Ni Wayan Pasek Ariati, Ph.D.
SIT Study Abroad Indonesia
Email: ariati.wayan@sit.edu dan wayan.ariati@gmail.com
Durga di India pada awalnya digambarkan sebagai Dewi Perang yang cantik dengan banyak lengan, dimana masing-masing lengannya memegang senjata yang dianugrahkan oleh Dewa Siwa dan dewa-dewa lain selama penciptaannya sebagai Dewi Perang dan Pelindung bagi para dewa untuk mengalahkan musuhnya yang sangat sakti yaitu, Mahisasura, raja raksasayang berkepala kerbau (Mookerjee, 1988:8). Deskripsi wujud Durga ini ditemukan dalam syair-syair suci India seperti Devi Mahatmnya, subbagian penting dari ensiklopedia Markandeya Purana (disusun sekitar abad ke- 6M). Setelah dapat mengalahkan musuhnya, Durga diberi sebutan Durga Mahasisasuramardini yang berarti, “Durga yang telah berhasil membunuh Mahisasura”. Penggambaran Durga sebagai Mahisasuramardini-lah yang mempengaruhi ajaran Hindu aliran Siwaisme yang menyebar di Indonesia mulai awal abad millennium sampai runtuhnya kerajaan Majapahit. Namun, penggambaran Durga Mahisasuramardini di Nusantara terutama di Jawa dan
Bali mengalami proses evolusi perubahan radikal. Durga Mahasisasuramardini sebagai Dewi Perang dan Pelindung masih digambarkan sama seperti wujud asal mulanya di India pada jaman kerajaan Hindu di Jawa Tengah (abad ke-6 sampai ke-10 M), tetapi setelah kekuatan kerajaan Hindu pindah ke Jawa Timur (sekitar abad ke-10 sampai abad ke-15 M), penggambaran Durga Mahisasuramardini telah mengalami perubahan yang radikal dimana Durga Mahisasuramardini digambarkan sebagai Dewi berupa raksasi. Perkembangan Durga Mahisamardini di Bali bahkan lebih radikal lagi karena Durga Mahisasuramardini telah diidentikkan dengan pemuja setianya yaitu Rangda ing Dirah seperti yang dinarasikan dalam cerita Calonarang.
Kata kunci: Bali, Durga, India, Java, transformasi radikal
Dalam makalah ini, saya berusaha untuk menelusuri serta mengkaji sejarah dan mitos asal mula “kelahiran” serta pemujaan terhadap Durga di India, lalu dilanjutkan dengan kajian perkembangannya di Indonesia khususnya di Jawa dan Bali.
Pertama-tama sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah dan mitos penciptaan dan pemujaan Durga, saya ingin menyampaikan bagaimana saya sampai tertarik untuk mengkaji tentang Durga khususnya di Bali dan India. Rasa tertarik saya untuk mengetahui lebih jauh tentang Durga karena pada waktu saya bekerja di Jaipur, India Utara di tahun 2001-2003, saya merasa heran dan penasaran karena ada beberapa toko bernama Durga, grup musik bernama Durga, dan juga perempuan bernama Durga. Sedangkan di Bali, saya selalu menganggap Durga sebagai sosok Dewi/Bhatari yang menyeramkan dan bersemayam di setra Ganda Mayu, Pura Dalem Mrajapati. Pengetahuan mengenai Durga, saya dengarkan dari cerita almarhum kakek saya yang merupakan Pemangku Pura Dalem di desa kelahiran saya.
Menyadari persepsi pemeluk ajaran Hindu di India dan penganut Hindu di Indonesia, di Bali pada khususnya, maka saya berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang bagaimana Durga di Bali bisa digambarkan sebagai sosok Bhatari yang menyeramkan, jauh berbeda dari penggambaran aslinya di India. Maka muncullah pertanyaan sebagai berikut:
– Mengapa Durga di India berbeda dengan Durga di Bali?
– Apa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antara Durga India dan Bali?
Supaya dapat menjawab pertanyaan tersebut, sayapun melamar beasiswa untuk mengadakan penelitian lebih mendalam tentang perkembangan citra/image dari Durga di India dan Bali. Saya mengirim proposal ke Charles Darwin University (CDU) Darwin, untuk mendapatkan beasiswa supaya dapat meneliti Durga di India dan Bali, lamaran saya diterima dengan baik dan diberikan beasiswa serta pembimbing akademis sampai ke tingkat doctoral. Saya akhirnya konsultasi dengan sarjana senior yaitu Prof. Hildred Geertz (alm.), Princeton University, USA, Prof. Dr. Hariani Santiko (alm.), UI (Universitas Indonesia) dan Pembimbing saya Dr. Christine Doran, CDU (Charles Darwin University), Darwin, Australia: dimana ketiga professor tersebut menyarankan kepada saya agar supaya saya tidak hanya membahas tentang Durga di India dan Bali, tetapi juga membahas Durga di Jawa supaya lebih kronologis urutannya karena saling berhubungan secara historis dan mitologis. Saya menyetujui saran keriga professor tersebur. Jadi, judul akhir penelitian saya adalah “The Journey of the Goddess Durga: India, Java, and Bali”, yang sudah berupa buku dengan judul yang sama yaitu “The Journey of the Goddess Durga: India, Java, dan Bali” diterbitkan tahun 2016 oleh Aditya Prakashan, 2/18 Ansari Road, New Delhi, India.
Sebagai seorang penganut kepercayaan Hindu, sebelum mengadakan penelitian lebih jauh tentang Durga, saya harus mengikuti beberapa upacara sesuai dengan ajaran Hindu dimana saya percaya pada kekuatan spiritual alam niskala (tak kasat mata). Maka dari itu, saya mengikuti upacara-upacara berikut ini:
Upacara Pekeling: Jatra dan Yatra
Karena kami menganggap Durga begitu angker dan berbahaya, kakek saya bahkan tidak mengizinkan saya untuk menyebutkan nama Durga karena Durga sangat tenget, angker kuat secara spiritual atau magis dan berbahaya. Durga dapat menyebabkan begitu banyak masalah jika dia tidak berkenan dengan perilaku manusia, tetapi akan sangat bermurah hati apabila dipuja dengan sempurna sepenuh hati. Saya merasa takut untuk melakukan penelitian tentang Durga, karena saya percaya kalau Durga dapat mengutuk saya apabila saya melakukan sesuatu yang salah. Itulah alasan utama mengapa saya memutuskan untuk melakukan jatra dan yatra sebelum mengadakan penelitian lebih mendalam. Tujuan utama melakukan jatra dan yatra adalah untuk meminta izin serta anugrah dari Durga supaya penelitian saya berjalan lancar dan sukses, serta terlindungi dari segala mara bahaya.
Upacara/atra, yaitu upacara permohonan doa restu serta anugrah di pura sekitar tempat tinggal kita. Untuk upacara jatra, saya melakukan di Pura Dalem di desa kelahiran saya sebagai tempat suci untuk pemujaan Siwa-Durga, saya ditemani oleh nenek dan kakek saya yang Pemangku Dalem. Kakek berpesan dalam Bahasa Bali, “Yan, sing dadi ngawag nyambatang Ida Bhatari (Durga), ragane nak tenget, aeng, kalo men sembah baktinin ragane, apa tagih sekita arep Yan, kal icenine (teken Ida”, “Yan, jangan sembarangan nyebut-nyebur Ida Bhatari (Durga), Dia angker, menyeramkan, namun kalau dipuja dengan sepenuh hati, akan memberikan anugrah apapun yang Yang inginkan”, begitulah terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya saya melakukan upacara Yatra.
Upacara Yatra, yaitu upacara yang diadakan di tempat jauh dari tempat tinggal kita, bisa di pegunungan atau di seberang sungai atau lautan.
Dua hari setelah saya melakukan jatra ke Pura Dalem di desa, saya melanjutkan perjalanan suci saya ke Pura Dalem Ped yang terletak di seberang lautan yaitu di Nusa Penida, Bali. Tujuannya sama dengan upacara jatra yaitu untuk memohon doa restu dan ijin supaya mendapat keselamatan serta perlindungan dari Durga. Untuk mengejar “kehadiran bayangan” Durga, saya
harus menyeberangi lautan luas, mendaki bukit terjal, memasuki gua yang gelap dan menakutkan. Setelah semua rintangan dapat saya atasi, sampailah saya di Pura Dalem Ped, dimana saya mengadakan pemujaan serta mekemit (bermalam) di Pura Pemujaan Ratu Gede Mecaling, salah satu kompleks di Pura Dalem Ped selain Pura Ulam Agung, Beji Agung, dan Pura Penataran Agung. Pura Dalem Ped adalah salah satu pura kahyangan desa Nusa Penida, yang berperan sangat penting bagi pemuja orang awam dan dukun tradisional (balian) dari seluruh Bali. Orang Bali percaya bahwa semua penyakit, nasib buruk, roh jahat dan bencana di daratan Bali telah disebabkan dan disebarkan oleh salah satu pemuja setia Durga yaitu Ratu Gede Mecaling, tetapi dalam waktu yang sama semua malapetaka, segala jenis penyakit dapat disembuhkan oleh Ratu Gede Mecaling karena dapat penugrahan panca taksu (lima kesaktian) dari Dewi Durga.
Semalam mekemit di Pura Dalem Ped saya memilih tempat di balai pawedan, sebuah bangunan kecil dari kayu setinggi dua meter persegi, yaitu tempat khusus untuk pendeta Hindu melantunkan mantra-mantra pujian dari kitab suci Weda. Ada beberapa sarana ritual yang diletakkan di bangunan tersebut, termasuk tempayan dari tanah liat untuk air suci (tirta) dan beberapa dupa. Saya mencoba membuat diri saya senyaman mungkin, sehingga saya cepat tertidur, tetapi lolongan anjing di sekitar pura dan di kejauhan membangunkan saya dari tidur dan mendapatkan diri saya sedang sendirian di pura dalam keadaan gelap gulita karena listriknya padam.
Di dalam tertidur sesaat itu, Sang Dewi Agung (the Grear Goddess) mendatangi saya dalam mimpi. Sang Dewi datang dalam wujud yang aeng, berbadan ramping, berambut panjang berwarna merah, putih, dan hitam dengan mahkota menyala seperti api, kuku-kukunya panjang dan runcing, taring- taringnya runcing, matanya tajam menatap saya dengan pandangan yang sangat lembut. Sang Dewi bahkan menyentuh dada saya dan saya dianugrahi busanayang masih terlipat rapi.
Dari mimpi tersebut saya lalu menafsirkan bahwa saya telah mendapat ijin, doa, restu, serta anugrah dari Sang Dewi Agung untuk melakukan penelitian tentang Durga. Jadi, saya memutuskan untuk kembali ke India (2002-2004 dengan penuh percaya diri untuk riset disana.
Untuk mendapatkan data primer, saya mengadakan: survey, wawancara, dan observasi partisipasi, sedangkan untuk data sekunder saya banyak membaca pustaka yang berkaitan dengan Durga baik dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Bali, maupun Bahasa Inggris. Penelitian tersebut dilakukan baik di India, Jawa, dan Bali. Selama di India, saya survei dengan mengunjungi museum-museum, kuil-kuil (mandir) yang diperuntukan sebagai pemujaan kepada Durga, serta mengujungi para Sadu di goa-goa yang merupakan pemuja Siwa-Durga yang fanatic, mengikuti upacara Durga Puja di Calcurta dan Varanasi, wawancara dengan pemuja Durga dari semua lapisan masyarakat termasuk “Tantrik”, sebutan bagi penganut aliran tantra yang extrim.
Sedangkan, penelitian di Indonesia saya berfokus untuk survey di Jawa terlebih dahulu sesuai kronologi perjalanan sejarah pemujaan Durga. Di Jawa, saya mengunjungi museum, candi-candi peninggalan sejarah dinasti Hindu, wawancara dengan semua lapisan masyarakat. Di Bali, saya banyak habiskan waktu membaca saduran lontar bertuliskan huruf Latin.
Saya survei ke desa Adiwasi Gathiyali di Jaipur karena di daerah tersebut penduduk setempat memuja kekuatan Dewi (goddess) berupa arca dari tanah liat yang menyerupai arca Durga Mahisasuramardini, tetapi penduduk setempat tidak menyebutnya Durga. Tujuan pemujaan terhadap arca Dewi tersebut adalah sama dengan tujuan dari pemujaan terhadap Durga yaitu untuk mendapat perlindungan dari segala marabahaya.
Lalu, saya mengunjungi beberapa kuil (Bahasa Hindi: mandir) di Jaipur, New Delhi, Kalkuta, Rishi Kesh, dan Varanasi yang dibangun khusus untuk memuja Durga dalam wujud yang berbeda-beda seperti misalnya di Rishi Kesh India Utara, saya ke kuil Durga yang berwujud Dewi Parwati, kuil di Kalkuta yang banyak dikunjungi oleh pemujanya dimana Durga digambarkan berwujud Dewi Kali yang hitam legam dengan lidah terjulur seperti haus darah Adapun sebuah kuil kecil di tengah hutan di Taman Sariska, Delhi, arca Durga dari tanah liat digambarkan sebagai penjaga hutan, dimana pemujanya mengorbankan kambing di altar kuil di bawah pohon beringin tersebut.
Survei selanjutnya, saya mengunjungi museum di New Delhi untuk mempelajari patung-patung Durga Mahisasuramardini, jenis-jenisnya dan karakter dari masing-masing patung tersebut. Lalu saya pergi ke Mathura untuk menelusuri keberadaan peninggalan jaman Paleolitikum untuk
menemukan patung atau arca Dewi Bumi sebagai awal dari pemujaan kekuatan energi feminin. Di museum Mathura, saya juga menemukan Yupa Post, tiang batu setinggi 8-1 1meter yang sangat penting untuk dikaji untuk menelusuri perkembangan ajaran Hindu di Nusantara, karena di Kutai, Kalimantan Timur sebagai kerajaan Hindu tertua di Nusantara ditemukan peninggalan sejarah berupa Yupa Post.
Untuk mendapatkan dara primer, saya mewawancari segala lapisan masyarakat di India dan di Indonesia. Saat wawancara di India, saya bertemu dengan beberapa pemuja Durga yang sangat taar. Salah seorang pemuja Durga di Culcatra berkata kepada saya,
”Dewi Durga adalah Dewi yang paling pemurah karena apapun yang kita inginkan akan segera dikabulkan, sedangkan Dewi Saraswati sangat pelit kita harus lama sekali belajar untuk menjadi pintar. Dewi Laksmi juga begitu pelit, kita sulit untuk menjadi kaya walau bagaimanapun kerasnya usaha kita”.
Dalam kesempatan yang sama, saya juga bertemu dan wawancara dengan “tantric” istilah ini mengacu pada penganut ajaran tantra yang ahli dalam ilmu black-magic karena para tantric punya “magic-eyes” dimana mereka bisa mencelakai musuh-musuhnya dengan hanya memandang dengan “magic-eyes”nya. Maka dari itu, anak-anak kecil di India memakai “cilak” hitam di mata dan mobil-mobil berisi sesajen berupa cabai, jeruk lemon dan bawang merah yang katanya bisa menolak kesaktian dari “magic-eyes”. Seorang tantric yang saya wawancarai bersifat sangat rahasia, dia hanya bicara dengan orang yang dipercaya.
Dalam wawancara tersebut tantric tersebut berkata bahwa dia tidak pernah menyakiti orang secara langsung, tetapi kekuatan yang dianugrahi oleh “Gorakh Nath” (Siwa dalam bentuk menyeramkan) bisa mencelakai orang yang bermaksud jahat padanya. Saya juga bertemu dengan seorang perempuan yang namanya Durga. Saya tanya ibu itu tentang namanya. Dia bilang, “Dewi Durga sangat cantik dan maha pengasih, jadi nama itu bagus untuk perempuan”. Lalu saya katakan padanya,” Di Bali, kami tidak berani menyebut nama Durga blak-blakan, biasanya kita membuat nama yang menyamarkan nama Durga, seperti Ratu Ayu, Ida Bhatari Dalem atau Ratu Mas”. Ibu Durga itu semakin penasaran dengan perkembangan Dewi Durga di Bali. Akhirnya saya diundang untuk memberikan presentasi tentang Bhatari Durga di New Delhi India pada tahun 2008 sebelum melanjutkan presentasi di Berlin, Jerman dalam tahun yang sama.
“Observasi Partisipasi: Sitala Dewi di Jaipurs Durga Puja di Kalkuta dan Varanasi Durga dengan banyak julukan serta wujudnya seperti Dewi Sitala, Ambika, Badrakali, Kali, Parwati, dipuja sesuai dengan tujuan pemujanya. Saya sempat mengadakan observasi dan berpartisipasi dalam pemujaan Durga sebagai Dewi Sitala di Jaipur. Menurut nara sumber saya, Dewi Sitala dipuja oleh penduduk untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit cacar (chickenpox). Di hari pemujaan Dewi Sitala, semua makanan tidak boleh dipanaskan.
Selain mengikuti puja untuk Dewi Sitala, saya juga punya kesempatan untuk mengikuti Durga Puja di Kalkuta yang dirayakan setiap tahun di bulan Oktober. Pada saat Durga Puja, biasanya perayaannya dilakukan dengan membuat pandal yang berisi arca Tri Sakti yaitu: Maha Saraswati, Maha Durga, Maha Laksmi. Di antara Tri Sakti Dewi Saraswati, Dewi Laksmi dan Dewi Durga, maka Dewi Durga lah yang paling banyak dipuja di India. Biasanya di dalam pandal ini, Dewi Durga digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardani dimana arcanya memperlihatkan kekalahan raksasa Mahisasura. Saya sendiri sempat menyaksikan bagaimana perayaan Durga Puja dilaksanakan di Culcatta dan Varanasi.
Sama halnya dengan riset di India, saya juga mengadakan survei ke museum-museum, candi-candi di Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Pura-Pura di Bali yang memliki peninggalan sejarah tentang Durga baik berupa arca, patung, maupun bas-reliefs yang terpahat di dinding-dinding candi. Saya juga wawancara dengan semua lapisan masyarakat secara formal dan non-formal
baik di Bali maupun di Jawa.
Setelah mengadakan riset panjang mengenai sejarah dan mitologi Durga, baik di India, Jawa, dan Bali, saya dapat menjabarkan temuan saya secara sangat singkat dalam makalah ini sebagai ulasan berikut ini.
Pemujaan terhadap energi feminine, berawal mula dari pemujaan terhadap Ibu Dewi di jaman peradaban Lembah Indus (c.3000-1500 SM), dimana pemujaan Ibu Dewi tersebut berkembang pada jaman Weda (c.1500-800 SM) setelah dewa-dewa Tri Murti Hindu (Brahma, Wisnu, Siwa) mulai digambarkan mempunyai shakti-shakti (energi spiritual feminin), maka terciptalah Dewi Saraswati Brahma, Dewi Laksmi-Wisnu, dan Dewi Durga-Siwa (Zimmer 1955).
Pada periode Epik, Ramayana dan Mahabharata berikutnya (c.200 SM- 200 M) dan periode Puranik (c.200-800 M), pemujaan terhadap Dewi pada awalnya menjadi terkenal pada periode Puranik sehubungan dengan sekte Siwa. Di India kita mengenal adanya sekte Waisnawaisme, sekte Siwaisme, dan sekte Shaktisme. Sekte Waisnaisme memuja Wisnu sebagai dewa tertinggi, sekte Siwaisme memuja Siwa sebagai dewa tertinggi, sedangkan sekte Shaktisme memuja Durga sebagai dewi tertinggi. Disini terjadilah penggabungan kekuatan dewa dan dewi tertinggi dalam masa puranic. Karena Durga sebagai dewi tertinggi dari sekte Shaktisme, maka di India kita temui mandir (kuil) khusus untuk memuja Durga, hari raya suci untuk memuja Durga, serta literatur yang berisi syair-syair tentang pujian-pujian kepada Durga. Salah satu literatur khusus memuat penciptaan serta keagungan Durga adalah Dewi Mahatmya yang berupa sisipan dalam kitab Markandeya Purana (digubah sekitar abad ke-6 M).
Menurut (Mookerjee, 1988:8, dan Agravala, 1963), sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam sloka suci Devi Mahatmya, sebuah sisipan penting dariMarkandeya Purana (digubah pada abad ke- 6″ Masehi), diceritakanlah lahirnya Durga sebagai berikut:
Pada jaman dulu, sorga loka diserang oleh rakasa bersama pasukannya yang dipimpin oleh Mahisasura yaitu raksasa berkepala kerbau. Raksasa tersebut sangat sakti dan tak terkalahkan oleh pasukan para dewa di sorga. Pada saat penyerangan tersebut, Dewa Siwa sedang bertapa di Gunung Kailasa, puncak tertinggi dari pegunungan Himalaya. Raksasa Mahisasura menduduki sorga loka sehingga para dewa morat-marit berlarian kemana- mana untuk menyelamatkan diri. Akhirnya para dewa memutuskan untuk pergi ke puncak Kailasa memberitahukan Dewa Siwa tentang keadaan di sorga loka. Dewa Siwa yang sedang meditasi menjadi sangat murka mendengar kabar kalau sorga telah diobrak-abrik oleh pasukan raksasa raja Mahisasura dan tahta sorga telah diduduki oleh raja Mahisasura. Saking murkanya maka dari kedua belah kening Dewa Siwa muncullah pancaran cahaya yang luar biasa dahsyatnya. Demikian juga dari kedua belah kening para dewa lainnya muncul cahaya yang menyatu dengan cahaya Dewa Siwa. Dari kumpulan cahaya para dewa tersebut muncullah sesosok Dewi yang luar biasa cantiknya bertangan delapan yang membuat para dewa sangat senang melihat terciptanya dewi tersebut. Karena para dewa tahu bahwa musuh mereka tidak dapat dikalahkan oleh para dewa, maka para dewa yakin bahwa Mahisasura akan tunduk dan terkalahkan oleh sosok Dewi yang cantik. Maka sepakatlah para dewa untuk mengirimkan Dewi yang cantik ke medan laga.
Karena Sang Dewi akan dikirim ke medan perang maka dari itu para dewa perlu menganugrahi Dewi itu senjata-senjata sakti supaya bisa mengalahkan Mahaisasura. Lalu, Dewa Siwa menganugrahkan Tri Sula, Wisnu menganugrahkan Cakra, Brahma menganugrahkan Gada, Indra menganugrahkan Bajra dan juga dewa-dewa lainnya, sehingga kedelapan tangan Dewi tersebut berisi senjata mahasakri. Dewi yang baru tercipta dari cahaya para dewa akhirnya diberi nama Dewi Durga yang berarti “Seorang Dewi yang Sulit Dikalahkan”. Untuk melengkapi sarana perang, Dewi Durga dianugrahi Singa oleh Dewa Siwa sebagai wahananya ke medan perang untuk melawan melawan pasukan raksasa Mahisasura. Setelah Dewi Durga dibekali mantra-mantra kesaktian dari para dewa dan siap dengan peralatan perangnya maka pergilah Dewi Durga dengan wahana Singanya ke medan laga sendirian menantang Mahisasura untuk berperang.
Dengan suara nyaring Dewi Durga memanggil Mahisasura dan menantangnya untuk berperang. “Wahai Raja Mahisasura, keluarlah ke medan laga, lawanlah aku bertempur!”, tantang Dewi Durga.
Mendengar tantangan seorang perempuan dan melihat betapa cantik perempuan yang menantangnya, maka Mahisasura pertamanya tidak mau melawan, dan diapun berkata kepada Dewi Durga, ”O Sang Dewi yang maha cantik, kenapa harus berperang melawanku, apakah tidak lebih baik kalau kita bertempur di tempat tidur (bed-chamber) saja?”
Tertawalah Dewi Durga mendengar tawaran raja raksasa sambil menjawab, “hahaha…..hanya lelaki yang bisa mengalahkan aku di medan perang berhak bertempur denganku di tempat tidur (bed chamber)”.
Mendengar jawaban Dewi Durga, murkalah Mahisasura atas jawaban Dewi Durga yang merendahkan kesaktian Mahisasura. Rasa kejantanannya sangat tertantang untuk segera menundukan dan mengalahkan Dewi Durga supaya bisa mengajaknya ke tempat tidur. Akhirnya mereka berperang mengadu kesaktian. Dalam adu kesaktian, Mahisasura mengubah wujudnya beberapa kali tetapi tetap dia selalu bisa dikenali dan dilumpuhkan oleh Dewi Durga. Terakhir kali, Mahisasura berubah wujud menjadi kerbau yang ganas. Singkat cerita, Dewi Durga dapat mengalahkan Mahisasura dengan memenggal kepala Mahisasura yang berupa kerbau tersebut.
Dengan kalahnya Mahisasura, maka para dewa memuji-muji kesaktian Dewi Durga dengan mantra-mantra pujian. Sejak saat itu, Dewi Durga diberi julukan Durga Mahisasuramardini, yang berarti “Dewi Durga yang telah mengalahkan raksasa Mahisasura”.
Begitulah cerita singkat tentang terciptanya Durga Mahisasuramardini di India, yang selalu digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardini yang cantik dan selalu dipuja oleh semua lapisan masyarakat sebagai Dewi Pelindung dan Dewi Perang demi kemenangan.
Saking pentingnya peranan Durga Mahasasuramardini, maka dari itu didirikanlah mandir-mandir (candi, kuil, pura) khusus dipakai tempat memuja Durga dengan berbagai julukan tergantung dari perannya dalam memberi penugrahany ada hari suci yang khusus untuk memuja Dewi Durga yang disebut Durga Puja, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober. Pada saat Durga Puja, biasanya perayaannya dilakukan dengan membuat pandal’ yang berisi arca Tri Sakti: Maha Saraswati, Maha Durga, Maha Laksmi. Di antara Tri Sakti: Dewi Saraswati, Dewi Laksmi dan Dewi Durga, maka Dewi Durga lah yang paling banyak dipuja di India. Biasanya di dalam pandal ini, Dewi Durga digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardani dimana arcanya memperlihatkan kekalahan raksasa Mahisasura. Saya sendiri sempat menyaksikan bagaimana perayaan Durga Puja dilaksanakan di Culcatta dan Varanasi.
Berikutnya, saya akan membahas tentang bagaimana pemujaan serta perkembangan Durga Mahasasuramardini di Nusantara.
Di Nusantara, beberapa arca atau patung Durga dalam bentuk Durga Mahisasuramardini telah ditemukan di beberapa candi di Jawa Barat pada abad ke-6″ Masehi (Hariani Santiko, 1987), dan arca Durga Mahisasuramardini banyak ditemukan di Jawa Tengah terutama pada candi-candi Hindu beraliran Siwa, seperti misalnya di Candi Sambisari, di Candi Prambanan, dimana arca
Durga Mahisasuramardini ditemukan di bagian utara candi Siwa. Pemujaan terhadap Durga Mahisasuramardini biasanya dilakukan oleh para raja untuk memohon kemenangan dalam perang. Tetapi Durga Mahisasuramardini juga dipuja oleh kaum Brahmana, Wesya, dan Sudra untuk mendapatkan perlindungan dari musuh.
Setelah pindahnya kekuatan kerajaan Hindu dibawah kekuasaan dinasti Sanjaya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada pertengahan abad ke-9 Masehi, pemujaan terhadap Durga Mahisasuramardini juga dilaksanakan oleh para raja di Jawa Timur seperti Kediri, Singosari dan Majapahit. Peninggalan dari arca Durga di Jawa Timur ditemukan di beberapa candi Hindu seperti Candi Singosari, Candi Jawi, Candi Gedong Songo, dimana arca Durga Mahisasuramardini masih punya ciri-ciri yang sama dengan arca di Jawa Barat, Jawa Tengah sedangkan arca Durga Mahisasuramardini yang ditemukan di Jawa Timur telah mulai mengalami perubahan yang radikal dimana arca Durga Mahisasuramardini digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardini bertaring (Hariani Santiko, 1987). Penggambaran Dewi Durga Mahisasuramardini yang lebih ektrim ditemukan di relief Candi Penataran dan Candi Tigawangi dimana Durga telah digambarkan sebagai Dewi Raksasa dengan tubuh tinggi, rambut acak-acakan, bertaring dan mata melotot.
Di Bali, berdasarkan prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu (kira-kira abad ke 11 Masehi) banyak menyebutkan pemujaan terhadap Durga, sedangkan beberapa arca yang kita temukan di Bali pada jaman Anak Wungsu masih menggambarkan ciri-ciri khas Durga Mahisasuramardini tetapi telah terjadi akulturasi dengan budaya lokal. Misalnya arca Durga
Mahisasuramardini yang terdapat di Pura Dalem Kutri, Buruan, Gianyar, Durga Mahisasuramardini digambarkan memiliki delapan tangan yang semua memegang senjata tetapi salah satu tangan Durga memegang keris yaitu senjata khas Bali dan tiadanya patung Mahisasura dalam Durga Mahisasuramardini di Dalem Kurri. Di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar juga ditemukan beberapa arca Durga Mahisasuramardini, tetapi oleh penduduk setempat arca tersebut dinamakan Ratu Pasek, sama halnya dengan arca Durga Mahisasuramardini di
Candi Prambanan, orang awam menyebutnya patung Loro Jongrang.
Pada saat ini, kalau kira berbicara tentang Durga, yang ada dalam benak kita orang kebanyakan adalah Durga yang disamakan dengan sosok Rangda, yaitu suatu image yang menyeramkan dengan sosok tinggi besar, rambut panjang awut-awutan, mata melotot, lidah menjulur dan bersemayan di kuburan Ganda Mayu. Demikianlah image yang diceritakan oleh generasi pendahulu seperti kakek saya dan orang-orang di kampong saya. Dan gambaran serupa tentang Durga juga dapat kita buktikan dalam literatur dan visual seperti cerita Sudamala, Andha Bhuwana dan Calonarang sedangkan bukti secara visual bisa kita lihat di relief candi-candi di Jawa seperti Candi Tigawangi dan Candi Sukuh dan di beberapa pura Dalem di Bali.
Berdasarkan bukti tertulis dan bukti visual, saya membuat spekulasi tentang faktor-faktor yang mungkin menyebabkan perubahan/perkembangan radikal Durga Mahisasuramardini dari sosok Dewi Perang yang cantik jelita menjadi Dewi Durga Raksasi yang menyeramkan setelah pindahnya kekuatan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (abad ke-10 sampai 15 Masehi) dan di Bali sampai saat ini.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sosok Durga Mahisasuramardini sebagai Dewi Perang mungkin dianggap terlalu ektrim dan terlalu provokatif oleh masyarakat yang menganut system patriarki terutama di Jawa dan Bali walaupun sebenarnya ada tokoh Sri Kandi dianggap anomaly dan diterima dalam masyarakat.
2. Pencitraan Durga Mahisasuramardini dalam beberapa literature (Ghatotkacasraya) dan prasasti (Petak dan Trilokyapuri) yang digambarkan sangat senang menerima persembahan sesajen berupa daging mentah dan darah, pencitraan seperti ini ditemukan dalam prasasti bagian kutukan terhadap orang yang berani melanggar aturan-aturan yang diterapkan dalam prasasti untuk menjaga keamanan wilayah sia atau tanah milik komunal seperti tanah pengempon pura di Bali.
3. Perkembangan lebih lanjut yang terjadi pada Dewi Durga berdasarkan karya sastra Calonarang adalah Dewi Durga disamakan atau dikelirukan dengan pemuja setianya yaitu Rangda ing Dirah. Hal ini, menurut pemikiran saya adalah adanya kerentanan status janda (rangda) bagi perempuan di dunia. Kalau janda itu cantik tentu akan banyak mendapat godaan dari laki-laki dan juga akan banyak dicemburui oleh kaum perempuan.
Dalam makalah singkat ini, saya hanya ingin mengkaji dan membandingkan pemujaan dan pencitraan Durga di India dan Bali. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa perubahan radikal pada Durga telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Pada prinsipnya pemujaan terhadap Durga tetap dipertahankan yaitu untuk mengalahkan para musuh, tetapi musuh jaman sekarang tidaklah sama dengan musuh di jaman lampau. Misalnya pada jaman kerajaan di masa lampau seperti yang diceritakan dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (1365-1389 Masehi) pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari jaman Majapahit, raja-raja yang dibantu oleh para pandita (Siwa-Buda) menyembah Durga sebagai Dewi Perang supaya bisa memenangkan peperangan. Dalam cerita Sutasoma juga dipaparkan bahwa baik Raja Sutasoma (Buda) maupun Raja Purosada (Siwa) menyembah Durga sebelum ke medan perang. Durga sebagai dewi yang maha pengasih dan penyayang, tentu memberikan anugrah kepada siapapun yang memujanya dengan khidmat (Zoetmulder 1974: 331).
Di samping dipuja-puja untuk memenangkan perang, Dewi Durga juga dituduh berbagi kasih dengan Dewa Brahma seperti yang dipaparkan dalam versi kidung Sudamala (digubah antara 1365-1406 Masehi) pada jaman pemerintahan raja-raja Majapahit di Jawa Timur. Berikut ini adalah sepenggal cerita tentang perselingkuhan Dewi Durga dalam wujud Dewi Uma dalam versi kidung Sudamala, narasinya adalah sebagai berikut:
Diceritakan bahwa Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Asihprana, dan Sang Hyang Wisesa mengadakan pertemuan di istana Ida Bhatara Guru, rajanya para dewa. Mereka membicarakan kelakuan yang menyimpang dari Dewi Sri Uma, istri Bhatara Guru (Dewa Siwa), dimana Dewi Uma telah dituduh berselingkuh dengan Dewa Brahma. Bhatara Guru sangat murka mendengar kabar perselingkuhan istrinya, serta merta Bhatara Guru mengutuk istrinya yang cantik menjadi Durga dengan sosok raksasi yang menyeramkan. Dewi Uma yang terkutuk digambarkan sebagai sosok raksasi berubuh tinggi besar, rambut awut-awutan, mata bagaikan matahari kembar, mulutnya bagaikan goa dengan taring tajam dan panjang, lobang hidungnya bagaikan sumur kembar, dan seluruh tubuhnya penuh dengan bentolan dan loreng.
Di dalam kidung Sudamala, tidak hanya dikutuk untuk menjelma menjadi dewi raksasi, Dewi Durga juga diturunkan dari kahyangan dan bersemayam di setra ganda mayu dan memangsa mayat untuk kelangsungan hidupnya. Dewi Durga raksasi hanya akan bisa kembali berubah wujud menjadi dewi yang cantik apabila telah disupat atau diruwat oleh Dewa Siwa sendiri melalui Sahadewa/Sadewa anak bungsu dari Panca Pandawa. Untuk bisa tetap bertahan hidup, Dewi Durga mempunyai banyak sisya yang menyebabkan penyakit pada makhluk hidup yang diakhiri dengan kematian. Dewi Durga akan menganugrahi kesaktian kepada siapapun yang mau mempelajari “black-magic” supaya pemujanya menjadi sakti sehingga lebih banyak santapannya apabila banyak orang yang meninggal akibat ulah dari para sisyanya. Tetapi Bhatari Durga juga berpesan kepada pemujanya agar tidak membunuh orang-orang tanpa dosa, “tan wenang kita amati wong tanpa dosa”
Itulah kisah singkat dari terkutuknya Dewi Uma yang cantik menjadi Durga yang menyeramkan versi Indonesia. Ketika saya bertanya pada orang-orang di India mengenai cerita Sudamala tersebut, baik sarjana maupun orang awam tidak mengetahui cerita tentang perselingkuhan istri Dewa Siwa dengan Dewa Brahma yang akhirnya kena kutuk. Cerita Sudamala adalah hasil pemikirin pengawi atau sastrawan Indonesia yang telah disisipi ide dan norma-norma, tradisi local untuk memposisikan perempuan di dunia patriarki. Perempuan cantik adalah sosok yang dipuja-puja dan dalam waktu yang bersamaan juga sangat rentan untuk terkena gossip, maka terjadilah perubahan citra dari perempuan pujaan menjadi perempuan terkutuk. Citra perempuan akan kembali cantik apabila telah diruwat (diperistri) oleh laki-laki seperti Dewi Durga yang raksasi menjadi Dewi Uma yang cantik sebagai istri Dewa Siwa.
Sedangkan kalau di Bali perselingkuhan Dewi Durga dalam wujud Dewi Uma dipaparkan dalam cerita Rare Angon, dimana Dewi Uma dituduh berselingkuh dengan seorang pengembala sapi, Rare Angon yang merupakan penjelmaan Dewa Siwa sendiri untuk menguji kesetian istrinya, Dewi Uma.
Mitos dan Pemujaan terhadap Dewi Durga mengalami perjalanan dan proses yang panjang dan berliku mulai dari asal mulanya di India lalu menyebrang samudra luas sampai ke Nusantara, khususnya Jawa dan Bali. Berdasarkan sejarah perkembangan Dewi Durga Mahisasuramardini, bisa kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya tujuan pemujaan terhadap Dewi Durga adalah sama seperti tujuan utama penciptaan Dewi Durga Mahisasuramardini yaitu untuk menang di medan perang di dalam melawan musuh, dimana menurut kepercayaan Hindu musuh itu banyak macamnya. Bagi saya musuh yang paling sulit dikalahkan adalah musuh dalam diri kita sendiri yang berupa sad ripu (kama: nafsu, lobha: tamak, krodha: kemarahan, moha: kebingungan, mada: mabuk, matsarya: dengki, iri hati).
2. Betapapun garangnya laki-laki, biasanya dia bisa ditaklukkan oleh perempuan cantik.
3. Sangatlah susah menjadi perempuan cantik apalagi punya prestasi, akan banyak gossip dan tuduhan miring terhadap perempuan tersebut.
4. Perempuan akan bisa kembali cantik apabila diruwat oleh laki-laki.
Buku
‘Agravala, V.S. 1963. The Glorification of the Great Goddess. Varanasi: India Khasiraj Trust.
Mookerjee, Ajit. 1988. Kali: The Feminine Force. London: Thames and Hudson Ltd.
Kulke, Hermann and Rothermund, Dietmar. 1986. A History of India. Routledge: London and New York.
Zimmer, Heinrich. 1955. The Art of Indian Asia. (2 Volumes, edited by Joseph Campbell) New York: Pantheon Books.
Prosiding
‘Ariati, Ni Wayan Pasek. 2010. The Journey of the Goddess Durga: India, Java and Bali. Disertasi PhD di Charles Darwin University (CDU), Darwin, Australia.
Santiko, Hariani. 1987. Kedudukan Bhatari Durga di Jawa Pada Abad X-XV Masehi. Disertasi PhD Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.