which is used
to explain the data according to the text and context related to symbols and interpretive
methods oriented to the discourse of power by placing the text in a comparative section.
Data in the form of spoken text is transcribed into written text verbally, so that it can
be accessed and presented. The interpretation hypothesis is that the human strategy to
utilize supernatural powers in releasing distress, symbols are displayed verbally and
visually through the memory of the cursed narrative because of the magical words of
the characters who have power, namely Durga who was originally Uma, Batara Guru,
Semar, and Sang Hyang Wenang. The power of Durga, Batara Guru, Semar, and
Sang Hyang Wenang correlates with knowledge in their status, role, and genealogy in
the wayang world. Humans in their lives continuously seek to free themselves from the
power of despicable and evil.
Keywords: durga, ruwat, symbol, power, Javanese
Tembang Dhandhanggula Mengenang Prof. Dr. Hariani Santiko Sajian Dr. Darmoko, M.Hum.
Sun angripta sekar Arum Manis,
Sinugata konjuk kang minulya,
Wus sowan marin 9 Gustine,
Ingari kang linuhung,
Rebo kliwon pasaraneki,
Nemlikur Rejeb candra,
Warsa Jawinipun,
Sangalas seket sekawan,
Sedasa Maret rongewu slikur warsi
Masehi kang ingetang
Prof. Hariani Santiko sayekti,
Dwija agung kang dahat nimpuna,
Tekun temen Tri Dharmane,
Disertasine misuwur,
Pilungguhing Durga Bathari,
Ring Jawa kuno masa,
Abad dasa iku,
Dugri abad gangsalwelas,
Para dwija FIBUI memuji,
Mugyantuk kasuwargan.
Terjemahan:
Aku menggubah tembang Dhandhanggula,
Dihaturkan kepada yang mulia,
Telah menghadap kepada Tuhannya
Di hari yang agung,
Rabu kliwon hari pasarannya,
Duapuluhenam bulan Rajab,
Tahun Jawanya,
Sembilanbelas limapuluh empat,
Sepuluh Maret duaribu duapuluh satu,
Berdasarkan hitungan Masehi
Prof. Hariani Santiko sungguh,
Guru besar yang sangat mumpuni,
Tekun disiplin Tri Dharmanya,
Disertasinya termasyur,
Kedudukan Bathari Durga,
Di masa Jawa Kuno,
Abad sepuluh,
Sampai abad limabelas,
Para dosen FIBUI berdoa,
Semoga (beliau) mencapai surga
Depok, 10 Maret 2021
Kehidupan manusia tidak terlepaskan dari lingkungan yang melingkupi di
mana mereka bertempat tinggal. Manusia selalu menggantugkan lingkungan
itu dan memanfaatkannya sebagai spirit, motivasi, serta dorongan hidup
ke arah yang lebih positif dan konstruktif. Lingkungan dari perspektif
penginderaan dapat terbagi menjadi dua bagian, yakni lingkungan fisik (kasat
mata) dan lingkungan non fisik (tidak kasat mara). Lingkungan yang fisik
terdiri dari benda-benda materi yang dapat didria dengan panca indra termasuk manusia secara badaniah, sedangkan lingkungan non fisik tidak dapat sekedar
didria dengan panca indra. Untuk dapat mendria lingkungan non fisik biasanya
manusia dengan memanfaatkan daya-daya batin, rohaniah, atau spiritual.
Lingkungan dari perspektif relasi spiritual dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yakni lingkungan sosial (hubungan manusia dengan sesamanya), lingkungan
alam (hubungan manusia dengan semesta alam), dan lingkungan ketuhanan
(hubungan manusia dengan Tuhannya).
Manusia beserta kebudayaan Jawa telah ditempa oleh zaman selama
berabad-abad, sejak pra-sejarah hingga sekarang, baik dari asing maupun dari
dalam diri sendiri. Proses penempaan diri yang berorientasi pada pertarungan
ideologi, politik, sosial, dan budaya menjadikan budaya Jawa memiliki daya
lentur dan daya membal tertentu. Daya lentur yang dimaksud yakni budaya
Jawa mampu untuk menyesuaikan diri dengan adanya budaya asing yang
datang dengan menyaring secara cerlang budaya (/ocal genius, kepribadian
budaya bangsa), sehingga kepribadian budaya asing yang tidak sesuai dengan
kepribadian setempat akan ditolaknya. Ada pun yang dimaksud dengan daya
membal (embat budaya/kekenyalan budaya) yakni budaya Jawa mampu
bertahan dan mempertahankan diri pada saat mendapatkan gempuran dari
pengaruh kekuasaan budaya asing. Kemembalan budaya Jawa melalui proteksi
tradisi, konvensi, sejarah (genealogi), dan religi (mitos) yang kuat kiranya
menjadi landasan bagi masyarakat setempat dalam mengekspresikan budaya
yang dihasilkannya, di samping masyarakat pendukung dapat mengolahnya
secara apik dengan mengadopsi unsur asing seperti teknologi dan informasi
yang sesuai dengan keperibadian budaya yang dimilikinya. (Darmoko, 2020:
346-347)
Wayang kulit purwa sebagai karya budaya yang monumental (puncak
kebudayaan) Jawa dapat bertahan dan disukai oleh masyarakat luas hingga
sekarang antara lain oleh karena adanya upaya dalang beserta tim untuk
menerapkan sanggit lakon dan garap pakeliran. Sanggit lakon itu sendiri
merupakan strategi naratif dalang untuk memperoleh kriteria mungguh
(meletakkan sesuatu pada tempat yang tepat), tetug (paripurna dalam
menyajikan peristiwa), kempel (terjadi jalinan peristiwa yang saling kait
mengait), dan mulih (permasalahan utama di awal adegan dapat terpecahkan di
akhir adegan): sedangan garap pakeliran yakni upaya dalang beserta tim untuk
mengolah dan mengelola seluruh unsur-unsur di dalam pertunjukan (dramatis
personae & eguipment) sebagai satu kesatuan dalam pelayanan dalang pada
pakeliran agar tontonan menghasilkan kriteria aktual, relevan, dan menghibur.
Suatu pandangan bahwa sistem gagasan dalam kebudayaan Jawa terhadap
alam semesta sebagai satu kesatuan yang harmoni, tidak terlepas unsur
satu dengan yang lainnya, dan selalu berhubungan, menunjukkan adanya
struktur yang harus secara permanen tertata secara rapi. Sistem kesejagadan
ini membentuk sebuah struktur sederhana yang terkoordinasi, yakni antara
mikrokosmos dan makrokosmos yang saling mempengaruhi. Mikrokosmos
yang maujud ke dalam diri manusia baik secara individu maupun sosial
berupaya menjaga stabilitas koordinasi dengan makrokosmos yang maujud
ke dalam lingkungan beserta alam seluruhnya di luar jagad manusia. Mulder
berpandangan bahwa peristiwa yang terjadi di dalam mikrokosmos sebagai
akibat yang disebabkan oleh ulah makrokosmos, sebaliknya peristiwa yang
terjadi di dalam makrokosmos dipandang sebagai ulah yang disebabkan
oleh mikrokosmos. (1984: 14: Sunoto, 1987: 29). Sifat koordinatif antara
mikrokosmos dan makrokosmos ini dilandasi oleh pemikiran mitis yang
membingkainya dengan mengetengahkan suatu landasan pemikiran bahwa
manusia baik secara individu maupun sosial memanfaatkan kekuatan-kekuatan
alam semesta sebagai sarana implementasi strategi harmonisasi di antara unsur-
unsur yang berupaya mengokohkan diri sebagai sistem yang tertata rapi.
Lakon Durga Ruwat dalam pertunjukan wayang kulit purwa merupakan
suatu bentuk realisasi ide gagasan tentang upaya manusia untuk menyelaraskan
dirinya ke dalam dinamika sistem kesejagadan. Pandangan bahwa seseorang
atau kelompok sosial tertentu terkena sukerta (aib secara profan maupun
supranatural), perlu dilepaskan atau dibebaskan dari malapetaka atau
marabahaya (rewat). Ruwat itu sendiri berasal dari kata /uwar (bahasa Jawa,
gejala bahasa metatesis) yang berarti Tepas’ atau “bebas’. Sehingga dengan
adanya upaya masyarakat meruwat seseorang atau kelompok sosial tertentu
diharapkan bagi seseorang atau kelompok sosial tertentu tersebut terlepas atau
terbebas dari malapetaka atau marabahaya. Seseorang atau kelompok sosial
tertentu yang terkena sukerta dipandang menyebabkan ketidakseimbangan
(kegoncangan) di dalam alam semesta.
Pertunjukan wayang dengan lakon Durga Ruwat atau Sudamala cukup
banyak terserak di unggahan YouTube, sehingga dalam pencarian data
sebagai materi tulisan ini tidak mendapatkan kesulitan, baik berupa rekaman
audio maupun audio-visual. Pemilihan data tidak berdasarkan pada gagrak
atau gaya pedalangan, karena pada saat ini cukup fleksibel dalam penyajian
garap pakeliran masing-masing dalang dari sejumlah gagrak. Sehingga
pembahasan tentang gagrak dikesampingkan daripada pembahasan yang
bersifat isi teks dan konteks. Pemilihan data teks lakon berdasarkan pada
generasi dalang dengan usia yang berbeda, yakni sepuh, madya, dan muda,
dengan pengalaman berbeda, tentang penggunaan bahasa, sanggit lakon, dan
garap pakeliran memiliki kekhasan masing-masing, harapannya agar dapat
memberikan ilustrasi kekuatan imajinasi, kepekaan intuisi, intelektualitas,
dan penguasaan kode budaya masing-masing pengetahuan dalang di dalam
teks yang diproduksi. Di samping itu video rekaman pertunjukan wayang kulit
purwa ketiganya merupakan penyajian jangkep (lengkap, sejak awal jejer hingga
akhir tancep kayon), diharapkan dapat memberikan penghayatan visual secara
utuh terutama saat dalang mengekspresikan teks ruwat di dalam pertunjukan.
Data yang disajikan sebagai materi pembahasan dalam paper ini yakni
tiga pertunjukan wayang kulit purwa berasal dari unggahan You Tube dengan
lakon Durga Ruwat atau Sudamala sajian Ki Manteb Sudarsono, Ki Purbo
Asmoro, dan Ki Seno Nugroho. Pertunjukan lakon oleh ketiga dalang tersebut
telah diunggah di You Tube dengan judul unggahan:
1. “KI MANTEB SUDARSONO MAESTRO SABET WAYANG
KULIT FULL LAKON SUDAMALA” tayang perdana 28 April 2021
oleh “Dalang SAN Channel” pada laman hrtps://www.youtube.com/watch?v-bOKnIBzDNaE,
2. Ki Purbo Asmoro S.Kar., M.Hum. dengan judul unggahan “Pagelaran
Wayang Kulit Ki Purbo Asmoro Lakon Bathari Durga Ruwat Full” tayang
perdana 10 Agustus 2019 oleh “Nguri Budaya” pada laman https://www.youtube.com/watch?v-X10ppEk2C 20,
3. Ki Seno Nugroho dengan judul unggahan “Live Rec. “DURGA
RUWAT” Ki Seno Nugroho. Wargo Laras 2013” tayang perdana 1
Desember 2020, rekaman video 2013 pada laman https://www.youtube.com/watch?v-BOvixkfOAOY.
Mengacu kepada penyituasian di lapangan terhadap Lakon Durga Ruwat
atau Sudamala tersebut permasalahan dapat dirumuskan: 1) bagaimana
simbol ruwat dikonstruksi di dalam masing-masing teks?, 2) bagaimana wacana
kekuasaan dikonstruksi di dalam masing-masing teks ruwat? Untuk menjawab
permasalahan tersebut diperlukan metode deskriptif kualitatif yang digunakan
untuk menjelaskan data sesuai dengan teks apa adanya yang dihubungkan
dengan konteks terutama data yang terkait dengan mitos, magisitas, dan simbol. Konsep pemikiran tentang relasi antara manusia, alam, dan Tuhan
dalam kehidupan masyarakat Jawa digunakan untuk memahami aspek-aspek
tersebut di dalam teks, sedangkan pemahaman tentang kode (konvensi)
budaya, kode sastra, dan kode bahasa diterapkan untuk menempatkan
produksi teks pada sistem pengetahuan yang dibangun di dalam ketiga
teks lakon yang disajikan (Tecuw, 1991: 12-22, Teeuw, 1984: 100-102). Di
samping itu digunakan pula metode penafsiran yang berorientasi pada wacana
kekuasaan dengan menempatkan ketiga teks dalam penampang komparasi.
(Anderson, 1990: 54-55). Dara yang berupa teks lisan ditranskripsikan ke
dalam bentuk teks tulis secara verbal, sehingga dapat diakses dan disajikan.
Proses transkripsi disesuaikan dengan keperluan analisis, yakni narasi dalang
yang diekspresikan untuk menyatakan sebuah ide gagasan.
Berfilsafat dalam arti luas dalam kebudayaan Jawa yakni ngudi kasampurnan
(berupaya mencapai kesempurnaan). Manusia mencurahkan seluruh
eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan itu. Upaya
tersebut merupakan satu kesatuan, suatu kebulatan. (Ciptoprawiro, 1986:
21). Pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia menemparkan diri sebagai
dzat yang tidak sempurna dan harus terus menerus untuk menyempurnakan
diri. Untuk menyempurnakan diri, manusia melakukan sistem tata nilai
dan norma yang disepakati bersama di dalam suatu masyarakat. Bratawijaya
berpandangan bahwa nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh
di dalam masyarakat bermanfaat untuk mencari keseimbangan dalam
tatanan kehidupan. Nilai-nilai dan norma-norma dibentu sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat, yang pada akhirnya menjadi adat-istiadat
yang diwujudkan dalam bentuk tata upacara. Sistem nilai dengan segala perhitungannya didasarkan pada keadaan alam, perbintangan, kala, religi, dan
falsafah hidup (1988: 9).
Lakon wayang kulit purwa mengandung sistem tata nilai dan norma
sebagai gambaran masyarakat yang memproduksinya. Hampir seluruh
kehidupan yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa tergambarkan di
dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Lakon wayang kulit purwa sebagai
teks naratif dapat dipandang sebagai mitos. Munandar berpendapat bahwa
mitos merupakan cerita tentang para dewa atau makhluk lainnya pada masa
silam yang dianggap sebagai fakra dan bersifat suci (2014: 25) yang dapat
memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos
memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam
pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut
serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya dan dapat
menanggapi daya-daya kekuatan alam (Peursen, 1989: 37).
Lakon Durga Ruwat sebagai mitos oleh masyarakat Jawa dapat berfungsi
untuk membebaskan seseorang atau kelompok sosial tertentu dari ancaman
sifat-sifat buruk (mara bahaya). Pada upacara ruwatan lakon Durga Ruwar
dipentaskan untuk mendapatkan daya-daya spiritual magis yang terdapat di
dalamnya. Ruwatan (ruwat 4 sufik-an), mengalami gejala bahasa metatesis
dari kata /uwar, yang berarti pembebasan atau pelepasan. Upacara rzwatan
dimmaksudkan agar seseorang dapat terbebas atau terlepas dari ancaman
marabahaya (mala petaka) yang menerpanya. Seseorang atau kelompok sosial
tertentu yang oleh karena sesuatu sebab dianggap terkena swkerta (klesa —
Jawa Kuna), dalam situasi berbahaya dan diliputi oleh ancaman, tantangan,
hambaran, dan gangguan dalam hidupnya, maka perlu diruwat. (Darmoko,
2002: 31).
Penyelenggaraan upacara ruwatan acapkali melibatkan danyang untuk
membangun relasi mitis, kosmis, dan magis antara manusia dengan alam
adikodrati. Danyang merupakan istilah yang dipergunakan oleh masyarakat
Jawa untuk menyebut makhluk gaib yang memiliki kekuasaan atas suatu
wilayah tertentu di muka bumi. Seseorang sebagai pendahulu suatu wilayah
tertentu (cikal-bakal) yang telah meninggal, rohnya dianggap hidup menaungi
wilayah tersebut dan dapat memberikan spirit kepada masyarakat setempat
yang masih hidup sebagai makhluk suptranatural. Danyang dari kata
danghyang, yakni roh, sukma, dewa yang mendiami tempat tertentu dan
dipandang dapat memberikan keselamatan kepada manusia yang bertempat
tinggal di wilayah itu. (Darmoko, 2017: 127). Pada masyarakat masa prasejarah
terdapat hubungan manusia yang masih hidup dengan roh leluhur (nenek
moyang, manusia sebagai cikal-bakal) dapat direlasikan dengan cara pemujaan
(penghormatan dan pengagungan) suatu masyarakat terhadap roh leluhur
mereka (Hazeu, 1979: 21).
Durga sebagai raksasa perempuan (raseksi) tercipta sebagai makhluk dari
seberang yang bukan manusiawi, sehingga tidak berada di dalam kawasan
kebudayaan Jawa serta tidak berada di dalam peradaban manusia. Raseksi
Durga berfungsi untuk memperlihatkan keunggulan manusia Jawa, seolah-
olah melalui pengontrasa. Raseksi Durga tidak termasuk dunia Jawa dan
oleh karena itu harus disingkirkan. Dalam konteks ini dapat ditafsirkan suatu
konsep pembersihan simbolis ruang kebudayaan manusia dari daya-daya magi
alam yang buas. Sebagai figur yang tidak manusiawi raseksi Durga tidak bisa
menjadi model identifikasi bagi manusia Jawa. (Suseno, 1993: 167)
Konsep tentang nilai-nilai dan norma-norma dalam kebudayaan Jawa
khususnya terkait dengan etika (filsafat moral) dari sejumlah pendapat
tersebut sebagai landasan membahas teks-teks lakon Durga Ruwar dalam
tiga sajian pertunjukan wayang kulit purwa oleh Ki Manteb Sudarsono, Ki
Purbo Asmoro, dan Ki Seno Nugroho. Pembahasan teks dan konteks akan
terfokus pada strategi naratif dalang tentang proses peruwatan yang bermuara
pada kondisi dan esensi yang saling berhadapan antara peruwat dengan yang
diruwat.
Di dalam lakon Durga Ruwat sajian Ki Manteb Sudarsono dikisahkan
bahwa Kunti pergi meninggalkan keraton Amarta dan tiba di Kahyangan
Dhandhang Mangore. Pada saat itu ia ditemui oleh Hyang Pramoni (Durga).
Kunti bertapa di sana untuk mencari pembebasan lima Pandawa sebagai
manusia sukerta. Durga menyampaikan persyaratan agar lima Pandawa
terbebas dari malapetaka, maka Kunti harus menghadirkan Sadewa (Pandawa
yang bungsu) ke hadapan Durga. Semula Kunti tidak bersedia, namun Durga
memanggil Kalika untuk mempengaruhi Kunti masuk ke dalam tubuhnya.
Sementara di keraton Amarta Yudhistira dan adik-adiknya beserta Kresna,
membahas kedudukan Kunti, ibu Pandawa. Mereka memprihatinkan
keselamatan Kunti. Kunti hadir menyampaikan pemikirannya bahwa ia
sesungguhnya ingin Pandawa terbebas dari malapetaka sebagai manusia
sukerta. Sadewa akan diajak Kunti dihadapkan kepada Durga. Sadewa bersedia
dibawa Kunti. Semar berpendapat bahwa Kresna harus memiliki sifat Wisnu
untuk menjaga alam semesta. Semar kemudian meneliti peristiwa yang akan
terjadi dan ia memahami keadaan Kunti, telah berperilaku menyimpang, ia
disusupi jin Kalika, dan Semar menariknya dari tubuh Kunti. Semar menghajar
Kalika lalu bertemu dengan Durga. Durga minta tumbal Sadewa kepada
Semar. Semar sendiri minta ia saja yang menjadi tumbal. Durga dihajar Semar
hingga menyerah. Pada saat itu datanglah Batara Guru disertai juga Kalika.
Batara Guru mengatakan bahwa kehadirannya ke dunia minta pertolongan
kepada Semar tentang kejadian Premoni atau Umayi yang dihajar dan dibuat
sungsang oleh Batara Guru masa lalu, hingga berubah wujud menjadi raseksi.
Batara Guru mengatakan bahwa Durga bisa rzwat oleh bungsu dari Pandawa,
Sadewa. Semar menganggap bahwa Sadewa tidak memiliki kekuatan dan dialah
yang bisa membebaskannya. Sadewa dihadirkan di hadapan Batara Guru oleh Semar. Sadewa dididik agar bisa bersemadi oleh Semar. Batara Guru,
Sadewa, dan Semar bersiap untuk meruwat Durga dan juga Kalika. Mantra
yang diucapkan dalang seperti berikut.
“om astungkara sidhamrahayua kang rahayu ing budi, rahayua sagung dumadi,
satubune ing kono ora ana apa-apa kang ana iku sayekti dudu, kabeh muhung
makumpuling pancasekandha tegese manunggaling watak limang prakara,
swasana, geni, bumi, banyu lan angin, kang agal dadya wewadhah wadhag kang
alus dadya maya limang prakara, ingkang sawiji-wiji sayekti daya dinayan urip
hinguripan, swasana ingkang anguripi, bumi wadhahing urip, geni kang kinuripan,
banyu dayaning urip, angin wnjuding urip, kalamun mangkono banjur ana
dumadi urip wenang sinebut saatwaya, tegese urip kang asipat loro, wenang sinebat
Sang Hyang Mantranaya, tegese dumadi karana rosaning pangesthi, wenang
sinebat Sang Karma tegese makarti wenang sinebut triaksara tegese manunggaling
Trimurti, wenan 1 sinebut Jatiwasesa tegese kinarya warana, sejatining kawasa,
manjing jroning buwana geter obah saka daya ubenging jagad kaprawasa kodrating
bumi, satemah kumaringet mbabar pakarti, sinebut kusalakarma, tegese pakarti
bayu, sangsaya lawas kataman wataking jagad, sangsaya katarungu pakartining
dudu ruwate muhung karana heneng, hening, awas, lan eling, sanadyanta hina
tan antuk kamulyan maksih beja kalamun tinitah manungsa, jroning kono maksih
bisa tetulung dbiri sarana mangun watak utama limang prakara rila, sabar, temen,
narima, lan budi luhur, ngambah marga hayu pancaparamita, ngrasuk sejatining
pangeraning urip, panembah, budidarma, tapabrata lan mersudi hambeg budi
luhur, rosaning pamertobat sineru tulusing budidarma iku marganing ruwat saka
sakeh sangsaya. Eling marang sangkan paranig dumadi, sedya bali marang mula
mulanira, purwaning sira pepaes raseksi, tegese buta wadon, nalika kahuripan
ing nguni dhemen siya mangsa daging rahayune sira mengku budi susila kagawa
saka maksih tedhaking jawata linuwih, raseksa iku candrane sang raditya urupe
panas nanging nguripi sagung dumadi, katarungku dening karma bumi tegese
keblandhang endahing kahanan kongsi kerem lan kasengsem marang bebandaning
jagad, rahayu dene sira caket lan surasane wedha suci, kawawa mengku susila
darika yaiku kang ngentas panandhangira lelantaran si Sadewa wuragile
Pandawa. Wauta, karna jinara tulusing rasa padhang trawangan jagade bathari
Premoni miwah Kalika, lir tanggal pisan kapurnaman, soroting batin sumilak
naratas saranduning angga, sakala ruwat saking raseksi dadya widadari bathari
Umayi miwah bathari Kalika.”
Umayi dan Batara Guru mengucapkan terima kasih telah meruwat Durga dan Kalika.
Umayi memberikan nama Sadewa sebagai Bambang Sudamala. Pandawa
terbebas dari malapetaka dunia. Semar dan Sadewa kemudian ditemui
Begawan Tambrapetha beserta anak-anaknya, Soka dan Pradapa (kembang
sepasang). Tambrapetha ingin meruwatkan anak-anaknya. Semar mengambil
menantu Soka dan Pradapa untuk dinikahan dengan Nakula dan Sadewa.
Sementara itu seekor buaya perubahan wujud Karna ingin rzwat oleh Semar.
Semar berhasil meruwatnya. Dua raksasa (semula akan membunuh Kunti)
menemui Semar mencari Soka dan Pradapa (Perdapa). Terjadi perang antara
Semar dengan Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa berubah rupa Batara
Haswa dan Batara Haswin.
Perubahan wujud raseksi (Durga dan Kalika) serta raksasa (Kalantaka dan
Kalanjaya) menjadi dewi yang cantik dan dewa yang tampan memberikan
gabaran bahwa manusia meski berkedudukan sosial tinggi di dalam kehidupan
masyarakat tidak terhindar dari salah dan dosa. Salah dan dosa manusia dapat
dimaknai sebagai keadaan instabilitas dalam tatanan kehidupan kosmos,
sehingga diperlukan upaya agar kosmos dalam keadaan selaras, serasi, dan
seimbang yakni pembebasan diri dari salah dan dosa yang dalam hal ini dapat
disebut sebagai pelepasan sukerta.
Simbol pada pertunjukan Durga Ruwat sajian Ki Manteb Sudarsono
menempatkan Durga sebagai sosok yang diruwat dan Semar sebagai sosok
peruwat yang membimbing pribadi Sadewa. Relasi antara peruwat dan yang
diruwat di dalam tataran etika keselarasan kosmos memiliki cipta, rasa, dan
karsa yang sama dan sejajar, yakni berserah diri kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Harmonisasi komunikasi dan relasi di antara manusia sukerta dengan
orang yag dianggap “berpengetahuan.” Pertunjukan wayang kulit purwa
lakon Durga Ruwat sajian Ki Manteb Sudarsono menampilkan tokoh Semar
sebagai sosok yang istimewa, karena pada dasarnya Semar memiliki kedudukan
penting di dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu dalam teks naratif
juga menempatkan Kalika (raseksi), Kalantaka dan Kalanjaya (raksasa) sebagai
yang diruwat, sedangkan Semar (batara Ismaya) tetap menjadi fokus sosok
yang memiliki kuasa ruwat atas mereka, meski proses peruwatan mengikuti
sanggit yang diterapkan oleh narator, yakni melalui sebuah pertempuran.
Pertarungan kekuatan-kekuaran magis dan supranatural antarsosok ini
sebagai gambaran ritual pembebasan seseorang atau kelompok sosial tertentu
dari marabahaya (nafsu). Tentang eksistensi nafsu manusia telah dijabarkan
oleh Darmoko (2015: 132), bahwa hawa nafsu diciptakan dan digubah oleh
para ahli yang mumpuni dalam hal meresepsi, menginterpretasikan, dan
mentransformasikan suatu simbol, yang di dalamnya dikandung suatu maksud
dan tujuan untuk memberikan tuntunan kepada umat manusia yang ingin
menggapai kecanggihan dalam berfikir. Bagi manusia yang telah berlatih
khusus dalam hal “masalah pribadi” dan melepaskan belenggu keinginan, akan
mengerti satu persatu pancaindra yang tidak terkendali. Masalah tersebut pada
kenyataannya perlu direalisasikan sendiri dengan cara berlatih segala bentuk
olah rohani (rasa). Tentang rasa, setiap manusia mengalami: sedih, gembira,
menderita, marah, ini sebagai wujud dari nafsu, masing-masing memiliki watak
dan tugasnya masing-masing.
Karakter Semar yang dibangun di dalam berbagai karya budaya
menunjukkan perbedaan sesuai dengan status dan perannya di dalam teks
karya budaya tersebut. Semar dalam wayang kulit purwa, baik pra maupun
pasca Bharatayuda, sastra sejarah (sejarah lokal dan jangka/ ramalan, maupun
folklor menunjukkan status peran yang berbeda-beda, yaitu: 1) Semar sebagai
punakawan (abdi, pamong, wong cilik, lurah): 2) Semar sebagai dewa — Ismaya
(alam atas, tokoh adikodrati, supranatural): 3). Semar sebagai pendeta (kyai,
orang suci, brahmana), dan: 4) Semar sebagai “danyang” tanah Jawa (penguasa
gaib — supranatural tanah dan manusia Jawa) yang berperan melawan
kekuatan makhluk gaib yang jahat (Durga, Kala, dan pasukan jin, setan, peri,
prahyangan, banaspati, gendruwo, glundhung pringis, engklek-engklek, balung
atandhak, sundel bolong, wewe, jrangkong, warudhoyong, dan sebagainya).
Semar ketika menjadi menusia biasa secara fisik mengalami distorsi. (Darmoko,
2017: 129). Semar sebagai simbol pamong manusia unggul, berderajat tinggi,
dan berpengetahuan (/inuwih), memosisikan diri selalu di belakang dan
memberikan daya kekuatan kepada manusia berdarah witaradya. Semar selalu
memberikan perlindungan kepada manusia berwatak utama (terpuji) untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Semar sebagai manifestasi dewa Ismaya
menjaga tanah Jawa dari segala ancaman mara bahaya baik dari makhluk yang
tampak maupun tidak tampak. (Darmoko, 2020: 333-334).
“Semar iku pamonging satriya agung,
Trahing Witaradya,
Tutwuri pan handayani,
Datan kewran saliring kang saniskara
Terjemahan:
Semar itu sebagai pamong ksatria agung,
Keturunan berderajat tinggi (berilmu pengetahuan),
Memosisikan diri di belakang dan memberikan daya kekuatan,
Tidak (akan) kesulitan menghadapi segala hal.
Demikian penting peran Semar dalam kebudayaan Jawa sehingga narator
menempatkannya sebagai sosok pembebas yang memiliki kekuasaan luar
biasa. Kedekatan Semar dengan masyarakat Jawa yang menghadirkannya tidak
terlepaskan dari kedudukannya sebagai tokoh asli Jawa (Nusantara) yang tidak
ada di dalam teks kisah kepahlawanan Ramayana dan Mahabharata India.
Pada pertunjukan wayang kulit purwa lakon Durga Ruwat sajian Ki Purbo
Asmoro dikisahkan bahwa Kunti bertapa di Kahyangan Setra Gandamayit.
Durga menghampiri Kunti yang sedang memikirkan anak-anaknya, Pandawa,
karena masih banyak orang yang dengki dan iri terhadap mereka, padahal
Pandawa sudah berperilaku baik. Durga berjanji akan dapat melindungi
Pandawa, tetapi ada syaratnya. Menda (kambing) abrit anak bungsu Pandawa
(Sadewa, tiri) diminta Durga sebagai tumbal (kurban). Oleh Durga Sadewa
adalah anak sukerta. Durga memanggil Kalika agar mempengaruhi Kunti
sehingga bersedia membawa Sadewa di hadapan Durga. Kunti dirasuki Kalika.
Sementara itu, Kresna memberika pencerahan bahwa jiwa asura sebagai sifat
orang yang tidak yakin terhadap Tuhan, dan jiwa surz sebagai sifat orang yang
percaya kepada Tuhan. Manusia menjalankan darma dan karmanya sendiri
seperti halnya Kurawa yang berjiwa asura dan Pandawa yang berjiwa sura.
Meski Pandawa saudaranya sendiri, Kurawa menganggap musuh. Sementara
itu Kunti yang disusupi Kalika hadir di tengah-tengah Pandawa dan Kresna.
Kunti minta agar Sadewa bersedia dibawanya untuk dipersembahkan kepada
Durga. Sadewa dan Kunti telah sampai di Setra Gandamayit. Sadewa diikat
di pohon Randu Alas oleh Kunti (kerasukan Kalika). Lalu Kalika keluar dari
tubuh Kunti dan menggoda Sadewa. Sadewa dihampiri oleh Durga dan Kalika.
Durga memberitahukan bahwa ia mendapat kutukan dari Sang Hyang Jagad
Giripati karena berlaku selingkuh dengan para dewa kemudian dibuang ke
Kahyangan Setra Gandamayit. Batara Guru berkata bahwa Durga bisa ruwat
oleh Pandawa yang bungsu. Sementara itu Sadewa tidak bersedia meruwat
Durga. Kalika mengerahkan pasukan jin, setan, dan lain-lain untuk menyiksa
Sadewa. Kresna dan Semar segera menghampiri Sadewa dan Kunti. Semar
mengatakan bahwa Pandawa sedang dalam ujian. Di lain pihak Batari Durga
menyiksa dan akan membunuh Sadewa karena tidak mau meruwatnnya.
Batara Guru dan Batara Narada turun ke dunia. Batara Guru menghampiri
Sadewa. Pada saat itu Sadewa telah kalenggahan Batara Guru, seperti pada
kutipan berikut:
“Ya..ya..Bathari Premoni, Durga.. yen ta sira pancen tetep kepengin rinuwat
yagene cak-cakanira kaya mengkono malah kepara sira bakal mateni
marang aku. Mangka wong kang rinuwar iku muhung pitaya marang
kang angruwat yen kaya magkono cak-cakanmu apa baya salawase kowe
urtp ana alam padhang iki mung bakal andeder memala, Durga mara
gage sawangen apa isih ana pepadhang jroning atimu Durga”.
Terjemahan:
Baiklah Batari Premoni, Durga…kalau kau memang tetap ingin
dibebaskan dari petaka, mengapa perilakumu seperti itu malahan kau
akan membunuhku. Padahal orang yang dibebaskan dari petaka hanyalah
percaya kepada yang membebaskannya dari petaka, kalau demikian
perilakumu apakah selamanya kau hidup di dunia ini hanyalah menabur
penyakit/sifat buruk. Durga ayo pandanglah apa masih ada penerang di
dalam hatimu Durga.
Kondisi ini menujukkan bahwa Sadewa ibarat manusia yang pasrah secara
penuh karena mendapat ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan dari
Kalika atas suruhan Durga, telah kalenggahan Batara Guru. Seseorang oleh
karena kokoh kuat dalam membentengi diri dengan mengekang, menahan,
mengendalikan, dan mengelola hawa nafsu maka ia akan dimuliakan oleh
Tuhan (winongwong ing jawata).
Kuasa adikodrati Sadewa yang telah diperolehnya mampu untuk mengatasi
kejahatan yang ada pada dirinya maupun yang ada pada diri orang lain.
Kekuasaan dalam pandangan Jawa dapat diperoleh dengan usaha menyatukan
dirinya dengan alam. Kepaduan manusia dengan alam sebagai kemanunggalan
manusia dengan Tuhan dan alam dapar dipandang sebagai manifestasi dari
keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Kekuasaan dapat diperoleh seseorang
dengan cara menjalani “/2k””. Laku merupakan sistem kesadaran kehidupan
manusia Jawa. Segala sesuaru yang dilakukan dalam hidup manusia dipandang
dan disadari serta dipahami sebagai jalan keutamaan yang menuju ke suatu
titik yaitu kasampurnaning dumadi (kesempurnaan hidup). (Darmoko, 2015:
126).
Kuasa ruwat kehayuan dari Batara Guru yang mengalir dan menyatu ke
dalam tubuh Sadewa memberikan sabdaaji atau sahdatama sebagai berikut:
“Durga, dosa iku bakal lebur saka pangratuban dene sranane pasahe
Pitayaa kanthi santosaning ati marang kang gawe urip. Werna-wernane
penandhang kang tumiba ing sira tampanen kanthi rasa panarima.
Sakabehing dosamu tebusen kanthi pangurbanan suci, yaiku nindakake
budidarma aweh kabecikan jroning batin ngesthta kanthi nalangsa
nyenyuwun meminta pangapura nyuwuna kuwat nampa pengadilaning
ingkang gawe jagad, linambaran gedhening tapa brata. Yen mengkono
sira bakal bisa kuwat nampa wernaning penandhang upama ta sing bobot
kaya ngapa abote nanging bakal dadi entheng sayekti kabeh mau sinangga
dening ati kang narima, mara gage jumenenga, jumenenga, ngadega
Durga. Sira tansah elinga”
Terjemahan:
(Durga, dosa akan sirna oleh karena ritual pembebasan, sedangkan syarat
mujarabnya yakinlah dengan kekuatan hati kepada pencipta kehidupan.
Beraneka macam penderitaan yang kau alami terimalah dengan rasa ikhlas.
Seluruh dosamu tebuslah dengan pengorbanan suci, yakni melakukan
budidarma berbuat baik di dalam batin dengan rasa prihatin memohon
ampun dan kekuatan untuk menerima keadilan kepada pencipta dunia,
dilandasi kuatnya tapa brata. Jika demikian kau akan menjadi kuat
menerima beraneka penderitaan, seumpama berat seberapa beratnya itu
akan menjadi ringan sejatinya semua itu ditopang oleh hati yang tulus, ayo
berdirilah Durga, kau selalulah untuk ingat)
Etika keselarasan dalam kebudayaan Jawa mengungkapkan prinsip rukun
dalam relasi kehidupan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam,
dan manusia dengan Tuhan. Konflik terjadi jika kepentingan-kepentingan
saling bertentangan bertabrakan. Sikap rukun menuntut agar individu bersedia
melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama.
(Suseno, 1993: 40). Eksistensi Durga dalam lakon ini memberikan gambaran
bahwa manusia telah terisi dengan kepentingan-kepentingan itu, yakni hasrat
pribadi berlebihan bahkan bergelora di dalam dirinya yang terjerumus ke dalam
perilaku jahat dan tidak bermoral. Sikap dan tindakan manusia seperti itu perlu
dilepaskan dengan upacara ritual (ruwwat) sehingga kondisi diri kembali dalam
keadaan selaras, serasi, dan seimbang.
Dalang lalu mengucapan mantra ruwat seperti berikut:
“Ngkan Durga kitabacrawi paramasuksma tarapinaka jiwaning praja malat
sukerta duk sukerta nemahaken halahayu sukha dhukaning dadi. Tegese ing kana
sira Durga sira raseksi luwih migatekna kang minangka sumber panguripane
wong akeh. Ingkang andarbeni kapribaden becik lan ala, mahanani kang angkara
uga kang seneng, lan kang susah. Sir eling urip dzat eling urip mungkul eling
sejatining urip, lebur badan dadi nyawa njaba njero nyawa kabeh, lebur nyawa
dadi sukma njaba njero sukma kabeh, lebur sukma dadi cahya, njaba njero cahya
kabeh, lebur cahya dadya roh suci, njaba njero roh suci kabeh, lebur rob suci dadi
rasa, njaba njero rasa kabeh, dzat nyata kanugrahaning alam padhang, dina
panjang, raga dadi rasa rasa sajroning karsa sampurnaning mekrat eling sethithik
mulyanira saking badanira, mulyanira saka Kang Maha Agung gawe endah luwih
gumiwang padhang mencorong kaya wulan purnama, ilang raga badan ilang sirna
raga badan tan ana kari sukma luhur kari sukma luhur kari sukma luwar sir
badaningsun nyipta rahayu nepsuningsun, rasa ingsun ya kang jumeneng tetep bumi suci Manikmaya putih Manikmaya lenyep Kang Murbeng Dzat uripingsun,
pangucapingsun, rasaningsun, ya badan ya nyawa, ya dzat ya rasa, sukma eling
rasa urip jatining ana”
Usai Sadewa meruwat Durga, Batara Guru keluar dari tubuh Sadewa dan Durga telah berubah wujud menjadi Uma (raseksi menjadi hayu, bidadari
cantik). Batara Guru memberikan anugerah nama baru bagi Sadewa yakni
Sudamala. Sadewa ditemui Nakula dan Semar. Semar menyatakan bahwa
Krendhawahana teruwat menjadi taman yang indah. Dengan nama Sudamala
harus menjalani tapa ngrame (memberikan pertolongan dan bantua n kepada
yang menderita dan sengsara). Sementara itu Tambrapetra, pendeta Prang Alas
berprihatin, anak-anaknya beserta abdi Nini Thowok berpenyakit tidak waras.
Nakula dan Sadewa beserta punakawan hadir di hadapan sang Pendeta. Sadewa
(Sudamala) meruwat Soka dan Perdapa higga menjadi waras/sembuh dari
gangguan setan (Kunthara-Kunthari). Soka dinikahkan dengan Nakula dan
Perdapa dengan Sadewa. Sebagai hiburan punakawan ditawari untuk menikahi
Nini Thowok. Bagong yang berhasil membawa Nini Thowok. Kalantaka-
Kalanjaya mengamuk dan dihadapi Sudamala. Kalantaka-Kalanjaya dipanah
Sadewa berubah rupa sebagai Batara Citrarata dan Batara Citrasena. Dosa
Kalantaka-Kalanjaya karena mengintip Batara Guru mandi bersama bidadari.
Simbol pada pertunjukan Durga Ruwat sajian Ki Purbo Asmoro
menempatkan Durga sebagai sosok yang diruwat dan Batara Guru sebagai
sosok peruwat, yang merasuk pada diri Sadewa. Terdapat konsep tentang
kamanungsan yang membingkai eksistensi para dewa manakala berada di
dunia. Kamanungsan dalam konteks ini mengacu pada pengertian bahwa
setiap makhluk memiliki alamnya masing-masing. Dewa berada di kahyangan,
sedangkan manusia berada di alam nyata. Sebagai anasir dewa, yang berada di
kahyangan, Batara Guru memerlukan wadah sekaligus wahana sebagai peruwat
agar tidak kamanungsan.
Berdasarkan genealogi pewayangan, Batara Guru (Batara Manikmaya)
merupakan dewa utama, di samping Batara Ismaya (Semar). Kedudukannya
di Kahyangan sebagai raja dan status ini diberikan oleh Sang Hyang Tunggal,
ayahnya yang telah dalam keadaan manungga secara rohani dengan Sang
Hyang Wenang. Dalam dunia pewayangan Jawa, nama Sang Hyang Wenang
lebih sering dimunculkan daripada Sang Hyang Tunggal, hal ini terkait dengan
perannya sebagai pemegang kuasa utama yang lebih tinggi kedudukannya
daripada Batara Ismaya dan Manikmaya. Pertempuran antara nilai-nilai
keutamaan dan nilai-nilai kejahatan di dalam diri manusia acapkali dilukiskan
di dalam pertarungan kuasa-kuasa kahyangan, antaranak yang kemudian
diselaraskan oleh sang kakek, yakni Sang Hyang Wenang.
Pada pertunjukan wayang kulit purwa lakon Durga Ruwat sajian Ki
Seno Nugroho dikisahkan bahwa Kunti, ibu Pandawa meninggalkan kerajaan
Amarta. Kepergian Kunti untuk melakukan bertapa dan ingin memuliakan
anak-anaknya agar Bharatayuda berjaya. Namun pemikiran Kunti dianggap
aneh karena akan mengorbankan Sadewa. Emban Kalika telah merasuk ke
dalam tubuh Kunti. Sadewa ditarik Emban Kalika dan di bawa ke Setra
Gandamayit. Durga menjatuhkan amarahnya kepada Sadewa, terapi Sadewa
telah dijiwai oleh Marhardikengrat (Sang Hyang Wenang). Durga diruwat
oleh Sang Mahardikengrat setelah menyampaikannya bahwa yang akan
membebaskan sifat jahatnya adalah bungsu Pandawa, yakni Sadewa yang
dijiwai oleh Sang Mahardkengrat. Sang Mahardikengrat hanyalah ciptaan,
yang punya kekuasaan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalang sebagai
narator mengucapkan mantra seperti berikut.
“Om awignamastu mugi rahayua sagung dumadi sabdane kang mantram
sakti, yen tumama sudamala sirna temah hayu, bayu yuwana pianggiya om
awignamastu sirnane kang suker sakit suka-suka kang binuka binudi daya
langgenge dirga widada tulana syuh brastha om awignamastu mugi rahayua
sagung dumadi hambeg candhala wus tapis tumpes ing tapabrata hayu hayu
hayem temah hayom kang hambeg brahala lebur awit kersaning dewa denawa
reksasa kamprung bali ajal ing mulanya om awignamastu mugi rahayua sagung
dumadi suluh sulak anyunari sarsiing jagad raya saking Hyang Surya dayane ing
jagad wus kawratan kang lali gya elinga yen wus cing temah yuwana ingkang
anyaketana om awignamastu mugi rahayua sagung dumadi jawata anjejangung
Yekti iku Hyang Brabancana, ameses prahara gedhe weh daya sagung gumelar
kabeh titabing dewa Sanng Hyang hagni sumuluh, dumilah mrih daya panas, om
awignamastu mugi rahayua sagung dumadi panas kang sayekti gaib dadi daya
panggesangan gesang kena ing dayane, uga dadi pangleburan marang para kang
duraka padhange nyunari kalbu ambuka saliring tingah. Om awignamastu mugi
rabayua sagung kang dumadi ang becik nemu becik kang ala temah sirna, ing
jawata wasesane, Om awignamastu mugi rahayua sagung dumadi, kang asipat
diyu wus sirna sukertane, temah brastha keneng daya temah bayu nirmala temah
waluya hayu hayem sakabehe tandya Bathari Durga.”
Durga berubah menjadi Uma (raseksi -» bidadari cantik) dan memberikan
nama kepada Sadewa sebagai Sudamala. Emban Kalika pun ingin Sudamala
meruwatnya dari sifat jahat yang menyebabkan ia berwujud raseksi. Emban
Kalika telah dibebaskan dari malapetaka, menjadi emban Raminten dengan
paras yang cantik. Kisah masa lalu membingkainya bahwa salah dan dosa Kalika yakni telah memfitnah Dewi Ragu, lalu dikutuk oleh Prabu Dasarata
menjadi raseksi pada saat ia mengabdi kepada Dewi Sumitrawati. Sementara
itu Taman Dhandhang Mangore yang indah, oleh Sudamala dimintakan
Emban Raminten untuk merawatnya. Di sisi lain Soka dan Pradapa, kedua
putri cantik bermimpi bertemu kasatria tampan bernama Nakula dan Sadewa.
Dalam mimpinya mereka dikejar-kejar Kalanjaya dan Kalantaka lalu berindung
kepada Sadewa dan Nakula. Nakula dan Sadewa bertemu Soka dan Pradapa,
karena saling jatuh cinta Soka menikahi Nakula dan Pradapa menikahi
Sadewa. Kemudian Kalantaka dan Kalanjaya datang dan telah berhadap-
hadapan dengan Nakula dan Sadewa. Sadewa mengubah wujud Kalantaka
dan kalanjaya yang memiliki salah dan dosa karena mengintip Batara Guru
mandi bersama para bidadari masa lalu, menjadi Batara Citragada dan Batara
Citrasena. Di dalam pertunjukan Ki Seno Nugroho tidak disertakan adegan
ekstra Semar bermesraan dengan Nini Thowok.
Simbol pada pertunjukan Durga Ruwat sajian Ki Seno Nugroho
menempatkan Durga sebagai sosok yang diruwat dan Mahardikengrat (Sang
Hyang Wenang) sebagai sosok peruwat yang merasuk pada diri Sadewa.
Simbol ruwat ditampilkan dengan mengetengahkan status dan peran tokoh
supranatural dalam sebuah genealogi kedewataan. Baik peruwat maupun
yang diruwat memberikan pesan bahwa sejarah masa lalu perlu dievaluasi.
Status, peran yang berkorelasi dengan genealogi kedewataan untuk melihat
kuasa-kuasa dewa-dewa utama di Kahyangan, pernah dibahas oleh Darmoko
(2015: 124) bahwa silsilah dalam konteks budaya Jawa memiliki kedudukan
yang penting. Bukan hanya di dalam dunia ide saja namun juga sebagai realitas
sosial yang sampai sekarang masih cukup aktual dan relevan. Kehormatan dan
harga diri menjadi pertimbangan dalam kehidupan orang Jawa. Melalui silsilah
seseorang dapat memperoleh kehormatan dan harga diri tersebut. Pengakuan,
pengsyahan, dan legitimasi dari masyarakat menjadi tujuan bagi seseorang.
Melalui silsilah seseorang tersebut dapat memperoleh pengakuan, pengsyahan,
dan legitimasi dari masyarakat.
Berikut ini dapat disampaikan gambaran sejarah kelahiran Batara
Tejamaya, Batara Ismaya, dan Batara Manikmaya pada awal zaman. Mitos
awal zaman ini memberikan ilustrasi dan membingkai status dan peran
dewa-dewa peruwat dan yang diruwat dalam konteks lakon Durga Ruwat
sajian Ki Manteb Sudarsono, Ki Purbo Asmoro, dan Ki Seno Nugroho. Pada
silsilah tampak bahwa Sang Hyang Wenang berada pada bagian sentral yang
merupakan pewaris dari trah nabi-nabi dan dewa-dewa. Kekuaasan yang
terkonsep di dalam silsilah ini memberikan pemahaman masyarakat Jawa
bahwa ideologi agama turut berperan dalam mewarnai kehidupan para dewa
di awal zaman. Silsilah ini dikutip dari Darmoko (2015: 125).
Anderson berpandangan bahwa ide gagasan rentang kekuasaan dalam
kebudayaan Jawa yang berorientasi pada nilai-nilai budaya Jawa menyangkut
kekuasaan dinyatakan bahwa kehalusan merupakan ciri dari priyayi. Kehalusan
merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang dapat dicapai melalui tata
cara tradisional, yakni bertapa dan pendisiplinan batin. Namun disiplin
batiniah ini tidak dapar digapai secara sembarangan, pemerolehannya hanya
dapat dilakukan melalui pendidikan dalam bentuk-bentuk pengetahuan
khusus dan dalam perspektif ini pengetahuan menjadi kunci kekuasaan
(1990: 54-55). Sementara itu Suseno berpendapat bahwa realitas adikodrati
yang memberikan dan menentukan diri manusia pemiliknya merupakan
wadah yang menampung kekuasaan namun tidak menentukannya. Kekuasaan
berdaulat pada dirinya sendiri, perebutan dan pemakaiannya tidak berada
dalam tanggung jawab individu yang menampungnya. Individu dapat
menyesuaikan diri untuk menerima kekuasaan melalui laku (tapabrata,
lelanabrata, tarakbrata, bersemedi, serta pendekatan terhadap benda-benda
tang dikeramatkan). Pamrih (hasrat) penguasa mengurangi kemampuannya
untuk menampung kekuasaan adikodrati yang ada dalam dirinya. Sebagai
kekuatan adikodrati itu, kekuasaan menentukan dirinya sendiri (1993: 111).
Anderson menambahkan bahwa kekuasaan merupakan kekuatan yang tidak
dapat didria, penuh misteri, dan bersifat religius yang menghidupkan seluruh
alam semesta. Kekuasaan terwujud dalam setiap aspek dunia alami, pada batu,
kayu, awan, dan api, tetapi dinyatakan secara murni dalam misteri pokok
kehidupan, yaitu proses generasi dan regenerasi. Dalam pemikiran tradisional
Jawa tidak ada garis batas yang tegas antara zat organis dan zat inorganis, karena
segala sesuatunya ditopang oleh kekuasaan sama yang tidak kelihatan. (1990:
21).
Pernyataan Anderson dan Suseno di atas memberikan penegasan bahwa
konsep mitis, kosmis, dan magis memberikan bingkai landasan pemikiran
pada produksi lakon Durga Ruwat sajian tiga dalang. Sebagai narator tiga
dalang memiliki strategi naratif yang berbeda. Di dalam lakon Durga Ruwat
terlihat bahwa Ki Manteb Sudarsono lebih cenderung berupaya mendekatkan
tokoh Semar (Sang Hyang Ismaya) kepada masyarakat dan lebih berkuasa
daripada Batara Guru, sedangkan Ki Purbo Asmoro lebih konsisten kepada
teks lama yang berkembang di dalam masyarakat (Kidung Sudamala) dengan
menempatkan Batara Guru sebagai yang memiliki kuasa peruwatan, dan Ki
Seno Nugroho terlihat ekspansif dalam penjelajahan genealogi wayang dengan
menempatkan Sang Mahardikengrat (Sang Hyang Wenang) sebagai yang
memiliki kekuasaan lebih daripada Semar dan Batara Guru.
Durga Ruwat Sebagai Simbol Pembebasan Kejahatan 199
Pada bagian akhir ini dapat dirumuskan bahwa eksistensi tokoh
peruwat ditempatkan pada derajad kekuatan spiritualitas atas penguasaan alam
adikodrati untuk memperkuat bobot terhadap kualtitas sosok Durga sebagai
tokoh yang diruwar, dengan segala macam perspektif budaya yang disajikan
sebagai ciri khas sebuah produksi budaya. Tiga sosok peruwat yang terdiri
dari Batara Guru, Semar (Batara Ismaya), dan Mahardikengrat (Sang Hyang
Wenang) yang menuntun dan merasuk ke dalam tubuh Sadewa merupakan
manifestasi dari lingkaran kekuasaan alam adikodrati. Genealogi kedewataan
menempatkan Sang Hyang Wenang sebagai sumber kekuasaan tertinggi
dan sebagian kekuasaan itu terbagi dan diturunkan kepada Batara Ismaya
dan Batara Guru (Batara Tejamaya sebagai yang tertua tidak dimunculkan
perannya dalam teks lakon Durga Ruwat sajian tiga dalang).
Ada beberapa sebab musabab adanya perbedaan resepsi oleh ketiga dalang
tentang teks Durga Ruwat (Sudamala), sehingga muncullah tokoh Semar
(Batara Ismaya) dan Sang Mahardikengrat (Sang Hyang Wenang), disamping
Batara Guru yang telah beredar luas di tengah masyarakat Jawa. Pertama, faktor
penjelajahan imajinasi terhadap teks lakon yang beredar sesuai dengan tradisi
dan konvensi dunia pedalangan dan pewayangan, kepekaan intuisi dalam
penghayatan terhadap nilai kesakralan tokoh kedewaraan, intelektualitas yang
dibangun sejak kanak-kanak baik melalui pendidikan dan pengalaman formal,
informal, dan nonformal, serta penguasaan kode budaya yang dibingkai
melalui proses pembelajaran pada lingkungan, baik informal, nonformal, dan
formal. Kedua, faktor sanggit lakon yang kemungkinan besar terkait dengan
kuasa dalang sebagai narator untuk mendapatkan ciri khas dan jaridiri sesuai
dengan tradisi dan konvensi pedalangan dan pewayangan yang didalami dan
diterima selama ini, sehingga dengan sengaja memunculkan tokoh-tokoh
lain, selain Batara Guru yang sama-sama memiliki status dan peran serta
kualitas peruwat yang relevan, bahkan dalam posisi genealogi yang lebih kuat
dalam kedudukannya sebagai dewa. Berpijak dari hal tersebut maka dapat
dirumuskan bahwa sajian Ki Purbo Asmoro kiranya paling dekat dengan teks
Sudamala produksi abad ke-17 daripada sajian Ki Manteb Sudarsono dan Ki
Seno Nugroho.
Kajian Durga Ruwat Sebagai Simbol Pembebasan Kejahatan dalam Kehidupan
Masyarakat Jawa menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Lakon Durga Ruwat sebagai ekspresi simbol pembebasan kejahatan dalam
masyarakat Jawa dikonstruksi dengan meletakkan pandangan bahwa alam
semesta merupakan satu kesatuan yang utuh dan padu secara harmoni, unsur
satu dengan yang lain saling terkoordinasi, dan struktur yang ada di dalarnya
diusahakan terjaga dengan tertib dan teratur. Ketertiban dan keteraturan di
dalam alam semesta diwujudkan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan spiritual
manusia untuk menempatkan fungsi dan perannya sesuai dengan status yang
dimilikinya. Eksistensi Durga sebagai simbol kejahatan merupakan noda
manusia konteks profan dan supranatural, yang dihadirkan dalam pertunjukan
wayang untuk mengingatkan bahwa setiap waktu manusia akan mendapatkan
ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan dalam menapaki kehidupan
ke arah sifat-sifat yang berorientasi pada kejahatan dan kenistaan. Strategi
mitis, kosmis, dan magis yang dilakukan manusia dengan melepaskan diri dari
cengkeraman Durga, menjadi simbol ritual katarsis untuk melepaskan diri dari
emosi-emosi negatif yang tersimpan di dalam batin.
Ketiga teks naratif Durga Ruwat sajian Ki Manteb Sudarsono, Ki
Purbo Asmoro, dan Ki Seno Nugroho menempatkan Durga sebagai simbol
nafsu jahat dan hina, yang selalu menghantui kehidupan masyaraat Jawa.
Ekspresi simbolik dengan menampilkan ritual spiritual Durga Ruwat
sebagai sebuah usaha pencegahan, harapan, dan sekaligus pembebasan
seseorang atau kelompok sosial tertentu dari nafsu-nafsu jahat berlebihan
yang tidak terkendali, sehingga akan mempengaruhi kehidupannya secara
pribadi, sosial, dan ketuhanan. Teks naratif Durga Ruwat sajian Ki Manteb
Sudarsono menempatkan status dan peran Durga sebagai simbol kejahatan
dan kenistaan berhadap-hadapan dengan Semar sebagai sosok manusia dewa
yang berpengetahuan untuk menyatukan diri ke dalam cipta, rasa, dan karsa
Sadewa. Semar diposisikan sebagai sosok yang lebih memiliki pengetahuan
dari pada Batara Guru. Statusnya sebagai danyang (penguasa) tanah Jawa lebih
didekatkan kepada masyarakat dari pada Batara Guru, sedangkan teks naratif
Durga Ruwat sajian Ki Purbo Asmoro menempatkan Batara Guru sebagai
peruwat yang menyatukan diri dalam cipta, rasa, dan karsa bersama Sadewa.
Sumber malapetaka Durga dari Batara Guru dan yang membebaskannya
kembali kepada Batara Guru. Ada pun teks naratif Durga Ruwat sajian Ki
Seno Nugroho menempatkan sosok Hyang Mahardikengrat (Sang Hyang
Wenang) sebagai peruwat yang menyatukan cipta, rasa, dan karsanya bersama
dengan Sadewa. Perbedaan strategi dan penafsiran sosok peruwat pada tiga
teks naratif yang disajikan terletak pada kekuatan imajinasi, kepekaan intuisi,
intelektualitas, dan penguasaan kode budaya yang tergambar di dalamnya, meski secara permukaan yang tampil adalah sosok Sadewa.
Kutukan sebagai teks magi menjadikan sebab musabab terjadinya
instabilitas dalam diri manusia dalam relasinya dengan manusia lain, alam
semesta, dan Tuhan. Bergeloranya kehendak yang berlebihan tanpa kendali
dan tanpa mawas terhadap situasi lingkungan berakibat fatal. Kata sakti dalam
bentuk kutukan (supata) yang diproduksi Batara Guru yang dikenakan kepada,
istrinya, Uma menyebabkan sifat keutamaannya (sabar, halus), menjadi sirna,
tinggallah sifat jahat yang menjurus pada sifat nista (hina) yang divisualisasikan
dengan buruk muka menjadi raseksi (raksasa perempuan), demikian pula
kata sakti Uma kepada Batara Guru, menjadikannya bertaring. Durga sebagai
simbol kuasa kejahatan dikonstruksi ke dalam teks naratif berstatus ratu
makhluk supranatural sebagai batari, berperan sebagai penggoda, pengganggu,
dan pembujuk manusia ke jalan kenistaan. Kekuasaan Durga di alam gaib
yang luar biasa diredam oleh kekuasaan Semar sebagai pamong dan danyang
(penguasa) tanah Jawa.
Ketiga teks naratif Durga Ruwat sajian Ki Manteb Sudarsono, Ki Purbo
Asmoro, dan Ki Seno Nugroho menempatkan kuasa kejahatan berhadapan
dengan kuasa keutamaan. Wacana kuasa kejahatan bergerak atas inisiatif kuasa
keutamaan dengan berdasarkan pada konsep titi wanci (tiba saatnya menurut
kehendak Tuhan). Kuasa kejahatan yang menjerumuskan manusia ke jurang
kenistaan pada saatnya harus diredam, dikendalikan, dicegah, dan dilepaskan
dari dirinya, agar tetap suci dan utama. Genealogi kedewataan membingkai
hadirnya kuasa-kuasa kejahatan dan kuasa keutamaan. Sang Hyang Wenang
sebagai sumber kuasa tertinggi “membagi” kuasanya secara menurun kepada
Semar (Ismaya) dan Batara Guru (Manikmaya). Kuasa Semar dan Batara Guru
melekat pada status dan peran yang diberikan, yakni Batara Guru sebagai raja
di Kahyangan Suralaya dan Semar sebagai pamong kasatria utama di dunia
(Jawa). Genealogi memperlihatkan bahwa kekuasaan tersebar dan terbagi.
Anderson, Benedict R. O’G. (1990). Language and Power: Exploring Political
Cultural in Indonesia. New York: New Cornell University Press.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. (1988). Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ciptoprawiro, Abdullah. (1986). Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Darmoko. (2002). “Ruwatan Upacara Pembebasan Malapetaka: Tinjauan
Sosiokultural Masyarakat Jawa.” Jurnal Makara, Sosial Humantora, Vol.
6, No. 1 Juni 2002. Depok: UI.
— (2015). “Moralitas Jawa dalam Wayang Kulit Purwa: Tinjauan Pada
Lakon Laire Semar.” Paradigma: Jurnal kajian Budaya, volume 5 nomor
2. Depok: FIBUI.
… (2017). Wayang Kulit Purwa Lakon Semar Mbabar Jatidiri: sanggit
dan Wacana Kekuasaan Soeharto. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia.
2… 12020). Wacana Kekuasaan dalam Wayang: Pergulatan Sanggit Politik
dan Sanggit Estetik dalam Wayang Kulit Purwa Lakon Semar Mbabar
Jatidiri. Depok: Pusat Dokumentasi Seni Indonesia.
Hazeu, G.AJJ. (1979). Kawruh Asal-Usulipun Ringgit Sarta Gegepokanipun
Kaliyan Agami Ing Jaman Kina. Jakarta: Departemen P dan K.
Mulder, Niels. (1984). Kebarinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa:
Kelangsungan dan Perubahan Kulturi!. Jakarta: PT Gramedia.
Munandar, Agus Aris. (2014). Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna.
Jakarta: Wesatama Widya Sastra.
Peursen, C.A., van. (1989). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sunoto. (1987). Menuju Filsafat Indonesia. Yogyakarta: PT Hanindita Graha
Widya.
Suseno, Franz Magnis. (1993). Erika Jawa: Sebuah analisa Falsafi Tentang
Kabijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Teeuw, A. (1991). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
(1984). Sastra dan Ilmu sastra: Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT
Dunia Pustaka Jaya.