Ida Bagus Made Baskara
Pasraman Dharma Sila
Email: suryabalishanti@gmail.com
Penelitian yang berjudul “Durga dan Rajah-Rajah di Bali” bertujuan untuk mengetahui konsep Durga di Bali berupa puja ataupun diwujudkan dalam bentuk gambar-gambar magis pada berbagai media untuk berbagai fungsi. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah metode studi pustaka, dan wawancara, dalam menganalisis data metode deskriptif, dan metode informal (naratif) dalam penyajian hasil analisis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Durga sangat popular di Bali yang bukan hanya dilibatkan dalam berbagai praktik keagamaan melalui puja melainkan juga dilibatkan pada praktik kebhatinan, pengobatan teradisional, tolak bala, penjaga diri, sebagai sarana upaya jahat untuk menyakiti sesama manusia. Durga sering diwujudkan berupa Rajah pada media kertas, logam, tumbuhan dilengkapi dengan berbagai doa mantra. Ada dua perwujudan utama Durga dalam bentuk Rajah yaitu berwujud Bhatari Durga dan Durga murti.
Kata kunci: Durga, Puja, Rajah
Durga adalah dewa Hindu yang popular di India, di Jawa bahkan di Bali, bukan hanya pada masa lampu, bahkan di masa kini Durga masih menjadi sosok penting dalam ritual religious magis di Bali. Sepertihalnya di Jawa perwujudan Durga yang popular di Bali adalah peninggalan arca berwujud Durga mahisasura Mardini. Yaitu Durga dengan karakter krodha (marah) sedang menunggangi kerbau sebagai perwujudan raksasa Mahisa Sura.
Di Bali pengaruh ajaran Tantrayana diperkirakan sudah mulai ada sejak masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa pada tahun 989-101 Masehi, dikenal nama Cri Gunapriya Dharmapati sebagai permaisuri raja, ia seorang putri dari Jawa Timur, yakni putri dari Makutawangsa-Wardana, sedang Makutawangsa Wardhana adalah cucu raja Sindok. Perwujudan Durga berupa arca Durga Mahesasura Mardhini juga ditemukan di Bali, sebagai penanda bahwa sosok Durga berbentuk arca juga dikenal. “patung patung berwujud Pamurtian Durga (Durga Mahisasuramardhini| ini sangat banyak ditemukan di Jawa. Di Bali arca ini ditemukan di Kutri, Buruan Gianyar. Oleh para arkeolog patung ini menggambarkan Mahendradatta, yaitu Gunapriyadharmapatni istri Udayana pemuja Durga” (Suamba, 2011: 4)
Selanjutnya perwujudan Durga juga mengalami perkembangan di Bali bukan hanya berwujud Krodha (marah) tetapi sosok Durga sudah mulai berubah menjadi krura (menyerankan) Raksasi (raksasa perempuan) dengan berbagai atribut dan karakteristik. Lalu bagaimana sesungguhnya Durga di puja di Bali dan apa fungsinya patur digali lebih dalam.
Di Bali juga ditemukan banyak sekali rajah beruwujd Durga yang mungkin belum atau bahkan tidak ditemukan di tempat lain, apa saja jenis rajah Durga dan apa saja fungsinya spertinya juga layak untuk diteliti lebih lanjut.
1. Bagaimanakah Durga puja di Bali?
2. Apa sajakah fungsi Durga puja di Bali?
3. Bagaimanakah Durga dalam rajah-rajah di Bali?
4. Apa sajakah fungsi Durga dalam rajah-rajah di Bali?
1. Untuk mengetahui bagaimana Durga puja di Bali
2. Untuk mengetahui fungsi Durga puja di Bali
3. Untuk mengetahui bagaimana Durga dalam rajah-rajah diBali
4. Untuk mengetahui apa sajakah fungsi Durga dalam rajah-rajah di Bali
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode studi pustaka, wawancara metode deskriptif dalam menganalisis data, dan metode informal (naratif) dalam penyajian hasil analisis
Durga Puja
Durga dipahami sebagai wujud dahsyat sekaligus mengerikan dari dewi Uma yaitu aspek feminism dari dewa Siwa. “kata durga sebenarnya berasal dari durtgam, dur berarti “sukar, buruk,” dan akar gam berarti “jalan, pergi” (Santiko,1992:297). Perwujudan Durga di Jawa dan Bali berbeda dengan perwujudan Durga di India tetapi memilki satu kesamaan sebagai aspek utama dari Siwa. Pemujaan kepada dewi Uma ataupun Durga dianggap sama pentingnya dengan pemujaan kepada Siwa itu sendiri,
“Durga Puja, yaitu pemujaan kepada Dewi Durga sebagai aspek feminism atau shakti Siwa mempunyai sejarah yang Panjang sejak zaman peradaban pra Veda, yaitu peradaban lembah sungai Sindhu, Veda dan berkembang hingga keluar India, seperti Tibet, Cina, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia” (Suamba, 2011:3).
Durga di India diwujudkan melalui konsep yang hampir identik dengan Durga di Jawa ataupun Bali. Di India sosok Durga sering diwujudkan dengan kecantikan lalu di Jawa dan Bali lebih dominan kepada wujud yang Krura (menyeramkan) ataupun Krodha (dahsyat). “Apabila kita pelajari kitab-kitab kegamaan di India, maka jelaslah bahwa baik Uma maupun Durga adalah aspek-aspek sakti Siwa. Uma adalah aspek santa (tenang), sedangkan Durga adalah aspek krodha (dahsyat) (santiko, 1992: 175).
Durga puja adalah tradisi pemujaan khusus kehadapan dewi Durga yang dilakukan hampir disemua belahan dunia dimana agama Hindu berkembang. Di India Durga Puja adalah salah satu ritual penting dilakukan selama Sembilan hari berturut-turut. Dikenal juga dengan Istilah Durga Nawa Ratri, yaitu pemujaan kepada dewi Durga selama Sembilan malam. Dirayakan begitu
meriah.
Durga Puja atau Pemujaan kepada Durga bukan hanya popular di India tetapi juga semarak dilaukan di Jawa pada masa lampau dan juga dilaksanakan di Bali hingga kini. Berbeda dengan di Jawa yang kini telah ditinggalkan mayoritas penduduknya di Bali Durga Puja masih “hidup”, masih dirayakan secara meriah dan ada juga yang bersifat rahasia. Durga Puja dilakukan secara peribadi dan berkelompok di Bali dengan siklus tetap dan berulang mengikuti perhitungan pawukon (mingguan), wewaran (hari).
Durga puja masih menjadi bagian penting dari ajaran tantrayana yang berkembang dinusantara. “berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeolog dapat diketahui bahwa perkembangan mula-mula tantrayana di Nusantara tampak dikerajaan Sriwijaya, di Sumatra pada abad ke-7 Masehi (Surasmi, 1969:3).
Dalam ajaran tantrayana pemujaan kepada Shakti (aspek feminim Siwa) disebut para-Shakti (dewi dalam wujud tertinggi) dianggap sangat penting. “Persamaan antar Durga dan Para-Shakti (devi) dijumpai dalam beberapa kitab purana lainya, misalnya markandeya purana, Devi Purana, Kalika Purana, dan Vamana Purana” (Santiko,1992:215).
Di Bali pengaruh ajaran tantrayana diperkirakan sudah mulai ada sejak masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa pada tahun 989-101 Masehi, dikenal nama Cri Gunapriya Dharmapati sebagai permaisuri raja, ia seorang putri dari Jawa Timur, yakni putri dari Makutawangsa-Wardana, sedang Makutawangsa Wardhana adalah cucu raja Sindok. Selanjutnya di Bali perwujudan Durga berupa arca Durga Mahesasuramardhini juga ditemukan, sebagai penanda bahwa sosok Durga berbentuk arca juga dikenal. “patung patung berwujud Pamurtian Durga (Durga Mahisasuramardhini) ini sangat banyak ditemukan di Jawa. Di Bali, arca ini ditemukan di Kutri, Buruan Gianyar. Oleh para arkeolog patung ini menggambarkan Mahendradartta, yaitu Gunapriyadharmapatni istri Udayana pemuja Durga” (Suamba, 2011: 4)
Arca Durga Mahesasuramardhini yang ditemukan di Bali menjadi bukti bahwa sosok Durga pernah dijadikan symbol penting mewakili istri raja Udayana yang juga seorang pemuja Durga. Di Bali Durga Puja adalah ritual penting yang masih dilakukan hingga sekarang, baik secara berkelompok, berjamaah ataupun perorangan yang bersifat sangat peribadi dan rahasia. Pemujaan kepada Durga di Bali dimaknai sebagai upaya penting untuk memohon keselamatan, kesembuhan, bahkan kesaktian.
Ritual Durga Puja yang diperakrikan secara peribadi, perorangan, dikaitkan dengan peraktik kawisesan (kekuatan gaib) yang dilakukan dengan memuja Bhatari Durga yang bersthana di panguluning Setra (pura diwilayah kuburan). Durga Puja perorangan bersifat sangat rahasia dilakukan sendiri tengahing latri (tengah malam) dan tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Peraktik durga Puja di Bali tampaknya sejalan dengan pemujaan Durga di India “jenis-jenis Durga Puja di India sangat banyak tetapi dari jumlah pesertanya, Durga Puja ini dapat kita kelompokkan kedalam dua kelompok:
1. Pemujaan perorangan.
2. Pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat luas dari segala lapisan pada saat yang sama” (Santiko, 1992: 221)
Teradisi kawisesan (ilmu kadigjayaan) di Bali di kelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu kawisesan Pangiwa dan kawisesan panengen. Kawisesan pangiwa berasal dari kata kiwa yang artinya kiri, di kaitkan juga dengan wamacara marga, sebagai cabang dari ajaran tantra yang berkembang di Bali, diterjemahkan sebagai” left hand magic” (Ariati, 2009:259). Wamacara maraga terdiri dari kata wama yang artinya wanita dan marga yang artinya jalan. Pangiwa atau wamacara marga merupakan peraktik ajaran tantra yang mengutamakan pemujaan kepada shakti (aspek wanita-feminim) dari dewa Siwa yaitu Bhatari Durga.
Pada praktik pangiwa inilah Durga Puja dilakukan dengan sangat khusus, biasanya dilakukan di smasana (kuburan) dan dilakukan pasd saat tengah malam. Bertujuan untuk memohon anugrah Bhatari durga, berupa kesaktian (kekuatan magis), kasiddian (keberhasilan dalam memperaktikan ajaran pangiwa).
Berbeda dengan Durga Puja yang dilakukan secara peribadi maka Durga Puja yang bersifat umum biasanya dilakuan secara meriah, dengan keramaian, dilakukan sebelum tengah malam dan biasanya tidak berdiri sendiri. Misalnya saat ada upacara di Pura Dalem Panguluning setra (Pura Dalem dihulu kuburan). Durga Puja yang dilakukan berkelompok beramai-ramai biasa dilakukan saat hari raya Galungan dan semua rangkaian,
Dua cara pemujaan kepada Bhatari Durga (Durga Puja) di Bali tidak lepas dari pengaruh ajaran tantrayana yang begitu kuat. “Ajaran Tantrayana ini masuk didalam ajaran Siwa dan Buddha di Bali. Banyak sekali terdapat unsur-unsur tantrayana di dalamnya, termasuk Galungan” (Suamba, 2011: 6)
Jenis-jenis Durga Puja di Bali
Ada dua jenis Upasana (pemujaan) yang diamalkan dalam Hindu khususnya dari mazab Tantrayana yaitu zntaryaga upasana dan bhairyaga upasana. Antaryaga Upasana ada pemujaan yang dilakukan secara peribadi, perorangan dan bersifat rahasia sedangkan Bhairyaga Upasana bersifat sebalikanya, dilakukan masyarakat luas, bersifat umum. “Ada dua jenis pemujaan (upasana): eksternal (bahiryaga) dan Internal (antaryaga). Jenis pertama (antaryaga) adalah benar-benar mempergunakan ritual sesuai dengan veda atau tantrik, dengan menggunakan alat-alat fisik dan materi. Sedangkan jenis yang belakangan (bahiryaga) sifatnya simbolis dan abstrak, yang bebas dari pelaksanaan ritual (umum). Lebih jauh, pemujaan secara eksternal (bahiryaga) melibatkan sejumlah partisipan, sedangkan yang internal Jantaryagal sepenuhnya individual, perorangan (Redig, 2000: 63)
Dua jenis pemujaan ini juga diterapkan pada peraktik Durga Puja di Bali begitu juga di India. “jenis-jenis Durga Puja di India sangat banyak tetapi dari jumlah pesertanya, Durga Puja ini dapat kita kelompokkan kedalam dua kelompok:
1. Pemujaan perorangan.
2. Pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat luas dari segala lapisan pada saat yang sama” (santiko, 1992: 221)
Durga Puja di Bali dilakukan melalui dua jenis pemujaan, baik bersifat peribadi ataupun bersifat umum. Antaryaga Upasana (pemujaan bersifat peribadi perorangan) di Bali dilakukan oleh orang yang ingin berlatih kawisesan (ilmu kebhatinan) untuk memperoleh siddhi (keberhasilan). Di Bali Durga Puja juga dilakukan secara luas oleh masyarakat umum atau disebut Bhairyaga Upasan, misalnya, Durga Puja di Pura Dalem panguluning Setra, Hari Raya Galungan
Pemujaan Durga di Bali dilakuan melalui tiga komponen penting yaitu Upakara, Mantra, tattwa. Upakara atau sesaji dibentuk dari berbagai bahan buah, biji-bijian, termasuk beras, bunga dan daging. Pada ritus Durga Puja di Jawa persembahan berupa Care datapat ditemukan pada berbagai sumber termasuk prasasti, misalnya prasasti Trailokyapuri ataupun teks sastra, misalnya teks Calon Arang. Persembahan berupa caru saat Durga Puja di Jawa mengalami perubahan komponen isi.
“Berdasarkan keterangan-keterangan di atas (prasasti: Telaga Batu, Dinoyo, pereng, kwak III, kubu-kubu badri, sugih manek, lintakan, Siman. Kitab: adi parwa, Sivaratrikalpa, Sutasoma, Calonarang) dapat diketahui bahwa sebelum zaman Majapahit carw adalah persembahan berupa bubur beras atau nasi, sedangkan pada zaman Majapahit terdapat dua macam pengertian.
Pertama persembahan adalah berupa bubur (dari beras atau kacang-kacangan) dicampur susu, dan kedua persembahan berupa darah/daging mentah atau mahluk hidup kepada dewa yang bersifat krura (Durga) serta kepada Bhuta” (Santiko, 1992: 141).
Lalu perwujudan Durga baik di Jawa pada era Majapahit ataupun di Bali lebih banyak diwujudkan sebagai sosok Krura, sehingga persembahan yang diberikan saat Durga Puja adalah berupa Caru. “kenyataan ini mendorong kita untuk mengambil suatu kesimpulan bahwa tugas dan sifat Kali yang menakutkan (krura) dengan sengaja “diberikan” kepada Durga, sehubungan dengan adanya anggapan bahwa Durga di Jawa adalah Durga Kali” (Santiko, 1992: 261)
Saat ini di Bali kata caru telah mengalami penyempitan makna sebatas persembahan kepada berbagai manifestasi Bhuta-kala (mahluk penghuni alam bawah). Untuk melakukan Durga Puja sarana yang diperlukan ada berupa Banten (sesaji) yang juga dilengkapi dengan Caru (persembahan kepada bhuta-kala abdi Durga).
Penggunaan banten (sesaji) dalam setiap ritus Durga Puja di Bali dikaitkan juga dengan upaya mematrealisasi, mewujudkan sosok Durga melalui banten. Banten Tebasan Durgadewi adalah banten yang sangar penting sekali dihaturkan pada saat Durga Puja dilakukan di pura Dalem panguluning setra menurut informasi Ida Pedanda Kembengan Manuaba.
“Durga Dewi, Tatebasan
Katur: Rikala Pujawali ring Pura Dalem
Upakarania: Aled tatebasan (ileh ne kakiwa, nenten masibeh), pisang, tebu, bantal, porosan, jaja uli dan bagina, tape, buah-buahan (raka-raka), perangkadan/rerasmen kojong, peras dan panyeneng alit, beras lan benang tatebusan, sampian naga sari, canang lenga buratwangi
Dagingnia: Tumpeng 1 panjangnyane sa-hasta (asiku), makarawisto, kalpika, kwangen 1, ulamnyane ayam putih mepanggang” (Suryawan, 2021: 44)
Terjemahan:
Durga Dewi Tatebasan
Dipersembahkan: saat Pujawali (upacara) di Pura Dalem
Sesajinya: alas Tatebasan (sesajen), (pola putaran ke kiri), tanpa pola pinggir), pisang, tebu, bantal porosan, jajan uli dan bagina, tape dan buah-buahan, perangkadan/rerasmen kojong, peras dan penyeneng alit, beras dan benang tatebusan, sampian naga sari, canang lenge wangi buratwangi
Isinya: Tumpeng 1, panjangnya satu siku (tangan dikepal, Panjang siku menuju kepalan tangan), makarowista, kalpika, kwangen 1, daging ayam putih yang di panggang.
Sesaji Durga Dewi menggunakan beberapa sarana yang berhubungan erat denga Dewi Durga, misalnya buah pohon pisang (Musa Paradisiaca), di India pisang disebut juga Rambha, Kadali sebagai bagian dari Navapatrika (Sembilan tumbuhan suci) sebagai sarana permohonan kepada Durga. ”Navapatrika or the nine plants collectively are symbol of Durga” (Gupta, 2001: 44). Gupta juga menyebut bahwa Tebu merupakan bagian dari Navapatrika, sehingga baik pisang dan tebu pada tebasan Durga Dewi merupakan sarana penting yang digunakan untuk memuja Durga baik di India ataupun di Bali. Di Bali pada teks Barongswari juga disebutkan bahwa jenis pisang tertentu lahir dari air susu Durga.
Penggunaan buah pisang dan tebu pada tebasan Durga Dewi sebagai banten (sesaji) berfungsi sebagai symbol tubuh Durga. Lalu hal menarik juga tampak pada penyertaan Tumpeng pada tebasan Durga Dewi yang terbuat dari beras, setelah dimasak kemudian dibentuk meyerupai gunung, mengkerucut keatas. Pengunaan beras sebagai persembahan saat Durga Puja juga dilakukan di Jawa di masa lampau walaupun bentuknya berbeda. Lalu sesaji Durga Dewi saat Durga puja juga menyertakan daging ayam yang dipanggang.
Penggunaan berbagai macam Daging pada rangkaian Banten di Bali adalah penanda kuat peraktik ajaran Tantrayana. “Di dalam ajaran Tantrayana dilakukan sadhana yang disebut Panca Ma: (1) Mamsa artinya makan daging, (2) Matsa artinya makan ikan, (3) Madya artinya minum minuman keras, (4) dan gerakan-gerakan tangan” (Suamba,2011:6)
Pada teks lontar Yadnya prakerti disebutkan tiga fungsi utama banten: pinaka rupa warna Bhatara yaitu banten sebagai perwujudan bhatara (dewa-dewi), banten pinaka anda bhwana yaitu banten sebagai perwujudan alam semesta, dan Banten Pinaka Raganta twi yaitu banten sebagai perwujudan diri sendiri (tubuh).
Banten tebasan Durgadewi selain sebagai sesaji persembahan juga dijadikan sebagai symbol perwujudan Durga. Prosesi mewujudkan Durga sangat penting sekali dalam pelaksanaan Durga puja sebagi ciri peraktik ajaran tantra. Avlon dan Gupra (dalam Santiko, 1992: 158) “Dalam agama Hindu, khususnya aliran Tantra, kita mengenal adanya tiga macam tubuh (sarira) dewa, yakni Para-sarira atau Karana-sarira tidak berwujud dan tidak ada yang tahu, suksma-sarira dalam bentuk mantra dan sthula-sarira yakni tubuh yang terlihat oleh mata, misalnya arca, yantra, symbol dan sebagainya”
Ketiga bagian sarira (tubuh) dewa ini di gunakan dengan lengkap pada saat Durga Puja di Bali yang dilakukan saat upacara di Pura Dalem Panguluning Setra menurut informasi Ida Pedanda kembengan. Tebasan Durgadewi dapat dijadikan wujud Srhwla yakni tubuh fisik Bhatari Durga, terlihat oleh mata, dapat disentuh. sedangkan Durga stawa (doa pemujaan kepada Durga) juga dirafalkan saat melakukan Durga Puja sebagai Suksma Sarira yaitu tubuh halus berupa mantra. Saat melakukan Durga Puja menurut informasi Ida Pedanda Kembengan Manuaba, terutama saat merafal mantra Durga Redana untuk menghadirkan Bharari Durga maka harus disertai dengan /nana (olah bhatin), menghadirkan Bhatari Durga dari Shunya (alam kekosongan) ke Ramya (alam fana). Proses ini bisa disetarakan untuk mewujudkan sarira (tubuh) Durga sebagai Para-sarira atau karana-sarira yaitu tubuh beliau yang tanpa wujud dan tidak ada yang tau, tidak bisa digambarkan, shunya (kekosongan sempurna).
Berdasarkan wawancara peribadi penulis dengan salah satu pendeta Siwa di Bali ada beragam mantra yang digunakan untuk melakukan Durga Puja terutama saat ritual pemujaan di pura Dalem Panguluning setra. “Ida Pedanda Gede Kembengan Manuaba menyebutkan bahwa ada tiga pengelompokan yaitu, Durga Redana, Durga Stawa, Pangundur Durga (komunikasi peribadi, 8 Oktober 2022).”
Selanjutnya Ida Pedanda Gede Kembengan Manuaba menjelaskan bahwa Durga Redana difungsikan untuk memanggil Bhatari Durga agar berkenan hadir di lokasi upacara, lalu Durga Stawa bertujuan untuk memuja menghaturkan persembahan setelah beliau berkenan hadir. Ketika proses pemujaan selesai maka Bhatari Durga akan dikembalikan sumber asal.
T. Goudriaan dan C. Hooykaas dalam tulisan berjudul STUTI and STAWA (Baudda, Saiva and Vaisnava) of Baliness Brahman priests menyebut bahwa Durga dipuja sebagai Bhetari ri Dalem yaitu perwujudan wanita yang bersthana di Pura Dalem. “Rit. Env.: Durga is worshipped as the Bhetari ri Dalem “The Lady Who reside in the Pura Dalem”: (Goudriaan and Hooykaas,1971: 121)
Selanjutnya pada tulisan yang sama T. Goudriaan dan Hooykaas setidaknya menuliskan tujuh jenis mantra khusus digunakan untuk memuja Durga. Formula mantra Durga Stawa menggunakan Bahasa gabungan antara Bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuna. Pada mantra Durga Stawa tampak Durga diwujudkan begitu mengerikan. “In ten stanzas of ArSkt., Durga is addressed in her terrible aspect. Honour should be to her Who destroys all enemies (passim), Who is identical with all gods (7) an Who promotes the good of all being (8). The last two stanzas are unclear. Their main feature is the sixfold mention of bhutas and the fivefold mention mustis” (Goudriaan and Hooykaas, 1971: 150), berikut ini formula mantra Durga Stawa:
Tentang pemujaan Bhatari Durga diareal kuburan teks lontar Tutur Gong Besi menyebutkan ada tiga lokasi stana bhatari yaitu di kuburan beliau bergelar Bhatari Durga, di pamuhun (pembakaran mayat) beliau bergelar Sanghyang Bherawi, kemudian ketika beliau berada di hulu kuburan beliau disebut Sanghyang Mrajapati. Lontar Tutur Gong Besi tergolong lontar muda yang kemungkinan ditulis di Bali, terlihat dari penjabaran pura khayangan tiga sebagai bagian stana manifestasi Bhatari. Pura kahyangan tiga pura Puseh, pura Desa dan Pura Dalem adalah warisan Mpu Kuturan sebagai salah satu tokoh menata kehidupan beragama di Bali. Pada masa kepemimpinan raja Udayana dan Ratu Mahendradarta terjadi upaya penyatuan sekte-sekte yang ada di seluruh Bali, dengan mendatang tokoh bernama Empu Kuturan diperkirakan pada tahun 845 Masehi. “pertemuan yang dikenal dengan pasamuhan agung dipimpin oleh Mpu Kuturan dan dihadiri oleh pimpinan setiap sekte” (Ngurah Yoga Nrendra Putra, 2022:149-155). Kemungkinan lontar Tutur Gong Besi dibuat setelah upaya penyatuan semua sekte, pasamuhan agung, pembentukan konsep khayangan tiga, kurang lebih tahun 845 Masehi. Teks Usadha Bodha Kecapi juga menyebut tempat tinggal di pura Dalem “karena mempunyai beberapa kemampuan, serta tempat tinggal, mereka diberi julukan Bhatari Durga Dewi ketika tinggal di pura Dalem, Bhatari Ragawati kalua berada di pura khayangan lainnya dan Bhuta Bherawi bila berada di kuburun” (Nala, 1992: 164)
Perkembangan pemujaan kepada Dewi Durga di Bali terlihat dalam perayaan hari raya Galungan yang diperingati setiap enambulan sekali tepatnya pada hari rabu kaliwon wuku dunggulan. Setidaknya ada dua sumber sastra yang bisa dijadikan landasan perayaan hari raya galungan sebagai ritual Durga Puja di Bali, yaitu teks Usana Bali dan teks Sri Jaya Sunu.
Lontar Usana Bali, Sri Jaya Sunu, Sundarigama dan Aji Swamandala adalah teks yang menjadi rujukan kuat Durga Puja di Bali melalui perayaan hari raya Galungan. “menyimak sumber-sumber diatas Nampak jelas bahwa eksistensi Galungan dengan rangkaian upacaranya berdasarkan pawarah-warah Bhatari Durga, apalagi Galungan Naramangsa. Dengan demikian yang menjadi pokok pemujaannya adalah Siwa dalam manifestasinya sebagai Bhatari Durga atau Bhatari Dalem dalam wujud Bhura Kala (Kala Kadabah)” (Suamba, 2011, p.10).
Peraktik tantra yang paling kentara pada saat perayaan Galungan adalah adanya ritual penting tepat sehari sebelum Galungan, yaitu anggara (selasa), wage disebut Penampahan. Adalah rangkaian persiapan Galungan dengan melakukan ritual pemotongan binatang, umumnya hewan babi yang akan dipakai berbagai masakan khas berupa lawar ataupun ber macam-macam sate dan besoknya pada saat hari Galungan akan dipersembahkan di palinggih sanggah pamerajan (pura keluarga), atau di pura-pura tertentu. Prosesi ini dianggap sebagai peraktik tantra terutama penerapan ritual Panca Ma salah satunya yaitu /Mamsa yang artinya persembahan berupa daging. Lawar sebagai masakan utama pada saat penampahan juga dianggap persembahan penting karena menggunakan darah sebagai salah satu campuran. Persembahan daging dan darah adalah persembahan penting dalam ritual Durga Puja. “kemungkinan bahwa bhatari Durga menerima persembahan caru berupa darah/daging mentah memang ada, karena pertama dalam kutukan prasasti Trailokyapuri II ini Durga beserta Yama dan Kalagni diminta untuk memberi jenis hukuman yang sangat mengerikan, dan kedua dalam cerita Calon Arang, Durga diberi persembahan caru manusia” (Santiko, 1992: 141)
Perayaan hari raya Galungan memiliki beberapa tujuan penting di masyarakat Hindu Bali sebagai peraktik Durga Puja terutama yang dilakukan secara Bersama oleh masyarakat luas, bersifat umum atau dimaknai sebagai bagian dari Bhairyaga Upasana. Galungan dimakanai secara umum sebagai perayaan kemenangan. “selama ini umat memaknai Galungan sebagai upacara memperingati kemenangan dharma atas Adharma sehingga ada nuansa suka cita dan kemeriahan keluar, seperti membuat penjor, tumpeng, menyembelih babi yang dagingnya untuk sarana banten Galungan, pemujaan, anjangsana dan lain-lain” (Suamba, 2011: 19)
Durga Puja di Bali sebagai upaya perayaan kemenangan atas dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan) berkaitan dengan tujuan utama melakukan Durga Puja yaitu untuk memohon perlindungan dari kejahatan, penaklukan musuh selain juga untuk memohon pencapain tujuan hidup. “Berdasarkan keterangan dari kitab-kitab Purana dan kitab-kitab sumber lainya, dapat kita ketahui bahwa tujuan utama memuja Durga adalah meminta perlindungan dari orang jahat dan musuh. Memuja Durga dengan tujuan mencari perlindungan serta menaklukan musuh telah kita jumpai dalam kitab Mahabharata parwa IV (Bhisma-parva) dan parva VI (Virata-parva). Uraian selanjutnya kita Jumpai dalam kitab Devi Purana serta kitab-kitab Purana yang telah kita bicarakan diatas (Kalika-Purana, Mahabhagavata-purana) (Santiko, 1992: 226)
Selanjutnya Durga Puja di Bali dilakukan juga sebagai upasana peribadi, Antaryaga-upasana, bersifat khusus, dilakukan secara rahasia. Pada peraktik kawisesan di Bali dikenal ada dua jalan yaitu jalan pangiwa dan jalan panengen. Kedua jalan ini dianggap bertentangan, panengen disamakan dengan ilmu putih (whaite magic) sedangkan Pangiwa disamakan dengan ilmu hitam (black magic). “ Some of these beliefs have to do with magic, especially the “right-hand” type (penengen) that is used to protect people from sickness or the attacks of’sorcerers (pengiwa), the “left-hand” type” (Ariati, 2009:176).
Lontar pustaka Raja membedakan pangiwa dan penengen dari unsur tubuh yang diolah. Pangiwa lebih mengutamakan pemujaan kepada Api dan dewa tertinggi yang patut dipuja adalah Bharari Durga. Sedangkan panengen lebih dominan mengolah unsur air, dewa utama yang dipuja adalah Bhatara Siwa-guru.
Kedua keilmuan ini, baik pangiwa ataupun panengen diperaktikan dengan sangat rahasia diawali juga dengan pemujaan khusus kehadapan Durga, lontar Aji Pangiwa:
ONG awighnamastu. nihan tingkahing mangerehang pangiwa, wyadin panengen, sama juga kramania, rikalaning dina bhyanatara kaliwon wucan, abresih sira den apning, nunas panugrahan ring Dalem Khayangan panguluning setra, gelaraken ASTAKA MANTRA, Sarana:
tumpeng bang adanan, iwak ayam wiring pinangggang, daksina gnep, sasalah harta 12000, gnep, muwang segehan agung, iwak jajeron matah, sinamblehan ayam ireng. iti SANGHYANG ASTAKA-MANTRA, glarakna rumuhun, rebnia ANGGRANA-SIKA, ANGEKA CITA, AYWA OBAH manahta, mwang tan kwasa makijapang, Mwang W DI, mantra : (Aji Pangiwa, 15 b)
Terjemahan:
Berkat Hyang Widhi semoga tidak ada halangan. Inilah tatacara Praktik ajaran kiri, begitu juga dengan ajaran kanan, sama juga tatacaranya. Ketika hari kajeng kaliwon uwudan, bersihkan diri agar bersih, memohon anugrah di pura Dalem Panguluning Setra, praktikan ASTAKA-MANTRA, serana: tumpeng berwarna merah sebanyak dua buah. Dagingnya ayam merah dipanggang, Daksina lengkap. Uang persembahan 12000, pas, dan lagi segehan agung, dagingnya jeroan mentah, ayam hitam dipenggal lehernya.
inilah SANGHYANG ASTAKA-MANTRA, inilah pertama diperaktekan, dengan cara MENATAP UJUNG HIDUNG, MENYATUKAN PIKIRAN, JANGALAH GOYAH PKIRANMU, dan tidak boleh berkedip, dan TAKUT, mantra:
Lontar ini mempertegas Peraktik Durga Puja yang wajib dilakukan bagi orang yang akan menekuni ajaran pangiwa-panengen dilakukan di pura kahyangan dalem panguluning setra. Saat melakukan pemujaan dilakukan di tengah malam. Menggunakan banten (sesaji) khusus terdiri dari, tumpeng berwarna merah sebanyak dua buah. Dagingnya ayam merah dipanggang, Daksina lengkap. Uang persembahan 12000, pas, dan lagi segehan agung, dagingnya jeroan mentah, ayam hitam dipenggal lehernya.
Berbeda dengan Durga Puja yang bersifat umum (bahiryaga) yang dilakukan di Pura Dalem Panguluning setra saat piodalan (memperingati hari jadi) yang menggunakan Durga-stawa sebagai mantra utama pemujaan, maka pada ritual yang lebih bersifat peribadi (antaryaga) adalah menggunakan Astaka-Mantra menurut teks lontar Aji pangiwa. Hooykass menyebutkan bahwa Astaka-mantra adalah pujian khusus memuja Devi dalam manifestasi menakutkan sekaligus menginspirasi (fier-inspiring). “An important and impressive hymn to Devi in Her fier-inspiring manifestation. The title Astaka-mantra does, ina strict sense, apply only to the first stanzas: there are twenty-four stanzas in the whole” (Goudriaan and Hooykaas, 1971: 196-97):
Selanjutnya Goudriaan dan Hooykas menyatakan bahwa ada kemiripan antara Astaka-mantra dengan Kalika-stotra, mereka juga menyebut bahwa Dewi yang dipuja pada formula mantra ini adalah sebagai Kali atau Badra-kali.
Durga puja yang bersifat peribadi yang dijabarkan pada teks lontar Aji Pangiwa jika dibandingkan dengan yang dilakukan saat pemujaan Durga yang dilakukan di Pura Dalem Panguluning Setra bersekala umum, memiliki beberapa persamaan diantaranya penggunaan tumpeng dan daging ayam yang diolah dengan di panggang. Pada ritual yang dijelaskan pada teks Aji Pangiwa untuk melakukan Durga Puja disertai juga prosesi memenggal kepala ayam hitam, disebut “panyambleh”. Prosesi pemenggalan leher ayam hitam pada ritual panyambleh (memotong hingga putus pada bagian leher) bertujuan untuk meneteskan darah sebagai persembahan. Daging dan darah adalah ciri khas peraktik tantra yang dilibatkan saat pemujaan Durga. “melihat jenis sajian yang dipersembahkan, Durga-Puja dapat kita golongkan kedalam tiga golongan:
1. Sattviki-puja, puja dimana persembahan hanya berupa sayur-sayuran, buah-buahan tanpa daging
2. Rajasi-puja, puja degan persembahan berupa daging, termasuk daging korban binatang (pasu-bali)
3. Tamasi-puja, puja dengan persembahan berupa daging binatang korban, anggur, tanpa mengucapkan mantra “(Kumar 1974: 196—97/(Santiko, 1992: 229)
Sebagai bahan pembanding, pemujaan kepada Bhatari Durga sebagai bagian dari peraktik kawisesan pangiwa menurut teks lontar Kluwung Gni juga diawali dengan melakukan permohonan kepada Bhatari Durga,
Dawuning anglekas ASRAYA sira ring Khayangan dumun, MAPINUNAS RING BHATARI DURGA, RING SANGHYANG IBU PRETIWI, muang SANGHYANG AKASA, mwang ring KADADENTA, iti tutur menget.. (lontar kluwung geni 7b)
Terjemahan:
Sebelum peraktik awali dengan memohon di kahyangan, meminta kepada Bhatari Durga, kepada Sanghyang Ibu Pertiwi, kepada Sanghyang Akasa, dan kepada yang lahir menjadi dirimu, inilah yang disebut Tutur menget.
Selain menggunakan persembahan berupa daging binatang (di India disebut Pasu Bali) maka pada ritual Durga Puja yang dilakukan oleh peraktisi kawisesan pangiwa juga mensyaratkan persembahan mayat manusia.
..Iti ratuning Pangiwa, ng, Pangiwa Swandha, mangereh ring tengahing setra agung. Bhratanya akerik makeramas, bantenya canang tubungan, kembang wangiwangi, jinah pirak 727, masrana, TENDAS WANGKE, 3, bungkul, mange palinggihan 1, matehen antuk tangan 2 ring tengahing setra juga (tutur pangiwa, 20b)
Terjemahan:
ini adalah rajanya PANGIWA, disebut PANGIWA SHWANDA, ritual dilakukan ditengah kuburan besar, bratanya membersihkan diri dan keramas, sesajin yang digunakan adalah, canang tubungan, bunga harum, uang perak 727, menggunakan sarana berupa KEPALA MAYAT sebanyak Tiga buah, digunakan tempat duduk satu buah, ditekan dengan tangan dua buah, di tengah kuburan pula dilakukan.
Teks Calon Arang menyebutkan juga bahwa saat menggelar Durga Puja dipersembahkan pula mayat manusia. “Setelah membagi daerah menjadi empat bagian, sang calonarang menuju ketengah kuburan, mencari mayat yang meninggal tiba-tiba pada hari Sabtu Kliwon. Diberdirikannya, diikat pada pohon kepuh, serta dihidupkan, di (tiup) kan nafasnya. Voksirsa dan Mahisavadana membuka matanya. Mayat tersebut hidup kembali, lalu berkata: “siapa tuanku yang menghidupkan aku? Alangkah besarnya hutang hamba, tidak tahu (cara) pengembaliannya. Hamba akan mengabdi pada tuan. Lepaskanlah hamba dari pohon kepuh, hamba akan berbakti dengan menyembah”. Voksirsa berkata: “kau kira kau akan hidup lama? Sekarang lehermu akan kupotong”. Segera dipotong lehernya dengan badik, melesatlah kepala mayat yang telah dihidupkan itu. Memancar darahnya keatas, dipakai cuci rambut oleh Calon Arang, sehingga menjadi lengket (gimbal) oleh darah. Ususnya dipakai selempang serta dikalungkan, badanya dimasak ka basang (2), untuk caru mahluk bhuta semua yang ada dikuburan, terutama bhatarai Bhagavati (durga) diberi caru istimewa”(Santiko, 1990: 167)
Persembahan berupa daging, darah dan mayat sangat banyak ditemukan pada pemujaan Durga baik di India, Jawa dan Bali, sebagai persembahan yang tergolong Rajasi-Puja, begitu juga dengan penggunaan ayam sebagai daging persembahan pada ritual Durga Puja di Bali. Persembahan berupa daging binatang disebut Pasu-Bali, begitu popular di India sebagai bagian dari Durga
Puja yang bersifat peribadi (antaryaga).
Praktik Durga Puja di Bali dilakukan dengan dua cara pemujaan, yang bersifat umum, eksternal, bahiryaga dan pemujaan bersifat khusus, internal, antaryaga. Perayaan Galungan, pemujaan di pura Dalem Panguluning Setra merupakan Durga Puja yang bersifat umum, sedangkan peraktik Durga Puja saat menggelar kawisesan pangiwa panengen yang dilakukan secara rahasia
termasuk Durga Puja. Berikut ini adalah perbandingan contoh Durga Puja di Bali:
Upacara di Pura Dalem Panguluning setra diadadakan di pura Dalem hulu kuburan pada waktu yang disepakati bersama oleh masyarakat setempat. Tujuan dari pengadaan upacara ni yakni untuk keselamatan, kesehatan, dan keberhasilan warga setempat. Upacara ini diadakan secara umum dan dipimpin oleh pinandita pemangku atau pendeta. Mantra yang diucapkan yaitu mantra Surga-stawa. Alat alat yang digunakan sebagai pemujaan yaitu Banten tebasan Durga Dewi. dengan sesajinya antara lain: alas Tatebasan (sesajen), (pola putaran ke kiri), tanpa pola pinggir), pisang, tebu, bantal porosan, jajan uli dan bagina, tape dan buah-buahan, perangkadan/rerasmen kojong, peras dan penyeneng alit, beras dan benang tatebusan, sampian naga sari, canang lenge wangi buratwangi. Dengan isi yaitu: Tumpeng 1, panjangnya satu siku (tangan dikepal, Panjang siku menuju hitam dipenggal kepalan tangan), makarowista, kalpika, kwangen 1, daging ayam putih yang di panggang.
Sedangkan pada peraktik kawisesan pangiwa-panengen, upacara dilakukan di kuburan di pura Dalem hulu kuburan pada tengah malam (tengahing latri) di hari bhyanatara kaliwon wudan (kajeng kaliwon setelah purnama). Upacara ini dilakukan secara perorangan tau pribadi dengan tujuan kesaktian dan keberhasilan dalam praktik kawisesan. Mantra yang dibacakan yaitu Astaka-mantra. Alat pemujaan yang digunakan yaitu tumpeng berwarna merah sebanyak dua buah, dagingnya ayam merah dipanggang, daksina lengkap, uang persembahan 12000, pas, dan lagi segehan agung, dagingnya jeroan mentah, dan ayam hitam yang dipenggal lehernya.
Durga Puja yang dilakukan pada saat upacara di Pura Dalem Pangulining setra menurut informasi Ida Pedanda Kembengan Manuaba memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah “nunas kerahayuan jagat” memohon segala kebaikan bagi dunia”, Nunas amerta kahuripan (memohon energi/daya hidup), karena beliaulah sumber kedua hal tersebut (komunikasi peribadi, 8 Oktober 2022).”
Beliau juga menambahkan jika pemujaan yang dilakukan kepada Bhatarai Durga di Pura Dalem Panguluning Setra berkaitan dengan ritual pengabenan maka tujuannya adalah untuk nunas tirta pangelpas (air suci untuk membebaskan roh). Agar roh orang yang meninggal mendapatkan jalan lancar/tanpa hambatan menuju pitara loka (alam leluhur).
Pemujaan Bhatari Durga di Pura Dalem entah berada di hulu kuburan (pura Dalem Panguluning setra) atau atau di wilayah lain disekitaran desa (pakraman) selalu dikaitkan dengan pemujaan Durga. Pada upaya permohonan kesembuhan melalui usadha Bali Durga Puja juga seringkali dilakukan “dalam konsep sehat sakit, pura Dalem dengan sakti dari dewa Siwa, yakni Dewi Durga memegang peranan yang amat penting. Menurut beberapa lontar usadha, Dewi Durgalah penyebab dari semua penyakit yang ada di dunia ini” (Nala, 1992: 20)
Beberapa orang meyakini jika sakit tak kunjung sembuh maka memohon kehadapan bhatari Durga di kuburan seringkali dilakukan. Bahkan di wilayah desa Tampaksiring, tepatnya di Banjar Kelodan ada ritual untuk memohon kesembuhan dengan cara mengubur orang yang sakit di setra banjar Kelodan. Si sakit akan dikubur setengah badan, bagian kepala akan dibiarkan dipermukaan tanah. Pemujaan akan dilakukan kepada Bhatari Durga, khususnya yang berada di Pamuhunan (tempat pemakaran mayat) bergelar Bhatari Durga Bherawi.
“berdasarkan keterangan dari kitab-kitab Purana dan kitab-kitab sumber lainya, dapat kita ketahui bahwa tujuan utama memuja Durga adalah minta perlindungan dari gangguan orang jahat dan musuh. Memuja Durga dengan tujuan mencari perlindungan serta menaklukan musuh telah kita jumpai dalam kitab Mahabharata parva IV (Bhisma-parwa) dan parva VI ( Virata-Parva)” (Santiko, 1992:226)
Rangkaian hari raya Galungan sebagai bagian dari Durga Puja di Bali juga memiliki tujuan penting berdasarkan mitologi Mayadanawa bersumber dari teks lontar Sri Jaya Sunu. “disebutkan raja Jaya Sunu yang baru saja dinobatkan menjadi raja bingung dan was-was akan keselamatannya karena pendahulu-pendahulunya tak lama bisa memerintah alias pendek umur (Icendek tuwuh). Lalu Ia ber-semadhi, nunas panugrahan di setra (kuburan). Berhasil samadhi-nya lalu Dewi Durga Muncul dan memberikan pawisik (petunjuk). Isinya agar raja Jaya Kasunu melaksanakan upacara Galungan dengan memasang penjor setiap enambulan sekali jika ingin berusia Panjang dan rakyat dan negara aman dan bahagia” (Suamba, 2011: 8)
Sesuai dengan teks Sri Jaya Sunu tujuan Durga Puja yang dilakukan oleh raja Jaya Sunu adalah agar Panjang umur rakyat, negara aman dan bahagia.
Selanjutnya fungsi Durga Puja juga juga tersirat pada teks lontar Yamma Purana Tatrwa, tentang pemujaan Durga yang dilakukan oleh Pedanda Ender. Lontar ini adalah karya sastra muda, tampak pada kata “Pedanda” yang diperkirakan mulai popular pada masa kepemerintahan Dalem Watrurenggong di Bali dan kedatangan tokoh Pedanda Sakti Wau rauh. Dipercaya Pedanda
Ender adalah sala satu generasi dari Pedanda Sakti Wau Rauh. “ …sedek sira malingga ring setra agung, maraga Bhatari Durghga Dewi, mangke carita pedanda Ender atapa, jumujug ring palinggih, Bhatari, dadi kagyat paduka Bhatari, magrak-mangrik waluya singarodra, ling Bhatari kroda agya nugel gulu nira, sang jumujug ring palinggih Bhatari, saksana rawuh Bhatara Brahma, umuhuti krodanira Bhatari, inangken anak de Bhatara Brahma, urung krodha nira Bhatari, irika ida Sang Atapa Ender, nunas panugrahan, ring Bhatari, kasidyanning ajnanna kerttha siksa, yan mahyun ananangcang Sanghyang Suryya, sida de nira, muwang nunas pangilangan letuhing atma ning wwang, sida molih swarghga bwanna”…(Yamma Purana Tattwa, Sb-6a)
Diceritakan ketika (Bhatari Durga) berstana di serrz agung (kuburan), berwujud Bhatari Durga Dewi, sekarang ceritanya Pedanda Ender atapa, berdiri di stana Bhatari, terkejutlah beliau Bhatari, berteriak menjerit bagaikan singa marah, sabda Bhatari marah hendak memenggal leher yang berdiri (Pedanda Ender) di stana Bhatari, kemudian datanglah Bhatara Brahma, menenangkan amarah Bhatari, diakui sebagai anak oleh Bhatara Brahma, batal amarah Bhatari, disana beliau Sang Atapa Ender, memohon anugrah kepada Bhatari supaya berhasil meningkatkan kemampuan pengetahuan dan wawasannya, jika mau menghentikan siklus putaran Sanghyang Suryya (matahari), berhasil lah beliau, dan memohon pembebasan kekotoran roh manusia, berhasil mendapat alam sorga.
Kisah ini memuat dua anugrah yang dimohon Pedanda Ender kehadapan Bhatarai Durga Dewi: kasiddyaning ajnanna kerthha siksa yan mahyun ananangcang Sanghyang Suryya, sida de nira, (keberhasilan bhatin, jika mau menghentikan siklus putaran Sanghyang Suryya, berhasil lah beliau) dan muwang nunas pangilangan letuhing atma ning wwang, sida molih swarghga bwanna (dan memohon pembebasan kekotoran roh manusia, berhasil mendapat alam sorga). Permohonan ini sebagai penanda fungsi durga puja menurut teks Yamma Purana Tattwa adalah memohon kasiddhyan (keberhasilan) dan menghilangkan kekotoran (Jetuh) Atma (roh) agar berhasil mecapai sorga.
Kisah Durga Puja yang dilakukan oleh Raja Sri Jaya Sunu dan Durga Puja yang dilakukan oleh pedanda Ender atau Sang Atapa Ender adalah contoh pemujaan yang dilakukan oleh dua sosok berbeda yang mewakili dua kewangsaan berbeda. Sri Jaya Sunu merupakan Wangsa Ksatria sebagai turunan raja di Bali sedangkan Pedanda Ender Atapa, atau Sang Atapa ender dari nama awalnya yaitu Pedanda adalah wangsa Brahmana. Durga Puja dilakukan Dengan peromohonan yang berbeda pula sesuai dengan swadharma masing masing, Raja Sri Jaya Sunu selain memohon Panjang umur juga memohon agar rakyat dan negara aman serta bahagia, tentu sesuai dengan fungsinya sebagai raja. Pedanda Ender selain memohon kasiddhian juga memohon agar menghilangkan kekotoran roh manusia dan agar berhasil mencapai alam sorga. Upaya pembebasan roh manusia agar mencapai keberhasilan berkaitan dengan tugas seorang Brahmana.
Kisah Durga puja diatas tampak sejalan dengan fungsi Durga Puja yang dihubungkan dengan kasta/wangsa, menurut Santiko dalam penelitian Bhatari Durga yang mengutip penyampaian Pushpenda Kumar dalam Sakti Cult in Ancient India. “apa yang akan diperoleh dengan melakukan memuja Durga ini ditentukan pula oleh kedudukan, kasta dan jenis kelamin pemuja, serta Bilamana (saat) Puja dilakukan. Dalam kitab Dewi Purana dan Markandeva Purana terdapat keterangan sebagai berikut: apabila yang memuja Durga adalah kaum Brahmana maka akan diperoleh hasil yang sangat baik pada setiap upacara keagamaan yang dilakukan, bagi para Ksatrya dan raja akan diperoleh perlindungan dari musuh-musuhnya, bagi golongan Vaisya akan diperoleh kekayaan dan ternaknya akan bertambah banyak, bagi golongan Sudra akan diperoleh kebahagiaan serta memperoleh anak laki-laki. Kaum wanita memuja Durga Biasanya dengan tujuan agar memperoleh anak serta agar menjadi seorang istri yang baik” (kumar 1974: 196)
Pada ritual kawisesan di Bali Durga Puja dilakuan untuk memohon anugrah seperti yang disampaikan pada teks Aji Pangiwa (nunas panugrahan ring Dalem Khayangan panguluning setra). Pada kisah Calon Arang ritual Durga Puja yang dilakukan bertujuan untuk memohon keberhasilan menghancurkan kerajaan Erlangga.
Rajah atau rerajahan dilibatkan dalam hampir semua ritus keagamaan bahkan magis di Bali. “Rerajahan berasal dari kata rajah. Rajah bermakna suratan atau gambar yang mengandung kekuatan gaib atau magis religius” (Nala, 2006: 175). “Kata durga sebenarnya berasal dari durt-gam, dur berarti “sukar, buruk,” dan akar gam berarti “jalan, pergi” (Santiko,1992:297). Rajah Durga adalah suratan atau gambar mengandung kekuatan gaib atau magis religius yang mengandung berbagai manfestasi Durga. Selain berupa Aksara Bali rerajahan juga dikombinasikan dengan berbagai bentuk gambar dan lukisan magis. Kombinasi tersebut antara lain:
1. Benda langit, seperti matahari, bulan dan bintang.
2. Tumbuh tumbuhan, terutama bunga padma, teratai
3. Binatang, seperti burung, ikan, harimau, naga, ular, monyet.
4. Bhuta kala, Raksasa, mahluk seram
5. Binatang berkepala manusia, bhuta, raksasa, atau dewa
6. Manusia serta bagian-bagian tubuh manusia (kepala, lengan, tangan, tungkai, kaki)
7. Manusia berkepala binatang
8. Tokoh pewayangan (Bhimasena, Hanoman)
9. Dewa atau Bhatara
10. Senjata para dewa atau bhatara
11. Bangunan suci, misalnya meru, candi
12. Dan sebagainya (Nala, 2006: 175)
Di Bali selain berbentuk arca sosok Durga juga banyak ditemukan dalam bentuk rajah, tetapi dalam bentuk relief Kuna belum ditemukan, berbeda dengan di Jawa, cukup banyak candi menggunakan relief dengan motif Durga, misalnya pada candi 7gawangi. Menurut Van Stein Callencels (dalam Santiko, 1992: SS) pada relief candi Tgawangi ada kemiripan dengan kisah
Sudhamala tentang Durga yang berwujud raksasa yang nantinya diruwat oleh Sahadewa…… “Dari seluruh ulasan dapat, kita ketahui bahwa di Jawa khususnya pada abad X-XIV Masehi terdapat dua wujud Durga, yaitu pertama Durga sebagai dewa yang diarcakan dalam bentuk Durga Mahisasuramardini, dan kedua Durga sebgai raksasi yang reliefnya dijumpai pada candi-candi jaman Majapahit” (santiko, 1992: 229).
Rajah Durga pada tulisan hooykaas yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh dinas kebudayaan propensii Bali, tahun 2001, berjudul TOVENERIJ OP BALI MAGISCHE TEKENINGEN (ilmu mistik di Bali gambar-gambar gaib), setidaknya menampilkan dua rajah Durga yaitu Sanghyang Durga Mandeg (rajah nomer 1) dan Sanghyang Durga Dadeweng (rajah nomer 2).
Rajah Durga di Bali memiliki karakter yang dominan menampilkan sosok menyeramkan krura, demonic perhatikan gambar rajah Durga pada Sanghyang Durga Mandeg dan Sanghyang Durga Dedewang koleksi Hooykass ada beberapa tampilan yang serupa.
Sanghyang Durga Dedewang dan Sahyang Durga Mandeg digambarkan dengan mata melotot, gigi bertaring tajam dan penjang, mulut lebar, rambut panjang, sikap berdiri, hidung besar, telinga lebar bersubang (anting besar), dan memakai kain pada bagian bawah tubuh, bertelanjang dada, dan mengenakan selendang di leher.
Sosok Durga yang diwujudkan kedua rajah tersebut mengarah ke wujud raksasi (raksasa wanita), identik dengan wujud Dewi Kali.
“kenyataan ini mendorong kita untuk mengambil suatu kesimpulan bahwa tugas dan sifat kali yang menakutkan (krwrz) dengan sengaja “diberikan” kepada Durga, sehubungan dengan adanya anggapa bahwa Durga di Jawa adalah Durga Kali” (Santiko, 1992: 261).
Sejak jaman lampau Bali telah mewarisi konsep Durga dari Jawa, tampak dari peninggalan arca Durga Mahisasura Mardini di desa Kutri Gianyar, besar pula kemungkinan wujud Durga Sebagai sosok krura diwarisi dari Jawa terutama di Era Majapahit.
Penggambaran sosok Durga menurut Rajah Sanghyang Durga Dadeweng dan Sanghyang Durga Mandeg identic dengan penggambaran sosok durga di beberapa beberapa karya sastra di Bali misalnya yama purana tatrwa. Pada teks ini Durga digambarkan dengan perwujudan Krodha (marah), seperti singarodra (harimau marah), bahkan identic dengan dewa Rudra (perwujudan siwa sebagai pengancur).
Penggambaran Durga sebagai aspek krura, raksasi bisa ditemukan juga pada Durga Stawa atau disebut juga Durga-murti stawa. Sepuluh bait mantra ini diperuntukan bagi Durga dengan wujud mengerikan “Durga is addressed in Her terrible aspect. Honour should be to Her Who destroys all enemies (passim)” (Gaudriaan and Hooykaas, 1971:150).
Bait keempat mantra tersebut menggambarkan gigi Durga bagaikan Vajra (vajra-danta), tampak pada rajah Sanghyang Durga Mandeg dan Sanghyang Durga Dedewang tampilan giginya terlihat begitu tajam, runcing, seperti ujung Vajra.
Menurut Jero Mangku Teja Kandel seorang peraktisi sastra dari desa Bambang Bangli menjelaskan bagi yang ingin peraktik Kawisesan sebaiknya diawali dengan nenas panugrahan melalui ritual Panugrahan Durga Poleng. Selain formula mantra yeng begitu panjang, sarana lain yang patut diperlukan adalah kain poleng yang akan dipakai kamen (kaian sarung), yang harus di rajah dengan sosok Durga Poleng, beliaa menujukan koleksi rajah Durga Poleng (rajah 3), yang digambar pada kertas tulis (wawancara peribadi 20 oktober 2022):
Penggambaran Durga pada rajah Durga Poleng adalah tanpa busana, tubuh diliputi bulu, dengan tangan memegang senjata, sedang mengendarai binatang berkaki empat, bertanduk sepasang, menyerupai Kerbau. Rajah Durga Poleng dengan tunggangan (wahana) binatang bertanduk bisa diduga mewujudkan aspek Durga sebagai Durga Mahisasura Mardini, walaupun wajah yang ditampilkan terlihat sangat kas dengan mara melotot, gigi tajam, telinga lebar bersubang. Tampilan wajah Durga Poleng ada kemiripan dengan wajah Sanghyang Durga Mandeg dan Sanghyang Durga Dedewang.
Lontar Kala Maya Tartwa juga menampilkan perwujudan Durga yang mengarah ke wujud Raksasi, ketika berada di Setra (kuburan). Diceritakan setelah Dewi Uma dikutuk untuk turun ke dunia dalam wujud mengerikan bernama Bhatari Durga, maka beliau bersthana dikuburan dengan berbagai abdi berupa mahluk halus. Selanjutnya lontar Purwa Bhumi Kamulan yang memuat mitologi penciptaan bumi juga menampilkan kisah perubahan wujud dewi Uma menjadi Durga:
“mangerak masingha-nada, waja masalit masiyung, tutuki Iwir jurang parah ro, netra kadi Surya kembar, irung kadi sumur bandung, kuping Iwir leser ing pahaj roma gimbal: awak awegah aluhur, luhur ira tan pantara, tutng ing anda bhuwana, tutug madhya ning akasa, sira ta Bhatari Durga, aranira duk samana” (lontar Purwa bumi kamulan)
Terjemahan:
Berteriak seperti suara singa, gigi tajam bertaring, mulut bagaikan jurang dibelah dua, mata bagaikan matahri kembar, hidung bagaikan sumur bendungan, telinga bagaikan Jeser ring paha (?), rambut gimbal, tubuh besar tinggi, tinggi tanpa batas, mencapai bumi, mencapai tengah langit, Bhatari Durga nama beliau saat berwujud demikian.
Perupaan Durga menurut Lontar Purwa Bumi Kamulan tampak mirip dengan apa yang ditulis pada kitab sudamala menurut penelitian Van Stein Callenfels (dalam Santiko, 1992: I8G) yaitu:
1. Mata bagaikan matahari kembar
2. Taring tajam dan panjang
3. Mulut bagaikan gua
Di Bali pada Pada teks Lontar beraliran xsadha (pengobatan tradisional Bali), berjudul Bodha kecapi Durga juga digambarkan sebagai raksasa akibat kutukan dewa Siwa. “matanya menjadi mencorong, mengeluarkan api, mulutnya lebar menyeringai. Giginya runcing dengan taring yang panjang keluar melewati bibirnya. Lidahnya menjulur keluar meneteskan air panas membara. Rambutnya terjurai berwarna berwarna kemerah-merahan seperti api” (Nala, 1992: 162). Pada lontar ini digambarkan Bhatari Durga sedang menunggangi Kalika (abdi setia). Bhatari Durga pada teks ini adalah sumber dari berbagai penyakit dan ilmu hitam.
Lontar Bodha Kecapi juga menggambarkan lima bentuk Durga disebut Panca Durga, yang tiada lain adalah lima saudara Dewi Durga ketika masih ada di Sorga, yaitu: Dewi Sawitri, Dewi Gangga Cort, Dewi Saci, dan dewi Gagar mayang. Berikut penjabaran Panca Durga:
Sri Durga Dewi berwarna putih dengan panca maha bhuta unsur akasa (ruang) dan menggambarkan arah timur, Dadri Durga berwarna merah dengan panca maha bhuta unsur agni (api) dan menggambarkan arah selatan, Sukri Durga berwarna kuning dengan panca maha bhuta unsur bayu (angin) dan menggambarkan arah barat, Raji Durga berwarna hitam dengan panca maha bhuta unsur apah (air) dan menggambarkan arah Utara, dan Dewi Durga berwarna campuran ari lima warna dengan panca maha bhuta unsur pertiwi (tanah) dan menggambarkan arah tengah.
Perwujudan Durga sebagai Raksasi pada berbagi teks yang diwarisi di Bali hampir semua menyebut sebagai akibat kutukan Siwa. Jika ditelusuri sangat kuat dugaan wujud Durga yang diwarisi di Bali adalah pengaruh dari Jawa “dalam kitab-kitab tersebut (kitab Tantu Pagelaran, Koravasrama, kidung Sudhamala) Durga bukan lagi seorang Dewi, melainkan raksasi, wujud Uma setelah dikutuk oleh Siva (bhatara Guru) karena telah berbuat kesalahan-kesalahan “(Santiko, 1992: 274).
Kitab-kitab tersebut telah menjadi rujukan berbagai ritual ataupun peraktik magis di Bali, sehingga besar kemungkinan perupaan Durga di Bali sebagai Raksasi pada rajah Durga juga bersumber dari kitab-kitab tersebut.
Rajah Durga yang umum ditemukan di Bali kebanyakan Digambar pada media kain atau lontar dengan berbagai variasi bentuk dan kelengkapan. Ada dua perwujudan Durga yang seringkali dirajahkan pada berbagai media, yaitu rajah Bhatari Durga dan rajah Durga Murti. Rajah Durga bentuknya lebih sederhana, digambarkan sebagai sosok bertelanjang dada tanpa atribut senjata, aksara dan sebagainya. Rajah Durga sebagai Bhatari Durga atau seringkali disamakan dengan Durga Dewi biasanya digunakan saat ritual caru sebagai dewaning Caru (dewa dari prosesi caru). Menurut informasi Ida Pedanda Kembengan Manuaba Rajah Bhatari Durga Digambar pada kain berwarna putih diletakan pada sanggar caru khusus yaitu caru manawa gempang (wawancara peribadi tanggal 8 oktober 2022).
Berikut rajah Bhatari Durga pada mantra Kaputusan Bhatari Durga dengan penampilan yang sederhana tanpa atribut senjata, ataupun aksara, tubuh dilingakri Prabaha-mandala (lingkaran cahaya) sebagai penanda sosok utama (rajah 4): Rajah 4.
Selanjutnya adalah Rajah Durga Murti yang memiliki banyak fariasi dan kombinasi, berupa aksara, ayudha (senjata), wahana (tunggangan) karakternya terlihat lebih dahsyat. Kata murti kerapkali digunakan kepada beberapa tokoh dewa ataupun pewayangan untuk menunjukan kekuatan dahsyatnya, misalnya, wisnu murti ketika bhatara Wisnu menunjukan wujud tertinggi
beliau. Prabu Kresna dalam duna pewayangan juga pernah memunculkan kekuatan berupa Wisnu Murti, tentu bukan hal baru mengingat prabu Kresna adalah reingkarnasi Wisnu. Istilah lain dari ma-murti (menunjukan kekuatan tertinggi) adalah Triwikrama. Pada beberapa karya sastra jawa dan Bali Durga juga seringkali diwujudkan sedanag ma-murti atau ma-Triwikrama. “Bhatari Durga memiliki ciri-ciri tubuh yang sangat asing bagi tradisi ikonografi Durga di India, karena apa yang diuraikan oleh Empu Panuluh dalam kakawin Ghatorkacasraya adalah ciri-ciri tubuh Durga yang sedang Triwikrama (gonggongen)”(Santiko, 1991: 161).
Menurut informasi Ida Pedanda Kembengan manuaba (komunikasi peribadi, 8 Oktober 2022) Rajah Bhatari Durga juga digunakan sebagai sarana penting untuk pamelaspas arca pralingga berbentuk Durga, dirajahkan pada bunga cempaka, yang akan di mantrai oleh sulinggih. Selanjutnya kekereb (kain panutup) petapakan, arca pralingga Durga (wujud Durga dalam bentuk topeng) dibuat dari Kain berwana putih dirajah Sanghyang Durga (rajah 5) yang difungsi bukan hanya sebagai kakereb (kain penutup saat arca pralingga di stanakan) tetapi juga sebagai rajah yang ngurip (menghidupkan), ataupun ayuda (senjata): Rajah 5.
Di Bali Rajah Durga Murti juga dikenal dengan perupaan yang cukup berbeda dari wujud Durga sebagai Bhatari Durga pada umunya. Lontar Durga Murti memuat ritual Durga Puja yang bersifat antaryaga (ritual peribadi) melalui perafalan mantra yang disebut kapurusan Durga Murti. Sari pati mantra berbentuk Rajah yang diguratkan pada wastra (kain): Rajah 6.
Durga pada berbagai rajah di Bali juga tampak berbeda pada bagian wahana (runggangan), biasanya berupa binatang, manusia, raksasa. Pada rajah Durga Poleng tampak Durga menunggangi binatang berkaki empat dan bertanduk, kuat dugaan bahwa binatang ini adalah kerbau, mengingat begitu banyak ikon Durga (Durga Mahisasura Mardini) yang juga menunggangi kerbau.
Selain kerbau binatang mitologi berupa ular naga juga kerap dijadikan wahana”sosok naga buntut (naga tanpa ekor) yang dinaiki Bhatari Durga (rajah 7) menjadi formulasi rahasia pada salah satu kawisesan pangiwa yang disebut pangangon anak istri”(Bhaskara, 2022:120).
Sosok raksasa yang lebih dikenal sebagai Kalika juga kerap dijadikan wahana Durga, disebutkan pula pada bait mantra Durga-murti stawa, dengan sebutan “kalika wahanam”, yang menjadikan Kalika sebagai wahana.
Ulap-ulap (rajah sebagai pelengkap ritual pemelaspas bangunan) juga seringkali menampilkan Durga sebagai formula rajah, misalnya pada ulap-ulap tugu karang. Tugu karang adalah bangunan suci sebagai sthana Durga bermanifestasi menjadi Sanghyang Durga Manik yang ditempatkan di pekarangan rumah, idealnya pada arah kaja kauh (utara barat). Ulap-ulap tugu karang dibuat dari kain berwarna putih dengan rajah Durga (rajah 8) dilengkapi dengan aksara suci: Beberapa contoh rajah Durga diatas, yaitu Durga Poleng dan rajah Durga Murti tampak menampilkan senjata, baik yang digenggam tangan pada rajah Durga Poleng ataupun menjadi satu komponen seperti halnya pada rajah Durga Murti. “senjata fayudha) yang secara literatur berarti dengan senjata perperangan terlaksana (ayudhateanena, dari akar kata yudh berperang)” (Redig, 2000: 231). Ayudha diartikan sebagai atribut senjata yang dibawa oleh figur dewa-dewi Hindu. Rajah Durga Poleng dan Durga murti menampilkan beberapa senjata gaib (ayudha), berupa Gada pada tangan kanan Durga Poleng. Lalu pada rajah Durga Murti selain Gada terdapat pula senjata naga pasah dan angkus sisanya tak teridentifikasi. Gada adalah senjata yang kerapkali juga digunakan pada arca Durga Mahisasura Mardini, baik yang ditemukan di Jawa ataupun di Bali.
Di Bali senjata Gada adalah senjata khas dari dewa Brahma, lalu pada teks Bodha Kecapi Durga pernah berguru kepada dewa Brahma, jadi bukan kebetulan penggunaan gada pada rajah Durga, sebagai symbol bahwa Brahma memberi anugrah kepada Durga. “Ayudha (senjata) dikelompokan menjadi tiga tipe berdasarkan cara penggunaan, (1) Praharana (digunakan dengan cara memukulkan seperti pedang dan tombak, (2) Pani Mukta (dilempar dengan tangan, seperti cakra), Yantra Mukta (dilepas dengan cara mekanik, seperti panah dilepas dari busur)” (Redig, 2000:231). Gada termasuk pada golongan Praharana yaitu senjata yang digunakan dengan cara memukulkan. Pada beberapa rajah Durga seringkali digambarkan pula menggunakan kain sinjang (kain pakaian dalam) sebagai senjata.
Pada rajah Durga diatas selain ayudha (senjata) sebagai bagian penting rajah begitu juga dengan penyertaan aksara suci dan wahana yang berbeda, maka sikap badan juga tampak demikian khas bagi wujud Durga yang diterapkan pada rajah. Sanghyang Durga Dedewang dan rajah Ulap Ulap Tugu Karang penggambaran Durga tampak jelas sedang berdiri dengan kaki agak ditekuk lalu wajah sejajar dengan badan bagian depan. pada pengarcaan Durga sikap ini kerap juga ditemukan pada begitu banyak arca di Jawa. “menurut kitab kamikagama, arca dalam sikap ini (Abhangga| adalah berdiri tegak kepala dan tubuh terletak pada sat ugaris (madyasutra), kaki kanan atau kiri sedikit bengkok (dilipat)”(Santiko, 1991: 419)
Selain aksara (huruf suci), ayudha (senjata), dan wahana (runggangan), rajah Durga di Bali juga ada yang menggambarkan sedang menggendong anak kecil, bayi, seperti halnya rajah Durga Dadeweng. Figur baru berupa patung Durga menggendong bayi juga banyak ditemukan di Bali. Ada dua sudut pandang dimasyarakat tentang arca Durga yang diwujudkan sedang menggendong bayi yang banyak ditemukan dikuburan, ada yang beranggapan bahwa bayi yang digendong tersebut adalah santapan Durga yang dihaturkan sebagai persembahan. Ada juga yang meyakini bahwa bayi yang digendong tersebut hendak diselamatkan oleh Durga. Ada juga yang menghubungkan Durga Sedang menggendong bayi terinspirasi dari kisah ketika dewi Mahakali (shakti Siwa) mengamuk tak sadarkan diri, akibat amarah yang demikian kuat, siapapun tak dapat menghentikan. Lalu siwa menghadangnya dengan menangis laksana Bayi, tiba-tiba saja naluri ke ibuaan dewi Kali muncul, seraya menggendong dewa Siwa, kemudia dewi kali tenang kembali. Di Jawa ataupun di Bali belum ditemukan arca Durga Kuna yang sedang menggendong bayi sampai saat ini.
Ekpresi lidah yang menjulur keluar juga banyak ditemukan pada rajah Durga di Bali umunya dilengkapi dengan pola api. Pada perupaan Durga di India juga banyak ditemukan wujud dewi sedang menjulurkan lidah, misalnya dewi Kali. Rajah Durga Poleng, rajah Ulap-ulap Tugu Karang dan rajah Sanghyang Durga pada teks Boda kecapi menampilkan organ lidah menjulur panjang, kecuali pada lidah wlap-ulap Tugu Karang pada rajah Durga Poleng dan Sanghyang Durga dewi pada teks boda Kecapi tampak motif api terlihat jelas pada lidah.
Rajah Sanghyang Durga Mandeg digambarkan pula sdang bertelanjang dada sehingga susunya terlihat jelas bandingkan pula dengan rajah Durga Poleng payudara terlihat jelas, selain tubuh bertelanjang dipenuhi bulu. Penampakan payudara pada kedua rajah Durga adalah ciri khas pemujaan Durga sebagai dewi kesuburuan, dewi ibu. “…karena yang dipentingkan adalah unsur kesuburan, maka ciri-ciri keibuan patung tersebut yakni pinggul perut dan payudara digambarkan sangat berlebihan ukurannya…) Neuman (dalam Santiko, 1992: 5)
Rajah Durga Poleng yang dipenuhi bulu sesui dengan penggambaran Durga pada teks karya sastra. Lalu wujud bertelanjang dada sejalan dengan pemaparan Durga sebagai Badra Kali pada Astaka mantra, distilahkan Digambari (telanjang)
“kenyataan ini mendorong kita untuk mengambil suatu kesimpulan bahwa tugas dan sifat Kali yang menakutkan (krura) dengan sengaja “diberikan” kepada Durga, sehubungan dengan adanya anggapan bahwa Durga di Jawa adalah Durga Kali” (Santiko, 1992: 261)
Di Bali Rajah Durga dilibatkan pada ritual Durga Puja baik yang dilakukan secara umum (bahiryaga) ataupun secara peribadi (antaryaga). Pada upacara Caru sebagai ritual pemujaan bersifat umum rajah durga diguratkan pada kain putih yang kemudian diletakan pada palinggih sanggar surya upasaksi sesuai dengan informasi Ida Pedanda Kembengan Manuaba. Beliau juga menyebut Rajah ini berfungsi sebagai »rasa (simbol) perwujudan Bhatari Durga sebagai dewaning caru (dewanya upacara caru). Rajah durga ini berfungsi sebagai Sthula-sarira (badan fisik) bhatari Durga, melengkapi Durga Stawa yang diucapkan sulinggih saat menggelar caru. Durga stawa adalah mantra pemujaan kepada Durga, sebagai simbol Suksma-sarira (tubuh halus) Bhatari Durga. Avlon dan Gupta (dalam Santiko, 1992: 158) “Dalam agama Hindu, khususnya aliran Tantra, kita mengenal adanya tiga macam tubuh (sarira) dewa, yakni Para-sarira atau Karana-sarira tidak berwujud dan tidak ada yang tahu, suksma-sarira dalam bentuk mantra dan sthula-sarira yakni tubuh yang terlihat oleh mata, misalnya arca, yantra, symbol dan sebagainya”
fungsi yang sama juga didapatkan pada rajah Durga pada Ulap-ulap Tugu Karang yang berfungsi sebagai stula-sarira Durga yang distanakan pada Tugu karang sebagai Sanghyang Durga Manik. Ulap ulap berasal dari kata ulap yang artinya memanggil berbagai manifestasi dewa-dewi untuk bersthana pada palinggih (bangunan suci). Rajah wap-ulap Durga berfungsi untuk ngulapin (memanggil kekuatan manifestasi Durga sebagai Durga Manik untuk berkenan bersthana di palinggih tugu karang.
Pada ritual yang bersifat peribadi (antaryaga) rajah Durga besar kemungkinan sebagai sarana untuk memusatkan pikiran, misalnya pada peraktik kawisesan Durga Murti. Sari pati mantra Kaputusan Durga Murthi dirajahkan pada wastra (kain). Pada prosesi ini rajah Durga Murti difungsikan untuk merangkum semua mantra menjadi perwujudan Durga Murti. Dalam peraktik kawisesan di Bali penggunan mantra ada yang namanya wija mantra yaitu rangkuman seluruh mantra menjadi mantra yang lebih pendek, inti (wija) bisa juga berupa rajah dilengkapi dengan aksara. Mantra Durga Murti disarikan berupa rajah Durga Murti yang Digambar pada wastra (kain).
Rajah Durga yang diwujudkan sedang menunggang naga buntut (naga tanpa ekor) yang digunakan sebagai Pangangon anak istri sepertinya lebih mengarah kepada upaya menghadirkan kekuatan Bhatari Durga untuk memenuhi permohonan. Pengangon anak istri adalah kawisesan khusus yang digunakan untuk menjaga, memberi kekuatan kepada Anak istri (wanita), mencari jodoh (semacam pemikat) ataupun menjaga hubungan pasangan, bahkan agar si wanita lebih dominan. Tujuan pemujaan Durga tampaknya tidak lepas dari upaya memperkuat hubungan pasangan. “data dari karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Tengahan menunjukan bahwa bhatari Durga dipuja oleh
mereka yang sedang bersedih hati karena terpisah dengan orang yang dikasihi, dan oleh mereka yang ingin memperoleh jodoh” (Santiko, 1992: 251)
Rajah Durga Dadeweng tidak jelas digunakan untuk apa, hanya saja pada rajah tertulis: Iti Sanghyang Durga Dadeweng, maha wisesa artinya inilah Sanghyang Durga Dadeweng, sangat hebat. Besar kemungkinan karena rajah ini sangat hebat (maha wisesa) maka dapat digunakan untuk segala hal.
Rajah Durga di Bali tampaknya memiliki fungsi sejalan dengan peraktik Durga Puja di Bali yaitu dikelompokan berdsarkan jenis Durga Puja, bersifat bhairyaga (umum) dan antaryaga (peribadi). Rajah Bhatari Durga yang digunakan pada ritual Caru sejalan dengan tujuan yang bersifat untuk umum, wilayah tertentu, caru yang menggunakan rajah Bharari Durga bersifat bahiryaga. Tujuan caru adalah untuk mnyeimbangkan unsur alam yang ada disuatu tempat, umumnya diikuti oleh banyak orang.
Pada peraktik Durga Puja yang bersifat antaryaga (peribadi), rajah Durga digunakan sebagai sarana yang bersifat magis untuk kalangan peribadi. Rajah Durga Murti digunakan oleh orang yang berkehendak memuja Durga untuk memohon anugrah melalui semua aspek Bhatari Durga dan menyatukan kedalam diri. Rajah Sanghyang Durga Mandeg dari formala aksara mantra yang dikombinasikan bertujuan sebagai sarana memohon keselamatan, perlindungan.
Dari penelitian Durga Puja dan Rajah-Rajah di Bali dapat disimpulkan bawa di Bali peraktik pemujaan kehadapan Bhatari Durga dilakukan melalui dua jalan, yaitu jalan yang bersifat peribadi (antaryaga) dan jalan yang bersifat umum (bahiryaga). Peraktik Durga Puja yang bersifat umum dilakukan pada saat ada upacara di Pura Dalem Panguluning Setra dan rangkaian upacara Galungan. Lalu peraktik Durga Puja yang bersifat pribadi di Bali dilakukan melalui peraktik kawisesan (kebbhatinan) meliputi kawisesan pangiwa dan kawisesan panengen.
Pada peraktik Durga Puja diperlukan berupa persembahan dan diantaranya ada yang melibatkan rerajahan berupa rajah Durga. Rajah Durga dikelompokan menjadi dua wujud utama, yaitu yang menggambarkan Bhatari Durga lalu yang kedua adalah Durga Murti, yaitu manifsetasi Durga menjadi berbagai bentuk berbeda susuai dengan fungi yang berbeda pula. Penggambaran Durga pada kedua jenis rerajahan (rajah antaryaga dan rajah bahiryaga) lebih mengarah pada perwujudan Durga sebagai Raksasi yaitu Krura (menyeramkan). Berikut ini beberapa kesimpulan yang didapat dari penelitian ini:
1. Durga di India diwujudkan melalui konsep yang hampir identic dengan Durga di Jawa ataupun Bali. Di India sosok Durga sering diwujudkan dengan kecantikan lalu di Jawa dan Bali lebih cenderung kepada wujud yang Krura (menyeramkan) ataupun Krodha (dahsyat). “Apabila kita pelajari kitab-kitab kegamaan di India, maka jelas bahwa baik Uma maupun Durga adalah aspek-aspek sakti Siwa. Uma adalah aspek santa (renang), sedangkan Durga adalah aspek krodha (dahsyat)” (Santiko, 1992: 175).
2. Arca Durga Mahesasuramardhini yang ditemukan di Bali menjadi bukti bahwa sosok Durga pernah dijadikan symbol penting mewakili istri raja Udayana yang juga seorang pemuja Durga. Di Bali Durga Puja adalah ritual penting yang masih dilakukan hingga sekarang, baik secara berkelompok, berjamaah ataupun perorangan yang bersifat sangat peribadi dan rahasia. Pemujaan kepada Durga di Bali dimaknai sebagai upaya penting untuk memohon keselamatan, kesembuhan, bahkan kesaktian.
3. Durga Puja di Bali dilakukan dengan dua jenis pemujaan, baik bersifat peribadi ataupun bersifat umum. Antaryaga Upasana (pemujaan bersifat peribadi perorangan) di Bali dilakukan oleh orang yang ingin berlatih kawisesan (ilmu kebhatinan) untuk memperoleh siddhi (keberhasilan). Di Bali Durga Puja juga dilakukan secara luas oleh masyarakat umum atau disebut Bhairyaga Upasan, misalnya, Durga Puja di Pura Dalem panguluning Setra, Hari Raya Galungan. Selanjutnya Durga Puja di Bali dilakukan juga sebagai upasana peribadi, Antaryaga-upasana, bersifat khusus, dilakukan secara rahasia. Pada peraktik kawisesan di Bali dikenal ada dua jalan yaitu jalan pangiwa dan jalan panengen. Kedua jalan diperaktikan sangat rahasia dengan diawali pemujaan khusus kehadapan Durga, lontar Aji Pangiwa
4. Durga Puja yang dilakukan pada saat upacara di Pura Dalem Pangulining setra menurut informasi Ida Pedanda Kembengan Manuaba memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah “nunas kerahayuan jagat” memohon segala kebaikan bagi dunia”, Nunas amerta kahuripan (memohon energi/ daya hidup), karena beliaulah sumber kedua hal tersebut (Komunikasi pribadi, 8 Oktober 2022).”
5. Pada ritual kawisesan di Bali Durga Puja dilakuan untuk memohon anugrah seperti yang disampaikan pada teks Aji Pangiwa (nunas panugrahan ring Dalem Khayangan panguluning setra). Pada kisah Calon Arang ritual Durga Puja yang dilakukan bertujuan untuk memohon keberhasilan menghancurkan kerajaan Erlangga.
6. Rajah atau rerajahan dilibatkan dalam hampir semua ritus keagamaan bahkan magis di Bali. “Rerajahan berasal dari kata rajah. Rajah bermakna suratan atau gambar yang mengandung kekuatan gaib atau magis religius” (Nala, 2006: 175). “Kata durga sebenarnya berasal dari dur–gam, dur berarti “sukar, buruk,” dan akar gam berarti “jalan, pergi (Santiko,1992:297). Rajah Durga adalah suratan atau gambar mengandung kekuatan gaib atau magis religius yang mengandung berbagai manfestasi Durga, Selain berupa Aksara Bali rerajahan juga dikombinasikan dengan berbagai bentuk gambar dan lukisan magis.
7. Di Bali Rajah Durga dilibatkan pada ritual Durga Puja baik yang dilakukan secara umum (bahiryaga) ataupun secara peribadi (antaryaga). Pada upacara Caru sebagai ritual pemujaan bersifat umum rajah durga diguratkan pada kain putih yang kemudian diletakan pada palinggih sanggar surya upasaksi sesuai dengan informasi Ida Pedanda Kembengan Manuaba. Beliau juga menyebut Rajah ini berfungsi sebagai niasa (simbol) perwujudan Bhatari Durga sebagai dewaning caru (dewanya upacara caru). Rajah durga ini berfungsi sebagai Sthula-sarira (badan fisik) bhatari Durga, melengkapi Durga Stawa yang diucapkan sulinggih saat menggelar caru. Durga stawa adalah mantra pemujaan kepada Durga, sebagai simbol Suksma-sarira (vabuh halus) Bhatari Durga. Avlon dan Gupta (dalam Santiko, 1992: 158) “Dalam agama Hindu, khususnya aliran Tantra, kita mengenal adanya tiga macam tubuh (sarira) dewa, yakni Para-sarira atau Karana-sarira tidak berwujud dan tidak ada yang tahu, suksma-sarira dalam bentuk mantra dan sthula-sarira yakni tubuh yang terlihat oleh mata, misalnya arca, yantra, symbol dan sebagainya”
Feuerstein, Georg. 1998. Tantra The Path Of Ecstasy. Baston & London : Shambhala, 1998.
Fred B. Eiseman, JR. 1988. Bali Sekala € Niskala Volume 1 : Essays On Religion, Ritual, And Art . Jimbaran, Bali : Periplus Editions, 1988.
Hooykaas, C and Goudriaan Teun. 1971. Stuti and Stava (Bauddha, Saiwa and Vaisnava) of Balinese Brahman . Amsterdam : North Holland Publishing Company, 1971.
Hooykaas, C. 1966. SURYA-SEVANA THE WAY TO GOD OF A BALINESE SIVA PRIEST: Amsterdam : N. V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1966.
Nala, Ngurah. 2006. Aksara Bali Dalam Usada. Surabaya : Paramita, 2006.
Nala, Ngurah. 1992. Usada Bali. Denpasar : Upada Sastra, 1992.
Pusdok. 1997. Yama Purana Tattwa . Denpasar : Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Daerah Tingkat 1 Bali, 1997.
Rao, Prof. S .K . Ramachandia. 1990. Pratima- Kosha. (trans.| Dr. I Wayan Redig. Bangalore : Kalpataru Research Academy & Widya Dharma, 1990.
Santiko, Hariani. 1992. BHATARI DURGA. Depok : Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1992.
Suamba, I.B. Putu. 2011. Durga Puja Dalam Hari Raya Galungan. Denpasar : Dharma Prawrtti, 2011.
Suryawan. 2021. 600 Jenis Sesayut & Tetebasan. Tuban : Pustaka Pranala, 2021.
THE JOURNEY OF A4 GODDESS: DURGA IN INDIA, JAVA AND BALI. Ariati, Ni Wayan Pasek. 2009. A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy, pp. 200-363.
Alih aksara dan alih Bahasa dari Lontar
Aji Pangiwa alih aksara Tim Penterjemah Pusat Dokumentasi Kebudayaan Daerah Propinsi Tingkat I Bali, 1991
Lontar Durga Murti aksara Tim Penterjemah Pusat Dokumentasi Kebudayaan Daerah Propinsi Tingkat I Bali, 1991
Yama purana tattwa aksara Tim Penterjemah Pusat Dokumentasi Kebudayaan Daerah Propinsi Tingkat I Bali, 1991
Data Narasumber
Ida Pedanda Gede Kembengan manuaba, Alamat: Gria Gunung Kawi Tampaksiring, Dusun Penaka, Desa Tampaksiring, Gianyar
Jero Mangku Teja Kanded, Alamat: Desa Bambang, Bangli