Drs. Ismail Lutfi, M.A.
Departemen Sejarah FIS Universitas Negeri Malang
Email: ismail.lutfi.fis@um.ac.id
Makalah ini berfokus pada eksistensi Durga dalam dua sumber, yaitu prasasti Camundi dan prasasti Jiyu (Trailokyapuri). Tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan keberadaan Durga dan perannya dalam masyarakat Jawa Kuna pada masa akhir Tumapel dan akhir Majapahit. Hasil dari kajian ini menunjukkan bagwa Durga memiliki posisi dan peran penting secara magis pada masyarakat Jawa Kuna khususnya dalam konteks upaya mempertahankan hegemoni kekuasaan.
Keywords: camundi, durga, sapata, kekuasaan
Eksistensi Durga dalam tradisi religi masyarakat Jawa Kuna dapat diketahui baik secara artefaktual maupun tekstual dan gabungan keduanya. Secara artefaktual berupa arca seperti durgamahrisasuramardini dan relief pada candi seperti v2 #ini dalam cerita Sudamala. Adapun secara tekstual dapat ditemukan pada banyak naskah dan teks prasasti. Pada Prasasti Camundi didapatkan perpaduan antara unsur artefaktual dan tekstual dimana teks prasastinya dipahatkan pada bagian belakang dari sosok (relief) Camundi. Visualisasi Camundi sendiri dapat dikatakan unikum dalam periode Jawa Kuna.
Dalam kajian kali ini akan difokuskan pada Durga dalam konteks Prasasti Camundi 1214 Saka dan Prasasti Trailokyapuri atau Jiyu 1408 Saka. Keduanya berselilih waktu sekitar dua abad. Sekalipun kedua sumber data itu berasal dari masa yang beda diharapkan justru hasil kajiannnya akan menghasilkan gambaran yang jelas ada tidaknya keterkaitannya. Satu kesamaan antara keduanya adalah diterbitkan pada akhir masa kekuasaan masing-masing kerajaan.
Terkait dengan sifat data dan tujuan kajian ini maka metode penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif untuk kasus tunggal, yaitu eksistensi Durga. Pendekatan religi dan sejarah politik diterapkan secara bersama dalam kajian ini guna mendapatkan gambaran dan kesimpulan yang memadai. Adapun pengumpulan data dilakukan baik secara langsung di lapangan (on the spot) maupun studi Pustaka.
Sejauh ini artefak yang berhubungan langsung dengan Camundi di Jawa satu-satunya adalah temuan dari Ardimulyo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Artefak tersebut sering disebut arca Camundi walaupun lebih tepat disebut relief tinggi (houtrelief) menurut kaidah seni kriya. Saat ini artefak tersebut disimpan di Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM) Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur, Mojokerto.
Alih aksara
(nama)s camundyai
//O// Swasti Sakawarsatita. 1214
caitramasa. tithi. caturdasi krsnapaksa. (cu. wa.)
wr. wara. julung pujut. paScimastha grahacara. a$wini naksatra. aswidewa
ta. mihendramandala. pritiyoga. wairajyamuhortta. $ikunikarana. me
saraSi. // tatkala kapratisthan paduka bhatari maka tewek huwus
Sri maharaja digwijaya ring sakalaloka mawuyu yi sakala dwipantara
// Subham bhawatu //
Alih bahasa
1. Hormat untuk Camundi
2. Selamat tahun Saka 1214 telah berjalan
3. Bulan Caitra tanggal 4 paruh gelap
4. Pada wuku Julungpujut, perbintangan di barat, naksatra Aswin, dewata Aswi
5. Mandala mahendra, yoga priti, jam Wairajya, karana Sakuni
6. Tanda zodiak kambing jantan, Saat itulah didirikan sebuah arca paduka bhatari, setelah
7. Sri Maharaja menang di seluruh wilayah dan menundukkan semua pulau-pulau lain
8. Semoga mendapat kemakmuran
Damais (1995: 68-75) telah membuat studi terbaru dan menyeluruh tentang prasasti yang rusak parah ini. Camundi dapat diidentifikasi sebagai varian Jawa dari Camunda, aspek Durga yang menonjol dalam bentuk Shakta dan Tantra Hindu. Pada artefak dimana teks prasasti Camundi dipahatkan, unsur Durga diketahui dalam dua bentuk. Pertama tertulis pada baris pertama dengan pengkhususan dipahat menggunakan aksara Dewanagari (siddham) dan pada baris kelima ditulis piduka bhatari menggunakan aksara Jawa Kuna. Kedua, pada sisi yang lain dipaharkan relief tinggi sosok Camundi lengkap dengan atribut dan dewa-dewi pengiringnya yang masih dapat dikenali adalah Ganesya, Bhairawa dan sosok dewi mengendarai ikan. Satu sosok lagi sudah rusak dan tidak bisa dikenali.
Adanya perbedaan penggunaan aksara dalam menghadirkan Durga pada prasasti ini tentu menarik perhatian. Penggunaan aksara Dewanagari (Siddham) umumnya terkait dengan latar agama Buddha (Lurfi, 2002). Sejumlah arca yang berasal dari sekitar Malang yang menunjukkan latar Buddha terdapat pahatan namanya pada sandaran (stela) menggunakan aksara Dewanagari baik dari sekitar Singosari maupun Tumpang.
Dalam kepercayaan Hindu, Dewi Durga adalah dewi yang namanya berarti sulit dicapai atau jauh. Ia memiliki sejumlah peran penting karena dianggap sebagai salah satu Maha Dewi. Dewi Durga disebut sebagai ibu alam semesta sebab, ia merupakan perwujudan dari kasih sayang serta kelembutan. Dalam tradisi Puranik, Durga dikenal sebagai istri Dewa Siwa yang hadir sebagai sosok Adisakti Siwa. Dalam ajaran Siwa, dikisahkan sang dewi memiliki kekuatan dan kelembutan yang memancarkan sarwa sakti. Sehingga, Dewa Siwa tidak dapat melakukan segala aktivitasnya jika tanpa Sakti.
Arca Durga, ditemukan di Jawa Timur telah mulai mengalami perubahan yang radikal yaitu digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardini bertaring (Hariani Santiko, 1987). Penggambaran Dewi Durga yang lebih ektrim ditemukan dalam bentuk arca di Candi Rimbi, relief Candi Penataran dan Candi Tigawangi dimana Durga telah digambarkan sebagai Dewi Raksasa dengan tubuh tinggi, rambut acak-acakan, bertaring dan mata melotot.
Camundi adalah varian Jawa dari nama Camunda, suatu manifestasi menakutkan dari Durga sebagai dewi prajurit atau dewi peran. Damais (1995:72) telah mengidentifikasi Camundi sebagai nama varian dewi Durga yang dikenal dari sumber-sumber India Selatan, sedangkan bentuk Camunda lebih dikenal di India Utara. Lebih lanjut ia mengklaim bahwa dalam bahasa Tamil, Malayalam dan Kannada hanya bentuk Camundi yang terkenal. Profesor Nagaraja Rao, seorang sarjana bahasa Sansekerta dari Mysore di negara bagian Kannada, telah menguatkan fakta bahwa nama Camundi identik dengan Camunda, sejalan dengan Profesor David Shulman juga mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara Camundi dan Camunda. Di Mysore ada sebuah kuil di sebuah bukit di atas kota bernama Camundesvari yang didedikasikan untuk dewi Durga dalam bentuknya sebagai Camunda. Seperti yang dicatat Goswami (1975:1), kuil lain yang didedikasikan untuk Camundi, yang disebut kuil Camundibetra, terletak berdekatan dengan kuil Camundesvari di Mysore. Menurut Nagaraja Rao, tidak jauh dari kuil Camundi Mysore ada juga sebuah kuil yang didedikasikan untuk Mahisa. Nama Mysore sendiri ternyata merupakan bentuk pengucapan sehari-hari dari nama Mahisasura.
Menurut Hariani Santiko (1987, 1997:216) Camundi disembah dalam ritual Tantra yang disebut vasikarana yang bertujuan untuk mengalahkan musuh melalui penggunaan ilmu hitam. Goudriaan (1979:35) telah menunjukkan bahwa orang-orang berpangkat kerajaan dapat dikendalikan melalui tindakan magis seperti vasikarana “penaklukan”. Dia lebih lanjut menggambarkan unsur-unsur pengetahuan magis ini sebagai disistematisasikan dalam Tantrisme ke dalam satkarmani “Enam Babak (sihir)”. Tujuan satkarmani adalah untuk menghadirkan penguasa dengan cara yang kuat untuk memperkuat posisi politik mereka dan menjaga produktivitas ekonomi negara, melalui ritual untuk santi (“perdamaian”) dan pusti (“kemakmuran”).
Berdasarkan isi prasasti dan hubungannya dengan relief tinggi Camundi dibaliknya, kiranya tidak terlalu berlebihan bila diajukan beberapa pendapat. Pertama, prasasti tersebut diterbitkan sebagai ungkapan terima kasih raja Kertanagara kepada Dewi Camundi karena telah menghantarkan kesuksesannya menyatukan berbagai nusa di bawah kekuasaan Tumapel. Kedua, Batu prasasti beserta relief tinggi Camundi itu sekaligus merupakan tanda kemenangan (jayastamba) kerajaan Tumapel atas lawan-lawannya. Ketiga, pemujaan terhadap Durga secara umum dan Camundi secara khusus makin nyata dengan diterbitkannya prasasti Camundi.
Dari sudut pandang sejarah politik penerbitan prasasti Camundi berpotensi menimbulkan tanda tanya. Sejak tahun Saka 1176 Kertanagara sudah ditahbiskan sebagai raja Tumapel (DW 41: 3) sedangkan pernyataan berhasil menguasai dwipantara baru dimaklumatkan pada tahun Saka 1214, 38 tahun setelah penonatannya. Tahun itu pula kekuasaan Kertanagara berakhir.
Setelah membahas prasasti Camundi sekarang pembahasan prasasti Trailokyapuri atau Jiyu. Prasasti ini diterbitkan pada tahun 1408 Saka (1486 M ) oleh dua raja dari keturunan girindrawarddhana yaitu, Dyah Ranawijaya dan Dyah Wijayakusuma. Menarik perhatian kedua prasasti itu berangka tahun sama tetapi diterbitkan oleh dua raja yang beda. Sangat mungkin bagi Dyah Ranawijaya adalah saat terakhirkali menerbitkan prasasti. Disisi lain bagi Dyah Wijayakusuma adalah saat pertama kali mnenerbitkan prasastinya. Kedua prasasti Trailokyapuri tersebut bertanda (lanchana) girindrawarddhanalanchana dan memuat hal yang sama juga. Dari teks prasasti Trailokyapuri atau Jiyu ( OJO XCIV dan XCV) tertulis tiga frasa yang menyebut Durga sebagai berikut:
..carwananira bhatari durgga… (hendaknya disiapkan caru untuk bhatari
durgga):
..tadahen denira bhatari durgga.. ( semoga diterima oleh bhatari durgga ),
..tadahen de nira dewi durggastu //o// ( semoga diterima oleh beliau dewi durgga dengan selamat ). Semuanya terdapat pada bagian kutukan (sapatha).
Penggambaran Bhatari Durga dalam prasasti Trailokyapuri yang senang menerima persembahan berupa daging mentah dan darah (caru). Pencitraan seperti ini ditemukan dalam prasasti bagian kutukan (sapata) terhadap orang yang berani melanggar aturan-aturan yang diterapkan dalam prasasti untuk menjaga keamanan wilayah sima atau tanah milik komunal.
Kedudukan Durga dalam kedua prasasti terbahas di atas menunjukkan perbedaan dan persamaan. Perbedaan menonjol tampak pada pengutamaan Durga, Camundi sebagai figure sentral yang dipercaya membawa keberhasilan Kertanagara menguasai lawan-lawannya. Sementara pada prasasti Trailokyapuri kedudukan Durga sedikit menurun walaupun masih dalam pengarusutamaan dengan diseru tiga kali. Adapun kesamaan secara fungsional adalah menempatkan Durga tetap sebagai dewi prajurit yang memberikan kekuatan demi kemenangan dan keteguhan kekuasaan, dalam hal ini khususnya terkait status siM4.
Pada periode kerajaan Medang baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, pemujaan terhadap Durga menyatu ke dalam panteon Siwa yang dapar dikenali melalui tata letak khas kuil Siwa, di mana arca Durga selalu ditempatkan di sebelah utara garbhagrha yang dikhususkan untuk Dewa Siwa. Pada periode pasca Medang di Jawa Timur, Durga terus disembah sebagai dewi pejuang yang bisa melindungi alam. Hal ini tampak jelas dalam prasasti Airlangga, Kertanagara, Ranawijaya dan Wijayakusuma.
Beberapa karakteristik khas Tantra dari representasi Jawa Timur yang sangat kontras dengan gambar serupa di Jawa Tengah. Ini terutama berlaku untuk gambar yang dihasilkan pada masa pemerintahan Kertanagara, semula Durga digambarkan sebagai bentuk prajurit dari dewi lembut, Pada saat yang sama, sebagai konsekuensi dari peran Durga sebagai pelindung setiap tanah Sima dan prasasti yang bersaksi tentang ketentuan hibah tanah, dan penghukum semua orang yang berani melanggar sima atau masuk tanpa izin di tanah Sima. Durga mulai mengambil bentuk krodha selama periode Jawa Timur yang menonjolkan aspek menakutkan dan haus darah yang mengingatkan pada beberapa representasi dewi India, tetapi dalam kasus Jawa memainkan peran khusus dalam perlindungan tanah sima.
Jurnal
Boechari, 1966. Premilinary report on the discovery of en Old Malay inscription at Sojomerto, MISI, ITI, no 2& 3, oktober 1966.
Munandar, Agus Aris. 2009. Pengaruh Hellenisme Dalam Gaya Seni Arca Masa Klasik Tua di Jawa: Abad ke 8-10 M. Artikel Pada Situs Wacana Nusantara. (www.wacananusantara.org)
Sedyawati, Edi.1977. “Iconographical Data From Old Javanese Kakawins”. Dalam Majalah Arkeologi. Th. I No.2. Jakarta: Fakultas Sastra UI (Hal.69-84).
Sedyawari, Edi. 1978-1979. “Permasalahan Telaah Ikonografi Dari Sumber- Sumber Jawa Kuna”. Dalam Majalah Arkeologi, TH. I No. 4. Hlm. 38-45. Maret.
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. “Memahami Metode Kualitatif”. Dalam Majalah Sosial Humaniora Vol. 9 No. 2. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Hal: 57-65.
Buku
Anand, Mulk Raj. 1933. Hindu View of Art. London: George Allen & Unwin Ltd.
Ardana Suparta. I.B. 2002. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. Surabaya: Paramita
Ariati, Ni Wayan Pasek. 2009. The Journey Of A Goddess: Durga In India, Java And Bali, Thesis. Charles Darwin University
Atmosudiro, Sumijati, dkk. 2008. Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya.
Avalon, Arthur. 1972. Tantra of The Great Liberation (Mahanirvana Tantra). Dover Publications
Banerjea. 1974. Development of The Hindu Iconography. Calcutta: Calcutta University.
Bengkel Masyarakat Kota. 2000. Dokumentasi dan Katalogisasi Koleksi Patung/Arca Museum Radya Pustaka Surakarta. Surakarta: Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
Boechari, 1976. Some Considirations of the Problem of The Shift of Mataram’s Century A.D. dalam buletin Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Jakarta: Departemen P & K.
Boedhijono, S. Kusparyati. 2012. “Ancient Sculptures of Durga Mahisasuramardini from Bali”, Recent Studies in Indonesian Archeology. Editor Edi Sedyawari dan I Wayan Ardika. Delhi : Indira Gandhi Narional Centre for the Art.
Bosch, F.D.K. 1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Brandes, J.L.A. 1913. Oud-Javaanshe Oorkonden. Batavia: Albrecht & Co
Budiarto, Eri, dkk. 2009. Dewa-dewi Masa Klasik Jawa Tengah. Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
Casparis, J.G. de. 1950. Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru.
Casparis, J.G. de. 1975. Indonesian Paleography. Leiden: EJJ. Brill.
Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (Winarsih Partaningrat Arifin, Penerjemah). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
.Coomaraswamy, Ananda K. 1934. The Transformation of Nature In Art. New York: Dover Publications.
Devi, Sudarsana. 1957. Wrhaspati-Tattva: an Old Javaneese philosophical text. International Academy of Indian Culture
Dudung Abdurahman. 1990. Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: logos wacana ilmu.
Fountain, Jan. 1991. The Sculpture of Indonesia. Washington: National Gallery of Art. (Hlm. 23-65).
Hadiwijono, Harun. 1979. Sari Filsafat India. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Handari, Dedah Rufaedah S. 1987. Arca Parvati di Jawa (Sebuah Telaah Ikonografi). Jakarta: FSUI.
Harkantiningsih, Naniek dkk. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hartini, Dwi. 2006. Pertumbuhan dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia. No. Modul: Sej.I.06.
Holt, Claire. 1976. “The Impact of Indian Influence: Central Java 8-10 Century”. The Heritage Palinology: The Art in Indonesia Continuities and Change. Ithaca: Cornell University. Hlm 35-65.
Iyer, K. Bharatha. 1958. Indian Art: A Short Introduction. Bombay: Asia Publishing House.
Kern, J.H.C. & Rassers, W.H. 1982. Siva dan Buddha. Djakarta: Djambatan.
Liebert. Gosta. 1976. Iconoghraphic Dictionary of The Indian Religions (Hinduism-Buddhism-Jainism). Leiden: E.J. Brill.
Lurfi, Ismail. 2002. Analisis Teks Prasasti Pendek Beraksara Nagari dari Candi Jago. Lembaga Penelitian UM
M. Yamin. 1962. Tara Negara Majapahit II. Djakarta: Prapanca
Mardiana, Intan. 2002. Arca Dewa-dewa Hindu Koleksi Museum Nasional.
Marwati Djoened Dan Nugroho N. S. 1984. Sejarah Nasional Indonesia 2. Jakarta: Balai Pustaka
Munandar, Agus Aris. 2010. “Memahami Ikonografi Hindu-Buddha dalam Masa Indonesia Kuno (Abad ke8-15 Masehi)” Dalam Ceramah Ilmiah Peningkatan Pengetahuan Hindu-Buddha. Jakarta: Museum Nasional Jakarta.
Palmer, Marilyn & Peter Neaverson. 2001. Industrial Archaeology Principle and Practices. New York: Routledge.
Praharaj, Gitarani. 2004. Karttikeya. Bhubaneswar: Orissa Review.
Rao, T. A. Gopinarha. 1914. Elements of Hindu Iconography. Madras: The Law Printing House.
Ras, J.J. 2001. ——Sacral Kingship in Java”, dalam Fruits of Inscription, ed. By Marijke Klokke, Eghbert Forsten.
Rieu, E.V. 1975. Hindu Myths. Harmondsworth: Pengui Book Ltd.
Roberts, Helene, E. 1998. Encyclopedia of Comparative Iconography. Vol 2.
Russel, Marshal K. n.d. Characteristic of Indian Arts. Introduction to Indian Art.
Sahai, Bhagawant. 1975. Iconography of Minor Hindu And Budhhist Deities. New Delhi: Abhinav Publications.
Santiko, Hariani.1987. Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada abad X- XV Masehi, Disertasi, Jakarta: UI.
Santiko, Hariani. 1992. Bhatari Durga. Depok : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Shukla, D.N. 1958. Vastu Sastra Vol II, Hindu Canon of Iconography and Painting.. Punjab University.
Sivananda, Sri Swami. 1993. Initisari Ajaran Hindu (terjemahan). Surabaya : penerbit Paramita. Sivaramamurti. C. 1974. Bird and Animal in Indian Sculpture. New Delhi : National Museum,
Soebadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta: Djambaran.
Soekmono. 1984. “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia” dalam Makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi. 1985.
Sri Sukesi Adiwimarta. 1993. Unsur-unsur Ajaran dalam Kakawin Parthayajna. Thesis , Depok : FSUI
Stella, Kramresch. 1979. The Presence of Siwa.
Stutterheim, W.H. 1932. Een bijzetting beeldvan Koning Krtanagara in Berlin, TBG 72, hlm. –
William, George M. 2003. Handbook of Hindu Myrhology. California: ABC-CLIO.Inc
Wirjosuparto, Sutjipto. 1956. Sejarah Seni Arca India. Jakarta: Kalimosodo. Wojowasito dan Tito Wasito. 1980. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Dengan
Wiryamantara, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha, Duta wacana, University press. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Prosiding
Ferdinandus, Utami. 1990. “Arca-arca dan Relief Pada Masa Hindu Jawa di Museum Bangkok”. Dalam Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Jakarta: FSUI (hlm. 78-101)
Santiko, Hariani. 1986. Mandala (kadewaguruan) pada jaman Majapahit. Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, 3 – 9 Maret 1986, dalam bagian Ilb: Aspek Sosial-Budaya.
Warda, I Wayan. 1984. Lingga, dalam rapat evaluasi penelitian arkeologi II. Jakarta:Puslit Arkenas