Kisah Para Dewi

Kisah Para Dewi

Bab 08: Durga, Calon Arang, dan Pangleyakan dalam Perspektif Tantrayana

DAFTAR ISI

Dr. Komang Indra Wirawan
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Email: indrawirawan2021@gmail.com

 

ABSTRAK

Artikel ini membahas mengenai peranan Dewi Durga dan ilmu hitam
(pangleyakan) dalam masyarakat Bali sebagaimana dipopulerkan oleh Seni
Pertunjukan Calon Arang, dan bagaimana kaitannya dengan Ajaran Tantra.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode studi kepuastakaan
dan pengamatan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengkaji literatur-
literatur tradisional terkait Durga dan Calon Arang, juga hasil studi terdahulu
yang dipandang relevan. Pengamatan dilakukan penulis terhadap penikmat
kesenian Calon Arang dan kesan-kesan saat menyaksikan pertunjukan Calon
Arang. Dalam cerita Calon Arang, Durga digambarkan sebagai dewi ilmu
hitam (pangleyakan) dan bencana. Sosok Dewi Durga sebagaimana yang
digambarkan oleh cerita dan pertunjukan Calon Arang ini sangat berbeda
dengan sosok Durga sebagai Mahisasuramardini (penghancur raksasa Mahisa)
yang adalah Dewi Ksatria yang penuh kasih. Dari penelitian yang dilakukan,
bisa disimpulkan bahwa penggambaran sosok Durga sebagai dewinya
Pengleyakan dan dikaitkan dengan bencana berakar dari pandangan khas
Tantra Kiri. Berbagai mantra Pengleyakan yang dikaji pun menunjukkan bahwa
Pangleyakan adalah semacam teknik meditasi khas Tantra. Dengan demikian,
penggambaran Durga, Calon Arang, dan Durga dalam Panyalonarangan tidak
berkaitan dengan “buruk” dalam konteks moral, melainkan sebuah kekhasan

dari ajaran yang banyak disalahpahami dan disalahgunakan.
Keywords: Calon Arang, Durga, Pangleyakan, Tantra

 

PENDAHULUAN

Durga adalah salah satu dewi dalam Agama Hindu yang sangat dikenal luas,
baik oleh penganut Hindu di India maupun di Bali. Sebagaimana bisa disimak
dalam penelitian Ariati (2014), jejak pemujaan Durga dalam berbagai aspeknya
bisa ditemukan baik dalam peninggalan-peninggalan arkeologis maupun
tekstual. Secara arkeologis bisa ditemukan patung-patung dan kuil yang
menunjukkan pemujaan terhadap Durga. Sedangkan secara tekstual, berbagai
teks didedikasikan bagi sisi feminim dari Yang Illahi, seperti misalkan Devi
Maharmya, Devi Bhagavata Purana, deretan Sakta Upanisad, dan tentu saja
yang paling menonjol adalah kitab-kitab bernuansa Tantra (Kingsley, 1997).

Dalam peradaban Nusantara pun peranan Durga dan berbagai aspeknya
cukup dikenal luas. Secara arkeologis, peninggalan bercorak Durga bisa
dijumpai di komplek Candi Prambanan. Aspek Durga yang diarcakan
di Prambanan adalah Durga Mahisasuramardini, yaitu Durga sebagai
penghancur Raksasa Mahisa. Termasuk pula di Bali, beberapa arca Durga
Mahisasuramardini bisa dijumpai, salah satunya adalah di Pura Penegil
Dharma (Durga Kutri).

Namun demikian, secara tektual, beberapa literatur tradisional (lontar)
yang memuat mengenai mitologi Durga memiliki nuansa yang jauh berbeda
dengan sosok Durga Mahisasura Mardini. Durga dalam dunia literatur lebih
menunjukkan aspek menyeramkan, mendiami kuburan, menjadi pembawa
bencana, dan merupakan dewinya Ilmu Hitam (Ariati, 2014). Sosok Durga
yang demikian tentu tidak terlepas dari peranan Calon Arang.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, Calon Arang merupakan salah satu
pertunjukan yang sangat ajeg dan sampai kini masih sangat digemari di seluruh
Bali. Pertunjukan ini didasarkan pada mitologi yang tertulis dalam sebuah teks
yang berasal dari abad ke-15 (Suastika, 1997). Dalam teks ini diceritakan bahwa
Calon Arang, seorang janda dari Dirah, mampu menebar wabah di Negeri
Daha dengan kemampuan ilmu hitam dan anugerah Bhatari Durga. Tidak
berlebihan jika kemudian disimpulkan bahwa asosiasi Durga yang berkaitan
dengan ilmu hitam dan bencana dipopulerkan oleh cerita dan pertunjukan
Calon Arang.

Selain Calon Arang, sosok angker Durga juga ditemukan dalam teks-
teks lain, seperti dalam Kakawin Sutasoma, Gaguritan Basur, dan Kidung
Sudamala. Dalam teks ini, Durga umumnya digambarkan sebagai sosok
menyeramkan dengan wajah raksasi, berdiam di kuburan, menerima
persembahan manusia, menjadikan para bhuta dan pisaca sebagai pengikut, dan dipuja untuk tujuan-tujuan desktruktif.

Melihat perbedaan antara sosok Durga dalam tradisi India dan Jawa Kuno
di Abad ke-10 dengan penyosokan Durga kemudian, maka penulis tertarik
untuk mengkaji ulang penggambaran Durga ini. Terutama dalam teks Prosa
Calon Arang yang menjadi landasan seni pertunjukan Calon Arang dan teks-
teks terkait. Pertanyaan mendasar yang berusaha dijawab melalui artikel ini
adalah, apakah di balik sosok angker Dewi Durga sebagaimana digambarkan
dalam kesenian Calon Arang ada aspek religius dan spiritual yang lebih
mendalam? Rumusan masalah ini berangkat dari asumsi dasar bahwa
mitologi (cerita-cerita religius) merupakan bahasa simbolik yang perlu dikupas
maknanya. Selain itu, dalam konteks pertunjukan Calon Arang, ketiga aspek
ini (Dewi Durga, Calon Arang, Leak) cenderung dipandang saling berkaitan,
sehingga penulis mengkhususkan pembahasan pada hubungan tiga aspek ini.

 

METODELOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kajian pustaka, dan
tambahan data diperoleh melalui pengamatan dan wawancara singkat. Kajian
pustakan dilakukan dengan meneliti hasil-hasil studi terkait Durga, Calon
Arang, dan Leyak. Hasil penelitian tersebut kemudian didokumentasikan
dan dijadikan bahan dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitian
ini. Penulis sebagai praktisi Seni Pertunjukan Calon Arang juga menyertakan
hasil-hasil pengamatan dan wawancara singkat bersama dengan para praktisi
maupun penikmat Calon Arang dalam memetakan perspektif masyarakat
terkait topik yang diteliti. Data-data yang didapat tersebut kemudian diolah
untuk menyusun kesimpulan dari penelitian ini.

 

KAJIAN DAN PEMBAHASAN

Durga dalam Calon Arang

Kisah Calon Arang mengambil setting tempat pada era Kediri, pada masa
pemerintahan Prabhu Airlangga. Sumber tertua yang memuat cerita Calon
Arang adalah sebuah prosa yang di akhir teksnya diberi judul Bharadah Carita
(Kisah Mpu Bharadah). Manuskrip ini berasal dari Abad ke-15. Turunan dari
teks prosa ini kemudian adalah sebuah Gaguritan berjudul Gaguritan Calon
Arang yang ditulis oleh Anak Agung Gde Pameregan (1810-1892) (Suastika, 1997). Pasca kedua teks ini, popularitas Calon Arang kemudian menjadi
semakin besar setelah diadopsi menjadi seni pertunjukan dan menjadi lakon
dalam Pertunjukan Wayang.

Tokoh utama ceritanya adalah seorang janda dari Desa Dirah yang bernama
Calon Arang, atau disebut juga dengan Walu Nateng Dirah. Calon Arang
dikisahkan tinggal di kuburan (setra) bersama murid-murid dan putri semata
wayangnya, yaitu Ratna Manggali. Konflik mulai terjadi saat tidak seorang
pun di Kediri yang mau memperistri Ratna Manggali. Hal ini membuat
Calon Arang kecewa dan sakit hati. Karena rasa sakit hati itu lah kemudian
dia berniat menghancurkan Kediri. Ada pun cara yang Calon Arang tempuh
adalah melalui “ilmu hitam.” Calon Arang mengambil sebuah pustakanya,
kemudian bersama murid-muridnya menuju tempat pembakaran mayat
(pemuhun setra). Dikisahkan di setra Calon Arang menari-nari bersama murid-
muridnya, kemudian memohon perkenaan Bhatari Durga.

Karena Dewi Durga berkenan dengan persembahan yang dilakukan Calon
Arang, Beliau kemudian menampakkan wujud bersama dengan pengikut-
pengikutnya. Pada saat itu Calon Arang juga meminta agar seluruh masyarakat
Kediri binasa. Bhatari Durga pun kemudian mengambulkannya, namun tidak
mengijinkan mencelakai sampai ke tengah dan hanya di pinggiran negeri saja.
Setelah itu, baik Calon Arang, murid-muridnya, Bhatari Durga, juga pengikut-
pengikut Beliau, semua menari-nari bersama di kuburan diiringi alat musik
(kamanak dan kangsi).

Kali kedua melakukan pemujaan, bahkan lebih menyeramkan lagi. Setelah
Calon Arang dan murid-muridnya menari-nari dengan gerakan mengerikan,
mereka kemudian mencari sesosok mayat segar. Mayat tersebut didirikan
dan diikat di Pohon Kepuh, dan saat Calon Arang menghembuskan nafas
padanya, mayat itu pun hidup kembali. Namun, belum beberapa saat, salah
satu Murid Calon Arang (Weksirsa) memenggal kepalanya kembali. Darahnya
kemudian dipakai mencuci rambut oleh Calon Arang, usunya dijadikan
kalung, dagingnya dipanggang dan dijadikan olahan untuk Bhatari Durga
serta para penghuni kuburan. Karena kali ini pemujaan Calon Arang demikian
menyenangkan Bhatari Durga, maka Calon Arang pun diijinkan membinasan
penduduk kediri sampai ke tengah.

Dalam versi Geguritan, ada beberapa perbedaan cerita, dan ada
penjabaran yang lebih detail terhadap aspek-aspek yang diceritakan. Dalam
versi Gaguritan disebutkan bahwa alasan kemarahan Calon Arang adalah
karena Raja Airlangga yang menolak menikahi Ratna Manggali dengan alasan berbeda wangsa (Suastika, 1997). Selain itu dijabarkan pula bagaimana cara
Calon Arang menghidupkan kembali mayat yang didapatkannya di kuburan,
sebagaimana tertuang dalam syair berikut (Suastika, 1997):

Kelihatan mayat baru dibuang dari rumah, laki-laki rupa tampan, di sana
dikerjakan. Segera memuja atas dasar dua aksara (ANG, AH), penyatuan
tiga, memberi suara tenaga dan nafas /81

Berikutnya, dijabarkan pula kemunculan Bhatari Durga, yang dalam Gaguritan
ini disebut pula dengan nama-nama lain, seperti Bherawi, Gangga, Gori:

Beluam selesai pemujaan sang janda, (ada) tertawa dari belakang, janda
bangun (namun) hatinya terpusat. Batari Hyang Bagawati, kelihatan
getaran, tiba-tiba keluar. /90

Bergetar semua wilayah kahyangan, berembus asap putih, (9b) berputar-
putar, menyelimuti di angkasa, api berpijar-pijar, berhenti tiba-tiba, jauyh
muncul Batari. /91

Warna bersinar, mulut menganga taring bergesek, rambut ikal terurai,
keindahan susu, dibakul bobondolan, bergetar kedua kali, berkain sinjang,
ditulis dengan sigar mangsi “warna celup.” /92

Berputar matanya bagaikan matahari kembar, tidak henti-hentinya
mengeluarkan api, antara pertemuan mata. Berteriak bertanya. “Hain
janda di Jirah ini, apakah maksudmu, murid penuh menyertai.” /93

Dalam penjabaran tersebut, jelas bisa disimak perwujudan Bhatari Durga
dalam Gaguritan Calon Arang menyerupai sosok Topeng Rangda yang sangat
disakralkan masyarakat Bali. Selain aspek perwujudan fisiknya, komponen api
yang disematkan terhadap Bhatari Durga juga kemudian masih bertahan dalam
lontar-lontar Pangleyakan (Yudiantara, 2019). Selain itu, baik dalam teks prosa
maupun teks Gaguritan, keduanya menempatkan Durga sebagai dewi yang
mengaminkan dan merestui mala petaka. Hal ini memberikan peran antagonis
terhadap Bhatari Durga.

Pencitraan Bhatari Durga sebagai dewi menyeramkan yang berstana di
sekitaran kuburan, dan merupakan ratunya ilmu Leak juga masih berlanjut
dalam karya sastra lain. Salah satu karya sastra lain yang juga sering kali
dijadikan sebagai lakon pementasan Pertunjukan Calon Arang adalah Basur, yang sumber ceritanya berasal dari Lontar Gaguritan Basur karya Ki Dalang
Tangsub. Tokoh utama dalam cerita ini, Gede Basur, yang juga karena
dilatarbelakangi rasa sakit hati terkait anaknya kemudian melakukan pemujaan
Durga di kuburan, lalu menerapkan Ilmu Pangiwa (Pangleyakan).

 

Calon Arang dan Pangleyakan

Berbicara mengenai Calon Arang, maka asosiasi umum masyarakat Bali
tentunya adalah Leyak (secara umum dieja, Leak). Dalam pemahaman
masyarakat Bali, leak adalah istilah umum untuk merujuk semua jenis ilmu
hitam dan hal-hal destruktif. Calon Arang dianggap sebagai ratunya Leak dan
menggunakan Ilmu Pangleyakan sebagai sarana menghancurkan Kerajaan
Kediri. Persepsi masyarakat terkait Leak ini terutama semakin kuat karena
adanya sosok Tukang Undang dalam setiap pertunjukan Calon Arang. Tukang
Undang adalah seseorang yang bertugas mengundang siapa pun yang merasa
memiliki kemampuan Pangleyakan untuk mencelakai para pemeran, terutama
Pemeran Mayat (Bangke Matah). Dalam konteks ini, seni pertunjukan Calon
Arang kemudian menjadi semacam ajang untuk adu kesaktian (kawisesan).

Selain sisi destruktifnya, sisi lain dari Pangleyakan dalam Calon Arang
yang bertahan dalam paradigma masyarakat Bali adalah terkait perubahan
wujud. Dikatakan bahwa mereka yang menguasai Ilmu Leak akan mampu
merubah wujudnya menjadi berbagai macam mahluk lain, mulai dari monyet,
anjing, garuda emas, sampai bade. Perubahan wujud lain yang sesuai dengan
karakter dalam pertunjukan Calon Arang tentu adalah Celuluk dan Rangda.
Kemampuan seseorang dalam merubah wujud dipengaruhi oleh tahapan
penguasaanya terhadap Ilmu Leak.

Tentu saja harus diakui bahwa banyak dari aspek-aspek terkait Pangleyakan
dalam seni pertunjukan Calon Arang merupakan hasil kreatifitas seniman.
Sebagaimana teks prosa Calon Arang yang bersifat kawya (karangan), demikian
pula dengan seni pertunjukan Calon Arang, keduanya tidak terlepas dari
fungsinya sebagai media hiburan. Terutama di era sekarang, saat kebanyakan
pertunjukan Calon Arang cenderung bersifat profan (Wirawan, 2018). Tentu
saja banyak wacana dan elemen dalam Penyalonarangan yang bersifat sakral
dan bersumber dari pustaka-pustaka suci. Karenanya, diperlukan kemampuan
memilah dan memilih batasan antara hiburan dan ajaran.

Selain sebagai wacana yang berkembang luas di masyarakat, Pangleyakan
juga menjadi diskursus yang berkembang luas dalam lontar-lontar berkatagori
Kawisesan. Dalam dunia literasi, demikian pula menurut pandangan
masyarakat Bali, Leak disebut pula dengan Pangiwa (“ilmu kiri), yang
merupakan lawan dari Panengen (“ilmu kanan”). Melihat Pangleyakan dari
perspektif lontar-lontar yang mengajarkan ilmu ini secara langsung merupakan
cara yang lebih tepat untuk memahami wacana Pangleyakan.

Dalam Lontar-lontar Pangleyakan, secara garis besar ada tiga prinsip dalam
menguasai Ilmu Leak sebagai berikut (Yudiantara, 2019): 1) menginternalisasi
dewa dan bhuta ke dalam diri, 2) melakukan meditasi api, 3) mengucapkan
mantra-mantra pangleyakan. Kemudian, intisari dari berbagai mantra
pengaleyakan yang ada mengandung prinsip-prinsip berikut (Yudiantara,
2019): 1) menegaskan diri sebagai sosok-sosok agung: 2) menegaskan diri
ditakuti, disembah dan bahkan menjadi asal muasal manusia dan seluruh alam:
3) menegaskan diri memiliki karakteristik yang menyamai dewa-dewi, seperti
memiliki banyak kepala dan tangan, 4) menegaskan diri memiliki kemampuan-
kemampuan supernatural.

Tentu saja jika disimak penjabaran mengenai Ilmu Leak dalam teks-teks
ini jauh berbeda dari apa yang ada dalam pementasan Calon Arang, juga apa
yang ada dalam keyakinan umum masyarakat Bali yang hanya mengedepankan
sisi destruktifnya. Ilmu destruktif ini, dalam literatur tradisional (lontar) lebih
cenderung disebut dengan Aji Wegig atau Desti. Dalam Kamus Jawa Kuno
(Zoetmulder, 1982), kata wegig sendiri berarti nakal dan kurang ajar.

 

Durga, Calon Arang, dan Tantrayana

Tantra adalah salah satu arus kebijaksanaan timur yang sering kali
disalahpahami (Feuerstein, 1998). Penulis telah banyak menyinggung terkait
jejak-jejak Tantra dalam kebudayaan Bali (Wirawan, 2022). Dalam perspektif
global, Tantra sering kali dikaitkan dengan seksualitas. Sedangkan dalam
perspektif tradisional, Tantra sering kali diasosiasikan dengan ilmu hitam.
Tentu saja seksualitas dan “ilmu hitam” memang merupakan bagian dari teks-
teks yang digolongkan sebagai Tantra, namun hanya merupakan bagian kecil
dari keseluruhan tradisi Tantra itu sendiri.

Bali sendiri bisa digolongkan sebagai tanah Tantra, mengingat ajarannya
dilandasi oleh Shaiva Siddhanta. Namun, selain Shaiva Siddhanta yang
digolongkan sebagai “Tantra Kanan,” di Bali aspek-aspek Tantra Kiri pun
bisa dijumpai. Ada pun Leak disebutkan merupakan bagian dari Tantra
arus Vama Marga, dan terkait pula dengan Durga (Yudiantara, 2019). Perlu
diingat, bahwa istilah Kanan-Kiri dalam konteks ini tidak menandakan sifat
baik-buruk, namun lebih pada asosiasi keillahiran. Shaiva Siddhanta cenderung
memuja aspek-aspek Illahi yang bersifat maskulin, sedangkan Tantra Kiri lebih
cenderung mengedepankan aspek-aspek illahi yang feminim (Bhattacharyya,
2005).

Menurut Buhneman (2018), dalam Tantra dikenal berbagai jenis sihir,
yang secara umum digolongkan sebagai enam ritual (sihir) yang disebut
satkarmani. Ada pun pembagiannya, yaitu:

1. Menyembuhkan berbagai penyakit (shanti),

2. Membuat seseorang takluk dana da di bawah kendali, termasuk membuat
wanita jatuh cinta (vasya, vashikarana),

3. Membuat orang lain menghentikan aktifitasnya (stambha)

4. Menciptakan permusuhan antara satu orang dengan orang lain yang
tadinya harmonis (dvesha)

5. Mengusir seseorang dari tempatnya (uccata), dan

6. Menciptakan penyakit dan bahkan menghilangkan nyawa (marana).

Dari keenam ritual tersebut, lima diantaranya digolongkan sebagai
ilmu destruktif (abhicara), dan satu sebagai ilmu konstruktif. Abhicara
adalah apa yang masyarakat Bali labeli sebagai Leyak, atau yang oleh teks-
teks Kawisesan sebut sebagai Aji Wegig. Dalam teks Calon Arang, Aji Wegig
disejajarkan dengan teluh, yang mana istilah ini masih dikenal luas di Jawa
sebagai penyebutan untuk ilmu hitam. Aji Wegig juga bisa disejajarkan
dengan marana. Selain marana, jenis-jenis sihir lain berkembang pula di Bali
dalam istilah yang berbeda (Yudiantara, 2019). Misalkan, santi di Bali bisa
disejajarkan dengan ilmu-ilmu seperti Usadha, Pangraksa Jiwa, Tetulak, dan
sejenisnya. Sedangkan Vasya/ Vasikarana bisa disejajarkan dengan Penangkeb,
Pengasih, dan Pematuh. Sementara itu, dvesa di Bali dikenal dengan sebutan
Pemegat.

Selayaknya berbagai praktik lain dalam Tantra, jenis-jenis sihir ini pun
mempergunakan elemen-elemen khas dari Tantra, seperti: bhija mantra,
yantra (gambar-gambar sakral), berbagai ritual, gerak tangan khusus
(mudra), dan lain sebagainya. Elemen yang sama juga ditemukan dalam seni
pertunjukan Calon Arang (Wirawan, 2018). Dalam setiap pertunjukan Calon
Arang biasanya selalu mempergunakan kekereb, yaitu secarik kain putih yang
digambar berbagai sosok lengkap dengan aksara-aksara suci. Kain ini berfungsi
sebagai yantra yang kemudian membantu seseorang untuk memyvisualisasikan
hal-hal yang dimohonkan, serta dewa-dewi yang dipujanya. Sementara itu,
elemen mudra bisa disimak melalui gerakan-gerakan jari yang dilakukan
oleh penari Rangda selama pertunjukan. Terkait mantra, tentu saja menjadi bagian tak terpisahkan dari pertunjukan Calon Arang, baik sebelum, selama
pertunjukan digelar, dan setelahnya.

Selain penggunaan bhija mantra dan mistisisme aksara, aspek lain
yang juga menjadi ciri khas dari mantra dalam Tantra adalah bagaimana
penggunaannya untuk mengidentifikasi sang praktisi dengan dewata pujaanya
(Padoux, 2017). Selain itu, praktik Tantra juga bertujuan untuk menyatukan
antara berbagai energi mistis, alam, dan tubuh. Implementasi dari prinsip yang
sama bisa dilihat dari ucap-ucap Rangda berikut:

Alungguh sang hyang dasa aksara marewantenin dalemin sarira…Surya
candra geni ring netranku, sang hyang ludra murti ring lidahku, sang hyang
candi geni murti ring kiwa tengen sang hyang siwa gori ring ungkurku,
sang hyang surya koti rig harepku…

Terjemahan:

Berstana Sang Hyang Dasa Aksara di dalam tubuhku…matahari bulan dan
api di mataku, Sang Hyang Ludra Murti di lidahku, Sang Hyang Candi
Geni Murti di kanan kiriku, Sang Hyang Siwa Gori di belakangku, Sang
Hyang Surya Koti di depanku.

Pola dan prinsip yang sama bisa dilihat dalam mantra-mantra Pangleyakan.
Karenanya, dalam kajiannya terhadap belasan lontar Pangleyakan yang ada di
Bali, Yudiantara (2019) menyimpulkan bahwa Ilmu Leak merupakan sebuah
ilmu meditasi Tantra. Selain aspek yang disebutkan sebelumnya, aspek Tantris
lain dalam Pangleyakan adalah penggunaan api mistis dan kultivasi aksara
(Yudiantara, 2019). Dalam Gaguritan Calon Arang sendiri, Bhatari Durga
dipuja sebagai perwujudan aksara (Suastika, 1997).

Selain itu, sebuah kutipan dari Lontar Budha Kecapi Putih (Wirawan,
2018) juga layak disimak untuk memberikan perspektif berbeda.

Inilah keutamaan orang yang menjalani pangiwa, patut diketahui dulu,
dijalankan dewa tatrwa, juga penunggalan Tri Aksara, sampai Rwabhineda,
sebab itulah yang utama diantara yang utama, sekala dan niskala dikuasai,
dihormati oleh semua mahluk, dikasihi oleh para dewa bhatara, dan
disembah bhuta-bhuti… caranya adalah dengan membiasakan diri di
saat bulan purnama, melakukan yoga menghadap timur, menunggalkan
kesadaran, memadamkan gerak, menghilangkan musuh dan diri,
menjalankan kesucian. Inilah yang disebut pangiwa ngisep sari.

Sebagaimana bisa disimak, elemen-elemen seperti penggunakan Triaksara,
Rwabhineda (ANG, AH) juga disinggung dalam Gaguritan Calon Arang
sebagai salah satu metode yang dipakai Calon Arang. Sementara itu, dalam
Prosa Calon Arang juga disebutkan bahwa pustaka andalan Calon Arang
merupakan ilmu kebaikan yang disalahgunakan oleh Calon Arang (Suastika,
1997).

 

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah disajikan bisa disimpulkan bahwa, dalam
perspektif Seni Pertunjukan Calon Arang, Dewi Durga digambarkan sebagai
dewi menyeramkan yang menjadi dewinya ilmu sihir. Salah satu pemuja Durga
yang sangat taat, yang sekaligus sering kali dijuluki sebagai ratu leyak adalah
Calon Arang. Namun demikian, ilmu leyak sendiri bukan lah ilmu yang selalu
bersifat destruktif. Kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa Ilmu Leyak
merupakan sebuah praktik spiritual dari arus Tantra Kiri. Aliran Tantra Kiri
(vama marga) adalah aliran yang mengedepankan pemujaan terhadap aspek-
aspek Sakti, baik dalam pengertiannya sebagai “dewi (aspek keillahian yang
bersifat feminim)” maupun sebagai kekuatan supernatural.

Tantra sebagaimana pula jalan spiritual lain bertujuan untuk mencapai
pencerahan spiritual, tanpa mengabaikan aspek-aspek duniawi. Karena hal
ini lah maka dalam Tantra diajarkan ilmu-ilmu kesaktian yang berguna untuk
pemenuhan keduniawian. Dewi Durga dan berbagai aspeknya, seperti Kali
dan Bhairawi banyak dipuja dalam kalangan Tantra. Terlepas dari peranannya
sebagai dewinya ilmu sihir (kawisesan), hal ini tidak serta-merta memberikan
karakteristik buruk terhadap sosok Dewi Durga, sebagaimana pula Ilmu Leyak
sendiri tidak lah bersifat buruk semata. Sebagaimana dituturkan dalam kisah
Calon Arang, ilmu Calon Arang adalah ilmu Tantra yang meski pun bertujuan
baik namun, sebagaimana pula semua ilmu lain, bisa dipergunakan untuk
mencapai tujuan-tujuan destruktif.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ariati, N. W. P. (2014). The Journey of A Goddes: Durga In India, Java and
Bali. A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy. Charles
Darwin University.

Bhattacharyya, N.N. 2005. History of Tantrtc Religion. Second Revised Edition.
New Delhi: Manohar Publications.

Buhnemann, Gudrun. “26. The Six Rites of Magic”. Tantra in Practice, edited
by David Gordon White, Princeton: Princeton University Press, 2018, pp.
447-462. https://doi.org/10. 1515/9780691190457-032

Feuerstein, Georg. 1998. Tantra: The Path of Ecstasy. Boston & London:
Shambala Publications.

Kinsley, R. David. 1997. Tantric Visions Of the Devine Feminine: Ten
Mahavidyas. Delhi: Morilal Banarsidass Publishers Private Limited.
Padoux, A. 2017. The Hindu Tantric World: An Overview. Chicago: University of Chicago Press

Wirawan, Komang Indra. 2018. Calonarang: Ajaran Rahasia di Balik Tarian
Mistis. Denpasar: Bali Wisdom.

Yudiantara, P. (2019). Ilmu Tantra Bali: Memetakan Ajaran Spiritual Para
Leluhur. Denpasar: Bali Wisdom.

Zoetmulder, PJ. (1982). Kamus Jawa Kuno Indonesia. Darusuprapta,
Suprayitna, S. (Pen). Jakarta: PT Gramedi pustaka Utama.